I. Pendahuluan
Dalam era globalisasi ekonomi,
perusahaan multinasional (Multinational Enterprises atau MNEs) memainkan peran
yang signifikan dalam perdagangan internasional. Struktur operasi mereka
seringkali melibatkan transaksi antara entitas-entitas terkait yang beroperasi
di berbagai negara. Harga yang ditetapkan untuk transaksi ini dikenal sebagai transfer
price. Transaksi ini dapat berupa penjualan barang, penyediaan jasa,
pengalihan aset tidak berwujud (intangible), atau pemberian pinjaman
antar perusahaan dalam satu grup. Meskipun merupakan praktik bisnis yang umum,
transfer pricing memiliki implikasi perpajakan yang mendalam, terutama dalam
transaksi lintas batas negara.
Otoritas pajak di seluruh
dunia semakin menaruh perhatian pada praktik transfer pricing. Pengawasan yang
ketat ini didorong oleh potensi perusahaan multinasional untuk menggunakan
transfer pricing dalam menggerus basis pajak dan mengalihkan keuntungan ke
negara-negara dengan tarif pajak yang lebih rendah.
Tulisan ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai transfer pricing dari sudut
pandang perpajakan. Pembahasan akan mencakup definisi transfer pricing,
pentingnya bagi otoritas pajak dan perusahaan multinasional, berbagai metode
penentuan harga wajar, implikasi terhadap kewajiban pajak perusahaan, peraturan
yang berlaku di Indonesia, prinsip kewajaran (arm's length principle),
persyaratan dokumentasi, serta isu-isu umum dan sengketa yang sering terjadi
dalam praktik transfer pricing.
Awalnya, transfer pricing
dianggap sebagai prosedur akuntansi internal yang netral dalam mengelola
transaksi antar unit bisnis dalam suatu perusahaan multinasional. Namun,
seiring dengan meningkatnya praktik perusahaan multinasional dalam memanfaatkan
perbedaan tarif pajak antar negara, otoritas pajak menyadari potensi
penyalahgunaan mekanisme ini untuk mengurangi beban pajak global. Pergeseran
persepsi ini mendorong pengembangan regulasi yang lebih ketat dan mekanisme
pengawasan yang lebih intensif terhadap praktik transfer pricing.
Selain itu, globalisasi
ekonomi dan peningkatan volume perdagangan internasional antar entitas terkait
dalam perusahaan multinasional semakin memperkuat urgensi untuk memiliki
prinsip dan panduan yang seragam dalam menangani isu transfer pricing. Keberadaan
panduan dari organisasi internasional seperti OECD (Organisation for
Economic Co-operation and Development) menunjukkan adanya upaya
standardisasi global dalam regulasi transfer pricing. Hal ini mencerminkan
pengakuan bahwa tantangan perpajakan lintas batas memerlukan kerjasama
internasional dan prinsip-prinsip yang disepakati bersama untuk memastikan
alokasi hak pemajakan yang adil dan mencegah terjadinya penghindaran pajak.
II. Definisi Transfer Pricing
dari Sudut Pandang Perpajakan
Dari sudut pandang perpajakan,
transfer pricing merujuk pada penetapan harga dalam transaksi lintas batas
antara perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan istimewa atau dikenal juga
sebagai pihak terkait (related parties) atau perusahaan multinasional.
Transaksi ini melibatkan perpindahan barang, jasa, aset tidak berwujud, atau
pinjaman antar entitas dalam satu grup perusahaan. Fokus utama otoritas pajak
adalah untuk memastikan bahwa harga yang ditetapkan dalam transaksi ini
mencerminkan harga pasar yang wajar atau harga yang akan disepakati oleh
pihak-pihak yang independen dalam kondisi yang sebanding (arm's length price).
OECD, sebagai organisasi yang
memiliki pengaruh besar dalam perpajakan internasional, mendefinisikan transfer
pricing sebagai penetapan harga transaksi lintas batas antara
perusahaan-perusahaan yang berasosiasi, dengan tujuan untuk menghilangkan pajak
berganda melalui penerapan prinsip kewajaran. Panduan transfer pricing dari
OECD menjadi standar global dalam menetapkan harga transaksi pihak terkait ini.
Sementara itu, dalam konteks
peraturan perpajakan di Indonesia, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 172/PMK.03/2023, "Harga Transfer" didefinisikan sebagai harga
dalam transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Definisi serupa juga
terdapat dalam PMK Nomor 22/PMK.03/2020 yang mengatur mengenai Kesepakatan
Harga Transfer (Advance Pricing Agreement atau APA).
Definisi lain menekankan bahwa
transfer pricing adalah penetapan harga untuk transaksi yang melibatkan
pengalihan properti atau jasa antara perusahaan-perusahaan yang berasosiasi
yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional. Bahkan, Arnold dan
McIntyre dalam jurnal mereka mendefinisikan transfer pricing sebagai harga yang
ditetapkan oleh wajib pajak saat menjual, membeli, atau berbagi sumber daya
dengan afiliasinya yang memiliki hubungan spesial.
Konsep pihak terkait dan
transaksi yang dikendalikan menjadi krusial dalam pemahaman transfer pricing.
Transaksi yang dikendalikan adalah transaksi antara entitas-entitas yang berada
di bawah kepemilikan atau pengendalian yang sama. Di Indonesia, "hubungan
istimewa" didefinisikan dalam Pasal 18 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
dijelaskan lebih lanjut dalam peraturan seperti PMK 172/2023.
Hubungan istimewa ini meliputi
kepemilikan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada wajib
pajak lain, penguasaan terhadap wajib pajak lain atau dua atau lebih wajib
pajak yang berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung, serta adanya hubungan keluarga sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus atau ke samping satu derajat. Transaksi-transaksi ini dianggap
"dikendalikan" (controlled) berbeda dengan transaksi
"tidak terkendali" (uncontrolled) yang terjadi antara
pihak-pihak yang independen dan diasumsikan bertindak berdasarkan prinsip
kewajaran.
Meskipun istilah
"transfer pricing" secara inheren bersifat netral, dalam praktik dan
persepsi umum, istilah ini seringkali dikaitkan dengan potensi penghindaran
pajak. Hal ini terjadi karena perusahaan multinasional dapat menggunakan
fleksibilitas dalam menetapkan harga transaksi internal untuk mengalihkan
keuntungan dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak
rendah, sehingga mengurangi beban pajak secara keseluruhan. Praktik ini dikenal
sebagai "transfer mispricing" atau "penyalahgunaan transfer
pricing" dan menjadi perhatian utama bagi otoritas pajak di berbagai
negara.
Perbedaan antara definisi
netral transfer pricing sebagai mekanisme penetapan harga internal dalam
perusahaan multinasional dan persepsi negatifnya yang sering dikaitkan dengan
penghindaran pajak menyoroti pentingnya konteks dalam memahami istilah ini.
Meskipun transfer pricing merupakan praktik bisnis yang diperlukan bagi
perusahaan multinasional untuk mengelola transaksi internal mereka, potensi
penyalahgunaannya dalam penghindaran pajak menjadikannya area yang sangat
penting bagi pengawasan regulasi. Sifat inheren transfer pricing yang
melibatkan pihak-pihak terkait yang mungkin tidak bertindak berdasarkan prinsip
kewajaran menciptakan kerentanan dalam sistem perpajakan internasional. Kerentanan
ini dimanfaatkan ketika perusahaan multinasional dengan sengaja menetapkan
harga transfer yang menyimpang dari tarif pasar untuk mengurangi kewajiban
pajak mereka. Konotasi negatif muncul dari manipulasi harga yang disengaja ini
untuk tujuan penghindaran pajak.
Kriteria spesifik untuk
"hubungan istimewa" dalam hukum pajak Indonesia menunjukkan batasan
hukum di mana peraturan transfer pricing berlaku. Kriteria ini mendefinisikan
hubungan di mana transaksi tunduk pada pengawasan yang lebih ketat oleh
otoritas pajak karena potensi penetapan harga yang tidak sesuai dengan prinsip
kewajaran. Dengan mendefinisikan secara jelas apa yang merupakan "hubungan
istimewa," otoritas pajak Indonesia menetapkan ruang lingkup peraturan
transfer pricing mereka. Definisi ini sangat penting bagi wajib pajak untuk
memahami apakah transaksi antar perusahaan mereka termasuk dalam peraturan ini
dan oleh karena itu tunduk pada prinsip kewajaran dan persyaratan dokumentasi.
III. Pentingnya Transfer
Pricing
- Bagi Otoritas Pajak:
Mencegah
Erosi Basis Pajak dan Pengalihan Keuntungan (BEPS)
Transfer
pricing yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dapat digunakan oleh
perusahaan multinasional untuk menggerus basis pajak suatu negara dan
mengalihkan keuntungan ke negara-negara dengan tarif pajak yang lebih rendah (Base
Erosion and Profit Shifting atau BEPS). Perusahaan multinasional dapat
memanipulasi harga transfer untuk mengurangi laba kena pajak di negara dengan
tarif pajak tinggi dengan cara menaikkan biaya pembelian barang atau jasa dari
afiliasi di negara dengan tarif pajak rendah atau menurunkan pendapatan
penjualan ke afiliasi di negara dengan tarif pajak rendah. OECD telah berupaya
mengatasi isu ini melalui proyek BEPS, termasuk Aksi 8-10 yang secara khusus
membahas transfer pricing.
Memastikan
Alokasi Pendapatan Pajak yang Adil dan Merata
Penerapan
prinsip kewajaran dalam transfer pricing bertujuan untuk memastikan bahwa
setiap negara menerima bagian pendapatan pajak yang adil berdasarkan aktivitas
ekonomi yang dilakukan di wilayah yurisdiksinya. Prinsip ini berupaya
menciptakan kesetaraan perlakuan pajak antara anggota grup perusahaan
multinasional dan perusahaan independen.
Mengawasi
Transaksi Antar Perusahaan untuk Mencegah Penghindaran Pajak
Otoritas
pajak secara aktif mengawasi transaksi antar perusahaan yang memiliki hubungan
istimewa untuk mencegah penghindaran pajak dan perencanaan pajak agresif
melalui praktik transfer pricing yang tidak sesuai. Audit transfer pricing
dilakukan untuk memastikan bahwa transaksi ini mematuhi prinsip kewajaran.
Jumlah, kompleksitas, dan biaya audit transfer pricing secara global terus
meningkat seiring dengan upaya otoritas pajak mencari tambahan pendapatan.
Mengidentifikasi
dan Menangani Ketidakpatuhan terhadap Regulasi Transfer Pricing
Otoritas
pajak memiliki mekanisme untuk mengidentifikasi dan menindak wajib pajak yang
tidak patuh terhadap peraturan transfer pricing. Sanksi yang signifikan dapat
dikenakan atas ketidakpatuhan ini. Di Amerika Serikat, misalnya, denda dapat
mencapai 40% dari tambahan pajak yang terutang. Otoritas pajak juga semakin
sering mengenakan denda ini.
- Bagi Perusahaan Multinasional
Menavigasi
Regulasi Perpajakan Internasional yang Kompleks dan Berbeda-beda
Perusahaan
multinasional yang beroperasi di berbagai negara harus mematuhi peraturan
transfer pricing yang berbeda di setiap yurisdiksi. Meskipun sebagian besar
peraturan ini didasarkan pada panduan OECD, seringkali terdapat perbedaan dan
nuansa lokal yang perlu dipahami dan dipatuhi.
Memastikan
Kepatuhan untuk Menghindari Sanksi, Bunga, dan Potensi Pajak Berganda
Kepatuhan
terhadap peraturan transfer pricing sangat penting bagi perusahaan
multinasional untuk menghindari sanksi, bunga, dan potensi terjadinya pajak
berganda. Kebijakan transfer pricing yang kuat dan dokumentasi yang lengkap
sangat diperlukan untuk menunjukkan kepatuhan dan menghindari sengketa dengan
otoritas pajak. Kepatuhan terhadap prinsip kewajaran juga membantu mencegah
otoritas pajak di berbagai yurisdiksi membuat koreksi yang saling bertentangan,
sehingga menghindari pajak berganda.
Mengelola
Kewajiban Pajak Global dan Mengoptimalkan Posisi Pajak dalam Kerangka Hukum
Transfer
pricing dapat digunakan sebagai alat strategis oleh perusahaan multinasional
untuk mengelola kewajiban pajak global mereka dan mengoptimalkan posisi pajak
mereka dalam batasan hukum yang berlaku. Misalnya, perusahaan dapat
mengalokasikan keuntungan ke entitas di negara dengan tarif pajak yang lebih
rendah melalui kebijakan transfer pricing. Namun, praktik ini harus dilakukan
sesuai dengan prinsip kewajaran untuk menghindari tuduhan penghindaran pajak.
Transfer pricing juga dapat digunakan secara strategis untuk mendukung
efisiensi bisnis seperti pengelolaan kas dan rasionalisasi aset tidak berwujud.
Memahami
Dampak Transfer Pricing terhadap Pelaporan Keuangan dan Profitabilitas
Keseluruhan: Harga transfer yang ditetapkan dalam transaksi
antar perusahaan mempengaruhi alokasi pendapatan dan biaya antar entitas dalam
grup perusahaan multinasional, yang pada gilirannya mempengaruhi profitabilitas
yang dilaporkan oleh masing-masing entitas dan laporan keuangan konsolidasian
secara keseluruhan. Penetapan harga transfer yang tidak tepat dapat menyebabkan
perlunya penyajian kembali laporan keuangan dan potensi dikenakannya sanksi.
Pentingnya transfer pricing
bagi otoritas pajak berakar pada fungsi utama mereka untuk mengumpulkan pajak
dan mencegah kebocoran pendapatan negara. Kemampuan perusahaan multinasional
untuk beroperasi lintas batas dan melakukan transaksi antar perusahaan dengan
harga yang ditetapkan secara internal menciptakan peluang signifikan untuk
optimasi pajak. Jika harga ini tidak mencerminkan realitas pasar, keuntungan
dapat dialihkan secara artifisial ke yurisdiksi dengan tarif pajak yang lebih
rendah, mengurangi pendapatan pajak yang dikumpulkan oleh yurisdiksi dengan
tarif pajak lebih tinggi. Potensi erosi basis pajak ini mengharuskan adanya
regulasi transfer pricing yang kuat dan penegakan hukum yang aktif oleh
otoritas pajak.
Bagi perusahaan multinasional,
pentingnya transfer pricing melampaui sekadar kepatuhan; ini adalah alat
strategis yang dapat berdampak signifikan pada kinerja keuangan dan kewajiban
pajak mereka. Pengelolaan transfer pricing yang efektif memungkinkan perusahaan
multinasional untuk menavigasi kompleksitas perpajakan internasional,
meminimalkan risiko pajak mereka, dan berpotensi mengoptimalkan posisi pajak
global mereka, yang berkontribusi pada efisiensi bisnis dan profitabilitas
secara keseluruhan.
Namun, hal ini harus diimbangi
dengan kebutuhan untuk mematuhi prinsip kewajaran dan menghindari perencanaan
pajak agresif yang dapat menyebabkan sengketa dan sanksi. Dalam lingkungan
bisnis global saat ini, perusahaan multinasional menghadapi jaringan aturan
perpajakan internasional yang kompleks. Transfer pricing memainkan peran
penting dalam menentukan bagaimana keuntungan dialokasikan dan dikenakan pajak
di berbagai yurisdiksi. Dengan mengelola kebijakan transfer pricing mereka
secara strategis, perusahaan multinasional dapat berupaya mengurangi beban
pajak keseluruhan mereka sambil memastikan kepatuhan terhadap peraturan di
setiap negara tempat mereka beroperasi. Ini membutuhkan pemahaman yang mendalam
baik tentang undang-undang pajak maupun realitas ekonomi dari transaksi antar
perusahaan mereka.
IV. Metode untuk Menentukan
Harga Wajar dalam Transfer Pricing
Terdapat beberapa metode yang
diakui secara internasional untuk menetapkan harga transfer yang sesuai dengan
prinsip kewajaran. Tujuan dari metode-metode ini adalah untuk menemukan harga
yang akan disepakati oleh pihak-pihak yang independen dalam transaksi yang
sebanding dan dalam kondisi yang serupa. Panduan transfer pricing dari OECD
merupakan sumber utama untuk metode-metode ini.
Berikut adalah metode-metode
utama yang digunakan dalam transfer pricing:
- Metode Harga Pembanding yang Tidak
Dikendalikan (Comparable Uncontrolled Price Method atau CUP).
Metode ini membandingkan harga yang dikenakan dalam transaksi yang
dikendalikan dengan harga yang dikenakan dalam transaksi yang tidak
dikendalikan yang sebanding dalam kondisi yang serupa. Metode ini dianggap
sebagai metode yang paling langsung dan dapat diandalkan jika transaksi
pembanding yang tidak dikendalikan yang cukup serupa tersedia. Contohnya,
jika perusahaan induk menjual produk yang sama kepada anak perusahaan dan
pelanggan independen dengan persyaratan dan kondisi yang serupa, harga
yang dikenakan kepada pelanggan independen dapat digunakan sebagai CUP.
- Metode Harga Jual Kembali (Resale Price
Method). Metode ini menentukan harga wajar dengan
mengurangi margin laba kotor yang sesuai dari harga di mana produk dijual
kembali kepada pihak independen. Metode ini sering digunakan untuk
aktivitas distribusi di mana penjual kembali tidak menambahkan nilai yang
signifikan pada produk. Contohnya, anak perusahaan mendistribusikan barang
yang dibeli dari perusahaan induk. Harga wajar dihitung dengan mengambil
harga jual kembali kepada pelanggan independen dan menguranginya dengan
margin laba kotor yang diperoleh oleh distributor independen yang
sebanding.
- Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method):
Metode ini menghitung harga wajar dengan menambahkan markup yang sesuai
pada biaya yang dikeluarkan oleh pemasok barang atau jasa dalam transaksi
yang dikendalikan. Metode ini umumnya digunakan untuk manufaktur atau
penyediaan jasa. Contohnya, anak perusahaan memproduksi komponen untuk
perusahaan induk. Harga wajar ditentukan dengan menambahkan markup pada
biaya produksi anak perusahaan, di mana markup tersebut didasarkan pada
margin keuntungan yang diperoleh oleh produsen independen yang sebanding.
- Metode Pembagian Laba (Profit Split
Method). Metode ini mengidentifikasi laba gabungan
dari transaksi yang dikendalikan dan kemudian membagi laba tersebut antara
perusahaan-perusahaan yang berasosiasi berdasarkan dasar yang rasional
secara komersial yang mencerminkan kontribusi ekonomi masing-masing pihak.
Metode ini sering digunakan untuk operasi yang sangat terintegrasi atau
transaksi yang melibatkan aset tidak berwujud yang unik di mana kontribusi
masing-masing pihak sulit dievaluasi secara terpisah. Contohnya, dua anak
perusahaan bersama-sama mengembangkan dan memasarkan teknologi baru. Laba
gabungan dari penjualan teknologi ini dibagi antara anak perusahaan
berdasarkan faktor-faktor seperti investasi R&D masing-masing, upaya
pemasaran, dan kontribusi lainnya.
- Metode Margin Transaksional Neto (Transactional
Net Margin Method atau TNMM). Metode ini menguji
margin laba bersih relatif terhadap basis yang sesuai (misalnya, biaya,
penjualan, aset) yang diperoleh wajib pajak dari transaksi yang
dikendalikan. Margin laba bersih ini kemudian dibandingkan dengan margin
laba bersih yang diperoleh oleh perusahaan independen dalam transaksi yang
tidak dikendalikan yang sebanding. Metode ini sering digunakan ketika
metode lain kurang sesuai atau ketika data yang andal tentang margin laba
kotor atau harga tidak tersedia. Contohnya, anak perusahaan menyediakan
layanan administrasi kepada perusahaan induk. Harga wajar untuk layanan
ini ditentukan dengan membandingkan margin laba bersih yang diperoleh anak
perusahaan atas layanan ini dengan margin laba bersih yang diperoleh oleh
perusahaan independen yang menyediakan layanan administrasi serupa.
Pemilihan metode transfer
pricing yang paling sesuai untuk transaksi tertentu mempertimbangkan beberapa
faktor, termasuk sifat properti atau jasa yang ditransfer, analisis fungsi yang
mengidentifikasi fungsi yang dilakukan, risiko yang ditanggung, dan aset yang
digunakan oleh masing-masing pihak dalam transaksi, persyaratan dan kondisi
transaksi yang dikendalikan, ketersediaan data yang andal tentang transaksi
yang tidak dikendalikan yang sebanding, serta kekuatan dan kelemahan relatif
dari setiap metode dalam mempertimbangkan keadaan spesifik transaksi.
Keberadaan berbagai metode
transfer pricing (CUP, Harga Jual Kembali, Biaya-Plus, Pembagian Laba, TNMM)
menunjukkan bahwa prinsip kewajaran bukanlah pendekatan yang seragam. Pemilihan
metode yang paling tepat sangat bergantung pada fakta dan keadaan spesifik dari
transaksi yang dikendalikan. Berbagai jenis transaksi (misalnya, penjualan
barang, penyediaan jasa, lisensi aset tidak berwujud) memiliki karakteristik
yang berbeda. Oleh karena itu, metode yang berbeda diperlukan untuk menentukan
harga wajar yang andal untuk setiap jenis transaksi. Panduan OECD menyediakan
kerangka kerja untuk memilih metode yang paling sesuai berdasarkan
faktor-faktor perbandingan.
Penekanan pada
"perbandingan" dalam deskripsi metode-metode tersebut menyoroti
tantangan utama dalam menerapkan prinsip kewajaran. Menemukan transaksi yang
tidak dikendalikan yang benar-benar sebanding bisa sulit, terutama untuk
produk, jasa, atau aset tidak berwujud yang unik. Kesulitan ini seringkali
menyebabkan sengketa antara wajib pajak dan otoritas pajak. Inti dari prinsip
kewajaran adalah membandingkan transaksi yang dikendalikan dengan transaksi
yang tidak dikendalikan. Keandalan perbandingan ini bergantung pada tingkat
kesamaan antara transaksi dalam hal produk, fungsi, risiko, persyaratan
kontrak, dan keadaan ekonomi. Ketika perbandingan lemah, penerapan prinsip
kewajaran menjadi lebih subjektif dan rentan terhadap interpretasi.
V. Implikasi Transfer Pricing
terhadap Kewajiban Pajak Perusahaan
Penetapan harga dalam
transaksi antar perusahaan secara langsung mempengaruhi laba kena pajak yang
dilaporkan oleh entitas-entitas terkait di berbagai yurisdiksi pajak. Misalnya,
jika anak perusahaan di negara dengan tarif pajak rendah mengenakan harga
transfer yang tinggi secara artifisial kepada perusahaan induknya di negara
dengan tarif pajak tinggi, laba perusahaan induk akan berkurang (mengakibatkan
pajak yang lebih rendah di negara dengan tarif tinggi), dan laba anak
perusahaan akan meningkat (berpotensi dikenakan pajak dengan tarif yang lebih
rendah). Sebaliknya, harga transfer yang rendah secara artifisial akan memiliki
efek sebaliknya.
Koreksi transfer pricing yang
dilakukan oleh otoritas pajak dapat secara signifikan mempengaruhi kewajiban
pajak keseluruhan perusahaan. Jika otoritas pajak menentukan bahwa harga
transfer tidak memenuhi standar prinsip kewajaran, mereka dapat mengoreksi laba
kena pajak dari pihak-pihak terkait, yang berpotensi menyebabkan peningkatan
signifikan dalam pajak yang harus dibayar. Sengketa Coca-Cola dengan IRS (Internal
Revenue Service) senilai $6 miliar terkait dengan valuasi royalti dan
sengketa transfer pricing Microsoft yang berlangsung lama adalah contoh skala
potensi koreksi ini.
Selain itu, praktik transfer
pricing yang tidak patuh dapat mengakibatkan dikenakannya sanksi dan bunga. Sanksi
ini dimaksudkan untuk mencegah ketidakpatuhan dan dapat sangat besar, terutama
untuk koreksi yang besar atau pengabaian aturan transfer pricing yang
disengaja. Di Amerika Serikat, denda dapat mencapai 20% atau 40% tergantung
pada besarnya koreksi. Bunga juga biasanya dikenakan atas kekurangan pembayaran
pajak yang disebabkan oleh koreksi transfer pricing.
Hubungan langsung antara
transfer pricing dan laba kena pajak menggarisbawahi mengapa ini menjadi area
fokus yang kritis bagi otoritas pajak dan perusahaan multinasional. Keputusan
penetapan harga yang dibuat untuk transaksi antar perusahaan memiliki dampak
langsung dan signifikan terhadap jumlah pajak yang dibayarkan di berbagai
yurisdiksi. Harga transfer bertindak sebagai pendapatan bagi entitas penjual
dan biaya bagi entitas pembeli dalam grup perusahaan multinasional. Dengan
memanipulasi harga ini, grup perusahaan dapat secara artifisial mengalihkan
keuntungan dari yurisdiksi dengan tarif pajak tinggi ke yurisdiksi dengan tarif
pajak rendah, sehingga mengurangi kewajiban pajak keseluruhan. Dampak langsung
ini pada kewajiban pajak menjadikan transfer pricing sebagai alat utama untuk
perencanaan pajak dan perhatian utama bagi otoritas pajak.
Contoh-contoh sengketa
transfer pricing tingkat tinggi (Coca-Cola, Microsoft) mengilustrasikan risiko
keuangan yang signifikan terkait dengan ketidakpatuhan. Kasus-kasus ini
berfungsi sebagai peringatan, menunjukkan potensi konsekuensi keuangan dari
praktik transfer pricing yang agresif atau tidak didukung dengan baik. Besarnya
koreksi dan keterlibatan perusahaan-perusahaan besar menggarisbawahi pentingnya
mematuhi prinsip kewajaran dan memelihara dokumentasi yang lengkap untuk
menahan pengawasan dari otoritas pajak.
VI. Peraturan Transfer Pricing
di Indonesia
Peraturan transfer pricing di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan (UU PPh) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan
oleh Kementerian Keuangan, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172/PMK.03/2023
yang menggantikan PMK 22/PMK.03/2020. Pasal 18 ayat (3) UU PPh memberikan
landasan hukum bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan kembali besarnya
penghasilan dan pengurangan dengan menerapkan prinsip kewajaran dalam transaksi
antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
PMK Nomor 172/PMK.03/2023
secara rinci mengatur mengenai jenis dokumen dan/atau informasi tambahan yang
wajib disimpan oleh wajib pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa, sejalan dengan rekomendasi OECD dalam BEPS
Action 13 mengenai Pelaporan Per Negara (Country-by-Country Reporting).
Sementara itu, PMK Nomor 22/PMK.03/2020 mengatur tata cara pembentukan dan
pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement atau
APA) di Indonesia.
Kriteria "hubungan
istimewa" dalam hukum pajak Indonesia didefinisikan dalam Pasal 18 UU PPh
dan dijelaskan lebih lanjut dalam peraturan seperti PMK 172/2023. Hubungan
istimewa ini meliputi kepemilikan modal langsung atau tidak langsung sebesar
25% atau lebih pada wajib pajak lain, adanya penguasaan terhadap wajib pajak
lain atau dua atau lebih wajib pajak yang berada di bawah penguasaan yang sama
baik langsung maupun tidak langsung, serta adanya hubungan keluarga sedarah
maupun semenda dalam garis keturunan lurus atau ke samping satu derajat.
Indonesia mengadopsi
pendekatan tiga lapis dalam persyaratan dokumentasi transfer pricing,
sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 172/PMK.03/2023:
- Dokumen Induk (Master File) memberikan
gambaran umum mengenai kegiatan usaha grup perusahaan multinasional secara
global, termasuk struktur organisasi, deskripsi bisnis, aset tidak
berwujud, pendanaan antar perusahaan, serta posisi keuangan dan perpajakan
secara keseluruhan. Tujuannya adalah untuk memberikan konteks global bagi
praktik transfer pricing entitas lokal.
- Dokumen Lokal (Local File) berisi
informasi rinci mengenai transaksi spesifik antara wajib pajak lokal
dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, metode transfer
pricing yang dipilih, analisis perbandingan yang dilakukan, dan data
keuangan yang mendukung penetapan harga wajar. Dokumen ini fokus pada
kepatuhan spesifik entitas lokal.
- Laporan Per Negara (Country-by-Country
Report atau CbCR). Untuk grup perusahaan multinasional
dengan pendapatan konsolidasi bruto tertentu, laporan ini menyajikan
informasi agregat mengenai pendapatan, laba sebelum pajak, dan pajak
penghasilan yang dibayar dan terutang di setiap yurisdiksi pajak tempat
grup tersebut beroperasi, serta indikator aktivitas ekonomi lainnya.
Laporan ini bertujuan untuk memberikan pandangan tingkat tinggi kepada
otoritas pajak mengenai alokasi laba dan pajak global grup perusahaan.
Dokumentasi transfer pricing
ini harus bersifat contemporaneous, yang berarti harus disiapkan pada
saat atau sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
Pajak Penghasilan Badan. Kegagalan dalam memenuhi persyaratan dokumentasi dapat
mengakibatkan dikenakannya sanksi dan koreksi terhadap laba kena pajak.
Indonesia juga menyediakan
mekanisme Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement atau
APA). APA adalah kesepakatan tertulis antara Direktur Jenderal Pajak (DJP) dan
wajib pajak yang menetapkan kriteria penerapan prinsip kewajaran terhadap
transaksi pihak terkait wajib pajak di masa depan untuk jangka waktu tertentu.
Terdapat tiga jenis APA di Indonesia: unilateral (melibatkan DJP dan wajib
pajak domestik), bilateral (melibatkan DJP, wajib pajak domestik, dan otoritas
pajak negara mitra perjanjian penghindaran pajak berganda), dan multilateral
(melibatkan DJP, wajib pajak domestik, dan otoritas pajak dari dua atau lebih
negara mitra perjanjian penghindaran pajak berganda). Manfaat utama dari APA
adalah memberikan kepastian hukum di bidang perpajakan dan mengurangi risiko
sengketa di kemudian hari.
Peraturan transfer pricing di
Indonesia menunjukkan komitmen yang jelas untuk selaras dengan praktik terbaik
internasional, terutama panduan OECD dan rekomendasi proyek BEPS. Penyelarasan
ini bertujuan untuk memperkuat sistem perpajakan Indonesia dengan mengatasi
risiko erosi basis pajak dan pengalihan keuntungan melalui penetapan harga
transfer yang tidak tepat. Dengan mengadopsi standar internasional dalam
transfer pricing, Indonesia meningkatkan kemampuannya untuk secara efektif
mengenakan pajak kepada perusahaan multinasional yang beroperasi di wilayahnya.
Hal ini tidak hanya membantu melindungi pendapatan pajak negara tetapi juga
mempromosikan persaingan yang lebih adil bagi bisnis domestik dan asing.
Implementasi persyaratan dokumentasi yang rinci dan ketersediaan APA lebih
lanjut berkontribusi pada kerangka kerja transfer pricing yang lebih kuat dan
transparan.
Pengenalan struktur
dokumentasi tiga lapis (Dokumen Induk, Dokumen Lokal, Laporan Per Negara) di
Indonesia menandakan peningkatan signifikan dalam beban kepatuhan bagi
perusahaan multinasional yang beroperasi di negara ini. Hal ini mengharuskan
perusahaan multinasional untuk menginvestasikan lebih banyak sumber daya dalam
memahami dan mematuhi persyaratan yang kompleks ini, tetapi juga memberikan
mekanisme bagi mereka untuk secara proaktif menunjukkan kepatuhan mereka
terhadap prinsip kewajaran. Persyaratan dokumentasi yang rinci yang diamanatkan
oleh otoritas pajak Indonesia memberi mereka informasi yang komprehensif
tentang operasi global dan kebijakan transfer pricing perusahaan multinasional.
Peningkatan transparansi ini memungkinkan pihak berwenang untuk lebih baik
menilai risiko penetapan harga transfer yang tidak tepat dan untuk melakukan
audit yang lebih efektif. Bagi perusahaan multinasional, memenuhi persyaratan
ini sangat penting untuk menghindari sanksi dan menunjukkan komitmen mereka
terhadap kepatuhan pajak di Indonesia.
VII. Prinsip Kewajaran (Arm's
Length Principle) dalam Konteks Transfer Pricing
Prinsip kewajaran (arm's
length principle) merupakan landasan utama dalam regulasi transfer pricing
internasional. Prinsip ini, yang seringkali dikaitkan dengan Pasal 9 Konvensi
Model OECD tentang Pajak atas Penghasilan dan atas Modal, adalah standar yang
disepakati secara internasional untuk menetapkan harga transaksi antara
pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Prinsip kewajaran mensyaratkan
bahwa harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa
harus sama dengan harga yang akan disepakati oleh pihak-pihak yang independen
dalam transaksi yang sebanding dan dalam kondisi yang serupa. "Kondisi
yang sebanding" mencakup pertimbangan faktor-faktor seperti karakteristik
barang atau jasa yang ditransfer, fungsi yang dilakukan oleh para pihak, risiko
yang ditanggung, persyaratan kontrak, dan kondisi ekonomi. Analisis
komparabilitas menjadi krusial dalam menerapkan prinsip kewajaran.
Panduan transfer pricing OECD
memberikan interpretasi dan panduan rinci mengenai penerapan prinsip kewajaran.
Panduan ini memberikan kerangka kerja untuk menerapkan prinsip tersebut pada
berbagai situasi dan jenis transaksi dan terus diperbarui untuk mencerminkan
perubahan dalam ekonomi global dan untuk mengatasi isu-isu yang muncul.
Meskipun menjadi standar
global, penerapan prinsip kewajaran dalam praktik seringkali menghadapi
tantangan dan kompleksitas. Salah satu tantangan utama adalah kesulitan dalam
menemukan transaksi yang tidak dikendalikan (independen) yang benar-benar
sebanding, terutama untuk barang, jasa, atau aset tidak berwujud yang unik atau
sangat terspesialisasi. Selain itu, valuasi aset tidak berwujud dan alokasi
risiko antara pihak-pihak terkait juga merupakan area yang kompleks dan
seringkali menimbulkan sengketa. Perbedaan interpretasi prinsip kewajaran
antara otoritas pajak dan wajib pajak juga dapat menyebabkan perselisihan.
Prinsip kewajaran, meskipun
tampak sederhana, memerlukan penilaian dan analisis yang signifikan dalam
penerapannya. Penentuan "kondisi yang sebanding" seringkali bersifat
subjektif dan dapat dipengaruhi oleh ketersediaan dan kualitas data, yang
menyebabkan potensi ketidaksepakatan. Idealnya membandingkan transaksi pihak
terkait dengan transaksi antara entitas independen seringkali sulit dicapai
dalam praktik karena sifat unik dari banyak transaksi antar perusahaan dan
kurangnya data pasar yang tersedia. Hal ini memerlukan pendekatan yang
fleksibel dan pragmatis dalam menerapkan prinsip kewajaran, mengandalkan
berbagai metode transfer pricing dan mempertimbangkan dengan cermat semua fakta
dan keadaan yang relevan.
Evolusi berkelanjutan dari
Panduan Transfer Pricing OECD mencerminkan upaya berkelanjutan untuk
menyempurnakan dan meningkatkan penerapan prinsip kewajaran dalam menanggapi
lingkungan bisnis global yang terus berubah dan taktik perusahaan multinasional
yang terus berkembang dalam mengelola urusan pajak mereka. Sifat dinamis dari
panduan ini menggarisbawahi kebutuhan bagi wajib pajak dan otoritas pajak untuk
tetap mengikuti perkembangan dan interpretasi terbaru dari prinsip tersebut.
Seiring dengan evolusi ekonomi global, dengan meningkatnya pentingnya aset tidak
berwujud dan model bisnis digital, penerapan prinsip kewajaran secara
tradisional menghadapi tantangan baru. Upaya berkelanjutan OECD untuk
memperbarui panduannya bertujuan untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan
bahwa prinsip tersebut tetap relevan dan efektif dalam mencegah erosi basis
pajak dan pengalihan keuntungan dalam lanskap ekonomi modern.
VIII. Kesimpulan
Transfer pricing merupakan
aspek krusial dalam perpajakan internasional, terutama bagi perusahaan
multinasional yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa lintas batas negara. Dari sudut pandang perpajakan, fokus
utama transfer pricing adalah penerapan prinsip kewajaran untuk memastikan
bahwa harga yang ditetapkan dalam transaksi ini mencerminkan harga pasar yang
wajar. Hal ini penting bagi otoritas pajak untuk mencegah erosi basis pajak dan
pengalihan keuntungan (BEPS) serta untuk memastikan alokasi pendapatan pajak
yang adil dan merata antar negara.
Perusahaan multinasional harus
menavigasi regulasi transfer pricing yang kompleks dan seringkali berbeda-beda
di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi. Kepatuhan terhadap prinsip kewajaran dan
persyaratan dokumentasi yang berlaku sangat penting untuk menghindari sanksi,
bunga, dan potensi terjadinya pajak berganda. Selain itu, pemahaman yang baik
tentang transfer pricing memungkinkan perusahaan untuk mengelola kewajiban
pajak global mereka secara lebih efektif dan mengoptimalkan posisi pajak mereka
dalam batasan hukum yang berlaku.
Indonesia, melalui
Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya seperti PMK Nomor
172/PMK.03/2023 [21], telah mengadopsi prinsip kewajaran dan menetapkan
persyaratan dokumentasi yang sejalan dengan standar internasional, termasuk
tiga lapis dokumentasi (Dokumen Induk, Dokumen Lokal, dan Laporan Per Negara
untuk grup yang memenuhi persyaratan). Mekanisme Kesepakatan Harga Transfer
(APA) juga tersedia untuk memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dalam
menerapkan prinsip kewajaran.
Seiring dengan terus
berkembangnya ekonomi global dan meningkatnya kompleksitas transaksi lintas
batas, transfer pricing akan tetap menjadi area fokus utama bagi otoritas pajak
dan perusahaan multinasional di seluruh dunia. Perusahaan yang proaktif dalam
mengembangkan dan menerapkan kebijakan transfer pricing yang kuat dan
terdokumentasi dengan baik akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk
menavigasi lanskap perpajakan internasional yang menantang dan menghindari
potensi risiko perpajakan. Keterlibatan dengan para ahli pajak dan pemahaman
yang berkelanjutan tentang perkembangan terbaru dalam regulasi transfer pricing
juga akan menjadi kunci bagi perusahaan multinasional yang ingin berhasil
mengelola aspek penting dari operasi global mereka ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar