Jumat, 04 April 2025

Kaitan PMK 15/PMK.03/2018 dengan Penerapan Norma Penghitungan Penghasilan Neto oleh Wajib Pajak Badan

1. Pendahuluan

Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) merupakan metode penyederhanaan dalam menghitung penghasilan neto, yang terutama ditujukan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan batasan peredaran bruto tertentu, saat ini ditetapkan sebesar Rp4,8 miliar per tahun, dan memilih untuk melakukan pencatatan daripada pembukuan lengkap.

Wajib Pajak badan pada umumnya diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan yang sesuai untuk menghitung penghasilan kena pajak. Namun, pertanyaan mendasar muncul mengenai kapan dan mengapa Wajib Pajak badan akan menggunakan NPPN, mengingat kewajiban utama mereka adalah pembukuan. Sejarah peraturan perpajakan di Indonesia menunjukkan bahwa ketentuan mengenai penetapan penghasilan kena pajak secara jabatan menggunakan NPPN pada awalnya lebih berfokus pada Wajib Pajak orang pribadi.

Latar belakang ini menimbulkan pertanyaan apakah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15/PMK.03/2018 membawa perubahan atau klarifikasi terkait penerapan NPPN pada Wajib Pajak badan.  

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2018 diundangkan pada tanggal 13 Februari 2018. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kaitan antara PMK 15/PMK.03/2018 dengan penerapan NPPN oleh Wajib Pajak badan di Indonesia.

2. Isi dan Tujuan PMK 15/PMK.03/2018

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2018 terdiri dari enam pasal yang mengatur tata cara perhitungan peredaran bruto Wajib Pajak dalam kondisi tertentu. Pasal 1 menetapkan bahwa apabila Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan (termasuk yang dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan) diketahui pada saat pemeriksaan tidak atau tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban tersebut, atau tidak menunjukkan/meminjamkan pembukuan/pencatatan atau bukti pendukungnya sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak diketahui, maka peredaran bruto Wajib Pajak akan dihitung dengan cara lain.

Pasal 2 menjabarkan delapan metode alternatif yang dapat digunakan untuk menghitung peredaran bruto dalam situasi tersebut, yaitu transaksi tunai dan nontunai, sumber dan penggunaan dana, satuan dan/atau volume, penghitungan biaya hidup, pertambahan kekayaan bersih, berdasarkan Surat Pemberitahuan atau hasil pemeriksaan tahun pajak sebelumnya, proyeksi nilai ekonomi, dan penghitungan rasio.

Pasal 3 memberikan penjelasan ringkas mengenai penerapan masing-masing dari delapan metode tersebut berdasarkan data dan informasi yang tersedia. Pasal 4 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan metode-metode alternatif ini akan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 5 mengatur ketentuan peralihan, menyatakan bahwa PMK ini berlaku untuk pemeriksaan yang sedang berlangsung dan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) belum diterbitkan. Terakhir, Pasal 6 menetapkan tanggal mulai berlakunya PMK ini, yaitu pada tanggal diundangkan, 13 Februari 2018 .  

Tujuan utama diterbitkannya PMK 15/PMK.03/2018 adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan namun tidak melaksanakannya dengan benar atau tidak dapat menunjukkannya saat dilakukan pemeriksaan, sehingga peredaran bruto yang sebenarnya menjadi tidak diketahui . Regulasi ini juga diterbitkan sebagai implementasi dari ketentuan Pasal 14 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah. PMK ini dinilai memberikan dasar hukum yang jelas bagi pemeriksa pajak untuk melakukan koreksi terhadap peredaran usaha yang dilaporkan jika mereka meyakini bahwa laporan tersebut tidak akurat karena ketidakcukupan atau ketiadaan pembukuan yang memadai.

Dengan demikian, PMK ini bertujuan untuk memperkuat proses pemeriksaan pajak dengan memberikan alat yang sah bagi otoritas pajak untuk menentukan peredaran bruto dalam situasi ketidakpatuhan terhadap kewajiban pembukuan.  

3. Kaitan dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2018 secara eksplisit tidak menyebutkan istilah "Norma penghitungan penghasilan neto" (NPPN) maupun peraturan yang mengaturnya, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 . Namun, bagian "Menimbang" dari PMK ini secara jelas merujuk pada Pasal 14 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Pasal 14 ayat (5) UU PPh, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai kutipan, menyatakan bahwa bagi Wajib Pajak (termasuk Wajib Pajak badan) yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan namun tidak melakukannya, atau tidak dapat menunjukkannya saat pemeriksaan pajak, penghasilan neto mereka akan dihitung menggunakan NPPN, dan peredaran bruto mereka akan ditentukan dengan cara lain yang diatur oleh peraturan menteri keuangan. Dengan demikian, PMK 15/PMK.03/2018 merupakan peraturan menteri keuangan yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) UU PPh untuk menentukan "cara lain" dalam menghitung peredaran bruto. Peredaran bruto yang telah dihitung ini kemudian menjadi dasar untuk penerapan NPPN dalam menentukan penghasilan neto dalam skenario pemeriksaan dengan pembukuan yang tidak memadai.  

Keterkaitan antara PMK 15/PMK.03/2018 dengan penggunaan NPPN oleh Wajib Pajak badan terjadi dalam konteks pemeriksaan pajak. Ketika pemeriksaan mengungkapkan bahwa Wajib Pajak badan tidak memelihara atau tidak dapat menunjukkan pembukuan yang memadai, PMK 15/PMK.03/2018 memberikan wewenang dan metode bagi pemeriksa pajak untuk memperkirakan peredaran bruto Wajib Pajak. Setelah peredaran bruto dihitung menggunakan salah satu atau lebih dari delapan metode yang tercantum dalam PMK 15/PMK.03/2018, pemeriksa pajak kemudian akan menggunakan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang berlaku untuk sektor usaha spesifik dari Wajib Pajak badan tersebut untuk menghitung penghasilan neto.

Penghitungan ini dilakukan dengan mengalikan peredaran bruto yang diperkirakan dengan persentase NPPN yang relevan. Kutipan secara eksplisit menyatakan bahwa PMK 15/PMK.03/2018 adalah dasar hukum untuk perhitungan peredaran usaha oleh otoritas pajak dalam kasus seperti itu, sementara Perdirjen PER-17/PJ/2015 digunakan untuk menghitung penghasilan neto menggunakan NPPN. Jadi, PMK 15/PMK.03/2018 bertindak sebagai pemicu dan mekanisme untuk menentukan "basis" (peredaran bruto) yang kemudian dikenakan persentase NPPN oleh otoritas pajak selama pemeriksaan Wajib Pajak badan yang tidak patuh terhadap kewajiban pembukuan.  

4. Interpretasi Resmi dan Analisis Ahli

Artikel resmi dari situs web Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan bahwa PMK 15/PMK.03/2018 diberlakukan untuk menyediakan kerangka hukum yang jelas bagi pemeriksa pajak dalam menentukan peredaran bruto Wajib Pajak ketika pembukuan mereka tidak memadai atau tidak tersedia selama pemeriksaan pajak. Hal ini secara langsung terkait dengan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (5) UU PPh, yang mewajibkan penggunaan NPPN untuk menghitung penghasilan neto dalam situasi tersebut. Interpretasi DJP menegaskan bahwa PMK ini adalah alat pemeriksaan yang dirancang untuk mengatasi ketidakpatuhan terhadap persyaratan pembukuan dan secara tidak langsung memfasilitasi penerapan NPPN dalam kasus-kasus tersebut.

DJP menekankan bahwa Wajib Pajak badan yang dengan tekun memelihara pembukuan dan catatan yang benar seharusnya tidak terlalu khawatir tentang PMK 15/PMK.03/2018. Ini menunjukkan bahwa peraturan tersebut terutama ditujukan untuk menangani ketidakpatuhan. Kutipan dari situs web DJP, meskipun terutama membahas NPPN untuk Wajib Pajak orang pribadi, menyebutkan bahwa NPPN untuk badan usaha digunakan ketika mereka tidak sepenuhnya memelihara atau tidak bersedia menunjukkan pembukuan atau bukti pendukung mereka. Ini sejalan dengan skenario di mana PMK 15/PMK.03/2018 akan digunakan untuk menentukan peredaran bruto.  

Analisis oleh konsultan pajak secara konsisten menginterpretasikan PMK 15/PMK.03/2018 sebagai peraturan yang memberdayakan pemeriksa pajak untuk menghitung peredaran bruto Wajib Pajak badan "secara jabatan" selama pemeriksaan pajak jika Wajib Pajak gagal memberikan pembukuan yang memadai atau dapat diandalkan. Para ahli ini mengklarifikasi bahwa meskipun PMK 15/PMK.03/2018 menyediakan metode untuk menghitung peredaran bruto, perhitungan penghasilan neto selanjutnya dalam skenario pemeriksaan tersebut bergantung pada persentase NPPN yang ditentukan untuk Wajib Pajak badan dalam Perdirjen PER-17/PJ/2015 (Lampiran III). Artikel-artikel tersebut juga menyoroti kondisi spesifik di mana pemeriksa pajak dapat menggunakan PMK 15/PMK.03/2018 ketika Wajib Pajak badan tidak memelihara pembukuan, tidak sepenuhnya memeliharanya (menurut penilaian pemeriksa), atau menolak untuk menunjukkan pembukuan atau dokumen pendukung yang diperlukan untuk verifikasi peredaran bruto yang mereka laporkan.  

5. Perbandingan dengan Peraturan Sebelumnya

Sebelum diterbitkannya PMK 15/PMK.03/2018, wewenang pemeriksa pajak untuk memperkirakan peredaran bruto Wajib Pajak dalam hal tidak adanya catatan yang memadai kemungkinan besar telah ada berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), khususnya Pasal 14 ayat (5) . Namun, PMK 15/PMK.03/2018 menyediakan kerangka kerja yang lebih spesifik dan terdefinisi secara hukum tentang bagaimana perkiraan ini harus dilakukan. PMK ini secara eksplisit menyebutkan delapan metode berbeda yang dapat digunakan oleh pemeriksa pajak untuk menghitung peredaran bruto. Tingkat detail ini kemungkinan tidak ada dalam peraturan sebelumnya, yang mungkin memberikan pedoman yang lebih luas atau lebih bergantung pada diskresi pemeriksa pajak.  

Pada tahun 2013, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor SE-65/PJ/2013, yang berisi metode tidak langsung untuk pemeriksaan pajak yang serupa dengan yang ada dalam PMK 15/PMK.03/2018. PMK 15/PMK.03/2018 meningkatkan pedoman ini ke tingkat Peraturan Menteri Keuangan, memberikan bobot dan otoritas hukum yang lebih besar. Kutipan merujuk pada PMK 213/PMK.03/2018, yang mencabut beberapa keputusan menteri keuangan lama terkait pajak penghasilan. Meskipun tidak secara langsung berfokus pada perhitungan peredaran bruto selama pemeriksaan, ini menunjukkan tren yang lebih luas dalam memperbarui dan merasionalisasi peraturan perpajakan, di mana PMK 15/PMK.03/2018 dapat dilihat sebagai bagiannya.

PMK 15/PMK.03/2018 merupakan peraturan yang mengatur perhitungan alternatif peredaran bruto selama pemeriksaan pajak, menyiratkan bahwa peraturan sebelumnya mengenai aspek spesifik ini mungkin kurang rinci atau kurang mengikat secara hukum. Kutipan menyebutkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2007 mengenai pembukuan dan pencatatan. Sementara peraturan ini menguraikan kewajiban bagi Wajib Pajak, PMK 15/PMK.03/2018 membahas konsekuensinya selama pemeriksaan jika kewajiban ini tidak dipenuhi, menyediakan metodologi untuk tindakan otoritas pajak.  

6. Persyaratan dan Kondisi Penggunaan NPPN

Berdasarkan analisis peraturan dan interpretasi ahli, PMK 15/PMK.03/2018 tidak menetapkan persyaratan bagi Wajib Pajak badan untuk secara sukarela menggunakan NPPN untuk perhitungan pajak penghasilan rutin mereka. Sebaliknya, peraturan ini menguraikan prosedur bagi pemeriksa pajak untuk menerapkan NPPN (bersama dengan perkiraan peredaran bruto) ketika Wajib Pajak badan yang diperiksa gagal memenuhi kewajiban pembukuan mereka .  

Kondisi yang memicu penerapan NPPN oleh pemeriksa pajak dalam konteks PMK 15/PMK.03/2018 adalah ketika Wajib Pajak badan, selama pemeriksaan pajak:

  • Tidak memelihara pembukuan atau catatan sebagaimana diwajibkan oleh hukum.  
  • Memelihara pembukuan atau catatan yang dianggap tidak lengkap atau tidak dapat diandalkan oleh pemeriksa pajak.
  • Menolak untuk menunjukkan atau meminjamkan pembukuan, catatan, atau dokumen pendukung kepada pemeriksa pajak untuk diperiksa.  

Kutipan dari DDTCNews mengklarifikasi bahwa NPPN untuk badan usaha digunakan ketika mereka tidak sepenuhnya memelihara atau tidak bersedia menunjukkan pembukuan mereka. Jika Wajib Pajak badan yang diperiksa tidak atau tidak sepenuhnya memelihara pembukuan, atau menolak untuk menunjukkannya, penghasilan neto mereka akan dihitung menggunakan NPPN. Dengan demikian, "persyaratan" bagi Wajib Pajak badan untuk penghasilan neto mereka dihitung menggunakan NPPN dalam konteks PMK 15/PMK.03/2018 pada dasarnya adalah ketidakpatuhan terhadap peraturan pembukuan selama pemeriksaan pajak. Ini adalah konsekuensi yang dikenakan oleh otoritas pajak, bukan hak yang dilaksanakan oleh Wajib Pajak berdasarkan PMK ini.  

7. Batasan dan Pengecualian

PMK 15/PMK.03/2018 sendiri tidak menentukan batasan atau pengecualian apa pun untuk penerapan metode perhitungan peredaran bruto alternatif berdasarkan jenis usaha atau sektor industri . Metode-metode yang tercantum dalam Pasal 2 bersifat umum dan secara teoritis dapat diterapkan pada jenis usaha apa pun. Fokus PMK ini adalah pada proses memperkirakan peredaran bruto ketika catatan tidak ada, dan metodenya dirancang agar dapat diterapkan secara luas.  

Namun, persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) itu sendiri, yang terdapat dalam Lampiran III Perdirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 , bervariasi secara signifikan berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU), yang mengkategorikan usaha berdasarkan bidang operasinya. Oleh karena itu, meskipun PMK 15/PMK.03/2018 dapat diterapkan pada berbagai industri, perhitungan penghasilan neto yang dihasilkan menggunakan NPPN akan spesifik untuk sektor usaha Wajib Pajak.  

Penerapan NPPN tidak berlaku untuk penghasilan yang sudah dikenakan pajak penghasilan final berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Ini merupakan pengecualian umum untuk setiap Wajib Pajak, termasuk badan usaha, terlepas dari industrinya. Misalnya, usaha kecil tertentu mungkin dikenakan pajak final 0,5% atas peredaran bruto mereka). Dalam kasus seperti itu, bahkan jika pembukuan mereka tidak memadai selama pemeriksaan, penghasilan mereka mungkin dinilai berdasarkan rezim pajak final daripada menggunakan metode NPPN reguler.  

8. Kesimpulan dan Implikasi

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2018 pada dasarnya adalah peraturan yang memberdayakan pemeriksa pajak untuk menentukan peredaran bruto Wajib Pajak badan menggunakan metode alternatif ketika Wajib Pajak gagal memelihara atau menunjukkan pembukuan yang memadai selama pemeriksaan pajak.

PMK ini diterbitkan untuk mengimplementasikan Pasal 14 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh). PMK 15/PMK.03/2018 sendiri tidak secara langsung mengatur atau membahas persentase NPPN. Dalam konteks pemeriksaan pajak di mana PMK 15/PMK.03/2018 digunakan, peredaran bruto yang diperkirakan menggunakan metode dalam PMK ini kemudian digunakan bersama dengan persentase NPPN yang berlaku (sesuai Perdirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015, khususnya Lampiran III untuk Wajib Pajak badan) untuk menentukan penghasilan neto Wajib Pajak badan oleh pemeriksa pajak.

Penerapan NPPN pada Wajib Pajak badan dalam skenario ini dipicu oleh kegagalan mereka untuk mematuhi kewajiban pembukuan selama pemeriksaan pajak. Ini bukanlah pilihan sukarela bagi Wajib Pajak tetapi merupakan konsekuensi dari ketidakpatuhan yang ditemukan selama pemeriksaan pajak. Persentase NPPN spesifik yang digunakan akan bergantung pada klasifikasi usaha (KLU) Wajib Pajak badan sebagaimana didefinisikan dalam Perdirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015.

PMK 15/PMK.03/2018 berfungsi sebagai pengingat yang kuat bagi Wajib Pajak badan di Indonesia tentang pentingnya memelihara pembukuan dan catatan yang akurat dan lengkap sesuai dengan peraturan perpajakan. Kegagalan untuk melakukannya dapat menyebabkan pemeriksaan pajak di mana otoritas pajak memiliki dasar hukum untuk memperkirakan peredaran bruto mereka menggunakan berbagai metode, yang berpotensi menghasilkan penilaian pajak yang kurang menguntungkan.

Wajib Pajak badan harus memahami delapan metode yang diuraikan dalam PMK 15/PMK.03/2018 yang dapat digunakan oleh pemeriksa pajak untuk memperkirakan peredaran bruto mereka jika catatan mereka dianggap tidak memadai. Pemahaman ini dapat membantu mereka memastikan praktik pencatatan mereka cukup kuat untuk menghindari perkiraan tersebut. Meskipun PMK ini tidak memberikan Wajib Pajak badan pilihan umum untuk menggunakan NPPN untuk perhitungan pajak rutin mereka, mereka harus menyadari bahwa NPPN akan menjadi metode yang digunakan oleh otoritas pajak untuk menentukan penghasilan neto mereka selama pemeriksaan jika pembukuan mereka tidak mencukupi.

Oleh karena itu, memahami persentase NPPN yang relevan untuk sektor usaha mereka (KLU) dalam Perdirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tetap penting. Keberadaan PMK 15/PMK.03/2018 memperkuat komitmen otoritas pajak untuk memastikan kepatuhan pajak dan memberi mereka alat hukum yang jelas untuk mengatasi situasi di mana Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pembukuan mereka, yang pada akhirnya memengaruhi perhitungan penghasilan kena pajak mereka menggunakan NPPN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Tax Ratio Indonesia Rendah

Pendahuluan: Memahami Rasio Pajak Bagian ini memperkenalkan ko...