1. Pendahuluan
Norma
Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) merupakan metode penyederhanaan dalam
menghitung penghasilan neto, yang terutama ditujukan bagi Wajib Pajak orang
pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan batasan peredaran
bruto tertentu, saat ini ditetapkan sebesar Rp4,8 miliar per tahun, dan memilih
untuk melakukan pencatatan daripada pembukuan lengkap.
Wajib
Pajak badan pada umumnya diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan yang
sesuai untuk menghitung penghasilan kena pajak. Namun, pertanyaan mendasar
muncul mengenai kapan dan mengapa Wajib Pajak badan akan menggunakan NPPN,
mengingat kewajiban utama mereka adalah pembukuan. Sejarah peraturan perpajakan
di Indonesia menunjukkan bahwa ketentuan mengenai penetapan penghasilan kena
pajak secara jabatan menggunakan NPPN pada awalnya lebih berfokus pada Wajib
Pajak orang pribadi.
Latar
belakang ini menimbulkan pertanyaan apakah Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 15/PMK.03/2018 membawa perubahan atau klarifikasi terkait penerapan NPPN
pada Wajib Pajak badan.
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2018 diundangkan pada tanggal 13 Februari 2018.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kaitan antara PMK 15/PMK.03/2018
dengan penerapan NPPN oleh Wajib Pajak badan di Indonesia.
2.
Isi dan Tujuan PMK 15/PMK.03/2018
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2018 terdiri dari enam pasal yang mengatur
tata cara perhitungan peredaran bruto Wajib Pajak dalam kondisi tertentu. Pasal
1 menetapkan bahwa apabila Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan
atau pencatatan (termasuk yang dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan)
diketahui pada saat pemeriksaan tidak atau tidak sepenuhnya melaksanakan
kewajiban tersebut, atau tidak menunjukkan/meminjamkan pembukuan/pencatatan
atau bukti pendukungnya sehingga peredaran bruto yang sebenarnya tidak
diketahui, maka peredaran bruto Wajib Pajak akan dihitung dengan cara lain.
Pasal
2 menjabarkan delapan metode alternatif yang dapat digunakan untuk menghitung
peredaran bruto dalam situasi tersebut, yaitu transaksi tunai dan nontunai,
sumber dan penggunaan dana, satuan dan/atau volume, penghitungan biaya hidup,
pertambahan kekayaan bersih, berdasarkan Surat Pemberitahuan atau hasil
pemeriksaan tahun pajak sebelumnya, proyeksi nilai ekonomi, dan penghitungan
rasio.
Pasal
3 memberikan penjelasan ringkas mengenai penerapan masing-masing dari delapan
metode tersebut berdasarkan data dan informasi yang tersedia. Pasal 4
menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan
metode-metode alternatif ini akan diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak.
Pasal
5 mengatur ketentuan peralihan, menyatakan bahwa PMK ini berlaku untuk
pemeriksaan yang sedang berlangsung dan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan
(SPHP) belum diterbitkan. Terakhir, Pasal 6 menetapkan tanggal mulai berlakunya
PMK ini, yaitu pada tanggal diundangkan, 13 Februari 2018 .
Tujuan
utama diterbitkannya PMK 15/PMK.03/2018 adalah untuk memberikan kepastian hukum
bagi Wajib Pajak yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan atau
pencatatan namun tidak melaksanakannya dengan benar atau tidak dapat
menunjukkannya saat dilakukan pemeriksaan, sehingga peredaran bruto yang
sebenarnya menjadi tidak diketahui . Regulasi ini juga diterbitkan sebagai
implementasi dari ketentuan Pasal 14 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah. PMK ini dinilai
memberikan dasar hukum yang jelas bagi pemeriksa pajak untuk melakukan koreksi
terhadap peredaran usaha yang dilaporkan jika mereka meyakini bahwa laporan
tersebut tidak akurat karena ketidakcukupan atau ketiadaan pembukuan yang
memadai.
Dengan
demikian, PMK ini bertujuan untuk memperkuat proses pemeriksaan pajak dengan
memberikan alat yang sah bagi otoritas pajak untuk menentukan peredaran bruto
dalam situasi ketidakpatuhan terhadap kewajiban pembukuan.
3.
Kaitan dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2018 secara eksplisit tidak menyebutkan
istilah "Norma penghitungan penghasilan neto" (NPPN) maupun peraturan
yang mengaturnya, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015
. Namun, bagian "Menimbang" dari PMK ini secara jelas merujuk pada
Pasal 14 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Pasal
14 ayat (5) UU PPh, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai kutipan, menyatakan
bahwa bagi Wajib Pajak (termasuk Wajib Pajak badan) yang wajib menyelenggarakan
pembukuan atau pencatatan namun tidak melakukannya, atau tidak dapat
menunjukkannya saat pemeriksaan pajak, penghasilan neto mereka akan dihitung
menggunakan NPPN, dan peredaran bruto mereka akan ditentukan dengan cara lain
yang diatur oleh peraturan menteri keuangan. Dengan demikian, PMK
15/PMK.03/2018 merupakan peraturan menteri keuangan yang dimaksud dalam Pasal
14 ayat (5) UU PPh untuk menentukan "cara lain" dalam menghitung
peredaran bruto. Peredaran bruto yang telah dihitung ini kemudian menjadi dasar
untuk penerapan NPPN dalam menentukan penghasilan neto dalam skenario
pemeriksaan dengan pembukuan yang tidak memadai.
Keterkaitan
antara PMK 15/PMK.03/2018 dengan penggunaan NPPN oleh Wajib Pajak badan terjadi
dalam konteks pemeriksaan pajak. Ketika pemeriksaan mengungkapkan bahwa Wajib
Pajak badan tidak memelihara atau tidak dapat menunjukkan pembukuan yang
memadai, PMK 15/PMK.03/2018 memberikan wewenang dan metode bagi pemeriksa pajak
untuk memperkirakan peredaran bruto Wajib Pajak. Setelah peredaran bruto
dihitung menggunakan salah satu atau lebih dari delapan metode yang tercantum
dalam PMK 15/PMK.03/2018, pemeriksa pajak kemudian akan menggunakan persentase
Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang berlaku untuk sektor usaha
spesifik dari Wajib Pajak badan tersebut untuk menghitung penghasilan neto.
Penghitungan
ini dilakukan dengan mengalikan peredaran bruto yang diperkirakan dengan
persentase NPPN yang relevan. Kutipan secara eksplisit menyatakan bahwa PMK
15/PMK.03/2018 adalah dasar hukum untuk perhitungan peredaran usaha oleh
otoritas pajak dalam kasus seperti itu, sementara Perdirjen PER-17/PJ/2015
digunakan untuk menghitung penghasilan neto menggunakan NPPN. Jadi, PMK
15/PMK.03/2018 bertindak sebagai pemicu dan mekanisme untuk menentukan
"basis" (peredaran bruto) yang kemudian dikenakan persentase NPPN
oleh otoritas pajak selama pemeriksaan Wajib Pajak badan yang tidak patuh
terhadap kewajiban pembukuan.
4.
Interpretasi Resmi dan Analisis Ahli
Artikel
resmi dari situs web Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjelaskan bahwa PMK
15/PMK.03/2018 diberlakukan untuk menyediakan kerangka hukum yang jelas bagi
pemeriksa pajak dalam menentukan peredaran bruto Wajib Pajak ketika pembukuan
mereka tidak memadai atau tidak tersedia selama pemeriksaan pajak. Hal ini
secara langsung terkait dengan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (5) UU PPh, yang
mewajibkan penggunaan NPPN untuk menghitung penghasilan neto dalam situasi
tersebut. Interpretasi DJP menegaskan bahwa PMK ini adalah alat pemeriksaan
yang dirancang untuk mengatasi ketidakpatuhan terhadap persyaratan pembukuan
dan secara tidak langsung memfasilitasi penerapan NPPN dalam kasus-kasus
tersebut.
DJP
menekankan bahwa Wajib Pajak badan yang dengan tekun memelihara pembukuan dan
catatan yang benar seharusnya tidak terlalu khawatir tentang PMK 15/PMK.03/2018.
Ini menunjukkan bahwa peraturan tersebut terutama ditujukan untuk menangani
ketidakpatuhan. Kutipan dari situs web DJP, meskipun terutama membahas NPPN
untuk Wajib Pajak orang pribadi, menyebutkan bahwa NPPN untuk badan usaha
digunakan ketika mereka tidak sepenuhnya memelihara atau tidak bersedia
menunjukkan pembukuan atau bukti pendukung mereka. Ini sejalan dengan skenario
di mana PMK 15/PMK.03/2018 akan digunakan untuk menentukan peredaran bruto.
Analisis
oleh konsultan pajak secara konsisten menginterpretasikan PMK 15/PMK.03/2018
sebagai peraturan yang memberdayakan pemeriksa pajak untuk menghitung peredaran
bruto Wajib Pajak badan "secara jabatan" selama pemeriksaan pajak
jika Wajib Pajak gagal memberikan pembukuan yang memadai atau dapat diandalkan.
Para ahli ini mengklarifikasi bahwa meskipun PMK 15/PMK.03/2018 menyediakan
metode untuk menghitung peredaran bruto, perhitungan penghasilan neto
selanjutnya dalam skenario pemeriksaan tersebut bergantung pada persentase NPPN
yang ditentukan untuk Wajib Pajak badan dalam Perdirjen PER-17/PJ/2015
(Lampiran III). Artikel-artikel tersebut juga menyoroti kondisi spesifik di
mana pemeriksa pajak dapat menggunakan PMK 15/PMK.03/2018 ketika Wajib Pajak
badan tidak memelihara pembukuan, tidak sepenuhnya memeliharanya (menurut
penilaian pemeriksa), atau menolak untuk menunjukkan pembukuan atau dokumen
pendukung yang diperlukan untuk verifikasi peredaran bruto yang mereka laporkan.
5.
Perbandingan dengan Peraturan Sebelumnya
Sebelum
diterbitkannya PMK 15/PMK.03/2018, wewenang pemeriksa pajak untuk memperkirakan
peredaran bruto Wajib Pajak dalam hal tidak adanya catatan yang memadai
kemungkinan besar telah ada berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU
PPh), khususnya Pasal 14 ayat (5) . Namun, PMK 15/PMK.03/2018 menyediakan
kerangka kerja yang lebih spesifik dan terdefinisi secara hukum tentang
bagaimana perkiraan ini harus dilakukan. PMK ini secara eksplisit menyebutkan
delapan metode berbeda yang dapat digunakan oleh pemeriksa pajak untuk
menghitung peredaran bruto. Tingkat detail ini kemungkinan tidak ada dalam
peraturan sebelumnya, yang mungkin memberikan pedoman yang lebih luas atau
lebih bergantung pada diskresi pemeriksa pajak.
Pada
tahun 2013, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Surat Edaran (SE)
Dirjen Pajak Nomor SE-65/PJ/2013, yang berisi metode tidak langsung untuk
pemeriksaan pajak yang serupa dengan yang ada dalam PMK 15/PMK.03/2018. PMK
15/PMK.03/2018 meningkatkan pedoman ini ke tingkat Peraturan Menteri Keuangan,
memberikan bobot dan otoritas hukum yang lebih besar. Kutipan merujuk pada PMK
213/PMK.03/2018, yang mencabut beberapa keputusan menteri keuangan lama terkait
pajak penghasilan. Meskipun tidak secara langsung berfokus pada perhitungan
peredaran bruto selama pemeriksaan, ini menunjukkan tren yang lebih luas dalam
memperbarui dan merasionalisasi peraturan perpajakan, di mana PMK
15/PMK.03/2018 dapat dilihat sebagai bagiannya.
PMK
15/PMK.03/2018 merupakan peraturan yang mengatur perhitungan alternatif
peredaran bruto selama pemeriksaan pajak, menyiratkan bahwa peraturan
sebelumnya mengenai aspek spesifik ini mungkin kurang rinci atau kurang
mengikat secara hukum. Kutipan menyebutkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2011 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2007 mengenai pembukuan
dan pencatatan. Sementara peraturan ini menguraikan kewajiban bagi Wajib Pajak,
PMK 15/PMK.03/2018 membahas konsekuensinya selama pemeriksaan jika kewajiban
ini tidak dipenuhi, menyediakan metodologi untuk tindakan otoritas pajak.
6.
Persyaratan dan Kondisi Penggunaan NPPN
Berdasarkan
analisis peraturan dan interpretasi ahli, PMK 15/PMK.03/2018 tidak
menetapkan persyaratan bagi Wajib Pajak badan untuk secara sukarela menggunakan
NPPN untuk perhitungan pajak penghasilan rutin mereka. Sebaliknya,
peraturan ini menguraikan prosedur bagi pemeriksa pajak untuk menerapkan NPPN
(bersama dengan perkiraan peredaran bruto) ketika Wajib Pajak badan yang
diperiksa gagal memenuhi kewajiban pembukuan mereka .
Kondisi
yang memicu penerapan NPPN oleh pemeriksa pajak dalam konteks PMK
15/PMK.03/2018 adalah ketika Wajib Pajak badan, selama pemeriksaan pajak:
- Tidak
memelihara pembukuan atau catatan sebagaimana diwajibkan oleh hukum.
- Memelihara
pembukuan atau catatan yang dianggap tidak lengkap atau tidak dapat
diandalkan oleh pemeriksa pajak.
- Menolak
untuk menunjukkan atau meminjamkan pembukuan, catatan, atau dokumen
pendukung kepada pemeriksa pajak untuk diperiksa.
Kutipan
dari DDTCNews mengklarifikasi bahwa NPPN untuk badan usaha digunakan ketika
mereka tidak sepenuhnya memelihara atau tidak bersedia menunjukkan pembukuan
mereka. Jika Wajib Pajak badan yang diperiksa tidak atau tidak sepenuhnya
memelihara pembukuan, atau menolak untuk menunjukkannya, penghasilan neto
mereka akan dihitung menggunakan NPPN. Dengan demikian, "persyaratan"
bagi Wajib Pajak badan untuk penghasilan neto mereka dihitung menggunakan NPPN
dalam konteks PMK 15/PMK.03/2018 pada dasarnya adalah ketidakpatuhan
terhadap peraturan pembukuan selama pemeriksaan pajak. Ini adalah
konsekuensi yang dikenakan oleh otoritas pajak, bukan hak yang dilaksanakan
oleh Wajib Pajak berdasarkan PMK ini.
7.
Batasan dan Pengecualian
PMK
15/PMK.03/2018 sendiri tidak menentukan batasan atau pengecualian apa
pun untuk penerapan metode perhitungan peredaran bruto alternatif berdasarkan
jenis usaha atau sektor industri . Metode-metode yang tercantum dalam Pasal 2
bersifat umum dan secara teoritis dapat diterapkan pada jenis usaha apa pun.
Fokus PMK ini adalah pada proses memperkirakan peredaran bruto ketika catatan
tidak ada, dan metodenya dirancang agar dapat diterapkan secara luas.
Namun,
persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) itu sendiri, yang
terdapat dalam Lampiran III Perdirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 , bervariasi
secara signifikan berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU), yang
mengkategorikan usaha berdasarkan bidang operasinya. Oleh karena itu, meskipun
PMK 15/PMK.03/2018 dapat diterapkan pada berbagai industri, perhitungan
penghasilan neto yang dihasilkan menggunakan NPPN akan spesifik untuk sektor
usaha Wajib Pajak.
Penerapan
NPPN tidak berlaku untuk penghasilan yang sudah dikenakan pajak penghasilan
final berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Ini merupakan pengecualian
umum untuk setiap Wajib Pajak, termasuk badan usaha, terlepas dari industrinya.
Misalnya, usaha kecil tertentu mungkin dikenakan pajak final 0,5% atas
peredaran bruto mereka). Dalam kasus seperti itu, bahkan jika pembukuan mereka
tidak memadai selama pemeriksaan, penghasilan mereka mungkin dinilai
berdasarkan rezim pajak final daripada menggunakan metode NPPN reguler.
8.
Kesimpulan dan Implikasi
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2018 pada dasarnya adalah peraturan yang
memberdayakan pemeriksa pajak untuk menentukan peredaran bruto Wajib Pajak
badan menggunakan metode alternatif ketika Wajib Pajak gagal memelihara atau
menunjukkan pembukuan yang memadai selama pemeriksaan pajak.
PMK
ini diterbitkan untuk mengimplementasikan Pasal 14 ayat (5) Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh). PMK 15/PMK.03/2018 sendiri tidak secara langsung mengatur
atau membahas persentase NPPN. Dalam konteks pemeriksaan pajak di mana PMK
15/PMK.03/2018 digunakan, peredaran bruto yang diperkirakan menggunakan metode
dalam PMK ini kemudian digunakan bersama dengan persentase NPPN yang berlaku
(sesuai Perdirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015, khususnya Lampiran III untuk
Wajib Pajak badan) untuk menentukan penghasilan neto Wajib Pajak badan oleh
pemeriksa pajak.
Penerapan
NPPN pada Wajib Pajak badan dalam skenario ini dipicu oleh kegagalan mereka
untuk mematuhi kewajiban pembukuan selama pemeriksaan pajak. Ini bukanlah
pilihan sukarela bagi Wajib Pajak tetapi merupakan konsekuensi dari
ketidakpatuhan yang ditemukan selama pemeriksaan pajak. Persentase NPPN
spesifik yang digunakan akan bergantung pada klasifikasi usaha (KLU) Wajib
Pajak badan sebagaimana didefinisikan dalam Perdirjen Pajak Nomor
PER-17/PJ/2015.
PMK
15/PMK.03/2018 berfungsi sebagai pengingat yang kuat bagi Wajib Pajak badan di
Indonesia tentang pentingnya memelihara pembukuan dan catatan yang akurat dan
lengkap sesuai dengan peraturan perpajakan. Kegagalan untuk melakukannya dapat
menyebabkan pemeriksaan pajak di mana otoritas pajak memiliki dasar hukum untuk
memperkirakan peredaran bruto mereka menggunakan berbagai metode, yang
berpotensi menghasilkan penilaian pajak yang kurang menguntungkan.
Wajib
Pajak badan harus memahami delapan metode yang diuraikan dalam PMK
15/PMK.03/2018 yang dapat digunakan oleh pemeriksa pajak untuk memperkirakan
peredaran bruto mereka jika catatan mereka dianggap tidak memadai. Pemahaman
ini dapat membantu mereka memastikan praktik pencatatan mereka cukup kuat untuk
menghindari perkiraan tersebut. Meskipun PMK ini tidak memberikan Wajib Pajak
badan pilihan umum untuk menggunakan NPPN untuk perhitungan pajak rutin mereka,
mereka harus menyadari bahwa NPPN akan menjadi metode yang digunakan oleh
otoritas pajak untuk menentukan penghasilan neto mereka selama pemeriksaan jika
pembukuan mereka tidak mencukupi.
Oleh
karena itu, memahami persentase NPPN yang relevan untuk sektor usaha mereka
(KLU) dalam Perdirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tetap penting. Keberadaan PMK
15/PMK.03/2018 memperkuat komitmen otoritas pajak untuk memastikan kepatuhan
pajak dan memberi mereka alat hukum yang jelas untuk mengatasi situasi di mana
Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pembukuan mereka, yang pada akhirnya
memengaruhi perhitungan penghasilan kena pajak mereka menggunakan NPPN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar