Asas keadilan merupakan jiwa dari setiap proses peradilan, termasuk peradilan pajak. Hukum acara peradilan pajak di Indonesia dirancang dengan berbagai ketentuan yang bertujuan untuk menjamin perlakuan yang adil bagi para pihak yang bersengketa, terutama bagi Wajib Pajak (WP) atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap tindakan atau keputusan otoritas pajak.
A. Hak-Hak Prosedural Para
Pihak
Perwujudan keadilan prosedural
tercermin dalam pengakuan dan jaminan terhadap hak-hak para pihak selama proses
penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak:
- Hak Mengajukan Upaya Hukum:
Inti dari akses terhadap keadilan (access to justice) di Pengadilan
Pajak adalah hak WP atau penanggung pajak untuk mengajukan Banding
terhadap Surat Keputusan Keberatan atau Gugatan terhadap pelaksanaan
penagihan pajak atau keputusan lainnya yang merugikan. Hak ini merupakan
sarana fundamental bagi pencari keadilan untuk memperjuangkan haknya di
hadapan badan peradilan. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 secara eksplisit
menyebut Pengadilan Pajak sebagai tempat bagi WP mencari keadilan.
- Hak Didampingi atau Diwakili Kuasa Hukum:
Para pihak yang bersengketa berhak untuk didampingi atau diwakili oleh
satu atau lebih kuasa hukum dengan surat kuasa khusus (Pasal 34 UU No. 14
Tahun 2002). Persyaratan untuk menjadi kuasa hukum diatur lebih lanjut,
termasuk kewajiban memiliki izin dari Ketua Pengadilan Pajak. Hak ini
penting untuk memastikan WP, terutama yang awam hukum, dapat
memperjuangkan kepentingannya secara efektif.
- Hak untuk Didengar (Audi Et Alteram
Partem): Asas fundamental ini diwujudkan melalui
ketentuan yang memungkinkan para pihak, baik pemohon Banding/penggugat
maupun terbanding/tergugat, untuk dipanggil dan memberikan keterangan
lisan di persidangan (Pasal 53 UU No. 14 Tahun 2002). Para pihak juga berhak
menyampaikan argumen dan bantahan secara tertulis (misalnya melalui Surat
Uraian Banding/Tanggapan dan Surat Bantahan).
- Hak Mengajukan Bukti dan Saksi:
Keadilan dalam pembuktian dijamin dengan memberikan hak kepada para pihak
untuk mengajukan alat bukti (surat/tulisan, keterangan ahli, saksi,
pengakuan) guna mendukung dalil-dalilnya, sesuai ketentuan Pasal 69 hingga
Pasal 76 UU No. 14 Tahun 2002.
- Hak atas Pemeriksaan Terbuka: Prinsip
publisitas sidang dijamin melalui Pasal 50 ayat (1) UU No. 14 Tahun
2002 yang menyatakan bahwa Hakim Ketua membuka sidang dan menyatakannya
terbuka untuk umum. Keterbukaan ini penting untuk akuntabilitas dan
transparansi peradilan.
- Hak Mendapatkan Salinan Putusan:
Para pihak berhak untuk menerima salinan putusan Pengadilan Pajak dalam
jangka waktu yang ditentukan (Pasal 88 UU No. 14 Tahun 2002) , agar
mengetahui hasil akhir sengketa dan dasar pertimbangannya.
B. Pembuktian yang Adil (Asas
Pembuktian Bebas)
Sistem pembuktian di
Pengadilan Pajak menganut asas pembuktian bebas (vrij bewijs), yang
memberikan fleksibilitas kepada hakim demi tercapainya keadilan materiil:
- Kewenangan Hakim:
Pasal 76 UU No. 14 Tahun 2002 memberikan kewenangan luas kepada hakim
untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, siapa yang memikul beban
pembuktian (termasuk kemungkinan penerapan beban pembuktian terbalik),
serta bagaimana menilai kekuatan pembuktian dari alat bukti yang diajukan.
- Fokus pada Kebenaran Materiil:
Berbeda dengan hukum acara perdata yang cenderung formalistik, asas
pembuktian bebas memungkinkan hakim untuk tidak terikat secara kaku pada
aturan pembuktian tertentu, melainkan lebih fokus pada upaya menemukan
kebenaran substantif dalam sengketa pajak.
- Syarat Minimal Pembuktian:
Meskipun bebas, pembuktian tetap harus memenuhi syarat minimal. Putusan
Pengadilan Pajak harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah dan meyakinkan hakim (Pasal 76, 78 UU No. 14 Tahun 2002). Alat
bukti yang diakui meliputi surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan
saksi, pengakuan para pihak, dan pengetahuan hakim (Pasal 69).
C. Peran Aktif Hakim (Asas
Keaktifan Hakim/Dominus Litis)
Untuk memastikan keadilan
terwujud, hakim di Pengadilan Pajak tidak bersikap pasif, melainkan berperan
aktif dalam mengarahkan jalannya persidangan (dominus litis):
- Memimpin dan Mengklarifikasi:
Hakim Ketua aktif membuka sidang, menjelaskan pokok sengketa kepada para
pihak, dan mengajukan pertanyaan untuk mengklarifikasi duduk perkara
(Pasal 54 UU No. 14 Tahun 2002).
- Memanggil Saksi:
Hakim Ketua, baik atas permintaan salah satu pihak maupun karena
jabatannya, dapat memerintahkan saksi untuk hadir dan memberikan
keterangan (Pasal 59 UU No. 14 Tahun 2002).
- Menyaring Pertanyaan:
Pertanyaan kepada saksi dari para pihak disampaikan melalui Hakim Ketua,
yang berwenang menolak pertanyaan yang dianggap tidak relevan dengan
sengketa (Pasal 60 UU No. 14 Tahun 2002).
- Menggali Fakta:
Hakim tidak terikat semata-mata pada dalil atau alasan yang diajukan para
pihak. Hakim dapat secara aktif menggali fakta dan bukti lain yang relevan
untuk memastikan putusan didasarkan pada keadaan yang sebenarnya demi
mencapai keadilan substantif.
D. Putusan yang Berdasarkan
Hukum dan Keadilan
Puncak dari proses peradilan
adalah putusan. Hukum acara peradilan pajak menghendaki agar putusan yang
dihasilkan mencerminkan keadilan:
- Dasar Pengambilan Putusan:
Pasal 78 UU No. 14 Tahun 2002 menegaskan bahwa putusan diambil berdasarkan
hasil penilaian pembuktian, peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku, serta keyakinan hakim. Kombinasi antara bukti objektif, dasar
hukum normatif, dan keyakinan hakim (yang terbentuk dari keseluruhan
proses persidangan) diharapkan menghasilkan putusan yang adil.
- Pertimbangan Hukum yang Jelas:
Putusan wajib memuat ringkasan Banding/Gugatan, ringkasan Surat Uraian
Banding/Tanggapan/Bantahan, pertimbangan dan penilaian setiap bukti, pokok
sengketa, alasan hukum yang menjadi dasar putusan, serta amar putusan
(Pasal 84 UU No. 14 Tahun 2002). Pertimbangan hukum yang jelas dan logis
merupakan elemen penting dari putusan yang adil dan akuntabel.
- Orientasi Keadilan Substantif:
Putusan Pengadilan Pajak diharapkan tidak hanya sekadar menerapkan hukum
secara formal, tetapi juga mewujudkan keadilan substantif yang
proporsional, yakni keseimbangan antara keadilan itu sendiri, kepastian
hukum, dan kemanfaatan.
E. Tantangan terhadap
Keadilan: Sanksi Denda Keberatan/Banding
Salah satu isu paling
kontroversial yang berpotensi mencederai asas keadilan dalam hukum acara
perpajakan adalah pengenaan sanksi administrasi berupa denda terhadap WP yang
mengajukan keberatan atau banding, namun permohonannya ditolak atau hanya
dikabulkan sebagian. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27
ayat (5d) UU KUP. Sebelum UU HPP (UU No. 7 Tahun 2021), denda yang dikenakan
adalah 50% untuk keberatan dan 100% untuk banding. UU HPP kemudian menurunkan
tarif denda ini menjadi 30% untuk keberatan dan 60% untuk banding.
Meskipun tarifnya telah
diturunkan, keberadaan sanksi denda ini tetap menjadi perdebatan dari sudut
pandang keadilan. Argumen utama yang menentang sanksi ini adalah bahwa ia
secara efektif menghukum WP karena menggunakan hak hukumnya untuk mencari
keadilan. WP yang mungkin memiliki alasan yang sah dan itikad baik untuk
mengajukan keberatan atau banding, namun akhirnya kalah (yang bisa jadi
disebabkan oleh kompleksitas peraturan, perbedaan interpretasi, atau bahkan
potensi kekurangan dalam proses pemeriksaan/peradilan itu sendiri ), tetap
dikenai denda. Hal ini dianggap sebagai penghalang bagi akses terhadap keadilan
(barrier to access to justice) dan tidak proporsional. Pemohon dalam
pengujian UU KUP ke Mahkamah Konstitusi bahkan merasa haknya terhalangi oleh
ketentuan denda ini.
Pengenaan sanksi denda ini
merefleksikan adanya ketegangan inheren antara upaya melindungi hak WP untuk
mencari keadilan (Asas Keadilan) dengan kepentingan negara untuk memastikan
efisiensi pemungutan pajak, mencegah upaya hukum yang dianggap tidak serius,
dan memberikan efek jera (Asas Kemanfaatan dari perspektif fiskal dan
administratif). Penurunan tarif denda oleh UU HPP dapat dilihat sebagai upaya
kompromi, mengakui sebagian kritik terhadap aspek keadilan, namun tetap
mempertahankan mekanisme sanksi untuk melindungi kepentingan negara. Namun,
pertanyaan mendasar mengenai apakah pengenaan denda (bukan bunga keterlambatan,
misalnya) atas penggunaan hak hukum itu sendiri sudah sejalan dengan prinsip
keadilan fundamental tetap relevan.
F. Tantangan terhadap
Keadilan: Independensi Kelembagaan (Historis & Pasca-MK)
Aspek kelembagaan juga sangat
berpengaruh terhadap perwujudan keadilan. Sebelum Putusan MK No.
26/PUU-XXI/2023, Pengadilan Pajak berada dalam posisi unik dengan pembinaan
ganda: pembinaan teknis peradilan oleh Mahkamah Agung (MA), sementara pembinaan
organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) (Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 sebelum putusan MK).
Struktur dualisme ini menuai
banyak kritik karena dianggap rentan mengganggu independensi dan imparsialitas
Pengadilan Pajak. Kemenkeu, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atau
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), merupakan pihak yang seringkali
menjadi terbanding atau tergugat dalam sengketa di Pengadilan Pajak.
Keterlibatan Kemenkeu dalam pembinaan aspek non-teknis Pengadilan Pajak
dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik kepentingan dan mempengaruhi
objektivitas putusan, sehingga berpotensi merugikan WP sebagai pencari
keadilan.
Putusan MK No. 26/PUU-XXI/2023
yang mengalihkan seluruh pembinaan Pengadilan Pajak (termasuk organisasi,
administrasi, dan keuangan) ke bawah Mahkamah Agung, yang harus dilaksanakan
secara bertahap selambat-lambatnya 31 Desember 2026, merupakan langkah signifikan
untuk mengatasi isu independensi ini. Penyatuan pembinaan di bawah MA
diharapkan dapat memperkuat independensi Pengadilan Pajak dari pengaruh
eksekutif (Kemenkeu) dan menempatkannya secara lebih kokoh dalam sistem
kekuasaan kehakiman, sejalan dengan prinsip negara hukum dan peradilan yang
merdeka. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik dan para
pencari keadilan terhadap integritas dan keadilan putusan Pengadilan Pajak di
masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar