Kamis, 17 April 2025

Penerapan Asas Keadilan dalam Hukum Acara Peradilan Pajak

Asas keadilan merupakan jiwa dari setiap proses peradilan, termasuk peradilan pajak. Hukum acara peradilan pajak di Indonesia dirancang dengan berbagai ketentuan yang bertujuan untuk menjamin perlakuan yang adil bagi para pihak yang bersengketa, terutama bagi Wajib Pajak (WP) atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap tindakan atau keputusan otoritas pajak.

A. Hak-Hak Prosedural Para Pihak

Perwujudan keadilan prosedural tercermin dalam pengakuan dan jaminan terhadap hak-hak para pihak selama proses penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak:

  1. Hak Mengajukan Upaya Hukum: Inti dari akses terhadap keadilan (access to justice) di Pengadilan Pajak adalah hak WP atau penanggung pajak untuk mengajukan Banding terhadap Surat Keputusan Keberatan atau Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan lainnya yang merugikan. Hak ini merupakan sarana fundamental bagi pencari keadilan untuk memperjuangkan haknya di hadapan badan peradilan. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 secara eksplisit menyebut Pengadilan Pajak sebagai tempat bagi WP mencari keadilan.  
  2. Hak Didampingi atau Diwakili Kuasa Hukum: Para pihak yang bersengketa berhak untuk didampingi atau diwakili oleh satu atau lebih kuasa hukum dengan surat kuasa khusus (Pasal 34 UU No. 14 Tahun 2002). Persyaratan untuk menjadi kuasa hukum diatur lebih lanjut, termasuk kewajiban memiliki izin dari Ketua Pengadilan Pajak. Hak ini penting untuk memastikan WP, terutama yang awam hukum, dapat memperjuangkan kepentingannya secara efektif.  
  3. Hak untuk Didengar (Audi Et Alteram Partem): Asas fundamental ini diwujudkan melalui ketentuan yang memungkinkan para pihak, baik pemohon Banding/penggugat maupun terbanding/tergugat, untuk dipanggil dan memberikan keterangan lisan di persidangan (Pasal 53 UU No. 14 Tahun 2002). Para pihak juga berhak menyampaikan argumen dan bantahan secara tertulis (misalnya melalui Surat Uraian Banding/Tanggapan dan Surat Bantahan).  
  4. Hak Mengajukan Bukti dan Saksi: Keadilan dalam pembuktian dijamin dengan memberikan hak kepada para pihak untuk mengajukan alat bukti (surat/tulisan, keterangan ahli, saksi, pengakuan) guna mendukung dalil-dalilnya, sesuai ketentuan Pasal 69 hingga Pasal 76 UU No. 14 Tahun 2002.  
  5. Hak atas Pemeriksaan Terbuka: Prinsip publisitas sidang dijamin melalui Pasal 50 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa Hakim Ketua membuka sidang dan menyatakannya terbuka untuk umum. Keterbukaan ini penting untuk akuntabilitas dan transparansi peradilan.  
  6. Hak Mendapatkan Salinan Putusan: Para pihak berhak untuk menerima salinan putusan Pengadilan Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan (Pasal 88 UU No. 14 Tahun 2002) , agar mengetahui hasil akhir sengketa dan dasar pertimbangannya.  

B. Pembuktian yang Adil (Asas Pembuktian Bebas)

Sistem pembuktian di Pengadilan Pajak menganut asas pembuktian bebas (vrij bewijs), yang memberikan fleksibilitas kepada hakim demi tercapainya keadilan materiil:

  1. Kewenangan Hakim: Pasal 76 UU No. 14 Tahun 2002 memberikan kewenangan luas kepada hakim untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, siapa yang memikul beban pembuktian (termasuk kemungkinan penerapan beban pembuktian terbalik), serta bagaimana menilai kekuatan pembuktian dari alat bukti yang diajukan.  
  2. Fokus pada Kebenaran Materiil: Berbeda dengan hukum acara perdata yang cenderung formalistik, asas pembuktian bebas memungkinkan hakim untuk tidak terikat secara kaku pada aturan pembuktian tertentu, melainkan lebih fokus pada upaya menemukan kebenaran substantif dalam sengketa pajak.  
  3. Syarat Minimal Pembuktian: Meskipun bebas, pembuktian tetap harus memenuhi syarat minimal. Putusan Pengadilan Pajak harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan meyakinkan hakim (Pasal 76, 78 UU No. 14 Tahun 2002). Alat bukti yang diakui meliputi surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan pengetahuan hakim (Pasal 69).  

C. Peran Aktif Hakim (Asas Keaktifan Hakim/Dominus Litis)

Untuk memastikan keadilan terwujud, hakim di Pengadilan Pajak tidak bersikap pasif, melainkan berperan aktif dalam mengarahkan jalannya persidangan (dominus litis):

  1. Memimpin dan Mengklarifikasi: Hakim Ketua aktif membuka sidang, menjelaskan pokok sengketa kepada para pihak, dan mengajukan pertanyaan untuk mengklarifikasi duduk perkara (Pasal 54 UU No. 14 Tahun 2002).  
  2. Memanggil Saksi: Hakim Ketua, baik atas permintaan salah satu pihak maupun karena jabatannya, dapat memerintahkan saksi untuk hadir dan memberikan keterangan (Pasal 59 UU No. 14 Tahun 2002).  
  3. Menyaring Pertanyaan: Pertanyaan kepada saksi dari para pihak disampaikan melalui Hakim Ketua, yang berwenang menolak pertanyaan yang dianggap tidak relevan dengan sengketa (Pasal 60 UU No. 14 Tahun 2002).  
  4. Menggali Fakta: Hakim tidak terikat semata-mata pada dalil atau alasan yang diajukan para pihak. Hakim dapat secara aktif menggali fakta dan bukti lain yang relevan untuk memastikan putusan didasarkan pada keadaan yang sebenarnya demi mencapai keadilan substantif.  

D. Putusan yang Berdasarkan Hukum dan Keadilan

Puncak dari proses peradilan adalah putusan. Hukum acara peradilan pajak menghendaki agar putusan yang dihasilkan mencerminkan keadilan:

  1. Dasar Pengambilan Putusan: Pasal 78 UU No. 14 Tahun 2002 menegaskan bahwa putusan diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, serta keyakinan hakim. Kombinasi antara bukti objektif, dasar hukum normatif, dan keyakinan hakim (yang terbentuk dari keseluruhan proses persidangan) diharapkan menghasilkan putusan yang adil.  
  2. Pertimbangan Hukum yang Jelas: Putusan wajib memuat ringkasan Banding/Gugatan, ringkasan Surat Uraian Banding/Tanggapan/Bantahan, pertimbangan dan penilaian setiap bukti, pokok sengketa, alasan hukum yang menjadi dasar putusan, serta amar putusan (Pasal 84 UU No. 14 Tahun 2002). Pertimbangan hukum yang jelas dan logis merupakan elemen penting dari putusan yang adil dan akuntabel.  
  3. Orientasi Keadilan Substantif: Putusan Pengadilan Pajak diharapkan tidak hanya sekadar menerapkan hukum secara formal, tetapi juga mewujudkan keadilan substantif yang proporsional, yakni keseimbangan antara keadilan itu sendiri, kepastian hukum, dan kemanfaatan.  

E. Tantangan terhadap Keadilan: Sanksi Denda Keberatan/Banding

Salah satu isu paling kontroversial yang berpotensi mencederai asas keadilan dalam hukum acara perpajakan adalah pengenaan sanksi administrasi berupa denda terhadap WP yang mengajukan keberatan atau banding, namun permohonannya ditolak atau hanya dikabulkan sebagian. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP. Sebelum UU HPP (UU No. 7 Tahun 2021), denda yang dikenakan adalah 50% untuk keberatan dan 100% untuk banding. UU HPP kemudian menurunkan tarif denda ini menjadi 30% untuk keberatan dan 60% untuk banding.  

Meskipun tarifnya telah diturunkan, keberadaan sanksi denda ini tetap menjadi perdebatan dari sudut pandang keadilan. Argumen utama yang menentang sanksi ini adalah bahwa ia secara efektif menghukum WP karena menggunakan hak hukumnya untuk mencari keadilan. WP yang mungkin memiliki alasan yang sah dan itikad baik untuk mengajukan keberatan atau banding, namun akhirnya kalah (yang bisa jadi disebabkan oleh kompleksitas peraturan, perbedaan interpretasi, atau bahkan potensi kekurangan dalam proses pemeriksaan/peradilan itu sendiri ), tetap dikenai denda. Hal ini dianggap sebagai penghalang bagi akses terhadap keadilan (barrier to access to justice) dan tidak proporsional. Pemohon dalam pengujian UU KUP ke Mahkamah Konstitusi bahkan merasa haknya terhalangi oleh ketentuan denda ini.  

Pengenaan sanksi denda ini merefleksikan adanya ketegangan inheren antara upaya melindungi hak WP untuk mencari keadilan (Asas Keadilan) dengan kepentingan negara untuk memastikan efisiensi pemungutan pajak, mencegah upaya hukum yang dianggap tidak serius, dan memberikan efek jera (Asas Kemanfaatan dari perspektif fiskal dan administratif). Penurunan tarif denda oleh UU HPP dapat dilihat sebagai upaya kompromi, mengakui sebagian kritik terhadap aspek keadilan, namun tetap mempertahankan mekanisme sanksi untuk melindungi kepentingan negara. Namun, pertanyaan mendasar mengenai apakah pengenaan denda (bukan bunga keterlambatan, misalnya) atas penggunaan hak hukum itu sendiri sudah sejalan dengan prinsip keadilan fundamental tetap relevan.  

F. Tantangan terhadap Keadilan: Independensi Kelembagaan (Historis & Pasca-MK)

Aspek kelembagaan juga sangat berpengaruh terhadap perwujudan keadilan. Sebelum Putusan MK No. 26/PUU-XXI/2023, Pengadilan Pajak berada dalam posisi unik dengan pembinaan ganda: pembinaan teknis peradilan oleh Mahkamah Agung (MA), sementara pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) (Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2002 sebelum putusan MK).  

Struktur dualisme ini menuai banyak kritik karena dianggap rentan mengganggu independensi dan imparsialitas Pengadilan Pajak. Kemenkeu, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), merupakan pihak yang seringkali menjadi terbanding atau tergugat dalam sengketa di Pengadilan Pajak. Keterlibatan Kemenkeu dalam pembinaan aspek non-teknis Pengadilan Pajak dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik kepentingan dan mempengaruhi objektivitas putusan, sehingga berpotensi merugikan WP sebagai pencari keadilan.  

Putusan MK No. 26/PUU-XXI/2023 yang mengalihkan seluruh pembinaan Pengadilan Pajak (termasuk organisasi, administrasi, dan keuangan) ke bawah Mahkamah Agung, yang harus dilaksanakan secara bertahap selambat-lambatnya 31 Desember 2026, merupakan langkah signifikan untuk mengatasi isu independensi ini. Penyatuan pembinaan di bawah MA diharapkan dapat memperkuat independensi Pengadilan Pajak dari pengaruh eksekutif (Kemenkeu) dan menempatkannya secara lebih kokoh dalam sistem kekuasaan kehakiman, sejalan dengan prinsip negara hukum dan peradilan yang merdeka. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik dan para pencari keadilan terhadap integritas dan keadilan putusan Pengadilan Pajak di masa depan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Tax Ratio Indonesia Rendah

Pendahuluan: Memahami Rasio Pajak Bagian ini memperkenalkan ko...