I. Pendahuluan
Negara Republik Indonesia,
sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang adil, sejahtera, aman,
tenteram, dan tertib. Pencapaian tujuan ini memerlukan pembangunan nasional
yang berkelanjutan dan merata, yang pembiayaannya sangat bergantung pada sumber
penerimaan negara, terutama dari sektor perpajakan. Seiring dengan meningkatnya
jumlah Wajib Pajak dan pemahaman mereka akan hak serta kewajiban perpajakan,
timbulnya Sengketa Pajak menjadi hal yang tidak terhindarkan. Sengketa ini,
yang pada intinya merupakan perselisihan antara Wajib Pajak atau penanggung
Pajak dengan pejabat yang berwenang (Direktorat Jenderal Pajak - DJP) sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan ,
memerlukan mekanisme penyelesaian yang adil, cepat, murah, dan sederhana.
Untuk menjawab kebutuhan
tersebut, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU
Pengadilan Pajak) membentuk Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan khusus
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak
yang mencari keadilan. Pengadilan Pajak diharapkan mampu menciptakan keadilan (keadilan)
dan kepastian hukum (kepastian hukum) dalam penyelesaian Sengketa Pajak,
menggantikan peran Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang sebelumnya
tidak berada di bawah Mahkamah Agung. Keberadaan Pengadilan Pajak menjadi
krusial dalam menjaga keseimbangan antara hak Wajib Pajak dan kewenangan negara
dalam pemungutan pajak.
Dalam kerangka hukum acara,
terdapat berbagai asas fundamental yang menopang jalannya peradilan. Salah satu
asas penting adalah Litis Finiri Oportet, sebuah adagium Latin
yang secara harfiah berarti "setiap perkara harus ada akhirnya".
Asas ini mengandung makna bahwa suatu proses hukum tidak dapat dibiarkan
berlarut-larut tanpa penyelesaian yang pasti. Prinsip ini merupakan fondasi
penting dalam teori hukum umum, yang bertujuan memberikan kepastian dan
ketertiban dalam proses peradilan, mencegah litigasi yang tak berkesudahan,
serta memberikan penutupan bagi para pihak yang bersengketa. Tanpa adanya
finalitas, proses hukum dapat kehilangan efektivitasnya dan menimbulkan
ketidakpastian yang meresahkan.
Tulisan ini bertujuan untuk
menyajikan analisis hukum yang mendalam dan komprehensif mengenai peran,
signifikansi, penerapan, serta implikasi dari Asas Litis Finiri Oportet
secara spesifik dalam konteks sistem penyelesaian sengketa pajak di Indonesia.
Analisis akan difokuskan pada kerangka hukum acara Pengadilan Pajak sebagaimana
diatur dalam UU Pengadilan Pajak dan peraturan terkait lainnya, serta didukung
oleh yurisprudensi yang relevan.
II. Definisi dan Makna Hukum
Asas Litis Finiri Oportet di Indonesia
A. Definisi Umum dan Filosofis
Asas Litis Finiri Oportet
merupakan sebuah adagium atau maksim hukum yang berasal dari
bahasa Latin, yang secara universal dipahami sebagai prinsip bahwa "setiap
perkara harus ada akhirnya". Secara bahasa, asas ini mengamanatkan bahwa
setiap sengketa atau perkara hukum yang diajukan ke pengadilan harus mencapai
suatu titik penyelesaian akhir.
Secara filosofis, asas ini
berakar pada kebutuhan fundamental akan ketertiban dan prediktabilitas dalam
masyarakat. Proses hukum yang tidak berkesudahan akan menimbulkan
ketidakpastian, menguras sumber daya para pihak, dan berpotensi mengganggu
stabilitas sosial. Dengan menetapkan bahwa setiap perkara harus berakhir,
sistem hukum memberikan penutupan (closure) bagi pihak yang bersengketa,
memungkinkan mereka untuk melanjutkan kehidupan atau kegiatan usaha mereka
tanpa dibayangi oleh proses hukum yang tak kunjung usai. Ketiadaan finalitas
dapat menyebabkan proses peradilan menjadi tidak efektif dan bahkan bertentangan
dengan tujuan hukum itu sendiri.
B. Makna dalam Konteks Hukum
Indonesia
Prinsip Litis Finiri
Oportet diakui dan diterapkan dalam berbagai cabang hukum di Indonesia,
menunjukkan universalitasnya dalam sistem hukum nasional.
- Hukum Perdata:
Dalam perkara perdata, asas ini ditegakkan untuk memastikan bahwa sengketa
keperdataan, seperti sengketa kepemilikan atau wanprestasi, tidak diajukan
berulang kali setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini
mencegah penyalahgunaan proses hukum dan memberikan kepastian atas hak-hak
perdata para pihak.
- Hukum Pidana:
Asas ini juga relevan dalam hukum acara pidana, meskipun penerapannya
seringkali menimbulkan diskursus yang lebih kompleks, terutama terkait
upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK). Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan pembatasan PK hanya satu
kali dalam KUHAP menunjukkan adanya pertimbangan bahwa asas keadilan (justice)
terkadang dapat mengesampingkan penerapan kaku Litis Finiri Oportet
demi melindungi hak terpidana dan mencari kebenaran materiil. Namun,
Mahkamah Agung melalui SEMA No. 7 Tahun 2014 berusaha menegakkan kembali
prinsip finalitas dengan membatasi PK. Perdebatan ini menyoroti ketegangan
inheren antara finalitas dan pencarian keadilan dalam konteks pidana.
- Hukum Tata Usaha Negara (TUN):
Dalam sengketa TUN, asas ini juga berperan dalam memastikan bahwa
keputusan pejabat TUN yang telah diuji dan diputus oleh pengadilan
memiliki kekuatan hukum yang pasti, mencegah ketidakstabilan dalam
administrasi pemerintahan.
Di semua cabang hukum ini, Asas
Litis Finiri Oportet secara inheren terhubung dengan prinsip Kepastian
Hukum (legal certainty).
C. Keterkaitan Erat dengan
Kepastian Hukum
Hubungan antara Asas Litis
Finiri Oportet dan Kepastian Hukum sangatlah erat dan fundamental.
Kepastian hukum, yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ("Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil...") , merupakan
salah satu tujuan utama hukum, di samping keadilan dan kemanfaatan.
Asas Litis Finiri
Oportet berfungsi sebagai instrumen vital untuk
mewujudkan kepastian hukum tersebut. Dengan memastikan bahwa
setiap perkara memiliki akhir yang definitif, asas ini menciptakan kondisi di
mana hak dan kewajiban para pihak menjadi jelas dan tidak lagi ambigu setelah
putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Tanpa finalitas, status hukum suatu
sengketa akan terus mengambang, merusak prediktabilitas yang esensial bagi
individu, pelaku usaha, dan pemerintah dalam merencanakan tindakan mereka.
Meskipun keadilan juga merupakan tujuan hukum yang sangat penting , dalam
konteks-konteks tertentu seperti administrasi perpajakan, di mana stabilitas
dan prediktabilitas penerimaan negara menjadi krusial, penekanan pada kepastian
hukum melalui Litis Finiri Oportet seringkali lebih dominan. Hal ini
menjadi dasar pemahaman mengapa mekanisme pengecualian seperti PK dalam
sengketa pajak diatur secara lebih ketat.
D. Peran Ganda Asas
Penting untuk dipahami bahwa Asas
Litis Finiri Oportet tidak hanya berfungsi sebagai penanda akhir suatu
proses peradilan. Lebih dari itu, asas ini juga beroperasi sebagai suatu
ekspektasi normatif yang membentuk perilaku para aktor hukum (hakim,
legislator, para pihak) dan desain sistem hukum itu sendiri. Prinsip
"setiap perkara harus ada akhirnya" mengandung dimensi preskriptif
(perkara seharusnya berakhir) selain dimensi deskriptif (perkara pada
akhirnya akan berakhir).
Ekspektasi normatif ini
termanifestasi dalam perancangan peraturan perundang-undangan, seperti UU
Pengadilan Pajak yang secara eksplisit mengatur batas waktu pengajuan upaya
hukum dan menetapkan finalitas putusan pada tingkat Pengadilan Pajak. Di
sisi lain, asas ini juga memandu perilaku yudisial. Keputusan Mahkamah Agung
yang menolak permohonan PK kedua dalam sengketa pajak merupakan contoh nyata
bagaimana hakim secara aktif menegakkan prinsip ini untuk mencapai finalitas.
Dengan demikian, Litis Finiri Oportet bekerja pada dua level: sebagai elemen
struktural yang membentuk prosedur hukum dan sebagai pedoman normatif
yang mengarahkan para pelaku hukum menuju penyelesaian akhir suatu perkara.
III. Penerapan Asas Litis
Finiri Oportet dalam Sistem Penyelesaian Sengketa Pajak
Penerapan Asas Litis Finiri
Oportet dalam sistem penyelesaian sengketa pajak di Indonesia sangat jelas
termanifestasi dalam ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak. UU ini secara sadar dirancang untuk menciptakan
mekanisme penyelesaian sengketa pajak yang tidak hanya adil, tetapi juga cepat,
murah, dan sederhana, di mana finalitas menjadi elemen kunci.
A. Manifestasi dalam
Undang-Undang Pengadilan Pajak (UU No. 14 Tahun 2002)
Beberapa pasal kunci dalam UU
Pengadilan Pajak secara eksplisit mencerminkan dan mengoperasionalkan Asas
Litis Finiri Oportet:
- Pasal 33 ayat (1) UU 14/2002:
Pasal ini menyatakan, "Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan
tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa
Pajak". Ketentuan ini secara fundamental menetapkan posisi
Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan menjadikannya pengadilan
tingkat pertama dan terakhir untuk sebagian besar sengketa
pajak (kecuali untuk PK), pasal ini secara langsung mewujudkan prinsip
bahwa perkara pajak harus menemukan akhirnya di Pengadilan Pajak,
membatasi jenjang peradilan standar.
- Pasal 77 ayat (1) UU 14/2002:
Pasal ini menegaskan, "Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan
akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap". Pernyataan ini secara
lugas mendeklarasikan sifat final (inkracht van gewijsde)
dari putusan Pengadilan Pajak. Artinya, setelah putusan diucapkan dan
tidak diajukan PK (atau permohonan PK ditolak), putusan tersebut mengikat
secara hukum dan tidak dapat diganggu gugat melalui upaya hukum biasa.
- Pasal 80 ayat (2) UU 14/2002:
Untuk lebih memperkuat finalitas, pasal ini menyatakan, "Terhadap
putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat lagi diajukan
Gugatan, Banding, atau Kasasi". Ketentuan ini secara eksplisit menutup
jalur upaya hukum biasa seperti banding (ke pengadilan yang lebih
tinggi dari Pengadilan Pajak) dan kasasi ke Mahkamah Agung, yang umumnya
tersedia dalam sistem peradilan lain. Pengecualian satu-satunya adalah
upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK).
Secara kolektif, pasal-pasal
ini menciptakan suatu rezim hukum acara khusus untuk penyelesaian sengketa
pajak yang dirancang demi tercapainya penyelesaian yang cepat dan pasti,
sejalan dengan tujuan pembentukan Pengadilan Pajak.
B. Pembatasan Upaya Hukum
Lanjutan
Struktur yang dibangun oleh UU
Pengadilan Pajak, dengan menempatkan Pengadilan Pajak sebagai judex facti
sekaligus judex juris pada tingkat pertama dan terakhir, serta
secara tegas melarang upaya hukum kasasi (kecuali PK), merupakan implementasi
langsung dari Asas Litis Finiri Oportet. Hal ini berbeda secara
signifikan dengan prosedur hukum acara perdata atau pidana umum di Indonesia,
di mana kasasi ke Mahkamah Agung merupakan bagian standar dari hierarki
peradilan. Kekhususan ini menegaskan sifat lex specialis dari hukum
acara penyelesaian sengketa pajak, yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan
spesifik bidang perpajakan.
C. Finalitas sebagai Ciri Khas
Peradilan Pajak
Penekanan kuat pada finalitas
putusan di tingkat Pengadilan Pajak (sebelum tahap PK) dapat dianggap
sebagai salah satu ciri khas yang paling menonjol dari sistem peradilan pajak
di Indonesia. Keputusan legislatif untuk merancang sistem seperti ini
kemungkinan besar didorong oleh pertimbangan kebutuhan akan kepastian fiskal
dan efisiensi dalam pengumpulan pendapatan negara. Proses penyelesaian sengketa
yang berlarut-larut dapat menghambat aliran penerimaan negara dan mengganggu
perencanaan anggaran pemerintah. Oleh karena itu, UU Pengadilan Pajak secara
eksplisit menyatakan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan tingkat pertama dan
terakhir (Pasal 33 ayat (1)) dan menutup upaya hukum kasasi (Pasal 80 ayat
(2)). Meskipun upaya hukum luar biasa PK tetap dibuka, pembatasannya yang ketat
(akan dibahas di Bagian VII) semakin memperkuat karakter finalitas ini. Pilihan
kebijakan ini mencerminkan adanya prioritas pada kebutuhan administrasi fiskal,
yang diseimbangkan dengan penyediaan mekanisme keadilan melalui Pengadilan
Pajak itu sendiri dan jalur PK yang terbatas.
IV. Fungsi Utama Asas Litis
Finiri Oportet dalam Proses Sengketa Pajak
Penerapan Asas Litis Finiri
Oportet melalui ketentuan finalitas putusan Pengadilan Pajak menjalankan
beberapa fungsi krusial dalam sistem penyelesaian sengketa pajak di Indonesia.
Fungsi-fungsi ini saling terkait dan berkontribusi pada tujuan keseluruhan
sistem peradilan pajak.
A. Menjamin Kepastian Hukum (Kepastian
Hukum)
Fungsi paling fundamental dari
asas ini adalah untuk menciptakan dan menjamin kepastian hukum. Bagi
Wajib Pajak, putusan Pengadilan Pajak yang final memberikan kepastian mengenai
jumlah pajak terutang yang definitif untuk suatu masa atau tahun pajak
tertentu, atau mengenai keabsahan suatu tindakan penagihan. Kepastian ini
memungkinkan Wajib Pajak untuk melakukan perencanaan keuangan dan bisnis dengan
lebih baik, tanpa dihantui ketidakpastian kewajiban pajak yang berkepanjangan.
Bagi Direktorat Jenderal Pajak
(DJP), finalitas putusan memberikan kepastian mengenai hak negara untuk menagih
pajak sesuai dengan putusan tersebut, yang penting untuk proyeksi dan realisasi
penerimaan negara serta pelaksanaan anggaran. Kepastian hukum ini sejalan
dengan amanat konstitusional dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan merupakan
salah satu pilar utama tata kelola pemerintahan yang baik (AUPB).
B. Menjamin Finalitas Putusan
(Finalitas)
Secara langsung, asas ini
memastikan bahwa putusan Pengadilan Pajak (kecuali jika dibatalkan atau diubah
melalui PK) menjadi penyelesaian akhir dan mengikat bagi sengketa yang
bersangkutan. Putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde), yang berarti substansi sengketa yang sama antara pihak yang sama
tidak dapat diajukan kembali untuk diadili (ne bis in idem).
Finalitas ini menegakkan
wibawa putusan pengadilan dan mencegah upaya-upaya untuk membuka kembali kasus
yang telah diputus secara definitif, kecuali melalui mekanisme luar biasa yang
telah ditentukan (PK).
C. Mendorong Efisiensi
Penyelesaian Sengketa (Efisiensi)
Dengan membatasi jenjang upaya
hukum (meniadakan kasasi sebagai upaya hukum biasa), Asas Litis Finiri
Oportet secara signifikan berkontribusi pada efisiensi proses penyelesaian
sengketa pajak. Hal ini sejalan dengan cita-cita pembentukan Pengadilan Pajak
untuk menyediakan prosedur yang "cepat, murah, dan sederhana". Proses
yang lebih singkat mengurangi biaya litigasi, waktu, dan sumber daya yang harus
dikeluarkan oleh Wajib Pajak maupun DJP. Efisiensi ini tidak hanya
menguntungkan para pihak tetapi juga sistem peradilan secara keseluruhan,
memungkinkan pengadilan untuk menangani volume perkara yang tinggi dengan lebih
efektif. Mekanisme pemeriksaan acara biasa dan acara cepat dalam UU Pengadilan
Pajak juga dirancang untuk mendukung tujuan efisiensi ini.
D. Keseimbangan antara Fungsi
Meskipun Asas Litis Finiri
Oportet sangat penting untuk kepastian hukum dan efisiensi, penerapannya
yang ketat, terutama dalam pembatasan upaya hukum luar biasa seperti PK,
memunculkan diskursus mengenai keseimbangan dengan asas keadilan (keadilan).
Upaya hukum pada dasarnya adalah hak para pihak untuk mencari keadilan jika
merasa tidak puas dengan putusan.
Pembatasan yang terlalu rigid
terhadap upaya hukum, meskipun demi finalitas, berpotensi menutup ruang bagi
koreksi terhadap putusan yang mungkin mengandung kekeliruan substansial atau
didasarkan pada bukti yang tidak benar, terutama jika fakta atau bukti baru
muncul setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Sistem hukum acara pajak
Indonesia mencoba menyeimbangkan ketegangan ini dengan menyediakan mekanisme
PK, namun dengan syarat dan batasan yang sangat ketat (hanya satu kali, alasan
terbatas). Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks pajak, terdapat
kecenderungan untuk lebih memprioritaskan kepastian hukum dan finalitas, dengan
menyediakan katup pengaman yang sempit untuk aspek keadilan melalui PK.
V. Analisis Yurisprudensi
Terkait Asas Litis Finiri Oportet
Penegakan Asas Litis Finiri
Oportet dalam praktik peradilan pajak, khususnya terkait finalitas putusan
dan pembatasan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK), tercermin dalam berbagai
putusan Mahkamah Agung (MA).
A. Peninjauan Kembali (PK)
Kedua dalam Sengketa Pajak
Kasus yang sangat menonjol
dalam menegaskan penerapan asas ini adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor
379/B/PK/Pjk/2020. Dalam perkara ini, Direktur Jenderal Pajak (DJP)
mengajukan permohonan PK kedua terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor
PUT-90381/PP/M.IVA/16/2017 yang telah dikuatkan (juncto) dengan Putusan
PK pertama Mahkamah Agung Nomor 3147/B/PK/PJK/2018 yang mengabulkan permohonan
PK dari Wajib Pajak (PT QWE).
Mahkamah Agung, dalam
putusannya, secara eksplisit merujuk pada Asas Litis Finiri Oportet
dan ketentuan Pasal 89 ayat (1) UU Pengadilan Pajak yang menyatakan
bahwa permohonan PK hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Berdasarkan
pertimbangan ini, MA menyatakan bahwa permohonan PK kedua yang diajukan oleh
DJP tidak memenuhi syarat formil dan oleh karena itu dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Putusan ini menjadi preseden
penting yang menegaskan secara kuat bahwa dalam sengketa pajak, upaya hukum
PK dibatasi hanya satu kali, sejalan dengan semangat finalitas yang diusung
UU Pengadilan Pajak. Sikap MA ini juga diperkuat oleh Rumusan Kamar Tata Usaha
Negara (TUN) MA yang secara eksplisit menyatakan bahwa permohonan PK kedua
dalam perkara pajak tidak dapat dibenarkan.
B. Putusan Pengadilan Pajak
yang Mencerminkan Finalitas
Meskipun putusan Pengadilan
Pajak dapat diajukan PK, sifatnya sebagai putusan akhir di tingkat pertama dan
terakhir menjadikan berbagai jenis putusannya sebagai cerminan upaya mencapai
finalitas. Jenis-jenis putusan seperti menolak, mengabulkan sebagian atau
seluruhnya, menambah pajak yang harus dibayar, menyatakan tidak dapat diterima,
membetulkan kesalahan tulis/hitung, atau membatalkan keputusan yang
disengketakan, semuanya bertujuan untuk memberikan penyelesaian definitif atas
pokok sengketa di tingkat Pengadilan Pajak.
Contoh-contoh putusan seperti
Putusan No. 003603 Tahun 2023 mengenai sengketa PPh Pasal 26 atau Putusan No.
002947 Tahun 2023 mengenai banding atas SKPKB PPh menunjukkan bagaimana
Pengadilan Pajak menjalankan wewenangnya untuk memutus sengketa secara final
pada tingkatnya. Putusan-putusan ini, meskipun secara teoretis dapat diajukan
PK, secara praktis seringkali menjadi akhir dari sengketa bagi banyak pihak.
Demikian pula, putusan-putusan era BPSP yang dikutip dalam beberapa kasus
menunjukkan adanya kontinuitas historis dalam upaya mencapai penyelesaian akhir
sengketa pajak melalui badan peradilan/quasi-peradilan.
C. Konsistensi Mahkamah Agung
dalam Menegakkan Finalitas Pajak
Analisis terhadap
yurisprudensi, terutama putusan MA mengenai PK kedua dan rumusan kamar,
menunjukkan adanya konsistensi yang tinggi dari Mahkamah Agung dalam
menegakkan prinsip finalitas sebagaimana diatur dalam UU Pengadilan Pajak.
Sikap ini berbeda dengan pendekatan yang lebih fleksibel dalam kasus PK pidana
pasca putusan MK. Konsistensi MA dalam ranah pajak ini dapat diinterpretasikan
sebagai dukungan yudisial yang kuat terhadap pilihan legislatif untuk
memprioritaskan kepastian hukum dan efisiensi dalam administrasi perpajakan.
Penegakan ketat Pasal 89 ayat (1) UU 14/2002 oleh MA mengirimkan sinyal jelas
bahwa pintu upaya hukum setelah putusan Pengadilan Pajak sangat terbatas,
mendorong para pihak untuk memaksimalkan argumentasi dan pembuktian di
Pengadilan Pajak.
VI. Implikasi Penerapan Asas
bagi Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak
Penerapan Asas Litis Finiri
Oportet, yang termanifestasi dalam finalitas putusan Pengadilan Pajak dan
pembatasan PK, membawa implikasi signifikan bagi kedua pihak utama dalam
sengketa pajak: Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
A. Implikasi bagi Wajib Pajak
(Taxpayer)
- Implikasi Positif:
- Kepastian Hukum:
Implikasi paling utama adalah diperolehnya kepastian hukum mengenai
status kewajiban perpajakan yang disengketakan setelah adanya putusan
final (Pengadilan Pajak atau putusan PK MA). Hal ini mengakhiri
ketidakpastian yang dapat mengganggu perencanaan keuangan dan bisnis
Wajib Pajak.
- Perlindungan dari Litigasi Berulang:
Asas ini, melalui doktrin res judicata dan ne bis in idem,
melindungi Wajib Pajak dari tuntutan atau pemeriksaan ulang atas materi
pajak yang sama yang telah diputus secara final.
- Implikasi Negatif:
- Keterbatasan Upaya Hukum:
Finalitas putusan Pengadilan Pajak berarti Wajib Pajak memiliki jalur
upaya hukum yang sangat terbatas jika tidak puas dengan putusan tersebut.
Hanya PK ke MA yang dimungkinkan, itupun dengan syarat yang sangat ketat
dan hanya satu kali kesempatan. Hal ini menempatkan tekanan besar pada
proses pembuktian dan argumentasi di tingkat Pengadilan Pajak.
- Risiko Ketidakadilan:
Jika terjadi kekeliruan hukum atau fakta yang signifikan dalam putusan
Pengadilan Pajak, namun tidak memenuhi syarat PK atau baru ditemukan
setelah batas waktu PK, Wajib Pajak berisiko menanggung akibat putusan
yang tidak adil tanpa ada mekanisme koreksi lebih lanjut.
- Beban Finansial:
Persyaratan untuk membayar 50% dari pajak terutang sebagai syarat
pengajuan banding (Pasal 36 ayat (4) UU 14/2002) dapat menjadi beban
finansial yang menghalangi akses Wajib Pajak terhadap keadilan di
Pengadilan Pajak. Selain itu, jika banding ditolak atau dikabulkan
sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi denda administratif sebesar 60%.
B. Implikasi bagi Direktorat
Jenderal Pajak (DJP)
- Implikasi Positif:
- Dasar Hukum Penagihan:
Putusan final yang menguatkan ketetapan pajak memberikan dasar hukum yang
kokoh bagi DJP untuk melakukan tindakan penagihan pajak.
- Efisiensi Administrasi:
Finalitas memungkinkan DJP untuk menutup kasus sengketa secara definitif,
menghemat sumber daya administrasi dan memungkinkan fokus pada
kasus-kasus lain.
- Penegakan Wibawa:
Putusan pengadilan yang final dan mengikat memperkuat wibawa DJP dalam
proses penetapan dan penagihan pajak.
- Implikasi Negatif:
- Keterbatasan Koreksi:
Sama seperti Wajib Pajak, DJP juga terikat oleh finalitas putusan. Jika
setelah putusan final ditemukan data baru yang menunjukkan Wajib Pajak
seharusnya membayar lebih besar, DJP tidak dapat menagih kekurangan
tersebut kecuali melalui mekanisme PK (jika memenuhi syarat).
- Kewajiban Pelaksanaan Putusan:
Jika putusan Pengadilan Pajak atau MA mengabulkan permohonan Wajib Pajak
(misalnya, membatalkan SKP atau SK Keberatan), DJP wajib melaksanakan
putusan tersebut, yang mungkin berdampak pada target penerimaan pajak.
- Dorongan Perbaikan Internal:
Putusan yang merugikan DJP dapat menjadi pendorong untuk melakukan
evaluasi dan perbaikan kualitas proses pemeriksaan, keberatan, dan
penerbitan surat ketetapan pajak agar lebih akurat dan sesuai hukum,
sehingga mengurangi potensi sengketa di kemudian hari.
C. Implikasi Lebih Luas
terhadap Administrasi Pajak
Penerapan asas finalitas ini
secara keseluruhan berkontribusi pada prediktabilitas dan efisiensi sistem
administrasi perpajakan. Kepastian yang ditimbulkan dapat meningkatkan
kepercayaan Wajib Pajak terhadap sistem hukum pajak, asalkan proses di
Pengadilan Pajak dianggap adil dan transparan. Di sisi lain, tekanan finalitas
dapat mendorong penyelesaian sengketa di tahap yang lebih awal (misalnya,
melalui mekanisme keberatan yang lebih berkualitas) jika para pihak menyadari
risiko dan keterbatasan upaya hukum di Pengadilan Pajak. Hal ini juga
menggarisbawahi pentingnya kualitas sumber daya manusia dan proses di DJP untuk
meminimalkan sengketa.
D. Kaitan Finalitas dengan
Beban Pembuktian
Prinsip finalitas yang kuat
dalam sistem peradilan pajak secara tidak langsung meningkatkan signifikansi
isu beban pembuktian (burden of proof) selama persidangan di Pengadilan
Pajak. Karena putusan Pengadilan Pajak pada dasarnya adalah akhir dari proses
(kecuali PK yang terbatas) , maka pihak yang dibebani pembuktian (baik Wajib
Pajak maupun DJP, tergantung konteks sengketanya ) harus mampu menyajikan bukti
dan argumen yang sekuat mungkin pada tahap ini. Kesempatan untuk memperbaiki
atau menambah bukti di tingkat upaya hukum selanjutnya sangatlah minim. Oleh
karena itu, finalitas putusan menjadikan persidangan di Pengadilan Pajak
sebagai arena krusial di mana sengketa harus dibuktikan secara tuntas, karena
konsekuensi dari putusan tersebut bersifat definitif bagi para pihak.
VII. Batasan dan Pengecualian
Asas Litis Finiri Oportet dalam Sengketa Pajak
Meskipun Asas Litis Finiri
Oportet ditegakkan dengan kuat dalam sistem penyelesaian sengketa pajak
Indonesia, hukum acara mengakui adanya batasan dan pengecualian tertentu,
terutama untuk mengakomodasi prinsip keadilan.
A. Pengecualian Utama:
Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung
Pengecualian paling signifikan
terhadap finalitas absolut putusan Pengadilan Pajak adalah mekanisme Peninjauan
Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. UU Pengadilan Pajak secara eksplisit
menyediakan upaya hukum luar biasa ini.
- Dasar Hukum:
Pasal 77 ayat (3) UU 14/2002 menyatakan bahwa "Pihak-pihak yang
bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan
Pajak kepada Mahkamah Agung".
- Alasan Pengajuan PK (Sangat Terbatas):
Permohonan PK tidak dapat diajukan atas dasar ketidakpuasan semata
terhadap putusan. Pasal 91 UU 14/2002 membatasi alasan PK hanya pada
kondisi-kondisi spesifik berikut :
- Putusan
didasarkan pada kebohongan/tipu muslihat lawan atau bukti palsu (yang
diketahui setelah putus atau dinyatakan palsu oleh hakim pidana).
- Ditemukan
bukti tertulis baru (novum) yang bersifat menentukan dan jika
diketahui saat sidang akan menghasilkan putusan berbeda.
- Dikabulkannya
hal yang tidak dituntut atau melebihi tuntutan (kecuali putusan yang
menambah pajak terutang atau membatalkan sesuai Pasal 80 ayat (1) huruf b
dan c).
- Adanya
bagian tuntutan yang belum diputus tanpa pertimbangan.
- Putusan
nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
- Batas Waktu Pengajuan:
Pasal 92 UU 14/2002 menetapkan batas waktu pengajuan PK yang berbeda-beda
tergantung alasannya (umumnya 3 bulan sejak putusan dikirim atau sejak
diketahuinya kebohongan/novum/putusan pidana BHT).
- Pembatasan Satu Kali:
Krusialnya, Pasal 89 ayat (1) UU 14/2002 menegaskan bahwa "Permohonan
peninjauan kembali... hanya dapat diajukan 1 (satu) kali". Pembatasan
ini ditegakkan secara ketat oleh MA, sebagaimana terlihat dalam
yurisprudensi.
- Tidak Menangguhkan Eksekusi:
Pengajuan PK tidak menunda atau menghentikan pelaksanaan putusan
Pengadilan Pajak yang dimohonkan PK (Pasal 90 ayat (2) UU 14/2002).
B. Diskursus Keadilan vs.
Kepastian Hukum dalam Konteks PK Pajak
Mekanisme PK dalam sengketa
pajak mencerminkan upaya legislatif untuk menyeimbangkan antara kebutuhan
akan finalitas dan kepastian hukum (Litis Finiri Oportet) dengan
pencarian keadilan substantif. Di satu sisi, PK membuka kemungkinan untuk
mengoreksi putusan yang mengandung cacat fundamental atau ketidakadilan yang
nyata. Di sisi lain, pembatasannya yang sangat ketat (alasan terbatas, satu
kali pengajuan) menunjukkan prioritas yang tinggi pada finalitas dalam ranah
pajak. Pendekatan ini berbeda dengan hukum acara pidana, di mana Mahkamah
Konstitusi pernah menafsirkan bahwa pencarian keadilan dapat membenarkan
pengajuan PK lebih dari satu kali. Perbedaan ini kemungkinan didasarkan pada
sifat sengketa (finansial vs. kebebasan individu) dan urgensi kepastian dalam
administrasi fiskal negara.
C. Mekanisme Lain (Koreksi,
Pembatalan) vs. Pengecualian Asas
Selain PK, terdapat mekanisme
lain yang terkadang disalahartikan sebagai pengecualian terhadap finalitas:
- Pembetulan Kesalahan Tulis/Hitung:
Pasal 80 ayat (1) huruf e UU 14/2002 memungkinkan Pengadilan Pajak
mengeluarkan putusan untuk "membetulkan kesalahan tulis dan/atau
kesalahan hitung". Namun, ini bukanlah pengecualian terhadap Asas
Litis Finiri Oportet karena tidak membuka kembali substansi sengketa
(pokok perkara), melainkan hanya memperbaiki kekeliruan redaksional atau
aritmatika dalam naskah putusan itu sendiri.
- Pembatalan (Cancellation):
- Pengadilan Pajak berwenang membatalkan
keputusan DJP (misalnya SK Keberatan, SKP) jika terbukti tidak sesuai
hukum. Ini adalah bagian dari pelaksanaan wewenang mengadili sengketa,
bukan pengecualian terhadap finalitas putusan Pengadilan Pajak itu
sendiri.
- Pembatalan putusan Pengadilan Pajak yang
sudah inkracht pada prinsipnya hanya dapat dilakukan melalui
mekanisme PK. Gugatan pembatalan putusan umumnya dikenal dalam konteks
arbitrase atau putusan pengadilan umum dengan alasan tertentu yang
seringkali tumpang tindih dengan alasan PK, bukan sebagai jalur terpisah
untuk sengketa pajak.
- Pencabutan Banding/Gugatan:
Wajib Pajak dapat mencabut Banding atau Gugatan sebelum diputus. Jika
dicabut, perkara dihentikan dan tidak dapat diajukan kembali (Pasal 38
ayat (3), Pasal 42 ayat (3) UU 14/2002). Ini justru memperkuat finalitas,
karena mengakhiri sengketa secara definitif melalui tindakan pihak itu
sendiri.
D. PK sebagai Katup Pengaman
Terbatas
Melihat pembatasan yang ketat
pada mekanisme PK dalam sengketa pajak – hanya satu kali percobaan , alasan
yang sangat spesifik , batas waktu yang tegas , dan sifatnya yang tidak
menangguhkan eksekusi – jelas bahwa PK dirancang bukan sebagai perpanjangan
proses peradilan biasa atau kesempatan kedua untuk beradu argumen.
Sebaliknya, PK berfungsi sebagai "katup pengaman" (safety valve)
yang sangat sempit dan terkontrol. Tujuannya adalah untuk memberikan
koreksi hanya terhadap kekeliruan atau ketidakadilan yang paling fundamental
dan nyata, sebagaimana didefinisikan secara limitatif dalam Pasal 91 UU
14/2002. Dengan demikian, meskipun PK merupakan pengecualian, desainnya yang
restriktif memastikan bahwa Asas Litis Finiri Oportet tetap menjadi
prinsip dominan yang menopang sistem penyelesaian sengketa pajak di Indonesia,
menjaga kekuatan inti dari finalitas putusan Pengadilan Pajak.
VIII. Perbandingan Asas Litis
Finiri Oportet dengan Asas Hukum Relevan Lainnya
Untuk memahami posisi dan
peran Asas Litis Finiri Oportet secara utuh, penting untuk
membandingkannya dengan asas-asas hukum lain yang relevan dalam konteks
penyelesaian sengketa, khususnya sengketa pajak.
A. Asas Litis Finiri Oportet
vs. Ne Bis In Idem
- Ne Bis In Idem:
Asas ini secara harfiah berarti "tidak kedua kalinya dalam perkara
yang sama". Prinsip ini melarang seseorang diadili atau dihukum dua
kali atas perbuatan atau perkara yang sama yang telah diputus secara final
oleh pengadilan. Meskipun lebih dikenal dalam hukum pidana (Pasal 76
KUHP), roh asas ini juga berlaku dalam hukum acara lain untuk mencegah
pengulangan perkara yang sudah selesai.
- Hubungan: Litis
Finiri Oportet adalah asas yang lebih luas yang menuntut agar setiap
perkara harus mencapai akhir. Ne Bis In Idem adalah salah satu konsekuensi
logis dari tercapainya akhir tersebut, khususnya ketika akhir itu
berupa putusan yang berkekuatan hukum tetap (res judicata). Ne
Bis In Idem mencegah perkara yang sudah berakhir tersebut
dibuka atau diadili kembali. Jadi, Litis Finiri Oportet memastikan
adanya garis finis, sementara Ne Bis In Idem menjaga agar garis
finis tersebut tidak dilanggar dengan memulai kembali perlombaan yang
sama. juga mencatat kemungkinan kaitan keduanya dalam hukum perdata.
B. Asas Litis Finiri Oportet
vs. Res Judicata
- Res Judicata:
Berarti "suatu perkara yang telah diputus". Asas ini
menyatakan bahwa putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde) dianggap benar (pro veritate habetur) dan
mengikat para pihak yang bersengketa serta pihak-pihak yang memperoleh hak
dari mereka. Putusan ini menjadi bukti otentik mengenai apa yang telah
disengketakan dan diputuskan.
- Hubungan: Res
Judicata adalah status hukum yang melekat pada suatu putusan
setelah proses peradilan mencapai akhirnya sesuai dengan Asas Litis
Finiri Oportet. Litis Finiri Oportet adalah prinsip yang
mendorong proses menuju akhir, sedangkan Res Judicata adalah
predikat atau akibat hukum dari akhir tersebut. Kekuatan mengikat Res
Judicata memiliki aspek positif (kewajiban para pihak untuk mematuhi
putusan) dan aspek negatif (larangan mengajukan perkara yang sama lagi,
yang merupakan manifestasi Ne Bis In Idem).
C. Interaksi dengan Kepastian
Hukum (Legal Certainty) dan Keadilan (Justice)
Sebagaimana telah dibahas, Litis
Finiri Oportet merupakan pilar utama penegakan Kepastian Hukum.
Namun, sistem hukum juga bertujuan mewujudkan Keadilan. Dalam sistem
penyelesaian sengketa pajak Indonesia, terjadi interaksi dinamis antara kedua
nilai ini. Litis Finiri Oportet melalui finalitas putusan Pengadilan
Pajak sangat diutamakan demi kepastian. Akan tetapi, untuk mencegah
kepastian yang mengorbankan keadilan secara absolut, mekanisme PK disediakan
sebagai koreksi terbatas. Desain UU Pengadilan Pajak, dengan pembatasan PK yang
ketat, mengindikasikan bahwa dalam sengketa pajak, keseimbangan cenderung lebih
berat ke arah kepastian hukum.
D. Posisi Relatif terhadap
Asas Lain
- Ultimum Remedium:
Asas ini menyatakan bahwa hukum pidana (termasuk pidana pajak) seharusnya
menjadi upaya terakhir (last resort) setelah upaya administratif
atau hukum lain dianggap tidak efektif. Litis Finiri Oportet
berperan dalam memastikan finalitas dalam jalur penyelesaian
sengketa administratif/peradilan pajak. Kegagalan atau hasil akhir dari
proses ini (yang dijamin oleh Litis Finiri Oportet) dapat menjadi
salah satu pertimbangan apakah syarat ultimum remedium untuk
menempuh jalur pidana telah terpenuhi.
- Due Process of Law:
Merujuk pada jaminan proses hukum yang adil. Litis Finiri Oportet,
dengan memastikan adanya akhir dari proses hukum, dapat dilihat sebagai
bagian dari due process karena melindungi individu dari proses
litigasi yang sewenang-wenang dan tak berkesudahan. Namun, jika finalitas
diterapkan terlalu kaku sehingga menutup akses terhadap keadilan
(misalnya, jika PK tidak dimungkinkan sama sekali), hal itu justru dapat
menimbulkan pertanyaan terkait pemenuhan due process.
- Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB): Prinsip-prinsip seperti kepastian hukum,
kecermatan, tidak menyalahgunakan wewenang, dan keadilan merupakan pedoman
bagi tindakan administrasi negara, termasuk DJP. Litis Finiri Oportet
dalam peradilan pajak secara langsung mendukung AUPB asas kepastian hukum.
Putusan pengadilan yang final juga menjadi tolok ukur apakah tindakan DJP
sebelumnya telah sesuai dengan AUPB lainnya.
F. Interdependensi Asas
Alih-alih melihat asas-asas
ini dalam hierarki yang kaku, lebih tepat untuk memahaminya sebagai suatu
sistem yang saling bergantung dan terkadang berada dalam tegangan dinamis. Litis
Finiri Oportet adalah prinsip prosedural yang memungkinkan tercapainya
putusan final. Putusan final ini kemudian memperoleh status Res Judicata,
yang memiliki kekuatan mengikat dan memunculkan larangan Ne Bis In Idem.
Ketiga asas ini bekerja sama untuk menghasilkan Kepastian Hukum. Namun,
sistem hukum juga mengakui nilai Keadilan, yang dalam konteks pajak
diakomodasi secara terbatas melalui mekanisme PK, yang merupakan pengecualian
terkontrol terhadap finalitas absolut. Dengan demikian, UU Pengadilan Pajak
merumuskan suatu keseimbangan spesifik antara prinsip-prinsip yang saling
terkait ini untuk kebutuhan penyelesaian sengketa pajak.
IX. Sintesis: Peran Krusial
dan Signifikansi Asas Litis Finiri Oportet
A. Rangkuman Peran Fundamental
Asas Litis Finiri Oportet
memainkan peran fundamental dan struktural dalam sistem penyelesaian sengketa
pajak di Indonesia. Asas ini menjadi landasan filosofis dan normatif bagi
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak yang menetapkan finalitas putusan. Secara operasional, asas ini
memastikan bahwa sengketa pajak yang dibawa ke Pengadilan Pajak akan mencapai
suatu titik akhir yang definitif di tingkat tersebut, mengakhiri proses
peradilan biasa dan membatasi upaya hukum lanjutan hanya pada mekanisme luar
biasa Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dengan syarat dan batasan yang
sangat ketat.
B. Penegasan Signifikansi
Signifikansi Asas Litis
Finiri Oportet dalam konteks sengketa pajak tidak dapat diremehkan. Fungsi
utamanya adalah sebagai penjamin kepastian hukum , baik bagi
Wajib Pajak dalam mengetahui kewajiban finalnya maupun bagi negara (DJP) dalam
mengamankan penerimaan dan menjalankan administrasi fiskal. Kepastian ini
krusial untuk stabilitas ekonomi dan perencanaan. Selain itu, asas ini secara
inheren mendorong efisiensi proses penyelesaian sengketa, sejalan
dengan mandat UU Pengadilan Pajak untuk mewujudkan peradilan yang "cepat,
murah, dan sederhana" , yang menguntungkan semua pihak yang terlibat dan
sistem peradilan secara keseluruhan.
C. Keseimbangan Akhir
Sistem penyelesaian sengketa
pajak Indonesia, melalui UU Pengadilan Pajak dan penegakannya dalam
yurisprudensi, menunjukkan suatu upaya perumusan keseimbangan antara
imperatif finalitas yang didorong oleh Asas Litis Finiri Oportet dengan
kebutuhan akan koreksi demi keadilan. Prioritas yang jelas diberikan pada
finalitas dan kepastian hukum, tercermin dari struktur Pengadilan Pajak sebagai
pengadilan tingkat pertama dan terakhir serta pembatasan ketat pada upaya hukum
PK. Namun demikian, keberadaan mekanisme PK itu sendiri, meskipun sempit,
berfungsi sebagai katup pengaman esensial yang mengakui kemungkinan adanya
kekhilafan atau ketidakadilan fundamental yang memerlukan koreksi di tingkat
Mahkamah Agung. Keseimbangan ini, meskipun cenderung berat pada finalitas,
merupakan karakteristik penting dari hukum acara pajak Indonesia yang dirancang
untuk memenuhi kebutuhan spesifik administrasi perpajakan sambil tetap
menyediakan ruang, walau terbatas, bagi pencarian keadilan substantif. Pada
akhirnya, Asas Litis Finiri Oportet berkontribusi secara signifikan
terhadap integritas, prediktabilitas, dan efektivitas keseluruhan proses
ajudikasi pajak di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar