I. Pendahuluan
Dedi Mulyadi merupakan figur
politisi terkemuka di Indonesia yang rekam jejak karirnya membentang dari
tingkat lokal hingga nasional. Perjalanan politiknya dimulai sebagai legislator
daerah, menanjak menjadi kepala daerah di Purwakarta selama dua periode,
kemudian menjadi anggota legislatif nasional, dan puncaknya kini menjabat
sebagai Gubernur Jawa Barat. Mengingat posisinya sebagai pemimpin provinsi
dengan populasi dan kontribusi ekonomi yang signifikan, pemahaman mendalam
mengenai pandangan serta kebijakan Dedi Mulyadi terkait isu perpajakan dan
fiskal menjadi sangat relevan. Pendekatannya dalam berpolitik seringkali
digambarkan sebagai populis, yang dekat dengan masyarakat dan mengedepankan
solusi pragmatis.
Tulisan ini bertujuan untuk
menyajikan analisis komprehensif mengenai pandangan, kebijakan, dan rekam jejak
Dedi Mulyadi dalam isu perpajakan, dengan merujuk secara eksklusif pada materi
riset yang telah disediakan. Analisis ini mencakup penelaahan terhadap kebijakan
spesifik yang diterapkan atau diusulkan selama masa jabatannya, pernyataan
publik terkait pajak dan fiskal, isu kepatuhan pajak pribadi yang sempat
menjadi sorotan, serta konteks politik yang melingkupinya, termasuk afiliasi
partai politiknya.
Ruang lingkup laporan ini
dibatasi pada tindakan dan pernyataan Dedi Mulyadi yang berkaitan langsung
dengan perpajakan, terutama selama periode jabatannya sebagai Bupati Purwakarta
(2008-2018), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) (2019-2023),
dan Gubernur Jawa Barat (2025-sekarang). Fokus utama adalah pada kebijakan
terkait Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBNKB), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pandangan umum mengenai kebijakan
fiskal, kontroversi kepatuhan pajak pribadi, serta pengaruh afiliasi partainya
(Partai Golkar dan kemudian Partai Gerindra).
II. Latar Belakang Politik dan
Jabatan Dedi Mulyadi
Perjalanan politik Dedi Mulyadi
menunjukkan lintasan karir yang konsisten dari tingkat daerah hingga puncak
kepemimpinan provinsi. Memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Hukum dari
Sekolah Tinggi Hukum Purnawarman, Purwakarta dan pengalaman sebagai aktivis
mahasiswa, termasuk Ketua HMI Cabang Purwakarta , Dedi memulai karir politiknya
sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Purwakarta
periode 1999-2004.
Karirnya menanjak ketika ia
terpilih menjadi Wakil Bupati Purwakarta mendampingi Lily Hambali Hasan untuk
periode 2003-2008. Pada usia 32 tahun saat terpilih, ia menjadi salah satu
wakil bupati termuda. Setelah itu, Dedi Mulyadi berhasil memenangkan pemilihan
kepala daerah dan menjabat sebagai Bupati Purwakarta selama dua periode
berturut-turut, yaitu 2008-2013 dan 2013-2018. Kepemimpinannya di Purwakarta
sering diasosiasikan dengan pendekatan humanis dan pelestarian budaya Priangan.
Setelah menyelesaikan masa
jabatannya sebagai bupati, Dedi Mulyadi melangkah ke panggung politik nasional.
Ia terpilih sebagai anggota DPR RI untuk periode 2019-2024, mewakili daerah
pemilihan Jawa Barat VII (Kabupaten Purwakarta, Karawang, dan Bekasi). Selama
di DPR RI, ia tercatat bertugas di Komisi IV yang membidangi pertanian,
kehutanan, dan kelautan , dan kemudian dilaporkan juga bertugas di Komisi VI
yang membidangi perdagangan, perindustrian, investasi, dan BUMN. Namun, perlu
dicatat bahwa materi riset yang tersedia tidak memberikan rincian spesifik
mengenai tindakan legislatif atau usulan kebijakan terkait perpajakan yang
diinisiasi oleh Dedi Mulyadi selama masa tugasnya di komisi-komisi tersebut. Ia
mengundurkan diri dari DPR RI pada Mei 2023.
Puncak karir politik Dedi Mulyadi
tercapai ketika ia memenangkan Pemilihan Gubernur Jawa Barat pada tahun 2024
bersama pasangannya, Erwan Setiawan. Ia dilantik sebagai Gubernur Jawa Barat
ke-15 pada 20 Februari 2025 untuk periode 2025-2030.
Dalam hal afiliasi politik, Dedi
Mulyadi memiliki sejarah panjang dengan Partai Golongan Karya (Golkar), tempat
ia memulai karir politiknya sejak sekitar tahun 1999. Ia bahkan pernah memegang
posisi strategis di partai tersebut, termasuk Ketua DPD Golkar Kabupaten
Purwakarta (2004-2007) dan Ketua DPD Golkar Provinsi Jawa Barat (2016-2020).
Namun, pada Mei 2023, menjelang Pemilu 2024, Dedi Mulyadi memutuskan untuk
mengundurkan diri dari Golkar dan bergabung dengan Partai Gerakan Indonesia
Raya (Gerindra). Di Gerindra, ia kemudian menempati posisi sebagai Wakil Ketua
Dewan Pembina.
Perpindahan partai dari Golkar,
yang telah menjadi rumah politiknya selama lebih dari dua dekade, ke Gerindra
sesaat sebelum kontestasi elektoral besar (Pemilu Legislatif, Presiden, dan
Pilkada 2024) mengindikasikan sebuah kalkulasi politik yang strategis. Langkah
ini kemungkinan besar didorong oleh pertimbangan untuk mengamankan dukungan
atau tiket pencalonan dalam pemilihan gubernur Jawa Barat. Bergabung dengan
Gerindra, yang dipimpin oleh Prabowo Subianto yang kemudian memenangkan
pemilihan presiden , dapat dilihat sebagai upaya menyelaraskan diri dengan
kekuatan politik yang dianggap lebih menjanjikan untuk mencapai ambisi
politiknya di tingkat provinsi. Keputusan strategis ini berpotensi mempengaruhi
arah kebijakannya, termasuk kemungkinan penyesuaian dengan pandangan fiskal
umum Partai Gerindra, meskipun fokus utamanya tetap pada isu-isu regional.
III. Kebijakan Terkait Pajak
Selama Menjabat
Analisis kebijakan perpajakan
Dedi Mulyadi mencakup dua periode utama: masa jabatannya sebagai Bupati
Purwakarta dan awal masa jabatannya sebagai Gubernur Jawa Barat.
A. Era Bupati Purwakarta
(2008-2018)
Selama dua periode memimpin
Kabupaten Purwakarta, Dedi Mulyadi dikenal dengan upayanya untuk meningkatkan
potensi daerah dan pendekatan kepemimpinan yang populis. Dalam hal pengelolaan
keuangan daerah, ia pernah mengemukakan pandangan filosofisnya. Salah satunya
adalah kritiknya terhadap penumpukan dana di kas daerah (kasda) ketika
penyerapan anggaran belanja rendah, sementara di sisi lain pemerintah pusat
mungkin mengalami defisit. Ia menyarankan perlunya efisiensi dan bahkan
mengusulkan mekanisme pinjaman antar daerah (antara daerah yang memiliki kas
besar dan kecil) sebagai solusi untuk menciptakan keadilan dalam sistem
keuangan negara dan memastikan dana publik berputar secara efektif. Pandangan
ini mengindikasikan fokus pada penggunaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara
optimal dan efisien.
Namun, penting untuk dicatat
adanya keterbatasan informasi yang signifikan dalam materi riset yang tersedia
mengenai kebijakan perpajakan spesifik selama periode ini. Sumber-sumber yang
ada tidak menyediakan data terperinci mengenai perubahan tarif pajak daerah
(seperti PBB, pajak restoran, pajak hotel), insentif pajak khusus yang mungkin
diberlakukan, atau data tren PAD yang secara eksplisit dihubungkan dengan
kebijakan perpajakan tertentu selama masa jabatannya sebagai Bupati Purwakarta
(2008-2018). Meskipun ada penyebutan Peraturan Daerah (Perda) dari tahun 2008,
seperti Perda No 1 Tahun 2008 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah
dan Perda No 3 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Desa , Perda tersebut tidak
secara spesifik mengatur jenis pajak daerah yang relevan dengan fokus analisis
ini. Penyebutan rencana "Perda Purwakarta Istimewa" menjelang akhir
masa jabatannya juga tidak disertai rincian konten perpajakannya.
Ketiadaan data spesifik mengenai
kebijakan pajak daerah selama satu dekade kepemimpinannya di Purwakarta dalam
materi yang dianalisis merupakan sebuah celah informasi yang cukup besar.
Meskipun pandangan umumnya tentang manajemen fiskal tercatat, evaluasi konkret
terhadap rekam jejaknya dalam penyesuaian pajak lokal, strategi peningkatan PAD
melalui pajak, atau pemberian insentif pajak spesifik selama periode tersebut
tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan sumber-sumber ini. Hal ini membatasi
kemampuan untuk melakukan perbandingan mendalam mengenai evolusi pendekatannya
terhadap perpajakan dari waktu ke waktu.
B. Era Gubernur Jawa Barat
(2025-sekarang)
Berbeda dengan era Purwakarta,
awal masa jabatan Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat ditandai dengan
beberapa kebijakan perpajakan yang signifikan dan mendapat sorotan publik luas.
Kebijakan ini terutama berfokus pada pajak kendaraan bermotor.
- Penghapusan Tunggakan Pajak Kendaraan (Amnesti
PKB/BBNKB): Salah satu kebijakan paling menonjol yang segera
diterapkan setelah pelantikannya adalah penghapusan tunggakan Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).
Kebijakan ini berlaku untuk tunggakan pajak hingga tahun 2024 ke belakang,
tanpa batasan jumlah tahun tunggakan, bagi kendaraan roda dua dan roda
empat yang terdaftar di wilayah Jawa Barat. Mekanismenya adalah masyarakat
hanya perlu membayar pajak untuk tahun berjalan (2025) selama periode
program berlangsung, dan seluruh tunggakan pokok serta denda sebelumnya
akan dihapuskan. Program ini awalnya direncanakan berjalan dari April
hingga Juni 2025, namun kemudian dipercepat untuk dimulai pada 20 Maret
2025. Kebijakan ini dibingkai sebagai bentuk "pengampunan" atau
"pemaafan" kepada warga , hadiah Lebaran , dan upaya untuk
meringankan beban masyarakat. Meskipun memberikan keringanan, Dedi Mulyadi
juga memberikan peringatan bahwa kendaraan yang tidak patuh membayar pajak
setelah periode amnesti berakhir dapat menghadapi pembatasan penggunaan
jalan di Jawa Barat. Kebijakan ini dilaporkan mendapat respons positif,
terlihat dari peningkatan aktivitas di kantor Samsat dan pujian dari
kalangan ekonom. Namun, potensi kritik terkait aspek keadilan bagi
pembayar pajak yang patuh dan risiko moral hazard (kecenderungan
untuk tidak patuh di masa depan karena mengharapkan amnesti serupa) juga
diangkat dalam analisis.
- Insentif Mutasi Kendaraan: Bersamaan dengan
amnesti, Dedi Mulyadi juga meluncurkan program insentif untuk mendorong
mutasi (pemindahan registrasi) kendaraan dari luar provinsi ke Jawa Barat.
Insentif ini berupa pembebasan PKB dan BBNKB untuk tahun pertama (2025)
bagi kendaraan yang melakukan mutasi masuk ke Jawa Barat selama periode
program, yaitu 9 April hingga 30 Juni 2025. Rasionalisasi yang disampaikan
Dedi Mulyadi adalah untuk memastikan bahwa kendaraan yang beroperasi dan
menggunakan infrastruktur jalan di Jawa Barat turut berkontribusi pada
pendapatan pajak provinsi tersebut, bukan malah membayar pajak ke provinsi
lain. Hal ini dianggap sebagai langkah untuk mewujudkan keadilan fiskal
dan berpotensi meningkatkan PAD Jawa Barat di masa mendatang. Perlu
dicatat bahwa pembebasan ini hanya berlaku untuk komponen pajak daerah
(PKB dan BBNKB), sementara biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
untuk penerbitan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB), Surat Tanda Nomor
Kendaraan (STNK), dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) tetap berlaku
karena merupakan kewenangan pemerintah pusat.
- Dukungan Kebijakan PBB di Depok: Selain
kebijakan yang diinisiasi langsung oleh Pemprov Jabar, Dedi Mulyadi juga
secara terbuka memberikan apresiasi terhadap kebijakan Pemerintah Kota
Depok (di bawah Wali Kota Supian Suri) yang menghapuskan tunggakan Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) serta menggratiskan PBB untuk objek pajak dengan
nilai di bawah Rp 100 juta. Ia memuji kebijakan ini sebagai langkah yang
sangat berpihak pada kepentingan rakyat kecil dan menyatakan harapan agar
kebijakan serupa dapat diadopsi oleh kabupaten/kota lain di Jawa Barat.
Implementasi kebijakan amnesti
pajak dan insentif mutasi yang masif segera setelah Dedi Mulyadi menjabat
sebagai Gubernur mengindikasikan kuat adanya strategi fiskal yang bersifat
populis. Langkah ini tampaknya dirancang untuk secara cepat meraih simpati dan
dukungan publik, sekaligus mengatasi potensi masalah kepatuhan pajak yang
mungkin diwarisi dari periode sebelumnya. Penggunaan narasi
"pemaafan" dan "hadiah" semakin memperkuat kesan ini. Waktu
peluncuran kebijakan yang berdekatan dengan momen pelantikan dan
implementasinya pada Maret/April 2025 menunjukkan adanya perencanaan untuk
membangun citra positif dan popularitas di awal masa jabatannya.
Di sisi lain, kebijakan ini
membawa konsekuensi fiskal yang perlu dipertimbangkan. Amnesti pajak, meskipun
memberikan keringanan langsung dan berpotensi membawa wajib pajak yang tidak
aktif kembali ke sistem, secara inheren mengandung risiko moral hazard.
Wajib pajak yang selalu patuh mungkin merasa diperlakukan tidak adil, sementara
mereka yang menerima pengampunan bisa jadi kurang termotivasi untuk membayar
tepat waktu di masa depan, mengharapkan kebijakan serupa. Keberhasilan jangka
panjang kebijakan ini akan sangat bergantung pada peningkatan kepatuhan setelah
periode amnesti berakhir dan efektivitas insentif mutasi dalam memperluas basis
pajak kendaraan di Jawa Barat secara signifikan untuk mengkompensasi potensi
pendapatan yang hilang akibat amnesti. Data yang tersedia saat ini belum cukup
untuk mengukur dampak fiskal jangka panjang tersebut.
IV. Pandangan Dedi Mulyadi
Mengenai Perpajakan dan Fiskal
Pandangan Dedi Mulyadi mengenai
isu perpajakan dan fiskal dapat disarikan dari berbagai pernyataan dan
tindakannya, terutama selama menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat.
Salah satu pandangan yang
konsisten diutarakannya adalah keterkaitan langsung antara penerimaan pajak
dengan penyediaan layanan publik, khususnya infrastruktur. Ia secara tegas
menyatakan bahwa pendapatan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) di Jawa Barat
seharusnya 100 persen dialokasikan untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan.
Pernyataan ini menciptakan hubungan sebab-akibat yang jelas antara kewajiban
membayar pajak dan manfaat langsung yang diterima masyarakat.
Lebih lanjut, Dedi Mulyadi sering
menekankan pentingnya kepatuhan membayar pajak oleh seluruh warga negara. Ia
juga menempatkan posisi pemimpin sebagai teladan dalam hal kepatuhan pajak.
Narasi ini sering muncul, terutama ketika ia memberikan klarifikasi terkait
kontroversi pajak kendaraan pribadinya. Ia bahkan menyebut memiliki
"tradisi" untuk selalu memastikan kendaraannya terdaftar dengan nomor
polisi sesuai wilayah yang dipimpinnya (Purwakarta saat menjadi Bupati, Jawa
Barat saat menjadi Gubernur) sebagai bentuk komitmen dan contoh.
Dalam konteks yang lebih luas,
Dedi Mulyadi menyuarakan pandangan mengenai keadilan fiskal dan pembangunan
regional. Ia menentang adanya disparitas fiskal yang timpang antar daerah,
dengan menyatakan "tidak boleh ada penumpukan uang di kota". Ia
berpendapat bahwa pertimbangan fiskal, seperti alokasi anggaran provinsi, harus
diarahkan untuk mengatasi isu-isu fundamental seperti kemiskinan, pelestarian
lingkungan (hutan dan mata air). Pandangan ini sejalan dengan gagasannya saat
menjadi Bupati Purwakarta mengenai potensi pinjaman antar daerah untuk
menyeimbangkan kapasitas fiskal.
Secara lebih tegas, ia mengaitkan
pembayaran pajak dengan hak penggunaan fasilitas publik. Ia mengindikasikan
bahwa warga yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor seharusnya tidak
diperbolehkan menggunakan jalan yang dibangun dari dana pajak tersebut. Ini
merupakan upaya untuk memperkuat kesadaran akan kewajiban sipil sebagai
prasyarat untuk menikmati fasilitas publik.
Selain itu, komitmennya terhadap
efisiensi anggaran pemerintah daerah dan tindakannya memberantas pungutan liar
(pungli) secara tidak langsung berkaitan dengan upaya memastikan dana publik,
termasuk yang berasal dari pajak, digunakan secara tepat guna dan tidak
disalahgunakan.
Namun, terdapat potensi
ketegangan antara retorika publik Dedi Mulyadi yang kuat mengenai kepatuhan
pajak dan keteladanan pemimpin dengan fakta munculnya kontroversi keterlambatan
pembayaran pajak kendaraan mewah pribadinya (dibahas lebih lanjut di Bagian V).
Meskipun ia memberikan penjelasan atas keterlambatan tersebut, fakta adanya
kelalaian kepatuhan pada periode tersebut menciptakan diskrepansi yang dapat
mempengaruhi persepsi publik terhadap kredibilitasnya dalam isu fiskal.
Kesenjangan antara prinsip yang dinyatakan dan tindakan pribadi pada saat itu
menjadi sorotan.
Secara keseluruhan, cara Dedi
Mulyadi membingkai kebijakan pajaknya (amnesti sebagai pengampunan , insentif
mutasi sebagai keadilan , dukungan PBB gratis sebagai keberpihakan pada rakyat
kecil ) serta upayanya menghubungkan pembayaran pajak secara langsung dengan
manfaat nyata seperti jalan mencerminkan pendekatan fiskal yang populis.
Strategi ini bertujuan membuat isu perpajakan menjadi lebih mudah dipahami dan
diterima oleh masyarakat luas dengan menekankan keuntungan langsung dan
penyelesaian masalah yang dirasakan publik, seperti beban tunggakan pajak atau
rasa ketidakadilan fiskal.
V. Kontroversi Kepatuhan Pajak
Pribadi
Di tengah gencarnya Dedi Mulyadi
mempromosikan kebijakan amnesti pajak kendaraan bagi masyarakat Jawa Barat,
sebuah ironi muncul ke permukaan pada sekitar April 2025. Terungkap bahwa
kendaraan mewah pribadinya, sebuah Lexus LX600 dengan nomor polisi Jakarta (B
2600 SME), memiliki tunggakan pajak yang signifikan, dilaporkan mencapai lebih
dari Rp 41-42 juta. Pajak kendaraan tersebut diketahui telah jatuh tempo sejak
19 Januari 2025. Situasi ini sontak menjadi sorotan publik dan media, mengingat
kontrasnya dengan kebijakan pengampunan pajak yang sedang ia galakkan.
Menanggapi sorotan tersebut, Dedi
Mulyadi memberikan serangkaian penjelasan. Alasan utama yang ia kemukakan
adalah keterlambatan tersebut disebabkan oleh proses mutasi (pemindahan
registrasi) kendaraan dari DKI Jakarta ke Jawa Barat yang sedang berjalan. Ia
menegaskan kembali prinsipnya bahwa sebagai Gubernur Jawa Barat, tidak elok
baginya menggunakan kendaraan dengan plat nomor Jakarta, sehingga proses mutasi
menjadi prioritas.
Penjelasan lain yang diberikan
adalah terkait status kepemilikan dan pembiayaan kendaraan. Ia menyebutkan
bahwa mobil tersebut saat itu masih dalam status kredit ("masih
kredit" atau "masih nyicil") dan pada awalnya terdaftar atas nama
pihak lain (kemungkinan perusahaan pembiayaan atau pemilik sebelumnya) yang
berdomisili di Jakarta. Kondisi ini, menurutnya, membuat proses mutasi menjadi
lebih rumit dan memakan waktu karena melibatkan mekanisme leasing dan pihak
ketiga.
Meskipun mengakui adanya
keterlambatan administratif, Dedi Mulyadi mengklaim bahwa ia sebenarnya telah
melakukan pembayaran untuk biaya proses mutasi, yang di dalamnya sudah termasuk
komponen pelunasan tunggakan pajak. Total biaya yang ia sebutkan untuk keseluruhan
proses ini mencapai hampir Rp 70 juta. Dengan demikian, ia berargumen bahwa
secara substansi tidak ada niat untuk menunggak pajak, hanya saja penyelesaian
administrasinya yang belum rampung pada saat itu. Ia juga menekankan bahwa
dirinya menolak tawaran bantuan untuk mempercepat proses jika itu berarti
mengurangi jumlah kewajiban yang harus dibayar, karena tidak ingin menggunakan
kekuasaan jabatannya untuk urusan pribadi.
Kontroversi ini akhirnya menemui
penyelesaian. Setelah menjadi perhatian publik, proses administrasi dipercepat,
tunggakan pajak dikonfirmasi telah dilunasi, dan plat nomor kendaraan Lexus
tersebut berhasil dimutasi menjadi plat nomor Bandung/Jawa Barat (D).
Menariknya, dilaporkan bahwa setelah mutasi, nilai pajak tahunan kendaraan
tersebut menjadi lebih rendah dibandingkan saat terdaftar di Jakarta (sekitar
Rp 35 juta di Jawa Barat berbanding Rp 40 jutaan lebih di DKI Jakarta).
Peristiwa ini memicu reaksi luas
dari publik dan kritik, termasuk dari anggota DPRD Jawa Barat yang mengingatkan
bahwa kepatuhan harus dimulai dari pemimpin. Dedi Mulyadi pada akhirnya
menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan penyelesaian administrasi pajak
kendaraannya.
Insiden pajak Lexus ini menjadi
tantangan langsung terhadap citra Dedi Mulyadi sebagai pemimpin populis dan
narasi kepatuhan pajak yang sering ia sampaikan. Penjelasan yang ia berikan
mengenai kerumitan birokrasi mutasi dan status leasing dapat dipandang sebagai
upaya untuk mengelola narasi dan memitigasi potensi kerusakan kredibilitas.
Penyelesaian yang relatif cepat setelah isu ini mencuat ke publik menunjukkan
kesadaran akan sensitivitas politik dari masalah ini dan pentingnya menjaga
citra publik.
Lebih jauh, kontroversi ini juga
secara tidak langsung menyoroti kekayaan pribadi Dedi Mulyadi, khususnya
kepemilikan kendaraan mewah (Lexus LX600 yang nilainya ditaksir antara Rp 1.9
miliar hingga Rp 3.9 miliar berdasarkan LHKPN ) pada saat ia sedang mengimplementasikan
kebijakan keringanan pajak untuk masyarakat umum. Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN) miliknya memang mencatat aset yang cukup besar,
termasuk beberapa kendaraan dan properti. Penjajaran antara gaya hidup elit
politik dengan kebijakan yang ditujukan untuk meringankan beban rakyat dapat
memicu sorotan publik mengenai ketimpangan ekonomi dan gaya hidup pejabat
negara.
VI. Peran di Legislatif
Nasional dan Pandangan Partai
Selama masa baktinya sebagai
anggota DPR RI periode 2019-2023, Dedi Mulyadi tercatat pernah bertugas di
Komisi IV (Pertanian, Kehutanan, Kelautan) dan Komisi VI (Perdagangan,
Industri, Investasi, BUMN). Namun, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, materi
riset yang tersedia tidak memberikan bukti spesifik mengenai peran aktif Dedi
Mulyadi dalam mengadvokasi atau menentang undang-undang perpajakan nasional
tertentu selama periode tersebut. Tidak ditemukan catatan dalam sumber yang
dianalisis mengenai keterlibatannya dalam pembahasan RUU Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (KUP) atau perdebatan mengenai perubahan tarif Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) di tingkat nasional. Pernyataan publiknya yang tercatat
terkait pajak selama periode ini cenderung berfokus pada isu regional, seperti
usulannya agar pendapatan PKB di Jawa Barat sepenuhnya digunakan untuk jalan.
Partai Gerindra, tempat Dedi
Mulyadi bernaung sejak 2023 , terlihat terlibat dalam diskursus perpajakan
nasional. Partai ini tercatat memberikan pandangan resmi dalam proses
legislasi, misalnya terkait RUU KUP. Gerindra juga terlibat dalam perdebatan
mengenai rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen, dengan elit partai
mengakui adanya keberatan publik terhadap kebijakan tersebut. Di tingkat lokal,
fraksi Gerindra di daerah juga menunjukkan perhatian pada optimalisasi sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Meskipun Dedi Mulyadi kini
merupakan figur senior di Gerindra dengan jabatan Wakil Ketua Dewan Pembina ,
kebijakan perpajakan konkret yang ia implementasikan sebagai Gubernur (amnesti
PKB/BBNKB, insentif mutasi, dukungan PBB) lebih banyak menyangkut instrumen
pajak regional/lokal. Sementara itu, catatan mengenai sikap Partai
Gerindra yang tersedia lebih banyak membahas isu pajak nasional seperti
PPN dan UU KUP. Dengan demikian, berdasarkan data yang ada, sulit untuk
menentukan tingkat keselarasan atau perbedaan spesifik antara kebijakan pajak
regional yang diusung Dedi Mulyadi dengan platform fiskal nasional Partai
Gerindra secara detail, di luar kesamaan umum dalam mendukung optimalisasi
pendapatan daerah. Fokus Dedi Mulyadi tampaknya lebih pragmatis pada isu-isu
fiskal yang relevan langsung dengan pemerintahannya di Jawa Barat.
VII. Analisis dan Sintesis
Analisis terhadap pandangan dan
kebijakan perpajakan Dedi Mulyadi, berdasarkan materi yang tersedia,
mengungkapkan beberapa pola dan tema utama. Terdapat konsistensi antara
retorika populisnya yang menekankan keberpihakan pada rakyat kecil dan
kebijakan konkret yang ia terapkan di awal masa jabatannya sebagai Gubernur
Jawa Barat, seperti amnesti pajak kendaraan dan dukungan terhadap pembebasan
PBB untuk kalangan tertentu. Kebijakan ini sejalan dengan pandangannya mengenai
perlunya meringankan beban masyarakat dan menggunakan dana pajak untuk
pembangunan yang dirasakan langsung, seperti infrastruktur jalan.
Namun, konsistensi ini diuji oleh
kontroversi kepatuhan pajak pribadinya. Isu tunggakan pajak mobil Lexus
menciptakan ketegangan antara citra pemimpin yang harus memberi teladan dengan
realitas administratif yang dihadapinya. Meskipun ia memberikan penjelasan
rasional terkait proses mutasi dan status leasing , insiden ini tetap menjadi
catatan yang berpotensi mempengaruhi persepsi publik.
Motivasi di balik kebijakan
amnesti dan insentif mutasi tampaknya bersifat multifaset. Secara politik,
kebijakan ini efektif untuk membangun popularitas dan citra positif di awal
masa jabatan. Secara fiskal, meskipun ada potensi kehilangan pendapatan
jangka pendek akibat amnesti, kebijakan ini diharapkan dapat memperbaiki data
kepatuhan dan memperluas basis pajak kendaraan di Jawa Barat dalam jangka
panjang melalui mutasi. Kebijakan ini juga secara pragmatis mengatasi masalah
nyata berupa banyaknya kendaraan beroperasi di Jabar namun terdaftar di
provinsi lain.
Mengenai evolusi pandangan, data
yang terbatas mengenai kebijakan spesifiknya saat menjadi Bupati Purwakarta
menyulitkan penarikan kesimpulan definitif. Namun, terlihat adanya pergeseran
dari gagasan umum tentang manajemen fiskal ke implementasi program-program
pajak berskala besar dengan dampak langsung ke masyarakat luas saat menjadi
Gubernur. Hal ini mungkin mencerminkan perbedaan skala kewenangan dan
tantangan antara memimpin kabupaten dan provinsi.
Dampak dari kebijakan ini juga
bersifat ganda. Di satu sisi, ada manfaat nyata berupa keringanan finansial
bagi warga dan potensi peningkatan PAD di masa depan. Di sisi lain,
terdapat kritik mengenai potensi moral hazard, isu keadilan bagi
pembayar pajak patuh , serta pertanyaan mengenai kredibilitas pemimpin akibat
isu kepatuhan pribadi.
Secara keseluruhan, Dedi Mulyadi tampak
sangat mengandalkan instrumen fiskal populis dalam menjalankan perannya
sebagai Gubernur. Fokus pada keringanan pajak, pengampunan, dan menghubungkan
pajak dengan manfaat langsung adalah ciri khas pendekatan ini. Prioritasnya
adalah meraih dukungan publik dan menyelesaikan isu-isu yang kasat mata,
meskipun analisis eksternal menyoroti potensi risiko fiskal jangka panjang.
Pendekatannya juga terkesan
lebih bersifat pragmatis daripada ideologis. Kebijakan yang diambil tampak
didorong oleh konteks spesifik (masalah kepatuhan PKB, isu kendaraan plat luar,
kontroversi pribadi) dan kebutuhan politik saat itu. Perpindahan partai dari
Golkar ke Gerindra serta fokusnya pada isu pajak regional (PKB, BBNKB, PBB)
ketimbang terlibat aktif dalam perdebatan pajak nasional (seperti PPN ) semakin
memperkuat kesan gaya politik pragmatis yang berorientasi pada penyelesaian
masalah di tingkat pemerintahannya.
VIII. Kesimpulan
Berdasarkan analisis terhadap
materi riset yang tersedia, pandangan dan kebijakan perpajakan Dedi Mulyadi,
khususnya dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Jawa Barat, menunjukkan karakteristik
yang kuat dari pendekatan fiskal populis. Kebijakan utamanya di awal masa
jabatan, seperti amnesti tunggakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) serta insentif mutasi kendaraan ke Jawa Barat,
dirancang untuk memberikan keringanan langsung kepada masyarakat luas dan
secara simultan bertujuan untuk meningkatkan potensi pendapatan daerah serta
memperbaiki data kepatuhan dalam jangka panjang.
Pandangannya secara konsisten
menekankan pentingnya kepatuhan pajak oleh warga negara dan perlunya
pemimpin memberikan teladan. Ia juga mengaitkan secara langsung penerimaan
pajak, terutama PKB, dengan pembangunan infrastruktur yang nyata seperti jalan
raya. Selain itu, ia menyuarakan kepedulian terhadap keadilan fiskal antar
daerah dan penggunaan anggaran untuk mengatasi masalah sosial dan lingkungan.
Namun, citra dan retorika
kepatuhan pajak ini sempat diuji oleh kontroversi mengenai tunggakan pajak
kendaraan mewah pribadinya. Meskipun ia telah memberikan penjelasan terkait
kendala administratif dan status kendaraan, serta akhirnya menyelesaikan kewajiban
tersebut, insiden ini menyoroti adanya potensi ketegangan antara pernyataan
publik dan praktik pribadi, yang dapat mempengaruhi persepsi publik.
Tema dominan yang muncul adalah
penggunaan instrumen pajak regional (PKB, BBNKB, PBB) sebagai alat kebijakan
utama, pendekatan pragmatis dalam merespons isu spesifik dan konteks politik,
serta strategi komunikasi yang menekankan manfaat langsung bagi masyarakat.
Terdapat beberapa kompleksitas
dan keterbatasan dalam analisis ini. Potensi dampak negatif dari kebijakan
amnesti, seperti moral hazard dan isu keadilan, perlu menjadi perhatian
dalam evaluasi jangka panjang. Selain itu, terdapat keterbatasan data yang
signifikan mengenai kebijakan perpajakan spesifik yang diterapkan Dedi Mulyadi
selama sepuluh tahun masa jabatannya sebagai Bupati Purwakarta, yang
menghalangi analisis mendalam mengenai evolusi pemikirannya secara utuh.
Kesimpulannya, Dedi Mulyadi
menampilkan profil kebijakan fiskal yang berorientasi pada solusi pragmatis dan
populer di tingkat regional. Kebijakannya di awal masa jabatan Gubernur
Jawa Barat memberikan gambaran jelas mengenai strateginya saat ini, namun
pemahaman yang lebih komprehensif mengenai rekam jejak historisnya memerlukan
data tambahan yang tidak tersedia dalam materi riset ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar