Kepastian hukum merupakan pilar penting dalam sistem peradilan pajak, memberikan prediktabilitas, kejelasan, dan konsistensi bagi para pihak yang terlibat. Hukum acara peradilan pajak di Indonesia mengandung berbagai mekanisme yang dirancang untuk mewujudkan asas ini.
A. Jangka Waktu Prosedural
yang Tegas
Salah satu manifestasi utama
kepastian hukum adalah adanya penetapan jangka waktu yang jelas dan mengikat
untuk setiap tahapan prosedur penyelesaian sengketa di Pengadilan Pajak. UU No.
14 Tahun 2002 mengatur berbagai tenggat waktu krusial, antara lain:
- Pengajuan Upaya Hukum:
Banding harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal
diterimanya Keputusan yang dibanding (Pasal 35 ayat (2)). Gugatan terhadap
pelaksanaan penagihan pajak diajukan dalam 14 hari sejak tanggal
pelaksanaan penagihan (Pasal 40 ayat (2)), sedangkan Gugatan terhadap
keputusan selain itu diajukan dalam 30 hari sejak tanggal diterima
Keputusan yang digugat (Pasal 40 ayat (3)).
- Penyerahan Dokumen:
Terbanding atau tergugat wajib menyerahkan Surat Uraian Banding atau Surat
Tanggapan dalam waktu 3 bulan (Banding) atau 1 bulan (Gugatan) sejak
tanggal dikirim permintaan oleh Pengadilan Pajak. Pemohon Banding atau
penggugat dapat menyerahkan Surat Bantahan dalam waktu 1 bulan sejak
tanggal dikirim salinan Surat Uraian Banding/Tanggapan (Pasal 45).
- Proses Persidangan:
Majelis/Hakim Tunggal harus sudah mulai bersidang dalam waktu 6 bulan
(Banding) atau 3 bulan (Gugatan) sejak tanggal diterimanya Surat
Banding/Gugatan (Pasal 48).
- Pengambilan Putusan: Putusan
pemeriksaan dengan Acara Biasa harus diambil dalam waktu 12 bulan untuk
Banding dan 6 bulan untuk Gugatan, sejak Surat Banding/Gugatan diterima
(Pasal 81). Jangka waktu ini dapat diperpanjang paling lama 3 bulan dalam
hal-hal khusus. Putusan pemeriksaan dengan Acara Cepat memiliki jangka
waktu yang lebih pendek, bervariasi antara 1 hingga 6 bulan tergantung
jenis sengketanya (Pasal 82).
- Upaya Hukum Luar Biasa:
Permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung juga memiliki batas
waktu pengajuan yang spesifik tergantung alasannya, misalnya 3 bulan sejak
diketahuinya kebohongan/tipu muslihat atau sejak putusan pidana
berkekuatan hukum tetap (Pasal 91 huruf a, Pasal 92 ayat (1) UU No.
14/2002, Pasal 6 PERMA tentang PK Pajak). Mahkamah Agung juga memiliki
batas waktu untuk memeriksa dan memutus PK (Pasal 93).
Penetapan jangka waktu yang
tegas ini bertujuan memberikan kepastian mengenai alur dan durasi proses
penyelesaian sengketa, sehingga para pihak dapat mempersiapkan diri dan
mengantisipasi tahapan selanjutnya secara lebih terukur.
B. Kejelasan Mekanisme Upaya
Hukum
Kepastian hukum juga
diwujudkan melalui kejelasan mengenai mekanisme upaya hukum yang tersedia bagi
para pihak:
- Pembedaan Banding dan Gugatan:
UU No. 14 Tahun 2002 secara jelas membedakan antara upaya hukum Banding
dan Gugatan. Banding secara spesifik ditujukan untuk menguji Keputusan
Keberatan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas keberatan WP
(Pasal 31 ayat (2), Pasal 35). Sedangkan Gugatan diajukan terhadap
pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan-keputusan lain di
bidang perpajakan yang tidak termasuk dalam lingkup keberatan (Pasal 31
ayat (3), Pasal 40). Pembedaan ini memberikan kejelasan mengenai jalur
hukum yang harus ditempuh sesuai dengan jenis sengketa yang dihadapi.
- Prosedur Pengajuan Terstruktur:
Tata cara pengajuan Banding dan Gugatan diatur secara terstruktur,
meliputi persyaratan formal seperti diajukan secara tertulis dalam Bahasa
Indonesia, memuat alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima
keputusan yang diuji, serta melampirkan salinan keputusan tersebut (Pasal
36, 40). Keteraturan prosedur ini memberikan kepastian mengenai
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar upaya hukum dapat diterima dan
diperiksa.
- Mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang
Terbatas: UU No. 14 Tahun 2002 menyediakan
mekanisme PK ke Mahkamah Agung sebagai satu-satunya upaya hukum (luar
biasa) terhadap putusan Pengadilan Pajak (Pasal 77 ayat (3)). Namun,
alasan pengajuan PK sangat dibatasi, hanya mencakup hal-hal seperti adanya
putusan berdasarkan kebohongan/tipu muslihat, bukti baru (novum), putusan
mengabulkan hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut, adanya
pertentangan putusan, atau kekhilafan hakim/kekeliruan nyata (Pasal 91).
Pembatasan alasan PK ini memperkuat sifat final putusan Pengadilan Pajak
dan menjaga kepastian hukum.
C. Kekuatan Hukum Tetap
Putusan (Final and Binding)
Salah satu pilar utama
kepastian hukum dalam sistem peradilan pajak Indonesia adalah sifat putusan
Pengadilan Pajak yang final dan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 77 ayat
(1), Pasal 83 ayat (1)). Artinya, putusan tersebut mengikat para pihak dan
pada prinsipnya tidak dapat diajukan upaya hukum biasa seperti banding (ke
pengadilan yang lebih tinggi dalam hierarki yang sama) atau kasasi ke Mahkamah
Agung (Pasal 80 ayat (3)).
Sifat final ini secara
eksplisit dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU No. 14 Tahun 2002 sebagai upaya
untuk memberikan kepastian hukum, khususnya bagi WP, mengenai besarnya pajak
yang terutang setelah melalui proses sengketa di Pengadilan Pajak. Meskipun
masih terbuka upaya hukum luar biasa berupa PK, pengajuan PK tidak menangguhkan
atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak (Pasal 92 ayat (2)) ,
sehingga kepastian eksekusi putusan tetap terjaga.
Selain itu, putusan Pengadilan
Pajak juga diakui memiliki kekuatan mengikat erga omnes, artinya
berlaku bagi siapa saja dan tidak hanya terbatas pada pihak-pihak yang
bersengketa secara langsung. Hal ini sejalan dengan karakteristik sengketa
pajak sebagai bagian dari hukum publik.
D. Kepastian Kelembagaan Pasca
Putusan MK 26/PUU-XXI/2023
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 26/PUU-XXI/2023 membawa implikasi signifikan terhadap kepastian hukum
dari aspek kelembagaan Pengadilan Pajak. Dengan mengalihkan seluruh pembinaan
(teknis, organisasi, administrasi, keuangan) ke bawah Mahkamah Agung dan
menempatkan Pengadilan Pajak dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN), putusan ini mengakhiri dualisme pembinaan yang selama ini menjadi
sumber ketidakpastian dan kritik.
Penempatan Pengadilan Pajak
secara tegas di bawah satu atap kekuasaan kehakiman (MA) diharapkan dapat
meningkatkan kepastian hukum dalam beberapa hal. Pertama, independensi
kelembagaan yang lebih kuat diharapkan menghasilkan putusan yang lebih objektif
dan konsisten, bebas dari potensi pengaruh eksekutif. Kedua, pembinaan
terpadu oleh MA berpotensi mendorong kesatuan hukum (rechtsenheid)
melalui mekanisme seperti rapat pleno kamar dan penerbitan SEMA yang mengikat,
sehingga mengurangi disparitas putusan untuk kasus serupa. Ketiga,
standardisasi administrasi peradilan di bawah MA diharapkan menciptakan
prosedur yang lebih pasti dan seragam.
Namun demikian, perlu dicatat
bahwa proses pengalihan pembinaan ini diamanatkan untuk dilaksanakan secara
bertahap selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026. Periode transisi ini,
yang melibatkan penyesuaian signifikan dalam aspek organisasi, administrasi,
keuangan, sumber daya manusia, dan mungkin juga budaya kerja antara Kemenkeu
dan MA, berpotensi menimbulkan ketidakpastian jangka pendek. Koordinasi antar
lembaga, penerbitan regulasi turunan untuk implementasi pengalihan, penyesuaian
sistem teknologi informasi, dan adaptasi para pemangku kepentingan akan menjadi
krusial. Munculnya kebingungan prosedural atau administratif, potensi
keterlambatan layanan, atau bahkan resistensi terhadap perubahan selama masa
transisi ini merupakan risiko yang perlu dimitigasi. Oleh karena itu, meskipun
tujuan jangka panjang dari Putusan MK adalah memperkuat kepastian hukum,
manajemen transisi yang efektif sangat diperlukan untuk meminimalkan potensi
ketidakpastian dalam jangka pendek bagi para pengguna layanan Pengadilan Pajak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar