I. Pendahuluan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
merupakan salah satu pilar utama sistem perpajakan di Indonesia. Sebagai pajak
atas konsumsi, PPN dikenakan pada hampir setiap transaksi barang dan jasa yang
terjadi di dalam negeri. Karakteristik utama PPN adalah sifatnya yang umum (general),
tidak langsung (indirect), dan dikenakan atas konsumsi (on
consumption). Artinya, beban pajak pada akhirnya ditanggung oleh konsumen
akhir, meskipun pemungutan dan penyetorannya dilakukan oleh Pengusaha Kena
Pajak (PKP) pada setiap mata rantai produksi dan distribusi. PPN memegang
peranan vital sebagai sumber pendapatan negara yang signifikan, digunakan untuk
membiayai berbagai program pembangunan dan pelayanan publik. Selain itu, PPN
juga berfungsi sebagai instrumen kebijakan ekonomi, misalnya untuk
mengendalikan inflasi atau melindungi produk dalam negeri.
Dalam upaya mengoptimalkan
sistem perpajakan nasional, pemerintah Indonesia secara berkala melakukan
penyesuaian dan reformasi. Langkah reformasi terkini yang signifikan adalah
pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
(UU HPP) pada 29 Oktober 2021.
UU HPP membawa perubahan
mendasar pada beberapa undang-undang perpajakan utama, termasuk Undang-Undang
PPN. Tujuan utama UU HPP adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, mendukung percepatan pemulihan ekonomi pasca-pandemi, serta menciptakan
sistem perpajakan yang lebih adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Khusus
terkait PPN, perubahan yang diamanatkan oleh UU HPP mulai berlaku efektif sejak
tanggal 1 April 2022. Perubahan ini mencakup penyesuaian tarif, perluasan basis
pajak, pengenalan PPN dengan besaran tertentu, dan reklasifikasi beberapa
barang dan jasa terkait pengenaan PPN.
II. Dasar Hukum dan Definisi
Kunci
A. Undang-Undang PPN yang
Berlaku
Dasar hukum utama yang
mengatur PPN di Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (UU PPN). Undang-undang ini telah mengalami beberapa kali
perubahan untuk menyesuaikan dengan dinamika ekonomi dan kebutuhan penerimaan
negara. Perubahan terakhir dan paling signifikan dilakukan melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
(UU HPP). Oleh karena itu, acuan yang digunakan dalam laporan ini adalah UU
Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah dikonsolidasikan dengan
perubahan-perubahan terakhirnya hingga UU HPP. Teks konsolidasi ini menjadi
rujukan utama untuk memahami ketentuan PPN yang berlaku saat ini.
B. Definisi Kunci Sesuai Pasal
1 UU PPN
Untuk memahami ruang lingkup
objek PPN, penting untuk mengacu pada definisi-definisi kunci yang tercantum
dalam Pasal 1 UU PPN Konsolidasi :
- Daerah Pabean:
Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan
ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang
kepabeanan. Ini mendefinisikan batas geografis penerapan PPN domestik.
- Barang: Barang berwujud
(baik bergerak maupun tidak bergerak) dan barang tidak berwujud. Definisi
ini sangat luas mencakup segala jenis properti fisik maupun non-fisik.
- Barang Kena Pajak (BKP):
Barang sebagaimana didefinisikan di atas yang dikenai PPN berdasarkan UU
PPN. Status "Kena Pajak" ini ditentukan oleh UU, kecuali jika
secara eksplisit dikecualikan (Pasal 4A) atau diberi fasilitas (Pasal
16B).
- Penyerahan BKP:
Setiap kegiatan penyerahan BKP. Ini mencakup berbagai bentuk pengalihan
hak, seperti penyerahan karena perjanjian jual beli, perjanjian sewa beli
(leasing), penyerahan kepada pedagang perantara, pemakaian sendiri
atau pemberian cuma-cuma, penyerahan secara konsinyasi, dan penyerahan
aktiva yang tersisa saat pembubaran perusahaan (jika Pajak Masukannya
dapat dikreditkan). Frasa "setiap kegiatan" menunjukkan cakupan
yang luas.
- Jasa: Setiap kegiatan
pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang
menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk
dipakai. Termasuk juga jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
karena pesanan dengan bahan dan petunjuk dari pemesan.
- Jasa Kena Pajak (JKP):
Jasa sebagaimana didefinisikan di atas yang dikenai PPN berdasarkan UU
PPN. Sama seperti BKP, status "Kena Pajak" ditentukan oleh UU,
kecuali dikecualikan atau diberi fasilitas.
- Penyerahan JKP:
Setiap kegiatan pemberian JKP.
- Impor: Setiap kegiatan
memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
- Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean: Setiap kegiatan pemanfaatan BKP Tidak
Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
- Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean:
Setiap kegiatan pemanfaatan JKP yang berasal dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
- Ekspor BKP Berwujud:
Setiap kegiatan mengeluarkan BKP Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar
Daerah Pabean.
- Pengusaha:
Orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor
barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud
dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa (termasuk mengekspor jasa),
atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Definisi ini mencakup
spektrum luas pelaku ekonomi.
- Pengusaha Kena Pajak (PKP):
Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang
dikenai PPN berdasarkan UU ini. PKP inilah yang wajib memungut, menyetor,
dan melaporkan PPN.
Definisi-definisi yang luas
ini dirancang untuk mencakup sebagian besar aktivitas ekonomi yang melibatkan
barang dan jasa. Pembedaan antara "Barang" dan "Jasa",
serta status "Kena Pajak" (BKP/JKP), menjadi dasar penerapan PPN.
Konsep-konsep seperti "Penyerahan", "Impor",
"Ekspor", dan "Pemanfaatan dari Luar Daerah Pabean"
mendefinisikan peristiwa-peristiwa yang memicu kewajiban PPN. Cakupan yang luas
ini kemudian dipersempit melalui pengecualian spesifik dalam Pasal 4A atau
pemberian fasilitas dalam Pasal 16B untuk tujuan kebijakan tertentu. Memahami
definisi dasar ini adalah langkah awal yang krusial sebelum menganalisis objek
dan pengecualian PPN secara lebih rinci.
III. Objek Utama PPN Sesuai
Pasal 4 UU PPN
Pasal 4 ayat (1) UU PPN
Konsolidasi secara eksplisit menetapkan kegiatan-kegiatan utama yang menjadi
objek pengenaan PPN. Pasal ini merupakan jantung dari cakupan PPN di Indonesia.
A. Rincian Objek PPN
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1)
UU PPN Konsolidasi, PPN dikenakan atas : a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. b. Impor Barang Kena
Pajak (BKP). c. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha. d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak
(JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. f. Ekspor Barang Kena
Pajak (BKP) Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). g. Ekspor Barang Kena
Pajak (BKP) Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). h. Ekspor Jasa Kena
Pajak (JKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Daftar ini mencakup transaksi
domestik (a, c), transaksi lintas batas masuk (b, d, e), dan transaksi lintas
batas keluar (f, g, h).
B. Syarat Penyerahan BKP/JKP
yang Terutang PPN
Tidak semua penyerahan barang
atau jasa secara otomatis terutang PPN. Penjelasan Pasal 4 ayat (1)
UU PPN memberikan beberapa syarat implisit agar suatu penyerahan BKP atau JKP
(sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan c di atas) dikenakan PPN:
- Merupakan BKP atau JKP:
Barang atau jasa yang diserahkan haruslah termasuk dalam kategori Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sesuai definisi UU PPN. Jika barang atau
jasa tersebut termasuk dalam daftar negatif di Pasal 4A, maka
penyerahannya tidak terutang PPN.
- Dilakukan di dalam Daerah Pabean: Penyerahan
harus terjadi di dalam wilayah geografis yang didefinisikan sebagai Daerah
Pabean Indonesia. Penyerahan di luar Daerah Pabean tidak dikenai PPN
Indonesia (kecuali ekspor yang dikenai tarif 0%).
- Dilakukan dalam Rangka Kegiatan Usaha atau
Pekerjaan: Penyerahan harus dilakukan oleh Pengusaha
dalam konteks bisnis atau profesinya. Transaksi yang bersifat
pribadi atau di luar lingkup usaha/pekerjaan pengusaha pada umumnya tidak
termasuk objek PPN berdasarkan ketentuan ini. Sebagai contoh, penjualan
mobil pribadi oleh individu yang bukan pedagang mobil umumnya tidak
dikenai PPN berdasarkan Pasal 4(1)a, meskipun jika penjual adalah PKP dan
mobil tersebut adalah aset usaha, Pasal 16D mungkin relevan.
Kombinasi ketiga syarat ini
memastikan bahwa PPN fokus pada transaksi komersial atas barang dan jasa
kena pajak yang dikonsumsi di dalam wilayah ekonomi Indonesia.
C. Impor BKP dan Pemanfaatan
dari Luar Daerah Pabean
Selain penyerahan domestik,
Pasal 4 juga menetapkan PPN atas transaksi yang berasal dari luar negeri tetapi
dikonsumsi atau dimanfaatkan di Indonesia:
- Impor BKP (Pasal 4(1)b):
Setiap kegiatan memasukkan BKP dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah
Pabean dikenakan PPN. Pemungutan PPN atas impor ini umumnya dilakukan
bersamaan dengan pemungutan Bea Masuk oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai (DJBC).
- Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Luar
Daerah Pabean (Pasal 4(1)d): Kegiatan memanfaatkan
BKP Tidak Berwujud (seperti hak paten, merek dagang, software) dari
luar negeri di dalam Indonesia juga dikenakan PPN.
- Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean
(Pasal 4(1)e): Demikian pula, pemanfaatan JKP (seperti
jasa konsultasi, jasa teknik) dari penyedia jasa di luar negeri oleh pihak
di dalam Indonesia dikenakan PPN.
Pengenaan PPN atas impor dan
pemanfaatan BKP/JKP dari luar negeri ini bertujuan untuk menciptakan kesetaraan
perlakuan pajak (level playing field) antara penyedia barang/jasa
domestik dan luar negeri. Tanpa ketentuan ini, konsumen mungkin akan lebih
memilih barang impor atau jasa dari luar negeri yang (tanpa PPN) bisa jadi
lebih murah, sehingga merugikan industri dalam negeri.
Dengan mengenakan PPN atas
impor dan pemanfaatan dari luar negeri, beban pajak menjadi setara terlepas
dari asal barang atau jasa, sejalan dengan prinsip PPN sebagai pajak atas
konsumsi di dalam Daerah Pabean. Untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan JKP
dari luar negeri, pihak yang memanfaatkan di dalam negeri biasanya bertanggung
jawab untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan PPN terutang (mekanisme self-assessment).
IV. Kegiatan Lain yang
Dikenakan PPN
Selain objek utama yang
tercantum dalam Pasal 4, UU PPN juga secara khusus mengenakan PPN atas dua
kegiatan lain melalui Pasal 16C dan 16D, yaitu kegiatan membangun
sendiri dan penyerahan aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan.
A. Kegiatan Membangun Sendiri
(KMS) - Pasal 16C
- Dasar Hukum dan Definisi:
Pasal 16C UU PPN Konsolidasi menyatakan bahwa PPN dikenakan atas kegiatan
membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan
oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri atau
digunakan pihak lain. Kegiatan membangun sendiri (KMS) ini mencakup pembangunan
bangunan baru maupun perluasan bangunan lama. Termasuk dalam
pengertian ini adalah pembangunan yang dilakukan oleh pihak lain
(misalnya pemborong non-PKP) bagi orang pribadi atau badan, namun PPN atas
kegiatan tersebut tidak dipungut oleh pihak lain tersebut.
- Tujuan Pengaturan:
Pengenaan PPN KMS dimaksudkan untuk menciptakan keadilan dan mencegah
penghindaran PPN. Tanpa ketentuan ini, pihak yang membangun sendiri
(terutama untuk skala besar) tidak akan dikenai PPN, berbeda dengan pihak
yang membeli properti dari pengembang (developer) atau menggunakan
jasa kontraktor PKP yang keduanya dikenai PPN.
- Peraturan Pelaksana:
Batasan dan tata cara pengenaan PPN KMS diatur lebih lanjut oleh Peraturan
Menteri Keuangan (PMK). Peraturan yang berlaku saat ini adalah PMK
Nomor 61/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan
Membangun Sendiri, yang berlaku efektif sejak 1 April 2022, menggantikan
peraturan sebelumnya (PMK 163/2012 dan PMK 39/2010).
- Kriteria KMS yang Terutang PPN (PMK
61/2022): PPN KMS hanya dikenakan jika memenuhi
kriteria kumulatif berikut :
- Luas keseluruhan bangunan paling
sedikit 200 m² (dua ratus meter persegi). Batasan luas ini
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat berpenghasilan rendah dari
pengenaan PPN KMS.
- Konstruksi utama terdiri dari kayu,
beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja.
- Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau
tempat kegiatan usaha.
- Kegiatan pembangunan dapat dilakukan
sekaligus atau secara bertahap, sepanjang tenggang waktu antar tahapan
tidak lebih dari 2 (dua) tahun, maka dianggap sebagai satu kesatuan
kegiatan.
- Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan Tarif
Efektif: PPN KMS dihitung menggunakan DPP berupa
nilai tertentu, yaitu 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan
dan/atau dibayarkan untuk membangun bangunan pada setiap Masa Pajak
(bulanan) sampai bangunan selesai. Biaya perolehan tanah tidak termasuk
dalam perhitungan DPP ini. Tarif PPN yang berlaku (saat ini 11%) kemudian
dikalikan dengan DPP nilai tertentu tersebut. Sehingga, tarif efektif PPN
KMS adalah Tarif PPN x 20% = 11% x 20% = 2,2% dari total biaya
(tidak termasuk tanah). Terdapat rencana kenaikan tarif efektif menjadi
2,4% jika tarif umum PPN naik menjadi 12% pada tahun 2025.
- Saat Terutang dan Penyetoran: PPN
KMS terutang sejak saat bangunan mulai dibangun sampai dengan bangunan
selesai. Pembayaran PPN terutang dilakukan setiap bulan paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pengeluaran biaya.
- Pajak Masukan: Pajak
Masukan yang dibayar atas perolehan bahan bangunan atau jasa terkait KMS tidak
dapat dikreditkan. Penggunaan tarif efektif yang lebih rendah (2,2%)
pada dasarnya telah memperhitungkan PPN yang sudah dibayar atas pembelian
material tersebut. Meskipun PMK 61/2022 menyebutkan bahwa setoran PPN KMS dapat
dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan, pemahaman umum dan praktik yang
berlaku menganggap Pajak Masukan atas biaya KMS tidak dapat dikreditkan,
sejalan dengan logika tarif efektif yang lebih rendah.
Pengaturan PPN KMS ini
menargetkan proyek konstruksi non-bisnis berskala signifikan untuk
menjaga keadilan pajak. Batasan luas 200m² mengecualikan pembangunan rumah
sederhana. Penggunaan persentase tetap (20%) untuk DPP menyederhanakan
perhitungan bagi orang pribadi atau badan yang bukan PKP, sementara tarif
efektif 2,2% merupakan kompromi yang mengakui PPN yang telah dibayar atas
input.
B. Penyerahan Aktiva yang
Semula Tidak untuk Diperjualbelikan - Pasal 16D
- Dasar Hukum dan Objek:
Pasal 16D UU PPN Konsolidasi mengenakan PPN atas penyerahan BKP berupa
aktiva (aset) yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
yang dilakukan oleh PKP. Contoh aktiva ini meliputi mesin produksi,
bangunan pabrik/kantor, peralatan, perabotan, atau aset tetap lainnya yang
digunakan dalam operasional bisnis.
- Syarat Pengenaan Pajak:
Pengenaan PPN berdasarkan Pasal 16D memiliki syarat krusial: PPN hanya
dikenakan jika Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut pada saat
pembelian dahulu dapat dikreditkan oleh PKP sesuai ketentuan yang
berlaku.
- Pengecualian:
Jika Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat
dikreditkan, maka penyerahannya tidak dikenai PPN berdasarkan Pasal 16D.
UU secara eksplisit merujuk pada kondisi di Pasal 9 ayat (8) huruf b
(perolehan BKP/JKP yang tidak punya hubungan langsung dengan kegiatan
usaha) dan huruf c (perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor jenis
sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau
disewakan). Artinya, jika PKP menjual sedan yang digunakan direktur (yang
Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan), penjualan tersebut tidak
dikenai PPN Pasal 16D. Namun, jika sedan tersebut dibeli untuk usaha rental
mobil (Pajak Masukan dapat dikreditkan), maka penjualannya kemudian akan
terutang PPN Pasal 16D.
- Dasar Pengenaan Pajak (DPP):
DPP yang digunakan adalah Harga Pasar Wajar aktiva pada saat
penyerahan dilakukan.
- Tarif: Tarif PPN yang
berlaku umum (saat ini 11%) diterapkan pada DPP Harga Pasar Wajar.
- Administrasi:
Penyerahan aktiva berdasarkan Pasal 16D mengharuskan PKP menerbitkan
Faktur Pajak. Seringkali digunakan kode transaksi 09 untuk penyerahan
aktiva ini.
Ketentuan Pasal 16D ini
penting untuk mencegah PKP memperoleh keuntungan pajak yang tidak semestinya.
Jika PKP telah mengkreditkan Pajak Masukan saat membeli aset (menganggapnya
sebagai bagian dari biaya operasional untuk menghasilkan penyerahan kena pajak),
maka saat aset tersebut dijual (dikeluarkan dari siklus bisnis), PPN harus
dikenakan atas nilai jualnya untuk merefleksikan konsumsi nilai tambah yang
sebelumnya telah dikreditkan pajaknya. Sebaliknya, jika tidak ada kredit Pajak
Masukan yang dimanfaatkan di awal, maka tidak ada dasar untuk mengenakan PPN
pada saat penjualan kembali aset tersebut di kemudian hari. Keterkaitan dengan
kreditabilitas Pajak Masukan awal menjadi kunci utama penerapan Pasal 16D.
V. Ekspor Barang dan Jasa Kena
Pajak (Tarif PPN 0%)
Ekspor merupakan salah satu
kegiatan ekonomi yang mendapat perlakuan khusus dalam sistem PPN Indonesia,
yaitu pengenaan tarif 0%.
A. Dasar Hukum dan Tarif
Pasal 4 ayat (1) huruf f, g,
dan h UU PPN Konsolidasi secara jelas menyatakan bahwa ekspor BKP Berwujud,
ekspor BKP Tidak Berwujud, dan ekspor JKP yang dilakukan oleh PKP merupakan
objek PPN. Namun, Pasal 7 ayat (2) UU PPN Konsolidasi menetapkan bahwa tarif
PPN yang diterapkan atas ketiga jenis ekspor tersebut adalah 0% (nol persen).
B. Jenis Ekspor yang Dikenai
Tarif 0%
Tarif PPN 0% berlaku untuk :
- Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud:
Pengeluaran barang fisik dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
- Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Tidak
Berwujud: Pengeluaran barang non-fisik (seperti hak
cipta, paten, merek dagang) dari dalam Daerah Pabean untuk dimanfaatkan di
luar Daerah Pabean.
- Ekspor Jasa Kena Pajak (JKP):
Penyerahan jasa dari dalam Daerah Pabean untuk dimanfaatkan oleh penerima
jasa di luar Daerah Pabean.
C. Ekspor JKP Tertentu
Untuk ekspor JKP, tidak semua
jenis jasa secara otomatis berhak mendapatkan tarif 0%. Pasal 4 ayat (2) UU PPN
Konsolidasi mengamanatkan Menteri Keuangan untuk mengatur batasan kegiatan dan
jenis JKP yang ekspornya dikenai PPN 0%. Peraturan pelaksana yang relevan
adalah PMK No. 32/PMK.010/2019. Berdasarkan PMK tersebut, jenis-jenis
JKP yang ekspornya dikenai PPN 0% antara lain:
- Jasa Maklon
(kegiatan manufaktur berdasarkan pesanan dari luar negeri dengan bahan
baku dari pemesan dan kepemilikan barang jadi pada pemesan).
- Jasa Perbaikan dan Perawatan
(yang melekat pada barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah
Pabean).
- Jasa Pengurusan Transportasi
(Freight Forwarding) terkait barang untuk tujuan ekspor.
- Jasa Konsultasi Konstruksi
(terkait barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean).
- Jasa Teknologi dan Informasi.
- Jasa Penelitian dan Pengembangan
(Research and Development).
- Jasa Persewaan Alat Angkut
(pesawat udara/kapal laut untuk penerbangan/pelayaran internasional).
- Jasa Konsultasi
(bisnis, hukum, desain, SDM, teknik, akuntansi, perpajakan).
- Jasa Perdagangan
(mencarikan penjual barang di dalam Daerah Pabean untuk tujuan ekspor).
- Jasa Interkoneksi, penyelenggaraan
satelit, dan/atau komunikasi/konektivitas data.
Untuk mendapatkan fasilitas
tarif 0%, ekspor JKP ini harus memenuhi syarat formal, seperti adanya perikatan
tertulis yang jelas antara PKP dan penerima ekspor, serta adanya bukti
pembayaran yang sah.
D. Implikasi Tarif 0%
Penting untuk dipahami bahwa
tarif PPN 0% bukan berarti bebas PPN atau dikecualikan dari PPN. Ekspor
tetap merupakan objek PPN, namun pajaknya dihitung dengan tarif 0%. Implikasi
utamanya adalah:
- Tidak Ada Beban PPN pada Harga Ekspor:
Karena tarifnya 0%, tidak ada PPN yang ditambahkan pada harga jual barang
atau jasa yang diekspor.
- Kredit Pajak Masukan:
Berbeda dengan penyerahan yang dibebaskan dari PPN (di mana Pajak Masukan
tidak dapat dikreditkan), PKP yang melakukan ekspor dengan tarif 0% tetap
berhak mengkreditkan Pajak Masukan yang terkait dengan perolehan
barang/jasa untuk kegiatan ekspor tersebut. Hal ini memungkinkan eksportir
untuk mendapatkan kembali (restitusi) PPN yang telah mereka bayar atas
input produksi mereka.
- Kewajiban Administratif:
PKP eksportir tetap wajib menerbitkan dokumen yang dipersamakan dengan
Faktur Pajak (seperti Pemberitahuan Ekspor Barang/PEB untuk ekspor BKP)
dan melaporkan ekspor tersebut dalam SPT Masa PPN.
Penerapan tarif 0% pada ekspor
didasarkan pada prinsip destinasi (destination principle) dalam
PPN, di mana pajak seharusnya dikenakan di negara tempat barang atau jasa
dikonsumsi. Dengan tarif 0%, barang dan jasa Indonesia dapat masuk ke pasar
internasional tanpa dibebani PPN domestik, sehingga meningkatkan daya saingnya.
Kemampuan untuk mengkreditkan Pajak Masukan memastikan bahwa PPN Indonesia
tidak menjadi biaya tersembunyi dalam harga ekspor. Kebijakan ini secara
efektif membebaskan ekspor dari PPN Indonesia dan mendukung kegiatan ekspor
nasional.
VI. Barang dan Jasa yang Tidak
Dikenai PPN (Pasal 4A UU PPN Pasca UU HPP)
Pasal 4A UU PPN berfungsi
sebagai "daftar negatif" (negative list), yaitu
menyebutkan secara spesifik jenis barang dan jasa yang tidak termasuk
dalam pengertian BKP atau JKP, sehingga secara fundamental berada di luar
cakupan sistem PPN.
A. Konsep "Negative
List" Pasca UU HPP
Sebelum UU HPP, Pasal 4A
memuat daftar yang cukup panjang berisi barang dan jasa yang dikecualikan dari
PPN karena berbagai alasan sosial, ekonomi, atau administratif. Namun, UU HPP
secara signifikan mengubah Pasal 4A dengan menghapus banyak item dari daftar
negatif ini. Penghapusan ini terutama menyangkut barang kebutuhan pokok,
jasa kesehatan, dan jasa pendidikan, yang sebelumnya eksplisit tidak
dikenai PPN berdasarkan Pasal 4A. Meskipun dihapus dari Pasal 4A, barang dan
jasa ini kemudian diatur untuk mendapatkan fasilitas PPN (umumnya dibebaskan)
melalui Pasal 16B dan peraturan pelaksananya.
Akibatnya, daftar barang dan
jasa yang benar-benar tidak dikenai PPN (non-objek) berdasarkan Pasal 4A pasca
UU HPP menjadi jauh lebih pendek.
B. Barang yang Tidak Dikenai
PPN (Pasal 4A ayat (2))
Berdasarkan Pasal 4A ayat (2)
UU PPN Konsolidasi, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah :
- Makanan dan minuman yang disajikan
di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, termasuk yang
diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Pengecualian ini bertujuan
untuk menghindari pengenaan pajak berganda (PPN dan Pajak Restoran/Daerah)
atas objek yang sama.
- Uang, emas batangan untuk kepentingan
cadangan devisa negara, dan surat berharga.
Emas batangan selain untuk cadangan devisa negara berpotensi dikenai PPN.
C. Jasa yang Tidak Dikenai PPN
(Pasal 4A ayat (3))
Berdasarkan Pasal 4A ayat (3)
UU PPN Konsolidasi, jenis jasa yang tidak dikenai PPN adalah :
- Jasa keagamaan.
- Jasa kesenian dan hiburan
(seperti pertunjukan seni, kontes, pameran, sirkus, pacuan kuda, permainan
ketangkasan, rekreasi, panti pijat, diskotek, karaoke, bar, spa) yang
merupakan objek PDRD. Sama seperti makanan/minuman di restoran, ini
untuk menghindari pajak ganda. Namun, jika jenis jasa kesenian/hiburan
tertentu tidak menjadi objek PDRD (misalnya penyediaan fasilitas golf atau
streaming film), maka dapat dikenai PPN.
- Jasa perhotelan
(meliputi penyewaan kamar dan/atau ruangan di hotel) yang merupakan
objek PDRD. Fasilitas penunjang yang menyatu dengan sewa kamar
(seperti room service, AC, laundry) juga tidak dikenai PPN.
- Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam
rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
Ini terbatas pada jasa yang sifatnya pelayanan publik esensial yang hanya
dapat dilakukan oleh pemerintah sesuai kewenangannya.
- Jasa penyediaan tempat parkir
(yang dilakukan oleh pemilik atau pengelola kepada pengguna) yang
merupakan objek PDRD. Perlu dibedakan dengan jasa pengelolaan
tempat parkir yang diberikan kepada pemilik lahan parkir, yang bisa jadi
dikenai PPN.
- Jasa boga atau katering
(meliputi pelayanan penyediaan makanan dan minuman) yang merupakan
objek PDRD. Termasuk di dalamnya adalah penyediaan bahan, pembuatan,
penyimpanan, dan penyajian di lokasi yang diinginkan pemesan.
Fokus utama Pasal 4A pasca UU
HPP adalah pada item-item yang sudah dikenakan pajak di tingkat pemerintah
daerah (PDRD) untuk mencegah pajak berganda, serta beberapa kategori spesifik
seperti jasa keagamaan, fungsi pemerintahan tertentu, uang, dan emas cadangan
devisa. Penghapusan barang/jasa kebutuhan pokok, kesehatan, dan pendidikan dari
daftar ini merupakan perubahan struktural yang signifikan, menggeser perlakuan
pajaknya ke rezim fasilitas PPN di Pasal 16B.
D. Implikasi Tidak Dikenai PPN
Konsekuensi dari suatu barang
atau jasa yang tidak dikenai PPN berdasarkan Pasal 4A adalah:
- Transaksi atas barang/jasa tersebut
sepenuhnya berada di luar sistem PPN.
- Penjual atau penyedia jasa tidak
memungut PPN dari pembeli/pengguna jasa.
- Pajak Masukan yang terkait dengan
penyerahan barang/jasa ini umumnya tidak dapat dikreditkan oleh
penjual/penyedia jasa.
- Tidak ada kewajiban untuk menerbitkan
Faktur Pajak PPN atas transaksi ini.
VIII. Kesimpulan
A. Rangkuman Cakupan Objek PPN
Berdasarkan UU PPN Nomor 8
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU HPP, cakupan objek PPN
di Indonesia meliputi:
- Objek Utama (Pasal 4):
Penyerahan BKP dan JKP di dalam Daerah Pabean oleh pengusaha, Impor BKP,
Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan JKP dari luar Daerah Pabean, serta
Ekspor BKP (Berwujud dan Tidak Berwujud) dan JKP oleh PKP.
- Kegiatan Lain (Pasal 16C & 16D):
Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) dengan kriteria tertentu (luas ≥ 200m²)
dan Penyerahan aktiva oleh PKP yang tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan (jika Pajak Masukan atas perolehannya dapat dikreditkan).
- Ekspor (Pasal 7):
Meskipun merupakan objek PPN, ekspor BKP dan JKP tertentu dikenai tarif
PPN 0%, memungkinkan pengkreditan Pajak Masukan.
B. Dampak UU HPP terhadap
Objek PPN
UU HPP membawa perubahan
signifikan terhadap lanskap objek PPN di Indonesia:
- Penyempitan Daftar Negatif (Pasal 4A): Barang
dan jasa yang secara fundamental tidak dikenai PPN (non-objek) berkurang
drastis, kini mayoritas adalah item yang sudah menjadi objek Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (PDRD) serta beberapa item spesifik lainnya (uang,
emas cadangan devisa, jasa keagamaan).
- Perluasan Lingkup Fasilitas (Pasal 16B):
Banyak barang dan jasa yang sebelumnya tidak dikenai PPN (terutama
kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan) kini masuk dalam
kategori BKP/JKP strategis yang mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan
berdasarkan PP 49/2022. Ini secara teknis memperluas basis PPN namun
memberikan keringanan pajak untuk item-item esensial.
- Fleksibilitas Kebijakan:
Pergeseran dari Pasal 4A ke Pasal 16B memberikan pemerintah fleksibilitas
lebih besar untuk mengatur perlakuan PPN atas barang/jasa strategis
melalui Peraturan Pemerintah, tanpa harus mengubah Undang-Undang.
- Pengenalan PPN Besaran Tertentu (Pasal
9A): Meskipun tidak dibahas rinci di sini, UU HPP juga
memperkenalkan mekanisme PPN Final atau PPN Besaran Tertentu untuk PKP
dengan peredaran usaha tertentu atau jenis usaha/penyerahan tertentu, yang
menyederhanakan penghitungan PPN bagi kelompok tersebut.
- Penyesuaian Tarif:
UU HPP menaikkan tarif PPN umum secara bertahap (11% mulai April 2022, dan
potensi 12% mulai 2025).
Secara keseluruhan, UU HPP
mengarah pada sistem PPN dengan basis yang lebih luas secara prinsip, namun
dikelola melalui fasilitas yang lebih terstruktur dan fleksibel untuk mencapai
tujuan kebijakan sosial dan ekonomi.
C. Poin Penting untuk
Kepatuhan
Untuk memastikan kepatuhan
PPN, pelaku usaha perlu memperhatikan hal-hal berikut:
- Identifikasi Transaksi:
Krusial untuk secara akurat mengidentifikasi apakah suatu penyerahan
barang atau jasa termasuk dalam objek PPN (Pasal 4, 16C, 16D), tidak
dikenai PPN (Pasal 4A), dikenai tarif 0% (Pasal 7 - Ekspor), atau mendapat
fasilitas PPN (Pasal 16B - dibebaskan/tidak dipungut).
- Rujuk Peraturan Terkini:
Selalu mengacu pada UU PPN Konsolidasi terbaru dan peraturan pelaksana
yang relevan, seperti PP 49/2022 (fasilitas PPN), PMK 61/PMK.03/2022 (PPN
KMS), PMK 32/PMK.010/2019 (Ekspor JKP), dan peraturan terkait lainnya.
- Pahami Implikasi Pajak Masukan:
Perbedaan perlakuan Pajak Masukan (dapat dikreditkan atau tidak) antara
penyerahan dengan tarif 0%, penyerahan yang dibebaskan, dan penyerahan
yang tidak dikenai PPN sangat penting untuk pengelolaan arus kas dan biaya
perusahaan.
- Penuhi Kewajiban Administratif:
Pastikan penerbitan Faktur Pajak (atau dokumen yang dipersamakan)
dilakukan dengan benar sesuai jenis transaksi (termasuk kode transaksi dan
keterangan fasilitas jika ada) dan pelaporan SPT Masa PPN dilakukan secara
akurat dan tepat waktu.
- Monitoring Peraturan:
Peraturan perpajakan bersifat dinamis. Pelaku usaha perlu terus memantau
perkembangan peraturan PPN dan interpretasinya untuk menjaga kepatuhan.
Pemahaman yang tepat mengenai
objek PPN dan perlakuan khususnya merupakan fondasi penting bagi pengelolaan
perpajakan yang baik dan efisien di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar