Penerapan asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam penyelesaian sengketa pajak di Indonesia diatur dalam suatu kerangka hukum acara yang spesifik. Kerangka ini terutama bertumpu pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang dilengkapi dengan berbagai peraturan pelaksana dan terkait erat dengan undang-undang substantif di bidang perpajakan serta prinsip-prinsip umum kekuasaan kehakiman.
A. Undang-Undang No. 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak
UU No. 14 Tahun 2002 merupakan
landasan hukum utama bagi eksistensi dan operasional Pengadilan Pajak di
Indonesia. Beberapa aspek kunci dari undang-undang ini adalah:
- Tujuan Pembentukan:
Sebagaimana dinyatakan dalam bagian Menimbang dan Penjelasan Umum, UU ini
dibentuk dengan tujuan utama untuk menyelesaikan sengketa pajak
yang timbul antara WP/penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang
secara adil, melalui prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana.
Selain itu, pembentukan Pengadilan Pajak diharapkan mampu menciptakan
keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
- Kedudukan:
Pasal 2 UU No. 14 Tahun 2002 secara tegas menyatakan bahwa Pengadilan
Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi WP
atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.
Pengadilan Pajak berkedudukan di Ibukota Negara, namun persidangan
dapat dilaksanakan di tempat lain jika dipandang perlu, yang penetapannya
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Pajak.
- Struktur dan Susunan:
Bab II UU No. 14 Tahun 2002 mengatur mengenai susunan Pengadilan Pajak
yang terdiri atas Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua), Hakim (yang bersidang
dalam Majelis terdiri dari 3 hakim atau Hakim Tunggal), Kepaniteraan
(dipimpin Panitera, dibantu Wakil Panitera dan Panitera Pengganti), dan
Sekretariat (dipimpin Sekretaris).
- Kewenangan:
Kewenangan utama Pengadilan Pajak adalah memeriksa dan memutus sengketa
pajak (Pasal 31 ayat (1)). Sengketa pajak yang diperiksa dalam lingkup
Banding terbatas pada sengketa atas keputusan keberatan, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 31 ayat (2)).
Sementara itu, Gugatan dapat diajukan terhadap pelaksanaan penagihan pajak
atau terhadap keputusan selain yang diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP
(yang merupakan objek keberatan). Selain itu, Pengadilan Pajak juga
berwenang mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum dalam
persidangan (Pasal 33).
- Hukum Acara Kunci:
Bab IV UU No. 14 Tahun 2002 mengatur secara rinci hukum acara yang berlaku
di Pengadilan Pajak. Ketentuan-ketentuan kunci meliputi tata cara
pengajuan Banding (Pasal 35-37), pengajuan Gugatan (Pasal
40-43), persiapan persidangan (Pasal 44-48), mekanisme
pemeriksaan (Acara Biasa oleh Majelis dan Acara Cepat oleh
Majelis/Hakim Tunggal, Pasal 49-68), aturan pembuktian (Pasal
69-76), tata cara pengambilan dan jenis putusan (Pasal 77-89),
serta mekanisme upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali
(PK) ke Mahkamah Agung (Pasal 90-94).
B. Peraturan Pelaksana Utama
Untuk menjabarkan
ketentuan-ketentuan dalam UU No. 14 Tahun 2002, diterbitkan berbagai peraturan
pelaksana, antara lain:
- Peraturan Ketua Pengadilan Pajak (PER/KEP
KEPP): Peraturan ini mengatur aspek-aspek teknis
operasional sehari-hari, seperti tata cara administrasi sengketa pajak dan
persidangan secara elektronik melalui platform e-Tax Court (PER-1/PP/2023)
, tata cara permohonan izin kuasa hukum (PER-1/PP/2024), penunjukan
majelis hakim berdasarkan klasifikasi wilayah dan penetapan tempat sidang
di luar kedudukan (KEP-23/PP/2023) , serta prosedur layanan tatap muka di
Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) (SE-1/SP/2024). Berbagai Surat Edaran Ketua
atau Sekretaris Pengadilan Pajak juga diterbitkan untuk mengatur hal-hal
spesifik lainnya.
- Peraturan Mahkamah Agung (PERMA): Mengingat
PK atas putusan Pengadilan Pajak diajukan ke Mahkamah Agung, PERMA relevan
dalam mengatur tata cara pengajuan PK tersebut. PERMA No. 7 Tahun 2022
yang mengubah PERMA No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan
Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik juga menjadi relevan pasca
implementasi e-Tax Court dan pengalihan pembinaan ke MA. PERMA sebelumnya
yang spesifik mengatur PK Pajak juga pernah ada.
- Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan
Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (KMK):
Peraturan-peraturan ini umumnya mengatur aspek kelembagaan dan
administratif, seperti kedudukan protokoler Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
, tugas, tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja
kesekretariatan Pengadilan Pajak.
C. Keterkaitan dengan UU Lain
Hukum acara peradilan pajak
tidak berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan peraturan
perundang-undangan lainnya:
- UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP): Saat ini berlaku UU No. 6 Tahun 1983
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU No. 7 Tahun
2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU KUP mengatur
mengenai hak dan kewajiban WP dan fiskus, termasuk prosedur keberatan (Pasal
25) yang keputusannya menjadi objek Banding di Pengadilan Pajak. UU KUP
juga mengatur mengenai sanksi administrasi berupa denda yang terkait
dengan proses keberatan dan banding (Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat
(5d)) yang sering menjadi isu perdebatan.
- UU Kekuasaan Kehakiman:
Saat ini berlaku UU No. 48 Tahun 2009. Undang-undang ini menjadi landasan
bagi prinsip-prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, termasuk
independensi, imparsialitas, serta asas peradilan sederhana, cepat, dan
biaya ringan, yang relevan dengan kedudukan dan fungsi Pengadilan Pajak
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.
- UU Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN):
Saat ini berlaku UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009. Keterkaitan menjadi sangat
signifikan pasca Putusan MK No. 26/PUU-XXI/2023 yang secara eksplisit
menempatkan Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa objek
sengketa pajak pada dasarnya merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
D. Refleksi Asas dalam
Kerangka Hukum
Kerangka hukum acara peradilan
pajak, baik dalam UU No. 14 Tahun 2002 maupun peraturan pelaksananya, secara
eksplisit maupun implisit mencoba mengakomodasi ketiga asas fundamental:
- Keadilan:
Tercermin dari tujuan pembentukan Pengadilan Pajak itu sendiri , adanya
hak untuk mengajukan upaya hukum (Banding/Gugatan), hak didampingi kuasa
hukum , prinsip pemeriksaan terbuka untuk umum, serta diaturnya mekanisme
pembuktian yang bertujuan mencari kebenaran materiil.
- Kepastian Hukum:
Diwujudkan melalui penetapan jangka waktu yang jelas untuk setiap tahapan
prosedur , kejelasan mengenai jenis upaya hukum dan objek sengketanya ,
serta ditetapkannya putusan Pengadilan Pajak sebagai putusan akhir yang
berkekuatan hukum tetap (inkracht) , dengan mekanisme PK yang
terbatas.
- Kemanfaatan:
Terlihat dari mandat peradilan "cepat, murah, dan sederhana" ,
adanya mekanisme Acara Cepat, kemungkinan sidang di luar tempat kedudukan
untuk mendekatkan akses, dan yang paling signifikan adalah implementasi
e-Tax Court untuk efisiensi proses.
Meskipun demikian, penting
untuk dipahami bahwa keberadaan kerangka hukum formal ini merupakan titik awal,
bukan jaminan akhir tercapainya ketiga asas tersebut. UU No. 14 Tahun 2002 dan
peraturan pelaksananya menyediakan struktur dan prosedur yang
dirancang untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Namun, realisasi dari
tujuan-tujuan tersebut dalam praktik sangat bergantung pada berbagai faktor
implementasi. Kualitas sumber daya manusia (kompetensi dan integritas hakim,
panitera, dan staf pendukung), efektivitas pengawasan, ketersediaan sarana dan prasarana
(termasuk teknologi informasi), serta budaya hukum para pihak yang terlibat
(WP, kuasa hukum, fiskus) memainkan peran yang sangat krusial. Tantangan
seperti potensi inkompetensi, isu independensi (meskipun telah diatasi secara
normatif oleh Putusan MK), dan efektivitas nyata dari inovasi seperti e-Tax
Court menunjukkan bahwa keberhasilan pencapaian ketiga asas fundamental
memerlukan upaya berkelanjutan di tingkat implementasi, tidak hanya berhenti
pada penyempurnaan regulasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar