I. Pendahuluan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
merupakan salah satu pilar utama dalam sistem perpajakan Indonesia, berfungsi
sebagai pajak atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak
(JKP) yang dilakukan di dalam Daerah Pabean Indonesia. Sebagai pajak objektif
atas konsumsi, PPN dikenakan pada setiap mata rantai produksi dan distribusi,
namun beban akhirnya ditanggung oleh konsumen akhir. Pentingnya PPN tercermin
dari kontribusinya yang signifikan terhadap penerimaan negara, yang digunakan
untuk membiayai berbagai program pembangunan dan belanja pemerintah.
Dinamika kebijakan PPN di
Indonesia terus berkembang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) membawa perubahan signifikan,
termasuk penyesuaian tarif PPN. Sejak 1 April 2022, tarif umum PPN yang berlaku
adalah 11%, meningkat dari sebelumnya 10%. Lebih lanjut, UU HPP mengamanatkan
kenaikan tarif menjadi 12% yang akan berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.
Meskipun demikian, implementasi awal tarif 12% pada tahun 2025 difokuskan hanya
pada barang dan jasa yang tergolong mewah, sementara barang dan jasa non-mewah
tetap dikenakan tarif 11% melalui mekanisme penghitungan khusus berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.
Dalam kerangka sistem PPN,
pemerintah memiliki kewenangan untuk memberikan perlakuan perpajakan khusus,
yang dikenal sebagai fasilitas PPN. Pemberian fasilitas ini tidak dilakukan
secara sembarangan, melainkan didasarkan pada pertimbangan strategis untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu, seperti mendorong sektor ekonomi prioritas,
meningkatkan daya saing industri nasional, menjamin ketersediaan barang/jasa
esensial bagi masyarakat, mendukung pembangunan infrastruktur, atau menampung
perjanjian internasional.
Secara umum, terdapat beberapa
bentuk fasilitas PPN yang dikenal dalam peraturan perpajakan Indonesia,
antara lain:
- PPN Dibebaskan (VAT Exemption):
PPN atas penyerahan BKP/JKP tertentu dibebaskan dari pengenaan pajak.
Konsekuensinya, Pajak Masukan terkait perolehan BKP/JKP untuk menghasilkan
penyerahan yang dibebaskan ini tidak dapat dikreditkan.
- PPN Tidak Dipungut (VAT Zero-Rated
untuk tujuan tertentu atau Non-Collected VAT):
PPN tetap terutang, namun negara tidak memungutnya. Fasilitas ini sering
diberikan untuk kegiatan di kawasan tertentu (seperti Kawasan Berikat atau
Kawasan Bebas) atau atas penyerahan BKP/JKP strategis tertentu. Pajak
Masukan terkait umumnya dapat dikreditkan.
- PPN Ditanggung Pemerintah (DTP):
PPN yang terutang atas transaksi tertentu ditanggung oleh pemerintah
melalui alokasi anggaran. Fasilitas ini bersifat insidental dan sering
digunakan sebagai instrumen stimulus fiskal, contohnya PPN DTP untuk
sektor properti.
- PPN Tarif 0% (Zero-Rated VAT):
Dikenakan khusus untuk ekspor BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud, dan JKP
tertentu. Meskipun tarifnya 0%, mekanisme PPN tetap berjalan, dan Pajak
Masukan terkait ekspor ini dapat dikreditkan, bahkan dapat direstitusi.
Tulisan ini akan memfokuskan
pembahasan secara mendalam pada fasilitas PPN Dibebaskan. Fasilitas ini
memiliki peran krusial dalam memastikan keterjangkauan harga barang dan jasa
yang dianggap vital bagi masyarakat luas, seperti kebutuhan pokok, layanan
kesehatan, dan pendidikan, serta mendukung sektor-sektor strategis lainnya.
Analisis dalam tulisan ini
akan berlandaskan pada kerangka hukum yang berlaku saat ini, yaitu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (selanjutnya disebut UU
PPN), khususnya Pasal 16B, serta peraturan pelaksana utamanya, yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 (PP 49/2022).
Tujuan utama dari laporan ini
adalah untuk menyediakan pemahaman yang komprehensif dan akurat mengenai
fasilitas PPN Dibebaskan di Indonesia. Hal ini mencakup analisis dasar hukum,
identifikasi BKP dan JKP yang relevan, penjabaran kriteria dan syarat pemanfaatan,
prosedur administratif yang harus diikuti, serta implikasi penting dari
fasilitas ini, terutama perbedaannya dengan konsep barang/jasa yang tidak
dikenai PPN.
II. Landasan Hukum Fasilitas
PPN Dibebaskan
A. Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai (UU PPN)
Dasar hukum utama pengenaan
PPN di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983. Seiring dengan
perkembangan ekonomi dan kebutuhan penerimaan negara, UU ini telah mengalami
beberapa kali perubahan. Perubahan signifikan terakhir dilakukan melalui klaster
perpajakan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan
kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP tidak hanya mengubah
tarif PPN, tetapi juga mengkonsolidasikan dan merevisi berbagai ketentuan
material PPN, termasuk yang berkaitan dengan objek pajak dan fasilitas
perpajakan.
B. Pasal 16B UU PPN sebagai
Dasar Pemberian Fasilitas
Kewenangan pemerintah untuk
memberikan fasilitas PPN, baik dalam bentuk tidak dipungut maupun dibebaskan,
secara eksplisit diatur dalam Pasal 16B UU PPN sebagaimana telah diubah oleh UU
HPP. Ayat (1) Pasal 16B menyatakan bahwa pajak terutang dapat tidak dipungut
sebagian atau seluruhnya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk
sementara waktu maupun selamanya, untuk kegiatan, penyerahan, impor, atau
pemanfaatan BKP/JKP tertentu.
Penting untuk dicatat, UU HPP
melalui Pasal 16B ayat (1a) menetapkan bahwa pemberian fasilitas PPN (tidak
dipungut atau dibebaskan) kini dibatasi untuk mencapai 10 tujuan spesifik.
Tujuan-tujuan tersebut adalah:
- Mendorong ekspor dan hilirisasi industri
prioritas nasional.
- Menampung kemungkinan perjanjian dengan
negara lain.
- Mendorong peningkatan kesehatan masyarakat
(misalnya melalui pengadaan vaksin program nasional).
- Meningkatkan pendidikan dan kecerdasan
bangsa (misalnya melalui penyediaan buku pelajaran/kitab suci dengan harga
terjangkau).
- Mendorong pembangunan tempat ibadah.
- Menjamin terlaksananya proyek pemerintah
yang dibiayai hibah/pinjaman luar negeri.
- Mengakomodasi kelaziman internasional
dalam importasi BKP tertentu yang dibebaskan Bea Masuk.
- Membantu tersedianya BKP/JKP untuk
penanganan bencana alam/nonalam nasional.
- Menjamin tersedianya angkutan umum udara
di daerah tertentu.
- Mendukung tersedianya BKP/JKP tertentu
yang bersifat strategis untuk pembangunan nasional.
Perubahan ini merupakan
penyederhanaan dari 15 kriteria yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan
Pasal 16B ayat (1) UU PPN versi sebelum UU HPP. Perampingan kriteria ini
mengindikasikan upaya pemerintah untuk lebih menseleksi dan memfokuskan
pemberian fasilitas PPN pada sektor dan kegiatan yang benar-benar dianggap
prioritas dan strategis secara nasional. Konsekuensinya, beberapa kegiatan atau
penyerahan yang mungkin sebelumnya dapat memperoleh fasilitas berdasarkan
kriteria lama, kini tidak lagi tercakup kecuali secara eksplisit masuk dalam
salah satu dari 10 tujuan baru tersebut. Hal ini bertujuan meningkatkan
ketepatan sasaran dan efektivitas pemberian fasilitas fiskal.
C. Peraturan Pemerintah (PP)
No. 49 Tahun 2022
Sebagai tindak lanjut dari
amanat Pasal 16B UU PPN pasca UU HPP, pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022. PP ini menjadi aturan pelaksana utama yang
mengatur secara detail jenis-jenis BKP dan JKP tertentu serta BKP dan JKP
tertentu yang bersifat strategis yang mendapatkan fasilitas PPN Dibebaskan atau
PPN Tidak Dipungut.
Penerbitan PP 49/2022 ini juga
bertujuan untuk menyederhanakan dan menyatukan pengaturan fasilitas PPN yang
sebelumnya tersebar dalam beberapa peraturan pemerintah terpisah. PP ini
secara eksplisit mencabut beberapa PP sebelumnya, seperti PP No. 81 Tahun 2015
(tentang BKP Strategis Dibebaskan PPN), PP No. 40 Tahun 2015 (tentang
Penyerahan Air Bersih Dibebaskan PPN), dan PP No. 50 Tahun 2019 (tentang Alat
Angkutan Tertentu Tidak Dipungut PPN).
Secara struktur, PP 49/2022
membagi pengaturan fasilitas PPN Dibebaskan ke dalam dua bab utama:
- Bab II: Mengatur Impor
dan/atau Penyerahan BKP Tertentu dan/atau Penyerahan JKP
Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN.
- Bab III & IV:
Mengatur Impor dan/atau Penyerahan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis
serta Penyerahan/Pemanfaatan JKP Tertentu yang Bersifat Strategis yang
Dibebaskan dari Pengenaan PPN.
D. Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Turunan
Untuk mengatur aspek teknis
yang lebih rinci, PP 49/2022 seringkali mendelegasikan pengaturannya lebih
lanjut kepada Peraturan Menteri Keuangan (PMK). PMK ini biasanya mengatur
mengenai kriteria spesifik suatu BKP/JKP agar dapat dibebaskan PPN, batasan-batasan
kuantitatif atau kualitatif, serta tata cara administratif pemanfaatan
fasilitas, termasuk mekanisme pengajuan dan penggunaan Surat Keterangan Bebas
(SKB) PPN jika diperlukan.
Sebagai contoh, PMK Nomor
157 Tahun 2023 secara khusus mengatur tata cara pembebasan PPN untuk
impor/penyerahan BKP/JKP strategis yang berkaitan dengan keperluan pertahanan
dan keamanan negara, termasuk prosedur pengajuan SKB PPN oleh Kementerian
Pertahanan, TNI, atau pihak yang ditunjuk. Contoh lain adalah PMK Nomor
115/PMK.03/2021 yang (meskipun terbit sebelum PP 49/2022) mengatur tata cara
pemberian fasilitas PPN Dibebaskan untuk BKP strategis tertentu seperti mesin
dan peralatan pabrik, termasuk syarat pengajuan SKB PPN. Penting bagi Wajib Pajak
untuk selalu merujuk pada PMK turunan yang relevan dan terbaru untuk memastikan
pemenuhan prosedur yang benar.
III. Perbedaan PPN Dibebaskan
vs Tidak Dikenai PPN (Non-Objek)
Pemahaman yang tepat mengenai
perbedaan antara fasilitas "PPN Dibebaskan" dan barang/jasa yang
"Tidak Dikenai PPN" (sering disebut Non-Objek PPN atau
Non-BKP/Non-JKP) sangat krusial karena memiliki implikasi hukum dan
administratif yang berbeda.
A. Barang/Jasa Tidak Dikenai
PPN (Non-BKP/Non-JKP - Pasal 4A UU PPN)
Sebelum berlakunya UU HPP, UU
PPN menganut pendekatan negative list yang cukup luas, di mana Pasal 4A
ayat (2) dan (3) mendaftar secara spesifik jenis-jenis barang dan jasa yang
dikecualikan dari pengenaan PPN. Barang dan jasa dalam daftar ini secara
definitif berada di luar sistem PPN.
Namun, UU HPP secara
signifikan mengubah Pasal 4A UU PPN dengan menghapus sebagian besar item dari
daftar negative list tersebut. Jenis barang dan jasa yang tersisa dalam
Pasal 4A dan tetap berstatus sebagai Non-BKP/Non-JKP setelah UU HPP umumnya
adalah:
- Makanan dan minuman yang disajikan di
hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (termasuk yang
diserahkan oleh jasa boga/katering), yang merupakan objek Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (PDRD) untuk menghindari pajak berganda.
- Jasa perhotelan, jasa penyediaan tempat
parkir, serta jasa kesenian dan hiburan tertentu yang juga merupakan objek
PDRD.
- Uang, emas batangan (untuk investasi atau
cadangan devisa, bukan perhiasan), dan surat berharga.
Implikasi utama dari status
Non-BKP/Non-JKP adalah penyerahannya tidak terutang PPN sama sekali.
Konsekuensi logisnya, Pajak Masukan yang mungkin dibayar oleh pengusaha atas
perolehan barang/jasa yang digunakan untuk menghasilkan atau menyerahkan
Non-BKP/Non-JKP ini tidak dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak
Keluaran yang terutang untuk dikompensasikan. Selain itu, pengusaha yang
melakukan penyerahan Non-BKP/Non-JKP tidak memiliki kewajiban untuk
menerbitkan Faktur Pajak PPN atas transaksi tersebut.
B. Fasilitas PPN Dibebaskan
(Pasal 16B UU PPN & PP 49/2022)
Berbeda dengan
Non-BKP/Non-JKP, barang dan jasa yang mendapatkan fasilitas PPN Dibebaskan
berdasarkan Pasal 16B UU PPN dan PP 49/2022 pada hakikatnya adalah BKP dan
JKP. Artinya, barang dan jasa tersebut memenuhi definisi dan kriteria
sebagai objek PPN, namun pemerintah secara khusus memberikan pembebasan dari
pengenaan PPN atas penyerahannya berdasarkan pertimbangan strategis atau sosial
tertentu.
Konsekuensi utama dan yang
paling membedakan dari fasilitas PPN Dibebaskan adalah perlakuan terhadap Pajak
Masukan. Pasal 9 ayat (5) dan Penjelasannya serta Pasal 16B ayat (3) UU PPN
secara tegas menyatakan bahwa Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan
BKP/JKP yang digunakan untuk melakukan penyerahan yang PPN-nya dibebaskan,
tidak dapat dikreditkan. Ini berarti mekanisme credit method PPN
terputus pada titik ini.
Meskipun PPN-nya dibebaskan,
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan BKP/JKP ini tetap
diwajibkan secara administratif untuk menerbitkan Faktur Pajak. Faktur
Pajak tersebut harus diberi kode transaksi khusus, yaitu Kode 08, dan
mencantumkan keterangan bahwa "PPN Dibebaskan" sesuai dengan
peraturan yang berlaku (misalnya, PP 49/2022).
C. Perbedaan Kunci dan
Implikasi
Pergeseran status hukum banyak
barang dan jasa esensial (seperti kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa
pendidikan) dari Non-Objek PPN (Pasal 4A versi lama) menjadi BKP/JKP Tertentu
yang Bersifat Strategis yang PPN-nya Dibebaskan (Pasal 16B via PP 49/2022)
pasca UU HPP membawa implikasi penting. Meskipun hasil akhirnya bagi konsumen
tetap sama (tidak membayar PPN atas barang/jasa tersebut) dan bagi
penjual/pemberi jasa juga sama (Pajak Masukan terkait tidak dapat dikreditkan),
perubahan status ini menegaskan bahwa barang/jasa tersebut kini secara prinsip berada
di dalam sistem PPN, namun diberikan fasilitas pembebasan. Hal ini
memberikan fleksibilitas lebih besar bagi pemerintah di masa depan untuk
mengevaluasi atau bahkan mengubah perlakuan fasilitas ini melalui penerbitan
atau revisi PP/PMK, tanpa perlu melakukan perubahan fundamental pada UU PPN
(Pasal 4A). Selain itu, perubahan status ini menimbulkan kewajiban
administratif baru bagi PKP yang menyerahkannya, yaitu keharusan menerbitkan
Faktur Pajak dengan kode 08, yang sebelumnya tidak diperlukan saat statusnya
masih Non-BKP/Non-JKP.
Implikasi signifikan lainnya
dari fasilitas PPN Dibebaskan adalah terkait Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan. Karena PPN Masukan atas input yang digunakan untuk menghasilkan
output yang dibebaskan PPN tidak dapat dikurangkan dari PPN Keluaran (yang
memang tidak ada/dibebaskan) dan juga tidak dapat direstitusi, maka PPN Masukan
tersebut secara efektif menjadi beban biaya bagi PKP.
Secara akuntansi, PPN Masukan
ini akan menambah harga perolehan input atau dibebankan sebagai biaya
operasional. Hal ini berpotensi mempengaruhi penetapan harga jual kepada
konsumen atau mengurangi margin keuntungan PKP yang bersangkutan. Kondisi ini
sangat kontras dengan fasilitas PPN Tidak Dipungut (Kode Faktur 07), di mana
meskipun PPN atas penyerahannya tidak dipungut oleh negara, Pajak Masukan yang
terkait dengan penyerahan tersebut tetap dapat dikreditkan oleh PKP. Pemahaman
akan perbedaan perlakuan Pajak Masukan ini sangat vital bagi PKP dalam
melakukan perencanaan pajak dan mengelola arus kas serta profitabilitas usaha.
IV. Daftar Barang dan Jasa
Kena Pajak yang Memperoleh Fasilitas PPN Dibebaskan
A. Dasar Hukum: PP No. 49
Tahun 2022
Daftar rinci mengenai BKP dan
JKP yang mendapatkan fasilitas PPN Dibebaskan diatur secara komprehensif dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022, sebagai peraturan pelaksana dari
Pasal 16B UU PPN. PP ini mengelompokkan BKP/JKP yang dibebaskan PPN ke dalam
dua kategori utama.
B. Kategori 1: BKP/JKP
Tertentu (Bab II PP 49/2022)
Kategori ini mencakup BKP/JKP
yang dibebaskan PPN karena pertimbangan khusus terkait kesehatan masyarakat,
pendidikan, keagamaan, dan penanganan bencana.
- BKP Tertentu (Pasal 3 PP 49/2022) :
- Vaksin Polio dalam rangka program Pekan
Imunisasi Nasional (PIN).
- Vaksin dalam rangka penanggulangan Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19).
- Buku pelajaran umum (termasuk buku
pendidikan dan buku umum berunsur pendidikan), kitab suci, dan buku
pelajaran agama (kriteria detail diatur PMK).
- BKP yang diterima oleh kementerian,
badan, atau lembaga pemerintah pusat/daerah yang menangani bencana, dalam
rangka penanganan bencana alam atau nonalam yang ditetapkan sebagai
bencana nasional.
- JKP Tertentu (Pasal 4 PP 49/2022) :
- Jasa konstruksi oleh kontraktor untuk
pembangunan tempat yang hanya untuk keperluan ibadah.
- Jasa konstruksi oleh kontraktor untuk
pembangunan bangunan yang diperuntukkan bagi korban bencana alam/nonalam
nasional, dengan biaya dari APBN/APBD/Sumbangan.
- JKP selain jasa konstruksi yang diterima
oleh kementerian, badan, atau lembaga pemerintah pusat/daerah yang
menangani bencana, dalam rangka penanganan bencana alam/nonalam nasional.
C. Kategori 2: BKP/JKP
Tertentu yang Bersifat Strategis (Bab III & IV PP 49/2022)
Kategori ini mencakup BKP/JKP
yang dianggap memiliki nilai strategis bagi pembangunan nasional, ketahanan
pangan, energi, pertahanan, perumahan rakyat, dan sektor penting lainnya.
- BKP Tertentu Strategis (Pasal 6 & 7 PP
49/2022) : Meliputi impor dan/atau penyerahan:
- Mesin dan peralatan pabrik (satu
kesatuan, bukan suku cadang, digunakan langsung dalam proses produksi
oleh PKP penghasil BKP tersebut, termasuk perolehan oleh EPC).
- Barang hasil kelautan dan perikanan
(tangkap/budidaya, sesuai kriteria/rincian dalam Lampiran PP 49/2022).
- Jangat dan kulit mentah (tidak disamak).
- Ternak (kriteria/rincian diatur PMK).
- Bibit dan/atau benih dari barang
pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, atau perikanan.
- Pakan ternak (sesuai UU Peternakan, tidak
termasuk pakan hewan kesayangan).
- Pakan ikan (memenuhi syarat
pendaftaran/peredaran sesuai UU Perikanan).
- Bahan pakan ternak dan bahan baku utama
pakan ikan (tidak termasuk imbuhan/pelengkap pakan, kriteria/rincian
diatur PMK).
- Satuan rumah susun umum milik (dibiayai
KPR/pembiayaan bersubsidi, batasan luas/harga/penghasilan diatur
Menteri). (Hanya penyerahan)
- Rumah umum, pondok boro, asrama
mahasiswa/pelajar, rumah pekerja (batasan diatur Menteri). (Hanya
penyerahan)
- Bahan baku kerajinan perak (bentuk
butiran dan/atau batangan).
- Listrik (termasuk biaya
penyambungan/beban), kecuali untuk rumah dengan daya > 6.600 VA. (Hanya
penyerahan)
- Air bersih (belum/siap minum, termasuk
biaya sambung/pasang/beban tetap, tidak termasuk air kemasan). (Hanya
penyerahan)
- Senjata, amunisi, helm/jaket antipeluru,
kendaraan darat khusus, radar, suku cadang (untuk K/L
Hankam/Narkotika/Pihak Ditunjuk/BUMN Indhan).
- Komponen/bahan (belum dibuat DN) untuk
pembuatan item no. 14 (diimpor/diperoleh BUMN Indhan untuk diserahkan ke
K/L terkait).
- Peralatan dan suku cadang untuk
penyediaan data batas/peta/foto udara wilayah NKRI untuk Hankam
(diserahkan/diimpor oleh Kemenhan/TNI/Pihak Ditunjuk).
- Barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan rakyat banyak: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam
konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran
(kriteria/rincian di Lampiran PP 49/2022).
- Gula konsumsi (gula kristal putih dari
tebu, tanpa tambahan perasa/pewarna).
- Barang hasil pertambangan/pengeboran
langsung dari sumber (kecuali batu bara), meliputi: minyak mentah, gas
bumi (pipa), panas bumi, mineral non-logam tertentu (asbes, batu kapur,
granit, pasir, dll), bijih logam tertentu (besi, timah, emas, tembaga,
nikel, perak, bauksit).
- Liquefied Natural Gas
(LNG) dan Compressed Natural Gas (CNG).
- Senjata, amunisi, peralatan/perlengkapan
militer milik negara lain (impor oleh TNI untuk latihan bersama). (Hanya
impor)
- Kendaraan dinas khusus kepresidenan
(impor oleh lembaga kepresidenan/pihak ditunjuk, bebas Bea Masuk). (Hanya
impor)
- Barang keperluan museum, kebun binatang,
konservasi alam (impor, bebas Bea Masuk). (Hanya impor)
- Barang impor oleh Pemerintah Pusat/Daerah
untuk kepentingan umum (bebas Bea Masuk). (Hanya impor)
- Obat-obatan (impor dengan APBN/D untuk
masyarakat, bebas Bea Masuk). (Hanya impor)
- Bahan terapi manusia, pengelompokan
darah, bahan penjenisan jaringan (impor dengan APBN/D untuk masyarakat,
bebas Bea Masuk). (Hanya impor)
- JKP Tertentu Strategis (Pasal 10 PP
49/2022) : Meliputi penyerahan di dalam Daerah
Pabean atau pemanfaatan dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean:
- Jasa pelayanan kesehatan medis
(perorangan/masyarakat/hewan oleh tenaga/fasilitas kesehatan resmi).
- Jasa pelayanan sosial (oleh
pemerintah/nirlaba: panti, damkar, pertolongan kecelakaan, rehabilitasi,
rumah duka/pemakaman, olahraga disabilitas).
- Jasa pengiriman surat dengan prangko
(tempel/cara lain pengganti prangko).
- Jasa keuangan (himpun dana,
pinjam/tempatkan dana, pembiayaan termasuk syariah, gadai, penjaminan).
- Jasa asuransi (kerugian, jiwa,
reasuransi; tidak termasuk jasa penunjang seperti agen, pialang, penilai
kerugian).
- Jasa pendidikan (penyelenggaraan
pendidikan sekolah/luar sekolah oleh satuan pendidikan berizin; tidak
termasuk jasa pendidikan yang satu kesatuan dengan penyerahan barang/jasa
lain).
- Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
(penayangan pesan layanan masyarakat).
- Jasa angkutan umum di darat (jalan/kereta
api) dan di air (laut/sungai/danau/penyeberangan), serta jasa angkutan
udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa
angkutan luar negeri (misal dalam satu tiket).
- Jasa tenaga kerja (jasa tenaga kerja,
penyediaan tenaga kerja dengan kriteria tertentu, penyelenggaraan
pelatihan oleh lembaga berizin).
- Jasa telepon umum dengan menggunakan uang
logam.
- Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
- Jasa persewaan rumah susun umum dan rumah
umum (untuk masyarakat berpenghasilan rendah).
- Jasa yang diterima oleh Kemenhan atau TNI
yang dimanfaatkan dalam rangka penyediaan data batas, peta hasil
topografi, peta hasil hidrografi, dan foto udara wilayah NKRI untuk
mendukung pertahanan nasional.
D. Tabel Daftar BKP/JKP yang
Dibebaskan PPN (Ringkasan)
Tabel berikut merangkum
BKP/JKP yang mendapatkan fasilitas PPN Dibebaskan berdasarkan PP 49/2022,
beserta indikasi kebutuhan SKB PPN.
Kategori
|
Jenis Barang/Jasa (Contoh
Utama)
|
Pasal PP 49/2022
|
Kebutuhan SKB PPN
|
BKP Tertentu
|
Vaksin Polio/Covid-19
|
3(1)a
|
Tidak
|
Buku Pelajaran, Kitab Suci,
Buku Agama
|
3(1)b
|
Tidak
|
|
BKP untuk Penanganan Bencana
Nasional
|
3(1)c
|
Tidak
|
|
JKP Tertentu
|
Jasa Konstruksi Tempat
Ibadah
|
4(a)
|
Tidak
|
Jasa Konstruksi Bangunan
Korban Bencana
|
4(b)
|
Tidak
|
|
JKP Lain untuk Penanganan
Bencana
|
4(c)
|
Tidak
|
|
BKP Strategis
|
Mesin & Peralatan Pabrik
|
6(1)a, 6(2)a
|
Ya
|
Hasil Kelautan &
Perikanan
|
6(1)b, 6(2)b
|
Tidak
|
|
Jangat & Kulit Mentah
|
6(1)c, 6(2)c
|
Tidak
|
|
Ternak
|
6(1)d, 6(2)d
|
Tidak
|
|
Bibit/Benih
|
6(1)e, 6(2)e
|
Tidak
|
|
Pakan Ternak/Ikan
|
6(1)f,g; 6(2)f,g
|
Tidak
|
|
Bahan Pakan Ternak/Ikan
|
6(1)h, 6(2)h
|
Tidak
|
|
Rumah Susun Umum Milik
(Subsidi)
|
6(2)i
|
Tidak
|
|
Rumah Umum, Pondok Boro,
Asrama, dll.
|
6(2)j
|
Tidak
|
|
Bahan Baku Kerajinan Perak
|
6(1)i, 6(2)k
|
Tidak
|
|
Listrik (<6600 VA), Air
Bersih
|
6(2)l, m
|
Tidak
|
|
Senjata, Amunisi, Kendaraan
Khusus Hankam
|
6(1)j, 6(2)n
|
Ya
|
|
Komponen/Bahan Pembuatan
Hankam (oleh BUMN Indhan)
|
6(1)k, 6(2)o
|
Ya
|
|
Peralatan Penyediaan Data
Batas/Peta Hankam
|
6(1)m, 6(2)p
|
Ya
|
|
Barang Kebutuhan Pokok
(Beras, Jagung, Daging, dll.)
|
6(1)p, 6(2)q
|
Tidak
|
|
Gula Konsumsi Kristal Putih
|
6(1)q, 6(2)r
|
Tidak
|
|
Hasil Tambang/Pengeboran
Tertentu (Non-Batubara)
|
6(1)r, 6(2)s
|
Tidak
|
|
LNG, CNG
|
6(1)s, 6(2)t
|
Tidak
|
|
Impor Lainnya (Hankam Negara
Lain, Kepresidenan, Museum, Kepentingan Umum, Obat/Bahan Terapi Pemerintah)
|
6(1)l, n, o, t, u, v
|
Tidak
|
|
JKP Strategis
|
Jasa Pelayanan Kesehatan
Medis
|
10(a)
|
Tidak
|
Jasa Pelayanan Sosial
|
10(b)
|
Tidak
|
|
Jasa Pengiriman Surat dengan
Prangko
|
10(c)
|
Tidak
|
|
Jasa Keuangan
|
10(d)
|
Tidak
|
|
Jasa Asuransi
|
10(e)
|
Tidak
|
|
Jasa Pendidikan
|
10(f)
|
Tidak
|
|
Jasa Penyiaran Non-Iklan
|
10(g)
|
Tidak
|
|
Jasa Angkutan Umum Tertentu
|
10(h)
|
Tidak
|
|
Jasa Tenaga Kerja
|
10(i)
|
Tidak
|
|
Jasa Telepon Umum Koin
|
10(j)
|
Tidak
|
|
Jasa Pengiriman Uang Wesel
Pos
|
10(k)
|
Tidak
|
|
Jasa Persewaan Rumah Susun
Umum/Rumah Umum
|
10(l)
|
Tidak
|
|
Jasa Penyediaan Data
Batas/Peta Hankam (diterima Kemenhan/TNI)
|
10(m)
|
Ya
|
Tabel ini memberikan panduan
cepat mengenai jenis BKP/JKP yang dibebaskan PPN dan apakah memerlukan SKB PPN.
Namun, Wajib Pajak tetap harus merujuk pada teks lengkap PP 49/2022 dan PMK
terkait untuk memahami kriteria dan batasan secara detail.
V. Kriteria, Syarat, dan
Prosedur Pemanfaatan Fasilitas
Untuk dapat memanfaatkan
fasilitas PPN Dibebaskan secara sah, Wajib Pajak perlu memenuhi kriteria,
syarat, dan prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
A. Persyaratan Umum Wajib
Pajak
Secara umum, pihak yang
melakukan penyerahan BKP/JKP yang PPN-nya dibebaskan harus berstatus sebagai Pengusaha
Kena Pajak (PKP), karena merekalah yang memiliki kewajiban memungut,
menyetor, dan melaporkan PPN serta menerbitkan Faktur Pajak. Terdapat
pengecualian untuk penerima fasilitas tertentu, misalnya pembeli rumah susun
umum milik yang dibiayai KPR subsidi tidak harus berstatus PKP.
Selain itu, untuk BKP/JKP
tertentu yang pemanfaatan fasilitasnya memerlukan Surat Keterangan Bebas (SKB)
PPN, terdapat persyaratan kepatuhan formal yang harus dipenuhi oleh Wajib
Pajak pemohon SKB, yaitu :
- Telah menyampaikan Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) untuk 2 tahun pajak terakhir yang
telah menjadi kewajibannya.
- Telah menyampaikan SPT Masa PPN untuk 3
masa pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya.
- Tidak mempunyai utang pajak di KPP tempat
pusat maupun cabang terdaftar, atau jika mempunyai utang pajak, atas
keseluruhan utang pajak tersebut telah mendapatkan izin untuk menunda atau
mengangsur pembayaran pajak.
Persyaratan kepatuhan ini
secara spesifik terkait dengan proses pengajuan SKB PPN. Artinya, untuk jenis
fasilitas PPN Dibebaskan yang tidak memerlukan SKB (seperti penyerahan barang
kebutuhan pokok, jasa kesehatan, atau jasa pendidikan), pemenuhan syarat formal
kepatuhan ini mungkin tidak menjadi prasyarat langsung untuk menerapkan kode
Faktur Pajak 08. Namun, kepatuhan pajak secara umum tetap merupakan kewajiban
fundamental bagi setiap Wajib Pajak.
Sebaliknya, untuk fasilitas
yang memerlukan SKB (misalnya impor mesin tertentu atau pengadaan alutsista),
ketidakpatuhan dalam pelaporan SPT atau adanya tunggakan pajak akan menjadi
penghalang untuk memperoleh SKB, sehingga fasilitas PPN Dibebaskan tidak dapat
dimanfaatkan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat verifikasi kepatuhan
oleh DJP tergantung pada jenis fasilitas dan mekanisme perolehannya.
B. Mekanisme Pemanfaatan:
Dengan atau Tanpa SKB PPN
Sebagaimana telah diuraikan
dalam tabel sebelumnya dan ditegaskan dalam Pasal 5, 9, dan 24 PP 49/2022,
mekanisme pemanfaatan fasilitas PPN Dibebaskan terbagi dua :
- Tanpa Menggunakan SKB PPN:
Mayoritas BKP/JKP yang PPN-nya dibebaskan dapat dimanfaatkan fasilitasnya
secara langsung tanpa perlu mengurus SKB PPN terlebih dahulu. Ini mencakup
seluruh BKP/JKP Tertentu dalam Bab II PP 49/2022 (vaksin, buku, bantuan
bencana) dan sebagian besar BKP/JKP Strategis dalam Bab III dan IV
(seperti barang kebutuhan pokok, hasil kelautan/perikanan, ternak, pakan,
rumah umum/rusunami, listrik <6600VA, air bersih, hasil tambang
tertentu, LNG/CNG, jasa kesehatan, sosial, pendidikan, keuangan, asuransi,
angkutan umum, tenaga kerja, dll.). Untuk transaksi ini, PKP
penjual/pemberi jasa langsung menerbitkan Faktur Pajak dengan kode 08 dan
memberikan keterangan "PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 49 TAHUN
2022".
- Menggunakan SKB PPN:
Fasilitas PPN Dibebaskan untuk beberapa BKP/JKP Strategis tertentu
hanya dapat dimanfaatkan jika Wajib Pajak (importir/penerima/pemberi jasa
terkait) telah memiliki SKB PPN yang diterbitkan oleh DJP. Ini berlaku
untuk:
- Impor dan/atau penyerahan Mesin dan
Peralatan Pabrik (Pasal 6 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a PP
49/2022).
- Impor dan/atau penyerahan BKP strategis
untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara (senjata, amunisi,
kendaraan khusus, radar, suku cadang, serta komponen/bahannya) (Pasal 6
ayat (1) huruf j, k dan ayat (2) huruf n, o PP 49/2022).
- Impor dan/atau penyerahan Peralatan
untuk penyediaan data batas/peta/foto udara untuk pertahanan nasional (Pasal
6 ayat (1) huruf m dan ayat (2) huruf p PP 49/2022).
- Penyerahan di dalam Daerah Pabean
dan/atau pemanfaatan dari luar Daerah Pabean Jasa Kena Pajak tertentu
yang bersifat strategis yang diterima oleh Kemenhan/TNI untuk
penyediaan data batas/peta/foto udara untuk pertahanan nasional
(Pasal 10 huruf m PP 49/2022).
C. Prosedur Pengajuan SKB PPN
(Jika Diperlukan)
Bagi BKP/JKP yang memerlukan
SKB PPN, Wajib Pajak pemohon harus mengikuti prosedur berikut :
- Pengajuan Permohonan:
Diajukan secara elektronik melalui saluran yang ditentukan pada laman
resmi DJP (misalnya melalui Sistem Indonesia National Single Window/SINSW
untuk impor mesin, atau aplikasi e-SKTD/e-SKB lainnya). Jika sistem
elektronik tidak tersedia atau mengalami gangguan, permohonan dapat
diajukan secara tertulis ke KPP terdaftar.
- Pihak Pemohon:
Pihak yang mengajukan permohonan bervariasi tergantung jenis fasilitasnya,
bisa PKP yang melakukan impor atau menerima penyerahan,
Kementerian/Lembaga terkait Hankam, BUMN Industri Pertahanan, atau pihak
lain yang ditunjuk secara resmi.
- Kelengkapan Dokumen:
Permohonan harus memuat informasi lengkap mengenai identitas pemohon
(Nama, NPWP, Alamat), detail BKP/JKP (jenis, kuantitas, kegunaan), nilai
transaksi (nilai impor/harga jual/penggantian), PPN terutang, serta
informasi dokumen transaksi (pemesanan, kontrak, pengiriman, pembayaran,
penunjukan, dll.). Salinan digital dokumen pendukung (seperti invoice,
B/L atau AWB, kontrak, bukti bayar, dokumen penunjukan) harus diunggah
atau dilampirkan. Pemohon juga mungkin diminta membuat pernyataan tertentu
terkait pemenuhan syarat.
- Verifikasi dan Penerbitan:
DJP akan melakukan penelitian atas kelengkapan dan kesesuaian permohonan
serta pemenuhan syarat kepatuhan pemohon. Jika semua syarat terpenuhi, DJP
akan menerbitkan SKB PPN, umumnya dalam jangka waktu paling lama 5 hari
kerja sejak permohonan diterima lengkap. Jika tidak memenuhi syarat, DJP
akan menerbitkan surat penolakan.
- Waktu Kepemilikan SKB:
Sangat penting untuk dicatat bahwa SKB PPN harus sudah dimiliki oleh Wajib
Pajak sebelum transaksi yang diberikan fasilitas terjadi, yaitu
sebelum pengajuan pemberitahuan pabean impor, sebelum penyerahan BKP/JKP
diterima, sebelum pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dilakukan, atau
sebelum pembayaran diterima oleh pihak penjual jika pembayaran dilakukan
di muka.
D. Kewajiban Pelaporan dan
Administratif
PKP yang melakukan penyerahan
BKP/JKP yang PPN-nya dibebaskan (baik dengan maupun tanpa SKB) tetap memiliki
kewajiban administratif :
- Menerbitkan Faktur Pajak:
Wajib menerbitkan Faktur Pajak elektronik (e-Faktur) dengan menggunakan Kode
Transaksi 08.
- Mencantumkan Keterangan:
Pada Faktur Pajak harus dibubuhkan cap atau keterangan yang jelas bahwa
"PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 49 TAHUN 2022" (atau peraturan
lain yang relevan).
Selain itu, bagi Wajib Pajak
(PKP, Pemilik Proyek, Penyedia EPC) yang menerima fasilitas PPN Dibebaskan
melalui SKB PPN, terdapat kewajiban tambahan untuk menyampaikan Laporan
Realisasi Impor dan/atau Perolehan secara berkala (misalnya tahunan, paling lambat
akhir bulan Januari tahun berikutnya) kepada DJP.
E. Konsekuensi Penyalahgunaan
Fasilitas
Pemberian fasilitas PPN
Dibebaskan bersifat bersyarat dan diawasi oleh DJP. Jika BKP/JKP yang telah
mendapatkan fasilitas PPN Dibebaskan ternyata :
- Digunakan tidak sesuai dengan tujuan
semula pemberian fasilitas; atau
- Dipindahtangankan kepada pihak lain (baik
sebagian atau seluruhnya) dalam jangka waktu tertentu (umumnya 4 atau 5
tahun untuk barang modal, sesuai ketentuan yang berlaku),
maka PPN yang semula
dibebaskan atas impor dan/atau perolehan BKP/JKP tersebut menjadi wajib
dibayar kembali oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Selain kewajiban
membayar kembali PPN yang terutang, Wajib Pajak juga dapat dikenakan sanksi
administrasi sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) jika terbukti melakukan ketidakpatuhan atau penyalahgunaan
fasilitas. DJP juga berwenang untuk membatalkan SKB PPN yang telah diterbitkan
jika ditemukan data yang tidak benar atau terjadi penyalahgunaan fasilitas.
VI. Kesimpulan
Fasilitas Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) Dibebaskan merupakan instrumen kebijakan fiskal penting yang diatur
dalam Pasal 16B UU PPN sebagaimana terakhir diubah dengan UU HPP, dengan
peraturan pelaksana utamanya adalah PP Nomor 49 Tahun 2022. Fasilitas ini
bertujuan untuk mendukung tujuan sosial dan ekonomi strategis nasional dengan
membebaskan pengenaan PPN atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak
(BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu.
Beberapa poin kesimpulan utama
dari analisis ini adalah:
- Dasar Hukum dan Cakupan:
Fasilitas PPN Dibebaskan memiliki landasan hukum yang kuat dalam UU PPN
(Pasal 16B) dan diatur secara rinci dalam PP 49/2022, yang mencakup dua
kategori utama: BKP/JKP Tertentu (terkait vaksin, buku, bencana) dan
BKP/JKP Tertentu yang Bersifat Strategis (meliputi kebutuhan pokok,
kesehatan, pendidikan, energi, perumahan rakyat, hankam, dan sektor
strategis lainnya).
- Perbedaan Fundamental dengan Non-Objek:
Berbeda dengan barang/jasa yang Tidak Dikenai PPN (Non-Objek, Pasal 4A UU
PPN) yang berada di luar sistem PPN, BKP/JKP yang PPN-nya Dibebaskan tetap
merupakan objek PPN namun diberikan pembebasan. Perbedaan paling
signifikan terletak pada konsekuensi Pajak Masukan: untuk PPN Dibebaskan,
Pajak Masukan terkait tidak dapat dikreditkan, sementara untuk
Non-Objek, Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan karena memang tidak ada
Pajak Keluaran. Selain itu, penyerahan BKP/JKP yang PPN-nya Dibebaskan tetap
wajib diterbitkan Faktur Pajak (Kode 08).
- Perubahan Pasca UU HPP: UU
HPP membawa perubahan signifikan dengan memindahkan banyak barang/jasa
esensial (kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan) dari kategori Non-Objek
menjadi BKP/JKP Strategis yang PPN-nya Dibebaskan. Hal ini memberikan
fleksibilitas pengaturan bagi pemerintah namun menambah kewajiban
administratif bagi PKP.
- Mekanisme Pemanfaatan:
Pemanfaatan fasilitas dapat dilakukan secara langsung (tanpa SKB PPN)
untuk sebagian besar BKP/JKP yang dibebaskan, atau memerlukan Surat
Keterangan Bebas (SKB) PPN untuk BKP/JKP strategis tertentu (terutama
terkait mesin pabrik dan keperluan pertahanan/keamanan). Pengajuan SKB
memerlukan pemenuhan syarat kepatuhan formal.
- Implikasi Biaya:
Tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan atas perolehan input yang
digunakan untuk menghasilkan penyerahan yang PPN-nya dibebaskan merupakan
konsekuensi penting. PPN Masukan ini akan menjadi beban biaya bagi PKP,
yang perlu diperhitungkan secara cermat dalam kalkulasi harga pokok dan
strategi penetapan harga.
Bagi Wajib Pajak, pemahaman
yang akurat dan mendalam mengenai kriteria BKP/JKP yang berhak mendapatkan
fasilitas, syarat-syarat yang harus dipenuhi, serta prosedur administratif yang
benar (termasuk penggunaan SKB PPN jika diperlukan dan penerbitan Faktur Pajak
Kode 08) sangatlah esensial. Kepatuhan terhadap ketentuan ini tidak hanya
menghindarkan Wajib Pajak dari potensi sanksi tetapi juga memastikan
pemanfaatan fasilitas PPN Dibebaskan sesuai dengan tujuan yang dimaksud oleh
peraturan perundang-undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar