Jumat, 18 April 2025

Fasilitas PPN Dibebaskan

I. Pendahuluan

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu pilar utama dalam sistem perpajakan Indonesia, berfungsi sebagai pajak atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan di dalam Daerah Pabean Indonesia. Sebagai pajak objektif atas konsumsi, PPN dikenakan pada setiap mata rantai produksi dan distribusi, namun beban akhirnya ditanggung oleh konsumen akhir. Pentingnya PPN tercermin dari kontribusinya yang signifikan terhadap penerimaan negara, yang digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan dan belanja pemerintah.  

Dinamika kebijakan PPN di Indonesia terus berkembang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) membawa perubahan signifikan, termasuk penyesuaian tarif PPN. Sejak 1 April 2022, tarif umum PPN yang berlaku adalah 11%, meningkat dari sebelumnya 10%. Lebih lanjut, UU HPP mengamanatkan kenaikan tarif menjadi 12% yang akan berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Meskipun demikian, implementasi awal tarif 12% pada tahun 2025 difokuskan hanya pada barang dan jasa yang tergolong mewah, sementara barang dan jasa non-mewah tetap dikenakan tarif 11% melalui mekanisme penghitungan khusus berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.  

Dalam kerangka sistem PPN, pemerintah memiliki kewenangan untuk memberikan perlakuan perpajakan khusus, yang dikenal sebagai fasilitas PPN. Pemberian fasilitas ini tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan didasarkan pada pertimbangan strategis untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, seperti mendorong sektor ekonomi prioritas, meningkatkan daya saing industri nasional, menjamin ketersediaan barang/jasa esensial bagi masyarakat, mendukung pembangunan infrastruktur, atau menampung perjanjian internasional.  

Secara umum, terdapat beberapa bentuk fasilitas PPN yang dikenal dalam peraturan perpajakan Indonesia, antara lain:

  1. PPN Dibebaskan (VAT Exemption): PPN atas penyerahan BKP/JKP tertentu dibebaskan dari pengenaan pajak. Konsekuensinya, Pajak Masukan terkait perolehan BKP/JKP untuk menghasilkan penyerahan yang dibebaskan ini tidak dapat dikreditkan.  
  2. PPN Tidak Dipungut (VAT Zero-Rated untuk tujuan tertentu atau Non-Collected VAT): PPN tetap terutang, namun negara tidak memungutnya. Fasilitas ini sering diberikan untuk kegiatan di kawasan tertentu (seperti Kawasan Berikat atau Kawasan Bebas) atau atas penyerahan BKP/JKP strategis tertentu. Pajak Masukan terkait umumnya dapat dikreditkan.  
  3. PPN Ditanggung Pemerintah (DTP): PPN yang terutang atas transaksi tertentu ditanggung oleh pemerintah melalui alokasi anggaran. Fasilitas ini bersifat insidental dan sering digunakan sebagai instrumen stimulus fiskal, contohnya PPN DTP untuk sektor properti.  
  4. PPN Tarif 0% (Zero-Rated VAT): Dikenakan khusus untuk ekspor BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud, dan JKP tertentu. Meskipun tarifnya 0%, mekanisme PPN tetap berjalan, dan Pajak Masukan terkait ekspor ini dapat dikreditkan, bahkan dapat direstitusi.  

Tulisan ini akan memfokuskan pembahasan secara mendalam pada fasilitas PPN Dibebaskan. Fasilitas ini memiliki peran krusial dalam memastikan keterjangkauan harga barang dan jasa yang dianggap vital bagi masyarakat luas, seperti kebutuhan pokok, layanan kesehatan, dan pendidikan, serta mendukung sektor-sektor strategis lainnya.  

Analisis dalam tulisan ini akan berlandaskan pada kerangka hukum yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (selanjutnya disebut UU PPN), khususnya Pasal 16B, serta peraturan pelaksana utamanya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 (PP 49/2022).  

Tujuan utama dari laporan ini adalah untuk menyediakan pemahaman yang komprehensif dan akurat mengenai fasilitas PPN Dibebaskan di Indonesia. Hal ini mencakup analisis dasar hukum, identifikasi BKP dan JKP yang relevan, penjabaran kriteria dan syarat pemanfaatan, prosedur administratif yang harus diikuti, serta implikasi penting dari fasilitas ini, terutama perbedaannya dengan konsep barang/jasa yang tidak dikenai PPN.

II. Landasan Hukum Fasilitas PPN Dibebaskan

A. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN)

Dasar hukum utama pengenaan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983. Seiring dengan perkembangan ekonomi dan kebutuhan penerimaan negara, UU ini telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan signifikan terakhir dilakukan melalui klaster perpajakan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan kemudian disempurnakan lebih lanjut melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP tidak hanya mengubah tarif PPN, tetapi juga mengkonsolidasikan dan merevisi berbagai ketentuan material PPN, termasuk yang berkaitan dengan objek pajak dan fasilitas perpajakan.  

B. Pasal 16B UU PPN sebagai Dasar Pemberian Fasilitas

Kewenangan pemerintah untuk memberikan fasilitas PPN, baik dalam bentuk tidak dipungut maupun dibebaskan, secara eksplisit diatur dalam Pasal 16B UU PPN sebagaimana telah diubah oleh UU HPP. Ayat (1) Pasal 16B menyatakan bahwa pajak terutang dapat tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk kegiatan, penyerahan, impor, atau pemanfaatan BKP/JKP tertentu.  

Penting untuk dicatat, UU HPP melalui Pasal 16B ayat (1a) menetapkan bahwa pemberian fasilitas PPN (tidak dipungut atau dibebaskan) kini dibatasi untuk mencapai 10 tujuan spesifik. Tujuan-tujuan tersebut adalah:  

  1. Mendorong ekspor dan hilirisasi industri prioritas nasional.
  2. Menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain.
  3. Mendorong peningkatan kesehatan masyarakat (misalnya melalui pengadaan vaksin program nasional).
  4. Meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa (misalnya melalui penyediaan buku pelajaran/kitab suci dengan harga terjangkau).
  5. Mendorong pembangunan tempat ibadah.
  6. Menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai hibah/pinjaman luar negeri.
  7. Mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi BKP tertentu yang dibebaskan Bea Masuk.
  8. Membantu tersedianya BKP/JKP untuk penanganan bencana alam/nonalam nasional.
  9. Menjamin tersedianya angkutan umum udara di daerah tertentu.
  10. Mendukung tersedianya BKP/JKP tertentu yang bersifat strategis untuk pembangunan nasional.

Perubahan ini merupakan penyederhanaan dari 15 kriteria yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN versi sebelum UU HPP. Perampingan kriteria ini mengindikasikan upaya pemerintah untuk lebih menseleksi dan memfokuskan pemberian fasilitas PPN pada sektor dan kegiatan yang benar-benar dianggap prioritas dan strategis secara nasional. Konsekuensinya, beberapa kegiatan atau penyerahan yang mungkin sebelumnya dapat memperoleh fasilitas berdasarkan kriteria lama, kini tidak lagi tercakup kecuali secara eksplisit masuk dalam salah satu dari 10 tujuan baru tersebut. Hal ini bertujuan meningkatkan ketepatan sasaran dan efektivitas pemberian fasilitas fiskal.  

C. Peraturan Pemerintah (PP) No. 49 Tahun 2022

Sebagai tindak lanjut dari amanat Pasal 16B UU PPN pasca UU HPP, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022. PP ini menjadi aturan pelaksana utama yang mengatur secara detail jenis-jenis BKP dan JKP tertentu serta BKP dan JKP tertentu yang bersifat strategis yang mendapatkan fasilitas PPN Dibebaskan atau PPN Tidak Dipungut.  

Penerbitan PP 49/2022 ini juga bertujuan untuk menyederhanakan dan menyatukan pengaturan fasilitas PPN yang sebelumnya tersebar dalam beberapa peraturan pemerintah terpisah. PP ini secara eksplisit mencabut beberapa PP sebelumnya, seperti PP No. 81 Tahun 2015 (tentang BKP Strategis Dibebaskan PPN), PP No. 40 Tahun 2015 (tentang Penyerahan Air Bersih Dibebaskan PPN), dan PP No. 50 Tahun 2019 (tentang Alat Angkutan Tertentu Tidak Dipungut PPN).  

Secara struktur, PP 49/2022 membagi pengaturan fasilitas PPN Dibebaskan ke dalam dua bab utama:

  1. Bab II: Mengatur Impor dan/atau Penyerahan BKP Tertentu dan/atau Penyerahan JKP Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN.  
  2. Bab III & IV: Mengatur Impor dan/atau Penyerahan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis serta Penyerahan/Pemanfaatan JKP Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN.  

D. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Turunan

Untuk mengatur aspek teknis yang lebih rinci, PP 49/2022 seringkali mendelegasikan pengaturannya lebih lanjut kepada Peraturan Menteri Keuangan (PMK). PMK ini biasanya mengatur mengenai kriteria spesifik suatu BKP/JKP agar dapat dibebaskan PPN, batasan-batasan kuantitatif atau kualitatif, serta tata cara administratif pemanfaatan fasilitas, termasuk mekanisme pengajuan dan penggunaan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN jika diperlukan.  

Sebagai contoh, PMK Nomor 157 Tahun 2023 secara khusus mengatur tata cara pembebasan PPN untuk impor/penyerahan BKP/JKP strategis yang berkaitan dengan keperluan pertahanan dan keamanan negara, termasuk prosedur pengajuan SKB PPN oleh Kementerian Pertahanan, TNI, atau pihak yang ditunjuk. Contoh lain adalah PMK Nomor 115/PMK.03/2021 yang (meskipun terbit sebelum PP 49/2022) mengatur tata cara pemberian fasilitas PPN Dibebaskan untuk BKP strategis tertentu seperti mesin dan peralatan pabrik, termasuk syarat pengajuan SKB PPN. Penting bagi Wajib Pajak untuk selalu merujuk pada PMK turunan yang relevan dan terbaru untuk memastikan pemenuhan prosedur yang benar.  

III. Perbedaan PPN Dibebaskan vs Tidak Dikenai PPN (Non-Objek)

Pemahaman yang tepat mengenai perbedaan antara fasilitas "PPN Dibebaskan" dan barang/jasa yang "Tidak Dikenai PPN" (sering disebut Non-Objek PPN atau Non-BKP/Non-JKP) sangat krusial karena memiliki implikasi hukum dan administratif yang berbeda.

A. Barang/Jasa Tidak Dikenai PPN (Non-BKP/Non-JKP - Pasal 4A UU PPN)

Sebelum berlakunya UU HPP, UU PPN menganut pendekatan negative list yang cukup luas, di mana Pasal 4A ayat (2) dan (3) mendaftar secara spesifik jenis-jenis barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Barang dan jasa dalam daftar ini secara definitif berada di luar sistem PPN.  

Namun, UU HPP secara signifikan mengubah Pasal 4A UU PPN dengan menghapus sebagian besar item dari daftar negative list tersebut. Jenis barang dan jasa yang tersisa dalam Pasal 4A dan tetap berstatus sebagai Non-BKP/Non-JKP setelah UU HPP umumnya adalah:  

  1. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (termasuk yang diserahkan oleh jasa boga/katering), yang merupakan objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) untuk menghindari pajak berganda.  
  2. Jasa perhotelan, jasa penyediaan tempat parkir, serta jasa kesenian dan hiburan tertentu yang juga merupakan objek PDRD.  
  3. Uang, emas batangan (untuk investasi atau cadangan devisa, bukan perhiasan), dan surat berharga.  

Implikasi utama dari status Non-BKP/Non-JKP adalah penyerahannya tidak terutang PPN sama sekali. Konsekuensi logisnya, Pajak Masukan yang mungkin dibayar oleh pengusaha atas perolehan barang/jasa yang digunakan untuk menghasilkan atau menyerahkan Non-BKP/Non-JKP ini tidak dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran yang terutang untuk dikompensasikan. Selain itu, pengusaha yang melakukan penyerahan Non-BKP/Non-JKP tidak memiliki kewajiban untuk menerbitkan Faktur Pajak PPN atas transaksi tersebut.  

B. Fasilitas PPN Dibebaskan (Pasal 16B UU PPN & PP 49/2022)

Berbeda dengan Non-BKP/Non-JKP, barang dan jasa yang mendapatkan fasilitas PPN Dibebaskan berdasarkan Pasal 16B UU PPN dan PP 49/2022 pada hakikatnya adalah BKP dan JKP. Artinya, barang dan jasa tersebut memenuhi definisi dan kriteria sebagai objek PPN, namun pemerintah secara khusus memberikan pembebasan dari pengenaan PPN atas penyerahannya berdasarkan pertimbangan strategis atau sosial tertentu.  

Konsekuensi utama dan yang paling membedakan dari fasilitas PPN Dibebaskan adalah perlakuan terhadap Pajak Masukan. Pasal 9 ayat (5) dan Penjelasannya serta Pasal 16B ayat (3) UU PPN secara tegas menyatakan bahwa Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP/JKP yang digunakan untuk melakukan penyerahan yang PPN-nya dibebaskan, tidak dapat dikreditkan. Ini berarti mekanisme credit method PPN terputus pada titik ini.  

Meskipun PPN-nya dibebaskan, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan BKP/JKP ini tetap diwajibkan secara administratif untuk menerbitkan Faktur Pajak. Faktur Pajak tersebut harus diberi kode transaksi khusus, yaitu Kode 08, dan mencantumkan keterangan bahwa "PPN Dibebaskan" sesuai dengan peraturan yang berlaku (misalnya, PP 49/2022).  

C. Perbedaan Kunci dan Implikasi

Pergeseran status hukum banyak barang dan jasa esensial (seperti kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan) dari Non-Objek PPN (Pasal 4A versi lama) menjadi BKP/JKP Tertentu yang Bersifat Strategis yang PPN-nya Dibebaskan (Pasal 16B via PP 49/2022) pasca UU HPP membawa implikasi penting. Meskipun hasil akhirnya bagi konsumen tetap sama (tidak membayar PPN atas barang/jasa tersebut) dan bagi penjual/pemberi jasa juga sama (Pajak Masukan terkait tidak dapat dikreditkan), perubahan status ini menegaskan bahwa barang/jasa tersebut kini secara prinsip berada di dalam sistem PPN, namun diberikan fasilitas pembebasan. Hal ini memberikan fleksibilitas lebih besar bagi pemerintah di masa depan untuk mengevaluasi atau bahkan mengubah perlakuan fasilitas ini melalui penerbitan atau revisi PP/PMK, tanpa perlu melakukan perubahan fundamental pada UU PPN (Pasal 4A). Selain itu, perubahan status ini menimbulkan kewajiban administratif baru bagi PKP yang menyerahkannya, yaitu keharusan menerbitkan Faktur Pajak dengan kode 08, yang sebelumnya tidak diperlukan saat statusnya masih Non-BKP/Non-JKP.  

Implikasi signifikan lainnya dari fasilitas PPN Dibebaskan adalah terkait Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. Karena PPN Masukan atas input yang digunakan untuk menghasilkan output yang dibebaskan PPN tidak dapat dikurangkan dari PPN Keluaran (yang memang tidak ada/dibebaskan) dan juga tidak dapat direstitusi, maka PPN Masukan tersebut secara efektif menjadi beban biaya bagi PKP.

Secara akuntansi, PPN Masukan ini akan menambah harga perolehan input atau dibebankan sebagai biaya operasional. Hal ini berpotensi mempengaruhi penetapan harga jual kepada konsumen atau mengurangi margin keuntungan PKP yang bersangkutan. Kondisi ini sangat kontras dengan fasilitas PPN Tidak Dipungut (Kode Faktur 07), di mana meskipun PPN atas penyerahannya tidak dipungut oleh negara, Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan tersebut tetap dapat dikreditkan oleh PKP. Pemahaman akan perbedaan perlakuan Pajak Masukan ini sangat vital bagi PKP dalam melakukan perencanaan pajak dan mengelola arus kas serta profitabilitas usaha.  

IV. Daftar Barang dan Jasa Kena Pajak yang Memperoleh Fasilitas PPN Dibebaskan

A. Dasar Hukum: PP No. 49 Tahun 2022

Daftar rinci mengenai BKP dan JKP yang mendapatkan fasilitas PPN Dibebaskan diatur secara komprehensif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022, sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 16B UU PPN. PP ini mengelompokkan BKP/JKP yang dibebaskan PPN ke dalam dua kategori utama.  

B. Kategori 1: BKP/JKP Tertentu (Bab II PP 49/2022)

Kategori ini mencakup BKP/JKP yang dibebaskan PPN karena pertimbangan khusus terkait kesehatan masyarakat, pendidikan, keagamaan, dan penanganan bencana.

  • BKP Tertentu (Pasal 3 PP 49/2022) :  
    • Vaksin Polio dalam rangka program Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
    • Vaksin dalam rangka penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
    • Buku pelajaran umum (termasuk buku pendidikan dan buku umum berunsur pendidikan), kitab suci, dan buku pelajaran agama (kriteria detail diatur PMK).  
    • BKP yang diterima oleh kementerian, badan, atau lembaga pemerintah pusat/daerah yang menangani bencana, dalam rangka penanganan bencana alam atau nonalam yang ditetapkan sebagai bencana nasional.  
  • JKP Tertentu (Pasal 4 PP 49/2022) :  
    • Jasa konstruksi oleh kontraktor untuk pembangunan tempat yang hanya untuk keperluan ibadah.
    • Jasa konstruksi oleh kontraktor untuk pembangunan bangunan yang diperuntukkan bagi korban bencana alam/nonalam nasional, dengan biaya dari APBN/APBD/Sumbangan.  
    • JKP selain jasa konstruksi yang diterima oleh kementerian, badan, atau lembaga pemerintah pusat/daerah yang menangani bencana, dalam rangka penanganan bencana alam/nonalam nasional.  

C. Kategori 2: BKP/JKP Tertentu yang Bersifat Strategis (Bab III & IV PP 49/2022)

Kategori ini mencakup BKP/JKP yang dianggap memiliki nilai strategis bagi pembangunan nasional, ketahanan pangan, energi, pertahanan, perumahan rakyat, dan sektor penting lainnya.

  • BKP Tertentu Strategis (Pasal 6 & 7 PP 49/2022) : Meliputi impor dan/atau penyerahan:  
    1. Mesin dan peralatan pabrik (satu kesatuan, bukan suku cadang, digunakan langsung dalam proses produksi oleh PKP penghasil BKP tersebut, termasuk perolehan oleh EPC).  
    2. Barang hasil kelautan dan perikanan (tangkap/budidaya, sesuai kriteria/rincian dalam Lampiran PP 49/2022).  
    3. Jangat dan kulit mentah (tidak disamak).  
    4. Ternak (kriteria/rincian diatur PMK).  
    5. Bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, atau perikanan.  
    6. Pakan ternak (sesuai UU Peternakan, tidak termasuk pakan hewan kesayangan).  
    7. Pakan ikan (memenuhi syarat pendaftaran/peredaran sesuai UU Perikanan).  
    8. Bahan pakan ternak dan bahan baku utama pakan ikan (tidak termasuk imbuhan/pelengkap pakan, kriteria/rincian diatur PMK).  
    9. Satuan rumah susun umum milik (dibiayai KPR/pembiayaan bersubsidi, batasan luas/harga/penghasilan diatur Menteri). (Hanya penyerahan)  
    10. Rumah umum, pondok boro, asrama mahasiswa/pelajar, rumah pekerja (batasan diatur Menteri). (Hanya penyerahan)  
    11. Bahan baku kerajinan perak (bentuk butiran dan/atau batangan).  
    12. Listrik (termasuk biaya penyambungan/beban), kecuali untuk rumah dengan daya > 6.600 VA. (Hanya penyerahan)  
    13. Air bersih (belum/siap minum, termasuk biaya sambung/pasang/beban tetap, tidak termasuk air kemasan). (Hanya penyerahan)  
    14. Senjata, amunisi, helm/jaket antipeluru, kendaraan darat khusus, radar, suku cadang (untuk K/L Hankam/Narkotika/Pihak Ditunjuk/BUMN Indhan).  
    15. Komponen/bahan (belum dibuat DN) untuk pembuatan item no. 14 (diimpor/diperoleh BUMN Indhan untuk diserahkan ke K/L terkait).  
    16. Peralatan dan suku cadang untuk penyediaan data batas/peta/foto udara wilayah NKRI untuk Hankam (diserahkan/diimpor oleh Kemenhan/TNI/Pihak Ditunjuk).  
    17. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran (kriteria/rincian di Lampiran PP 49/2022).  
    18. Gula konsumsi (gula kristal putih dari tebu, tanpa tambahan perasa/pewarna).  
    19. Barang hasil pertambangan/pengeboran langsung dari sumber (kecuali batu bara), meliputi: minyak mentah, gas bumi (pipa), panas bumi, mineral non-logam tertentu (asbes, batu kapur, granit, pasir, dll), bijih logam tertentu (besi, timah, emas, tembaga, nikel, perak, bauksit).  
    20. Liquefied Natural Gas (LNG) dan Compressed Natural Gas (CNG).  
    21. Senjata, amunisi, peralatan/perlengkapan militer milik negara lain (impor oleh TNI untuk latihan bersama). (Hanya impor)  
    22. Kendaraan dinas khusus kepresidenan (impor oleh lembaga kepresidenan/pihak ditunjuk, bebas Bea Masuk). (Hanya impor)  
    23. Barang keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam (impor, bebas Bea Masuk). (Hanya impor)  
    24. Barang impor oleh Pemerintah Pusat/Daerah untuk kepentingan umum (bebas Bea Masuk). (Hanya impor)  
    25. Obat-obatan (impor dengan APBN/D untuk masyarakat, bebas Bea Masuk). (Hanya impor)  
    26. Bahan terapi manusia, pengelompokan darah, bahan penjenisan jaringan (impor dengan APBN/D untuk masyarakat, bebas Bea Masuk). (Hanya impor)  
  • JKP Tertentu Strategis (Pasal 10 PP 49/2022) : Meliputi penyerahan di dalam Daerah Pabean atau pemanfaatan dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean:  
    1. Jasa pelayanan kesehatan medis (perorangan/masyarakat/hewan oleh tenaga/fasilitas kesehatan resmi).  
    2. Jasa pelayanan sosial (oleh pemerintah/nirlaba: panti, damkar, pertolongan kecelakaan, rehabilitasi, rumah duka/pemakaman, olahraga disabilitas).
    3. Jasa pengiriman surat dengan prangko (tempel/cara lain pengganti prangko).
    4. Jasa keuangan (himpun dana, pinjam/tempatkan dana, pembiayaan termasuk syariah, gadai, penjaminan).
    5. Jasa asuransi (kerugian, jiwa, reasuransi; tidak termasuk jasa penunjang seperti agen, pialang, penilai kerugian).
    6. Jasa pendidikan (penyelenggaraan pendidikan sekolah/luar sekolah oleh satuan pendidikan berizin; tidak termasuk jasa pendidikan yang satu kesatuan dengan penyerahan barang/jasa lain).  
    7. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan (penayangan pesan layanan masyarakat).
    8. Jasa angkutan umum di darat (jalan/kereta api) dan di air (laut/sungai/danau/penyeberangan), serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri (misal dalam satu tiket).  
    9. Jasa tenaga kerja (jasa tenaga kerja, penyediaan tenaga kerja dengan kriteria tertentu, penyelenggaraan pelatihan oleh lembaga berizin).
    10. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam.
    11. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
    12. Jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum (untuk masyarakat berpenghasilan rendah).
    13. Jasa yang diterima oleh Kemenhan atau TNI yang dimanfaatkan dalam rangka penyediaan data batas, peta hasil topografi, peta hasil hidrografi, dan foto udara wilayah NKRI untuk mendukung pertahanan nasional.  

D. Tabel Daftar BKP/JKP yang Dibebaskan PPN (Ringkasan)

Tabel berikut merangkum BKP/JKP yang mendapatkan fasilitas PPN Dibebaskan berdasarkan PP 49/2022, beserta indikasi kebutuhan SKB PPN.

Kategori
Jenis Barang/Jasa (Contoh Utama)
Pasal PP 49/2022
Kebutuhan SKB PPN
BKP Tertentu
Vaksin Polio/Covid-19
3(1)a
Tidak
Buku Pelajaran, Kitab Suci, Buku Agama
3(1)b
Tidak
BKP untuk Penanganan Bencana Nasional
3(1)c
Tidak
JKP Tertentu
Jasa Konstruksi Tempat Ibadah
4(a)
Tidak
Jasa Konstruksi Bangunan Korban Bencana
4(b)
Tidak
JKP Lain untuk Penanganan Bencana
4(c)
Tidak
BKP Strategis
Mesin & Peralatan Pabrik
6(1)a, 6(2)a
Ya
Hasil Kelautan & Perikanan
6(1)b, 6(2)b
Tidak
Jangat & Kulit Mentah
6(1)c, 6(2)c
Tidak
Ternak
6(1)d, 6(2)d
Tidak
Bibit/Benih
6(1)e, 6(2)e
Tidak
Pakan Ternak/Ikan
6(1)f,g; 6(2)f,g
Tidak
Bahan Pakan Ternak/Ikan
6(1)h, 6(2)h
Tidak
Rumah Susun Umum Milik (Subsidi)
6(2)i
Tidak
Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama, dll.
6(2)j
Tidak
Bahan Baku Kerajinan Perak
6(1)i, 6(2)k
Tidak
Listrik (<6600 VA), Air Bersih
6(2)l, m
Tidak
Senjata, Amunisi, Kendaraan Khusus Hankam
6(1)j, 6(2)n
Ya
Komponen/Bahan Pembuatan Hankam (oleh BUMN Indhan)
6(1)k, 6(2)o
Ya
Peralatan Penyediaan Data Batas/Peta Hankam
6(1)m, 6(2)p
Ya
Barang Kebutuhan Pokok (Beras, Jagung, Daging, dll.)
6(1)p, 6(2)q
Tidak
Gula Konsumsi Kristal Putih
6(1)q, 6(2)r
Tidak
Hasil Tambang/Pengeboran Tertentu (Non-Batubara)
6(1)r, 6(2)s
Tidak
LNG, CNG
6(1)s, 6(2)t
Tidak
Impor Lainnya (Hankam Negara Lain, Kepresidenan, Museum, Kepentingan Umum, Obat/Bahan Terapi Pemerintah)
6(1)l, n, o, t, u, v
Tidak
JKP Strategis
Jasa Pelayanan Kesehatan Medis
10(a)
Tidak
Jasa Pelayanan Sosial
10(b)
Tidak
Jasa Pengiriman Surat dengan Prangko
10(c)
Tidak
Jasa Keuangan
10(d)
Tidak
Jasa Asuransi
10(e)
Tidak
Jasa Pendidikan
10(f)
Tidak
Jasa Penyiaran Non-Iklan
10(g)
Tidak
Jasa Angkutan Umum Tertentu
10(h)
Tidak
Jasa Tenaga Kerja
10(i)
Tidak
Jasa Telepon Umum Koin
10(j)
Tidak
Jasa Pengiriman Uang Wesel Pos
10(k)
Tidak
Jasa Persewaan Rumah Susun Umum/Rumah Umum
10(l)
Tidak
Jasa Penyediaan Data Batas/Peta Hankam (diterima Kemenhan/TNI)
10(m)
Ya

Tabel ini memberikan panduan cepat mengenai jenis BKP/JKP yang dibebaskan PPN dan apakah memerlukan SKB PPN. Namun, Wajib Pajak tetap harus merujuk pada teks lengkap PP 49/2022 dan PMK terkait untuk memahami kriteria dan batasan secara detail.

V. Kriteria, Syarat, dan Prosedur Pemanfaatan Fasilitas

Untuk dapat memanfaatkan fasilitas PPN Dibebaskan secara sah, Wajib Pajak perlu memenuhi kriteria, syarat, dan prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

A. Persyaratan Umum Wajib Pajak

Secara umum, pihak yang melakukan penyerahan BKP/JKP yang PPN-nya dibebaskan harus berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), karena merekalah yang memiliki kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN serta menerbitkan Faktur Pajak. Terdapat pengecualian untuk penerima fasilitas tertentu, misalnya pembeli rumah susun umum milik yang dibiayai KPR subsidi tidak harus berstatus PKP.

Selain itu, untuk BKP/JKP tertentu yang pemanfaatan fasilitasnya memerlukan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN, terdapat persyaratan kepatuhan formal yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak pemohon SKB, yaitu :  

  1. Telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) untuk 2 tahun pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya.
  2. Telah menyampaikan SPT Masa PPN untuk 3 masa pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya.
  3. Tidak mempunyai utang pajak di KPP tempat pusat maupun cabang terdaftar, atau jika mempunyai utang pajak, atas keseluruhan utang pajak tersebut telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak.

Persyaratan kepatuhan ini secara spesifik terkait dengan proses pengajuan SKB PPN. Artinya, untuk jenis fasilitas PPN Dibebaskan yang tidak memerlukan SKB (seperti penyerahan barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, atau jasa pendidikan), pemenuhan syarat formal kepatuhan ini mungkin tidak menjadi prasyarat langsung untuk menerapkan kode Faktur Pajak 08. Namun, kepatuhan pajak secara umum tetap merupakan kewajiban fundamental bagi setiap Wajib Pajak.

Sebaliknya, untuk fasilitas yang memerlukan SKB (misalnya impor mesin tertentu atau pengadaan alutsista), ketidakpatuhan dalam pelaporan SPT atau adanya tunggakan pajak akan menjadi penghalang untuk memperoleh SKB, sehingga fasilitas PPN Dibebaskan tidak dapat dimanfaatkan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat verifikasi kepatuhan oleh DJP tergantung pada jenis fasilitas dan mekanisme perolehannya.

B. Mekanisme Pemanfaatan: Dengan atau Tanpa SKB PPN

Sebagaimana telah diuraikan dalam tabel sebelumnya dan ditegaskan dalam Pasal 5, 9, dan 24 PP 49/2022, mekanisme pemanfaatan fasilitas PPN Dibebaskan terbagi dua :  

  1. Tanpa Menggunakan SKB PPN: Mayoritas BKP/JKP yang PPN-nya dibebaskan dapat dimanfaatkan fasilitasnya secara langsung tanpa perlu mengurus SKB PPN terlebih dahulu. Ini mencakup seluruh BKP/JKP Tertentu dalam Bab II PP 49/2022 (vaksin, buku, bantuan bencana) dan sebagian besar BKP/JKP Strategis dalam Bab III dan IV (seperti barang kebutuhan pokok, hasil kelautan/perikanan, ternak, pakan, rumah umum/rusunami, listrik <6600VA, air bersih, hasil tambang tertentu, LNG/CNG, jasa kesehatan, sosial, pendidikan, keuangan, asuransi, angkutan umum, tenaga kerja, dll.). Untuk transaksi ini, PKP penjual/pemberi jasa langsung menerbitkan Faktur Pajak dengan kode 08 dan memberikan keterangan "PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 49 TAHUN 2022".  
  2. Menggunakan SKB PPN: Fasilitas PPN Dibebaskan untuk beberapa BKP/JKP Strategis tertentu hanya dapat dimanfaatkan jika Wajib Pajak (importir/penerima/pemberi jasa terkait) telah memiliki SKB PPN yang diterbitkan oleh DJP. Ini berlaku untuk:
    • Impor dan/atau penyerahan Mesin dan Peralatan Pabrik (Pasal 6 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a PP 49/2022).  
    • Impor dan/atau penyerahan BKP strategis untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara (senjata, amunisi, kendaraan khusus, radar, suku cadang, serta komponen/bahannya) (Pasal 6 ayat (1) huruf j, k dan ayat (2) huruf n, o PP 49/2022).  
    • Impor dan/atau penyerahan Peralatan untuk penyediaan data batas/peta/foto udara untuk pertahanan nasional (Pasal 6 ayat (1) huruf m dan ayat (2) huruf p PP 49/2022).  
    • Penyerahan di dalam Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan dari luar Daerah Pabean Jasa Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang diterima oleh Kemenhan/TNI untuk penyediaan data batas/peta/foto udara untuk pertahanan nasional (Pasal 10 huruf m PP 49/2022).  

C. Prosedur Pengajuan SKB PPN (Jika Diperlukan)

Bagi BKP/JKP yang memerlukan SKB PPN, Wajib Pajak pemohon harus mengikuti prosedur berikut :  

  1. Pengajuan Permohonan: Diajukan secara elektronik melalui saluran yang ditentukan pada laman resmi DJP (misalnya melalui Sistem Indonesia National Single Window/SINSW untuk impor mesin, atau aplikasi e-SKTD/e-SKB lainnya). Jika sistem elektronik tidak tersedia atau mengalami gangguan, permohonan dapat diajukan secara tertulis ke KPP terdaftar.
  2. Pihak Pemohon: Pihak yang mengajukan permohonan bervariasi tergantung jenis fasilitasnya, bisa PKP yang melakukan impor atau menerima penyerahan, Kementerian/Lembaga terkait Hankam, BUMN Industri Pertahanan, atau pihak lain yang ditunjuk secara resmi.
  3. Kelengkapan Dokumen: Permohonan harus memuat informasi lengkap mengenai identitas pemohon (Nama, NPWP, Alamat), detail BKP/JKP (jenis, kuantitas, kegunaan), nilai transaksi (nilai impor/harga jual/penggantian), PPN terutang, serta informasi dokumen transaksi (pemesanan, kontrak, pengiriman, pembayaran, penunjukan, dll.). Salinan digital dokumen pendukung (seperti invoice, B/L atau AWB, kontrak, bukti bayar, dokumen penunjukan) harus diunggah atau dilampirkan. Pemohon juga mungkin diminta membuat pernyataan tertentu terkait pemenuhan syarat.
  4. Verifikasi dan Penerbitan: DJP akan melakukan penelitian atas kelengkapan dan kesesuaian permohonan serta pemenuhan syarat kepatuhan pemohon. Jika semua syarat terpenuhi, DJP akan menerbitkan SKB PPN, umumnya dalam jangka waktu paling lama 5 hari kerja sejak permohonan diterima lengkap. Jika tidak memenuhi syarat, DJP akan menerbitkan surat penolakan.
  5. Waktu Kepemilikan SKB: Sangat penting untuk dicatat bahwa SKB PPN harus sudah dimiliki oleh Wajib Pajak sebelum transaksi yang diberikan fasilitas terjadi, yaitu sebelum pengajuan pemberitahuan pabean impor, sebelum penyerahan BKP/JKP diterima, sebelum pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dilakukan, atau sebelum pembayaran diterima oleh pihak penjual jika pembayaran dilakukan di muka.  

D. Kewajiban Pelaporan dan Administratif

PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP yang PPN-nya dibebaskan (baik dengan maupun tanpa SKB) tetap memiliki kewajiban administratif :  

  1. Menerbitkan Faktur Pajak: Wajib menerbitkan Faktur Pajak elektronik (e-Faktur) dengan menggunakan Kode Transaksi 08.
  2. Mencantumkan Keterangan: Pada Faktur Pajak harus dibubuhkan cap atau keterangan yang jelas bahwa "PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 49 TAHUN 2022" (atau peraturan lain yang relevan).

Selain itu, bagi Wajib Pajak (PKP, Pemilik Proyek, Penyedia EPC) yang menerima fasilitas PPN Dibebaskan melalui SKB PPN, terdapat kewajiban tambahan untuk menyampaikan Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan secara berkala (misalnya tahunan, paling lambat akhir bulan Januari tahun berikutnya) kepada DJP.  

E. Konsekuensi Penyalahgunaan Fasilitas

Pemberian fasilitas PPN Dibebaskan bersifat bersyarat dan diawasi oleh DJP. Jika BKP/JKP yang telah mendapatkan fasilitas PPN Dibebaskan ternyata :  

  1. Digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula pemberian fasilitas; atau
  2. Dipindahtangankan kepada pihak lain (baik sebagian atau seluruhnya) dalam jangka waktu tertentu (umumnya 4 atau 5 tahun untuk barang modal, sesuai ketentuan yang berlaku),

maka PPN yang semula dibebaskan atas impor dan/atau perolehan BKP/JKP tersebut menjadi wajib dibayar kembali oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Selain kewajiban membayar kembali PPN yang terutang, Wajib Pajak juga dapat dikenakan sanksi administrasi sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) jika terbukti melakukan ketidakpatuhan atau penyalahgunaan fasilitas. DJP juga berwenang untuk membatalkan SKB PPN yang telah diterbitkan jika ditemukan data yang tidak benar atau terjadi penyalahgunaan fasilitas.  

VI. Kesimpulan

Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dibebaskan merupakan instrumen kebijakan fiskal penting yang diatur dalam Pasal 16B UU PPN sebagaimana terakhir diubah dengan UU HPP, dengan peraturan pelaksana utamanya adalah PP Nomor 49 Tahun 2022. Fasilitas ini bertujuan untuk mendukung tujuan sosial dan ekonomi strategis nasional dengan membebaskan pengenaan PPN atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) tertentu.

Beberapa poin kesimpulan utama dari analisis ini adalah:

  1. Dasar Hukum dan Cakupan: Fasilitas PPN Dibebaskan memiliki landasan hukum yang kuat dalam UU PPN (Pasal 16B) dan diatur secara rinci dalam PP 49/2022, yang mencakup dua kategori utama: BKP/JKP Tertentu (terkait vaksin, buku, bencana) dan BKP/JKP Tertentu yang Bersifat Strategis (meliputi kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan, energi, perumahan rakyat, hankam, dan sektor strategis lainnya).
  2. Perbedaan Fundamental dengan Non-Objek: Berbeda dengan barang/jasa yang Tidak Dikenai PPN (Non-Objek, Pasal 4A UU PPN) yang berada di luar sistem PPN, BKP/JKP yang PPN-nya Dibebaskan tetap merupakan objek PPN namun diberikan pembebasan. Perbedaan paling signifikan terletak pada konsekuensi Pajak Masukan: untuk PPN Dibebaskan, Pajak Masukan terkait tidak dapat dikreditkan, sementara untuk Non-Objek, Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan karena memang tidak ada Pajak Keluaran. Selain itu, penyerahan BKP/JKP yang PPN-nya Dibebaskan tetap wajib diterbitkan Faktur Pajak (Kode 08).
  3. Perubahan Pasca UU HPP: UU HPP membawa perubahan signifikan dengan memindahkan banyak barang/jasa esensial (kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan) dari kategori Non-Objek menjadi BKP/JKP Strategis yang PPN-nya Dibebaskan. Hal ini memberikan fleksibilitas pengaturan bagi pemerintah namun menambah kewajiban administratif bagi PKP.
  4. Mekanisme Pemanfaatan: Pemanfaatan fasilitas dapat dilakukan secara langsung (tanpa SKB PPN) untuk sebagian besar BKP/JKP yang dibebaskan, atau memerlukan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN untuk BKP/JKP strategis tertentu (terutama terkait mesin pabrik dan keperluan pertahanan/keamanan). Pengajuan SKB memerlukan pemenuhan syarat kepatuhan formal.
  5. Implikasi Biaya: Tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan atas perolehan input yang digunakan untuk menghasilkan penyerahan yang PPN-nya dibebaskan merupakan konsekuensi penting. PPN Masukan ini akan menjadi beban biaya bagi PKP, yang perlu diperhitungkan secara cermat dalam kalkulasi harga pokok dan strategi penetapan harga.

Bagi Wajib Pajak, pemahaman yang akurat dan mendalam mengenai kriteria BKP/JKP yang berhak mendapatkan fasilitas, syarat-syarat yang harus dipenuhi, serta prosedur administratif yang benar (termasuk penggunaan SKB PPN jika diperlukan dan penerbitan Faktur Pajak Kode 08) sangatlah esensial. Kepatuhan terhadap ketentuan ini tidak hanya menghindarkan Wajib Pajak dari potensi sanksi tetapi juga memastikan pemanfaatan fasilitas PPN Dibebaskan sesuai dengan tujuan yang dimaksud oleh peraturan perundang-undangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Tax Ratio Indonesia Rendah

Pendahuluan: Memahami Rasio Pajak Bagian ini memperkenalkan ko...