I. Pendahuluan
Dalam sistem perpajakan
Indonesia, Wajib Pajak (WP) yang membayar pajak lebih besar dari jumlah yang
seharusnya terutang berhak mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak,
atau yang dikenal sebagai restitusi. Secara umum, proses restitusi ini melibatkan
pemeriksaan pajak yang komprehensif oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Namun, terdapat mekanisme alternatif yang dirancang untuk mempercepat proses
ini bagi kategori WP tertentu, yaitu skema Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak.
A. Definisi dan Konsep Dasar
Pengembalian Pendahuluan
Pengembalian pendahuluan
adalah mekanisme restitusi pajak yang prosesnya dipercepat, di mana
kelebihan pembayaran pajak dikembalikan kepada WP tertentu sebelum DJP
melakukan pemeriksaan pajak secara lengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 17B
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2018 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan PMK Nomor 209/PMK.03/2021, pengembalian
pendahuluan didefinisikan sebagai pengembalian pembayaran pajak yang
diberikan kepada WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D UU KUP,
atau Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN).
Perlu ditekankan bahwa
pengembalian pendahuluan merupakan fasilitas yang diberikan oleh DJP, bukan
hak otomatis bagi setiap WP yang mengalami kelebihan pembayaran pajak.
Fasilitas ini hanya tersedia bagi WP yang memenuhi kriteria atau persyaratan
spesifik yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Prosesnya didasarkan pada penelitian, bukan pemeriksaan mendalam,
sehingga memungkinkan penyelesaian yang lebih cepat.
Pemberian fasilitas ini
mencerminkan adanya pergeseran pendekatan DJP ke arah manajemen risiko (risk-based
approach). WP yang dinilai memiliki rekam jejak kepatuhan yang baik
(seperti WP Kriteria Tertentu), atau yang jenis usahanya/transaksinya dianggap
berisiko rendah (seperti PKP Berisiko Rendah), atau yang nilai klaim
restitusinya relatif kecil (WP Persyaratan Tertentu), diberikan jalur
percepatan. Hal ini memungkinkan DJP untuk mengalokasikan sumber daya
pemeriksaannya secara lebih efisien, dengan fokus pada WP atau transaksi yang
memiliki profil risiko lebih tinggi, sementara memfasilitasi WP dengan risiko
yang dianggap lebih rendah.
B. Tujuan dan Manfaat bagi
Wajib Pajak
Tujuan utama dari skema
pengembalian pendahuluan adalah untuk mempercepat proses pengembalian
kelebihan pembayaran pajak kepada WP yang memenuhi syarat. Kecepatan ini
sangat bermanfaat untuk membantu menjaga likuiditas dan kelancaran arus kas (cash
flow) WP. Arus kas yang sehat merupakan faktor krusial bagi kelangsungan
operasional dan pertumbuhan bisnis. Banyak perusahaan, meskipun membukukan
keuntungan, dapat menghadapi kesulitan finansial jika arus kas mereka
terganggu. Dengan menerima pengembalian pajak lebih cepat melalui mekanisme
pendahuluan, WP dapat segera memanfaatkan dana tersebut untuk kebutuhan
operasional, investasi, atau kewajiban lainnya, dibandingkan harus menunggu
proses restitusi standar yang bisa memakan waktu lebih lama.
Selain itu, fasilitas ini juga
dapat dilihat sebagai bentuk insentif atau apresiasi dari pemerintah kepada WP
yang patuh atau yang bergerak di sektor-sektor tertentu yang dianggap strategis
atau berisiko rendah.
C. Perbedaan dengan Restitusi
Melalui Pemeriksaan Biasa
Mekanisme pengembalian
pendahuluan memiliki perbedaan fundamental dengan proses restitusi standar yang
diatur dalam Pasal 17B UU KUP:
- Dasar Proses:
Pengembalian pendahuluan didasarkan pada penelitian atas
kelengkapan, kebenaran penulisan, penghitungan, serta aspek formal dan
material terbatas lainnya. Sebaliknya, restitusi Pasal 17B didahului oleh pemeriksaan
pajak yang lebih mendalam dan komprehensif untuk menguji kepatuhan WP.
- Jangka Waktu:
Proses penelitian untuk pengembalian pendahuluan memiliki jangka waktu
penyelesaian yang jauh lebih singkat, berkisar antara 15 hari kerja hingga
3 bulan tergantung kategori WP dan jenis pajak. Proses pemeriksaan untuk
restitusi Pasal 17B dapat memakan waktu hingga 12 bulan.
- Produk Hukum:
Hasil akhir dari pengembalian pendahuluan adalah diterbitkannya Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP). Sementara
itu, hasil akhir dari proses restitusi Pasal 17B adalah diterbitkannya
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
- Sifat Keputusan:
SKPPKP bersifat pendahuluan. Artinya, meskipun kelebihan pajak
telah dikembalikan, DJP masih berwenang untuk melakukan pemeriksaan pajak
di kemudian hari atas periode yang sama. Jika ditemukan kekurangan
pembayaran, DJP dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
(SKPKB). SKPLB, di sisi lain, diterbitkan setelah proses pemeriksaan
selesai, memberikan tingkat kepastian hukum yang lebih final bagi WP untuk
periode yang diperiksa (kecuali ditemukan data baru/novum).
Kecepatan proses yang
ditawarkan oleh pengembalian pendahuluan merupakan daya tarik utama
bagi WP. Namun, perlu dipahami bahwa kecepatan ini datang dengan konsekuensi
sifat keputusan yang provisional. WP mendapatkan dana lebih cepat,
tetapi belum memperoleh kepastian hukum final atas posisi pajaknya untuk
periode tersebut hingga melewati batas waktu pemeriksaan atau jika pemeriksaan
dilakukan dan hasilnya sesuai. Ini merupakan pertukaran antara kebutuhan
likuiditas jangka pendek dan kepastian hukum jangka panjang.
II. Landasan Hukum
Pengembalian Pendahuluan
Skema pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak diatur dalam beberapa tingkatan peraturan
perundang-undangan di Indonesia, mulai dari Undang-Undang hingga peraturan
pelaksana teknis.
A. Undang-Undang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
UU KUP, sebagai induk
peraturan formal perpajakan di Indonesia, menyediakan dasar hukum utama untuk
dua dari tiga kategori WP yang berhak atas pengembalian pendahuluan:
- Pasal 17C UU KUP:
Pasal ini secara spesifik mengatur mekanisme pengembalian pendahuluan bagi
Wajib Pajak yang memenuhi Kriteria Tertentu (sering disebut WP
Patuh). Pasal ini mengamanatkan DJP untuk melakukan penelitian atas
permohonan pengembalian dari WP Kriteria Tertentu dan menerbitkan SKPPKP
dalam jangka waktu paling lama 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN
sejak permohonan diterima.
- Pasal 17D UU KUP:
Pasal ini menjadi dasar hukum pengembalian pendahuluan bagi Wajib Pajak
yang memenuhi Persyaratan Tertentu (sering disebut WP Restitusi
Kecil). Pasal ini mendefinisikan kategori WP yang termasuk dalam kelompok
ini (misalnya, WP Orang Pribadi non-usaha, WP Orang Pribadi usaha/WP
Badan/PKP dengan batas lebih bayar tertentu) dan mewajibkan DJP
menerbitkan SKPPKP setelah melakukan penelitian dalam jangka waktu yang
lebih singkat (15 hari kerja hingga 1 bulan).
B. Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai (UU PPN)
Untuk kategori ketiga, yaitu
Pengusaha Kena Pajak (PKP) Berisiko Rendah, dasar hukumnya terdapat dalam UU
PPN:
- Pasal 9 ayat (4c) UU PPN:
Pasal ini secara eksplisit memberikan hak kepada PKP yang ditetapkan
sebagai PKP Berisiko Rendah untuk mendapatkan pengembalian
pendahuluan atas kelebihan pembayaran PPN pada setiap Masa Pajak.
- Pasal 9 ayat (4f) UU PPN:
Pasal ini menjadi relevan dalam konteks konsekuensi. Disebutkan bahwa jika
terhadap PKP Berisiko Rendah yang telah menerima pengembalian pendahuluan
kemudian dilakukan pemeriksaan dan diterbitkan SKPKB, maka berlaku
ketentuan dalam pasal ini.
C. Peraturan Pelaksana Utama
Ketentuan lebih rinci mengenai
tata cara, kriteria, syarat, prosedur, dan jangka waktu pengembalian
pendahuluan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan
peraturan di bawahnya. PMK yang menjadi rujukan utama adalah:
- PMK No. 39/PMK.03/2018:
Ini adalah peraturan induk yang mengkonsolidasikan dan mengatur secara
komprehensif tata cara pengembalian pendahuluan untuk ketiga kategori WP
(WP Kriteria Tertentu, WP Persyaratan Tertentu, dan PKP Berisiko Rendah).
PMK ini mencabut beberapa PMK sebelumnya yang mengatur topik ini secara
terpisah.
- PMK No. 117/PMK.03/2019:
Merupakan perubahan pertama atas PMK 39/2018. Perubahan ini terutama
menyangkut penyesuaian kriteria PKP yang dapat ditetapkan sebagai PKP
Berisiko Rendah, misalnya dengan menambahkan pedagang besar farmasi dan
distributor alat kesehatan.
- PMK No. 209/PMK.03/2021:
Merupakan perubahan kedua atas PMK 39/2018. PMK ini melakukan penyesuaian
lebih lanjut, termasuk detail mengenai kriteria kepatuhan penyampaian SPT
dan kondisi yang menyebabkan pencabutan status WP Kriteria Tertentu.
- PMK No. 119/PMK.03/2024:
Merupakan perubahan ketiga atas PMK 39/2018, yang berlaku mulai 1 Januari
2025. PMK ini membawa pembaruan signifikan, antara lain menaikkan batas
nilai lebih bayar untuk WP Persyaratan Tertentu (terutama PPN), menegaskan
aspek penelitian tambahan, serta mengintegrasikan prosedur pengajuan
dengan sistem administrasi perpajakan inti (Coretax).
Selain PMK, terdapat pula
peraturan turunan seperti Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) dan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE Dirjen) yang memberikan petunjuk
teknis pelaksanaan lebih lanjut, contohnya PER-04/PJ/2021 tentang penetapan
PKP Berisiko Rendah dan SE-10/PJ/2018 tentang petunjuk pelaksanaan
pengembalian pendahuluan.
Kerangka hukum yang berlapis
ini, mulai dari UU hingga SE Dirjen, menunjukkan kompleksitas pengaturan skema
pengembalian pendahuluan. Hal ini mengharuskan praktisi pajak dan WP untuk
senantiasa merujuk pada peraturan pelaksana terbaru, khususnya PMK dan perubahannya,
untuk memahami detail operasional, kriteria kelayakan, dan prosedur yang
berlaku saat ini.
Adanya pasal-pasal spesifik
dalam UU (17C KUP, 17D KUP, 9(4c) PPN) untuk setiap kategori WP juga menegaskan
bahwa DJP menerapkan perlakuan, logika, dan persyaratan yang unik untuk
masing-masing jalur pengembalian pendahuluan. Oleh karena itu, WP perlu secara
cermat mengidentifikasi kategori mana yang paling relevan dan memastikan
pemenuhan syarat spesifik untuk kategori tersebut sebelum mengajukan
permohonan.
III. Kategori Wajib Pajak yang
Berhak atas Pengembalian Pendahuluan
UU KUP dan UU PPN secara
spesifik mengidentifikasi tiga kategori Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan
fasilitas pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Setiap kategori
memiliki dasar hukum, kriteria kelayakan, dan prosedur yang berbeda.
A. Wajib Pajak Kriteria
Tertentu (Pasal 17C UU KUP - "WP Patuh")
Kategori ini ditujukan bagi WP
yang menunjukkan tingkat kepatuhan yang tinggi dalam kewajiban perpajakannya.
- Definisi:
WP yang ditetapkan oleh DJP karena memenuhi serangkaian kriteria kepatuhan
formal dan material secara konsisten.
- Kriteria Kelayakan (berdasarkan PMK
39/2018 s.t.d.d PMK 209/2021 & PMK 119/2024):
- Tepat Waktu Penyampaian SPT:
- Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk
3 (tiga) Tahun Pajak terakhir secara tepat waktu.
- Telah menyampaikan SPT Masa untuk Masa
Pajak Januari s.d. November dalam Tahun Pajak terakhir sebelum tahun
penetapan.
- Toleransi keterlambatan penyampaian SPT
Masa diperbolehkan maksimal 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak
dalam 1 tahun kalender, dengan syarat tidak berturut-turut dan
keterlambatan tidak melewati batas waktu penyampaian SPT Masa pada Masa
Pajak berikutnya.
- Tidak Mempunyai Tunggakan Pajak:
- Pada tanggal 31 Desember tahun terakhir
sebelum tahun penetapan, WP tidak memiliki utang pajak yang telah
melewati batas akhir pelunasan untuk semua jenis pajak.
- Pengecualian diberikan jika atas
tunggakan pajak tersebut WP telah memperoleh izin untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak.
- Laporan Keuangan Diaudit dengan Opini
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP):
- Laporan keuangan WP selama 3 (tiga)
tahun berturut-turut sebelum tahun penetapan telah diaudit oleh Akuntan
Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah.
- Hasil audit tersebut harus menghasilkan
opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Unqualified Opinion.
- Tidak Pernah Dipidana di Bidang
Perpajakan:
- WP tidak pernah dipidana karena
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrah) dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
- Prosedur Penetapan:
- Untuk mendapatkan status WP Kriteria
Tertentu, WP harus mengajukan permohonan penetapan kepada Kepala KPP
tempat WP terdaftar (untuk WP pusat/induk).
- Permohonan diajukan paling lambat tanggal
10 Januari setiap tahunnya.
- Sesuai PMK 119/2024, pengajuan ini
idealnya dilakukan secara elektronik melalui portal WP (Coretax). Jika
terdapat kendala sistem, pengajuan dapat dilakukan secara manual
(langsung ke KPP, via pos, atau jasa kurir).
- Permohonan perlu dilampiri rekapitulasi
bukti penerimaan SPT Masa (Jan-Nov tahun terakhir) dan SPT Tahunan (3
tahun terakhir).
- DJP akan menerbitkan Surat Keputusan
Penetapan WP Kriteria Tertentu atau surat pemberitahuan penolakan paling
lama 1 (satu) bulan setelah permohonan diterima lengkap.
- DJP juga memiliki kewenangan untuk
menetapkan WP Kriteria Tertentu secara jabatan berdasarkan data yang
dimiliki.
- Pencabutan Status:
- Status WP Kriteria Tertentu dapat dicabut
oleh DJP jika WP tidak lagi memenuhi salah satu kriteria, misalnya
terlambat menyampaikan SPT Tahunan, terlambat menyampaikan SPT Masa
melebihi toleransi, laporan keuangan tidak diaudit atau mendapat opini
selain WTP, atau terhadap WP dilakukan pemeriksaan bukti permulaan
(Bukper) secara terbuka atau tindakan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan.
- WP yang statusnya telah dicabut dapat
mengajukan kembali permohonan penetapan di periode berikutnya jika telah
kembali memenuhi kriteria.
B. Wajib Pajak Persyaratan
Tertentu (Pasal 17D UU KUP - "Restitusi Kecil")
Kategori ini mencakup WP yang
memenuhi persyaratan tertentu, terutama terkait jenis WP dan batasan nominal
kelebihan pembayaran pajak yang diajukan untuk restitusi. Berbeda dengan WP
Kriteria Tertentu, WP dalam kategori ini tidak perlu melalui proses penetapan
status terlebih dahulu; kelayakannya dinilai langsung saat mengajukan
permohonan pengembalian pendahuluan melalui SPT.
- Kriteria Kelayakan (berdasarkan PMK
119/2024):
- Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) yang
tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas:
WP ini dapat mengajukan pengembalian pendahuluan jika menyampaikan SPT
Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi, tanpa ada batasan jumlah lebih
bayar.
- WPOP yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas: WP ini dapat mengajukan
pengembalian pendahuluan jika menyampaikan SPT Tahunan PPh Lebih Bayar
Restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah). Batasan ini merupakan pembaruan signifikan dari
PMK 119/2024.
- Wajib Pajak Badan:
WP Badan dapat mengajukan pengembalian pendahuluan jika menyampaikan SPT
Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi dengan jumlah lebih bayar paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Batasan ini juga
merupakan pembaruan dari PMK 119/2024.
- Pengusaha Kena Pajak (PKP):
PKP dapat mengajukan pengembalian pendahuluan jika menyampaikan SPT Masa
PPN Lebih Bayar Restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ini adalah kenaikan batas yang
sangat signifikan dari aturan sebelumnya (Rp 1 Miliar) yang diberlakukan
oleh PMK 119/2024.
- Syarat Tambahan:
Pemberian pengembalian pendahuluan untuk WP Persyaratan Tertentu juga
harus didasarkan pada analisis risiko yang pedomannya ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak. Jika berdasarkan analisis risiko WP dianggap
tidak memenuhi syarat untuk jalur pendahuluan, permohonan restitusinya
akan diproses melalui mekanisme pemeriksaan biasa sesuai Pasal 17B UU KUP.
C. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Berisiko Rendah (Pasal 9 ayat 4c UU PPN)
Kategori ini khusus ditujukan
bagi PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu dan telah ditetapkan oleh DJP
sebagai PKP Berisiko Rendah. Mereka berhak mendapatkan pengembalian pendahuluan
atas kelebihan pembayaran PPN pada setiap Masa Pajak.
- Kriteria PKP (Jenis Usaha/Status -
berdasarkan PMK 39/2018 s.t.d.d PMK 209/2021):
- Perusahaan yang sahamnya diperdagangkan
di Bursa Efek Indonesia (BEI).
- Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) sesuai ketentuan perundang-undangan.
- PKP yang telah ditetapkan sebagai Mitra
Utama Kepabeanan (MITA Kepabeanan).
- PKP yang telah ditetapkan sebagai
Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator -
AEO).
- Pabrikan atau produsen yang memiliki
tempat untuk melakukan kegiatan produksi.
- PKP yang memenuhi persyaratan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d PMK 39/2018 (yaitu
PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN LB Restitusi dengan jumlah LB maks. Rp
1 Miliar - perlu dicatat bahwa batasan ini berasal dari aturan sebelum
PMK 119/2024).
- Pedagang Besar Farmasi yang memiliki:
- Izin Pedagang Besar Farmasi (PBF) atau
Sertifikat Distribusi Farmasi.
- Sertifikat Cara Distribusi Obat yang
Baik (CDOB).
- Distributor Alat Kesehatan yang memiliki:
- Izin Penyalur Alat Kesehatan (PAK) atau
Sertifikat Distribusi Alat Kesehatan.
- Sertifikat Cara Distribusi Alat
Kesehatan yang Baik (CDAKB).
- Perusahaan yang dimiliki secara langsung
oleh BUMN dengan kepemilikan saham lebih dari 50% (lima puluh persen),
yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan BUMN
induk.
- Kegiatan Tertentu yang Dilakukan PKP
(berdasarkan PMK 39/2018 s.t.d.d PMK 117/2019):
PKP Berisiko Rendah harus melakukan salah satu atau lebih kegiatan
berikut:
- Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud.
- Penyerahan BKP dan/atau Jasa Kena Pajak
(JKP) kepada Pemungut PPN.
- Penyerahan BKP dan/atau JKP yang PPN-nya
tidak dipungut.
- Ekspor BKP Tidak Berwujud.
- Ekspor JKP.
- Syarat Tambahan untuk Penetapan (selain
untuk PKP yang masuk kriteria huruf f di atas):
- Telah menyampaikan SPT Masa PPN selama 12
(dua belas) bulan terakhir.
- Tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan (Bukper) dan/atau penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan.
- Tidak pernah dipidana karena melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah inkrah dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
- Prosedur Penetapan:
- PKP (selain yang memenuhi kriteria huruf
f di atas) harus mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai PKP
Berisiko Rendah ke KPP tempat PKP dikukuhkan.
- Permohonan dilampiri dokumen pendukung
sesuai jenis PKP, seperti sertifikat MITA/AEO, izin PBF/PAK, surat
pernyataan tempat produksi, atau laporan keuangan konsolidasi BUMN.
- DJP akan menerbitkan Surat Keputusan
Penetapan PKP Berisiko Rendah atau surat penolakan paling lama 15 (lima
belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. Jika DJP
tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu tersebut, permohonan
dianggap dikabulkan, dan DJP wajib menerbitkan surat keputusan penetapan.
- PMK 119/2024 mengindikasikan bahwa
pengajuan permohonan ini juga diarahkan melalui Coretax.
- Bagi PKP yang memenuhi kriteria sebagai
WP Persyaratan Tertentu (kriteria huruf f), mereka dapat diperlakukan
sebagai PKP Berisiko Rendah tanpa perlu mengajukan permohonan
penetapan, sepanjang memenuhi syarat tidak sedang Bukper/Penyidikan
dan tidak pernah dipidana pajak 5 tahun terakhir.
- Pencabutan Status:
- Status PKP Berisiko Rendah dapat dicabut
jika PKP dilakukan Bukper/Penyidikan, dipidana karena tindak pidana
perpajakan, atau tidak lagi memenuhi ketentuan sebagai PKP Berisiko
Rendah (misalnya, pencabutan status MITA/AEO, izin PBF/PAK dicabut).
- PKP yang statusnya dicabut dapat
mengajukan kembali permohonan penetapan jika telah kembali memenuhi
syarat.
Kriteria kelayakan yang sangat
spesifik dan berbeda untuk setiap kategori ini mencerminkan segmentasi WP yang
dilakukan oleh DJP. WP Kriteria Tertentu dinilai berdasarkan rekam jejak
kepatuhan historisnya. WP Persyaratan Tertentu dinilai berdasarkan nilai
transaksi atau jumlah lebih bayar yang relatif kecil (menurut batasan terbaru
PMK 119/2024). Sementara itu, PKP Berisiko Rendah dinilai berdasarkan jenis
usaha atau transaksi spesifik yang dilakukannya, yang secara inheren dianggap
memiliki risiko PPN lebih rendah atau lebih mudah diverifikasi (misalnya,
ekspor, transaksi dengan BUMN/Pemungut PPN). Segmentasi ini memungkinkan DJP
menerapkan pendekatan yang berbeda dalam menilai kelayakan percepatan
restitusi.
Penting untuk dicatat bahwa
PMK 119/2024 secara signifikan menaikkan batas lebih bayar PPN untuk WP
Persyaratan Tertentu dari Rp 1 Miliar menjadi Rp 5 Miliar. Kebijakan ini
berpotensi memperluas cakupan WP, khususnya PKP skala menengah, yang dapat
memanfaatkan fasilitas restitusi dipercepat melalui jalur Pasal 17D KUP.
Kenaikan batas ini bisa jadi merupakan respons pemerintah untuk mendukung
likuiditas dunia usaha atau upaya menyederhanakan proses bagi segmen WP yang
lebih luas, dengan asumsi risiko yang relatif terkendali meskipun nilai
klaimnya lebih besar.
Proses penetapan status yang
terpisah untuk WP Kriteria Tertentu dan sebagian besar PKP Berisiko Rendah
merupakan langkah administratif awal yang harus dilalui sebelum WP dapat secara
rutin mengajukan pengembalian pendahuluan melalui SPT. Meskipun menambah beban
administratif di awal, tujuannya adalah untuk memverifikasi kelayakan WP secara
formal sehingga proses refund selanjutnya dapat berjalan lebih lancar dan
cepat.
Adanya kriteria "PKP
Persyaratan Tertentu" (dengan batas LB PPN sebelum PMK 119) dalam daftar
jenis PKP Berisiko Rendah menciptakan jalur otomatisasi di mana PKP tersebut
dianggap berisiko rendah tanpa perlu penetapan. Namun, dengan kenaikan batas LB
PPN Pasal 17D menjadi Rp 5 Miliar oleh PMK 119/2024, timbul pertanyaan mengenai
interaksi antara kedua ketentuan ini. Apakah kini semua PKP dengan LB PPN
hingga Rp 5 Miliar otomatis dianggap PKP Berisiko Rendah? Ataukah kriteria PKP
Berisiko Rendah yang merujuk pada Pasal 17D masih mengacu pada batasan lama (Rp
1 Miliar)? Area ini memerlukan klarifikasi lebih lanjut dari DJP melalui
peraturan pelaksana atau penegasan resmi untuk memberikan kepastian kepada WP.
IV. Prosedur Pengajuan dan
Penelitian oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Setelah WP memastikan diri
memenuhi kriteria kelayakan untuk salah satu kategori, langkah selanjutnya
adalah mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan dan memahami bagaimana
DJP akan memproses permohonan tersebut melalui penelitian.
A. Tata Cara Pengajuan
Permohonan
Cara pengajuan permohonan
pengembalian pendahuluan sedikit berbeda tergantung pada kategori WP:
- WP Kriteria Tertentu dan PKP Berisiko
Rendah: Setelah status WP Kriteria Tertentu atau
PKP Berisiko Rendah ditetapkan oleh DJP (melalui proses permohonan
penetapan sebelumnya), WP dapat mengajukan permohonan pengembalian
pendahuluan secara rutin. Caranya adalah dengan mengisi kolom/centang
"Pengembalian Pendahuluan" yang tersedia pada formulir SPT
Tahunan PPh (untuk WP Kriteria Tertentu) atau SPT Masa PPN (untuk WP
Kriteria Tertentu dan PKP Berisiko Rendah) yang dilaporkan menyatakan
Lebih Bayar.
- WP Persyaratan Tertentu:
WP yang memenuhi kriteria Pasal 17D UU KUP (termasuk batasan nilai lebih
bayar) dapat langsung mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan
dengan cara mengisi kolom/centang "Pengembalian Pendahuluan"
pada SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang dilaporkan menyatakan Lebih
Bayar. Jika WP telah menyampaikan SPT Lebih Bayar namun lupa mengisi kolom
permohonan pengembalian pendahuluan, permohonan masih dapat diajukan
melalui surat tersendiri ke KPP. Selain itu, penyampaian SPT pembetulan
yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian (restitusi)
juga dianggap sebagai pengajuan permohonan pengembalian pendahuluan jika
WP memenuhi kriteria Pasal 17D.
- Pengajuan Melalui Coretax:
Sejalan dengan modernisasi administrasi perpajakan, PMK 119/2024
mengarahkan agar semua aplikasi yang berkaitan dengan pengembalian
pendahuluan, termasuk permohonan penetapan status (untuk WP Kriteria
Tertentu dan PKP Berisiko Rendah) maupun permohonan pengembalian
pendahuluan itu sendiri (melalui SPT), dilakukan secara elektronik melalui
portal Wajib Pajak yang terintegrasi dalam sistem inti administrasi
perpajakan (Coretax). Namun, peraturan ini juga menyediakan opsi pengajuan
secara manual (langsung ke KPP, melalui pos, atau jasa kurir) jika WP
mengalami kendala dalam menggunakan sistem elektronik. Implementasi penuh
Coretax diharapkan akan meningkatkan efisiensi, standarisasi, dan
kecepatan proses, namun juga memerlukan adaptasi dari WP dan KPP serta keandalan
infrastruktur teknologi informasi DJP.
B. Proses Penelitian oleh DJP
Penting untuk dipahami bahwa
DJP tidak melakukan pemeriksaan dalam konteks Pasal 17B UU KUP untuk
memproses permohonan pengembalian pendahuluan. Sebagai gantinya, DJP melakukan penelitian
yang cakupannya lebih terbatas dan waktunya lebih singkat. Penelitian ini
mencakup aspek formal dan material terbatas:
- Penelitian Kewajiban Formal:
- Untuk WP Kriteria Tertentu:
DJP akan meneliti apakah penetapan status WP Kriteria Tertentu masih
berlaku, apakah WP tidak terlambat menyampaikan SPT Tahunan dan SPT Masa
(sesuai batasan toleransi), apakah laporan keuangan tahun terakhir
diaudit dengan opini WTP, dan apakah WP tidak sedang dalam proses Bukper
secara terbuka atau penyidikan tindak pidana perpajakan.
- Untuk PKP Berisiko Rendah:
DJP akan meneliti apakah penetapan status PKP Berisiko Rendah masih
berlaku, apakah PKP tidak sedang dilakukan Bukper/penyidikan, dan apakah
PKP tidak pernah dipidana pajak dalam 5 tahun terakhir.
- Untuk WP Persyaratan Tertentu:
Penelitian formal mencakup kelengkapan pengisian SPT dan lampirannya,
kebenaran penulisan dan penghitungan pajak, kebenaran data pembayaran
pajak yang dilakukan, serta kebenaran alamat WP. Selain itu, DJP juga
akan melakukan analisis risiko terhadap WP ini.
- Penelitian Material Terbatas:
- Umum: Kebenaran
penulisan dan penghitungan pajak dalam SPT.
- Untuk PPh:
Penelitian difokuskan pada kebenaran kredit pajak PPh Pasal 21, 22, 23,
24, dll., yang dilaporkan WP, terutama melalui verifikasi bukti
pemotongan atau pemungutan (Bukti Potput) PPh yang dikreditkan. PMK
119/2024 juga secara eksplisit menambahkan penekanan pada penelitian
Bukti Potput ini.
- Untuk PPN:
Penelitian difokuskan pada Pajak Masukan (PM) yang dikreditkan oleh WP.
DJP akan melakukan penelitian untuk memastikan: (a) PM tersebut telah
dilaporkan dalam SPT Masa PPN oleh PKP penjual (lawan transaksi) yang
menerbitkan Faktur Pajak, dan/atau (b) PM yang dibayar sendiri oleh WP
(misalnya PPN Impor atau PPN Kegiatan Membangun Sendiri) telah divalidasi
dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Pajak Masukan yang
berdasarkan penelitian tidak memenuhi ketentuan (misalnya tidak
dilaporkan lawan transaksi atau NTPN tidak valid) tidak akan
diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak yang dapat
dikembalikan melalui mekanisme pendahuluan.
- Tambahan untuk WP Kriteria Tertentu (PMK
119/2024): Jika permohonan pengembalian pendahuluan
PPN diajukan pada Masa Pajak selain Masa Pajak akhir tahun buku,
DJP juga akan melakukan penelitian terhadap pemenuhan kegiatan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4b) UU PPN (yaitu ekspor
BKP/JKP, penyerahan kepada Pemungut PPN, atau penyerahan yang PPN-nya
tidak dipungut). Penambahan aspek penelitian ini kemungkinan bertujuan
untuk memastikan bahwa klaim LB PPN bulanan oleh WP 17C memang berasal
dari kegiatan usaha yang secara wajar menghasilkan LB PPN, sebagai bentuk
penguatan kontrol dalam proses penelitian yang dipercepat.
Meskipun hanya berupa
"penelitian", proses yang dilakukan DJP tetap melibatkan verifikasi
material terbatas, khususnya pada pos kredit pajak (PPh Potput dan PPN
Masukan). Hal ini menunjukkan bahwa area kredit pajak merupakan fokus risiko
utama yang diwaspadai DJP dalam proses restitusi, bahkan dalam jalur yang
dipercepat sekalipun. WP harus memastikan validitas dan kelengkapan dokumentasi
kredit pajaknya.
C. Penerbitan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP)
Berdasarkan hasil penelitian
formal dan material terbatas:
- Jika Memenuhi Syarat:
Apabila hasil penelitian menunjukkan bahwa WP memenuhi persyaratan formal
dan terdapat kelebihan pembayaran pajak setelah verifikasi material
terbatas, DJP akan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak (SKPPKP).
- Jika Tidak Memenuhi Syarat:
Apabila hasil penelitian menunjukkan WP tidak memenuhi syarat (misalnya,
status penetapan tidak berlaku, SPT tidak lengkap, tidak terdapat
kelebihan bayar setelah penelitian kredit pajak, atau tidak lolos analisis
risiko untuk WP 17D), maka SKPPKP tidak akan diterbitkan. DJP akan
memberitahukan hal ini kepada WP. Untuk WP Persyaratan Tertentu yang tidak
lolos analisis risiko, permohonannya akan dialihkan ke proses restitusi
biasa melalui pemeriksaan (Pasal 17B UU KUP).
- Proses Lanjutan:
SKPPKP yang telah diterbitkan menjadi dasar bagi DJP untuk menerbitkan
Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP), setelah
memperhitungkan terlebih dahulu utang pajak WP (jika ada). Setelah SKPKPP
terbit, proses dilanjutkan dengan penerbitan Surat Perintah Membayar
Kelebihan Pajak (SPMKP) oleh Kepala KPP kepada Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk melakukan transfer dana ke rekening WP
yang terdaftar.
V. Jangka Waktu Penyelesaian
Permohonan
Salah satu keunggulan utama
skema pengembalian pendahuluan adalah jangka waktu penyelesaian yang relatif
cepat dan pasti. Peraturan perundang-undangan menetapkan batas waktu maksimal
bagi DJP untuk memproses permohonan dan menerbitkan keputusan.
A. Batas Waktu Penerbitan
SKPPKP oleh DJP
Jangka waktu maksimal bagi DJP
untuk menerbitkan SKPPKP (atau surat pemberitahuan tidak dapat diberikan
pengembalian pendahuluan) dihitung sejak tanggal permohonan pengembalian
pendahuluan diterima secara lengkap oleh DJP. Batas waktu ini bervariasi tergantung
pada kategori WP dan jenis pajak yang dimohonkan:
- Wajib Pajak Kriteria Tertentu (Pasal 17C
UU KUP):
- Untuk Pajak Penghasilan (PPh): Paling
lama 3 (tiga) bulan.
- Untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN):
Paling lama 1 (satu) bulan.
- Wajib Pajak Persyaratan Tertentu (Pasal
17D UU KUP):
- Untuk PPh Orang Pribadi: Paling lama 15
(lima belas) hari kerja.
- Untuk PPh Badan: Paling lama 1 (satu)
bulan.
- Untuk PPN: Paling lama 1 (satu) bulan.
- Pengusaha Kena Pajak (PKP) Berisiko Rendah
(Pasal 9 ayat 4c UU PPN):
- Untuk PPN: Paling lama 1 (satu) bulan.
Penetapan jangka waktu yang
spesifik ini memberikan tingkat kepastian (certainty) bagi WP mengenai
durasi maksimal proses penelitian oleh DJP.
B. Konsekuensi Jika Batas
Waktu Terlampaui
Peraturan perundang-undangan
memberikan perlindungan bagi WP jika DJP melewati batas waktu maksimal
penerbitan SKPPKP:
- Apabila jangka waktu sebagaimana
disebutkan di atas terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak
menerbitkan SKPPKP atau surat pemberitahuan penolakan, maka permohonan
pengembalian pendahuluan WP dianggap dikabulkan.
- Dalam kondisi tersebut, Direktur Jenderal
Pajak wajib menerbitkan SKPPKP setelah jangka waktu maksimal
tersebut berakhir.
Ketentuan "dianggap
dikabulkan" ini berfungsi sebagai mekanisme default rule yang
memberikan insentif kuat bagi DJP untuk memproses permohonan secara tepat waktu
sesuai dengan Service Level Agreement (SLA) yang telah ditetapkan dalam
peraturan.
C. Jangka Waktu Proses
Selanjutnya
Setelah SKPPKP diterbitkan,
masih ada beberapa tahapan administratif sebelum dana kelebihan pajak
benar-benar masuk ke rekening WP. Jangka waktu untuk tahapan ini juga diatur:
- Penerbitan SKPKPP:
Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP)
diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan
SKPPKP. SKPKPP ini memperhitungkan utang pajak WP (jika ada).
- Penerbitan SPMKP:
Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) diterbitkan oleh Kepala
KPP paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal penerbitan
SKPKPP.
- Transfer Dana:
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) akan mentransfer dana
kelebihan pajak ke rekening WP yang terdaftar. Proses transfer ini umumnya
memakan waktu sekitar 2 (dua) hari kerja sejak SPMKP diterbitkan.
Jangka waktu penyelesaian yang
berbeda antar kategori WP dan jenis pajak (misalnya, 15 hari kerja untuk PPh OP
17D dibandingkan 3 bulan untuk PPh 17C) kemungkinan mencerminkan perbedaan
dalam kompleksitas penelitian yang diperlukan atau tingkat risiko yang
dipersepsikan oleh DJP untuk masing-masing kasus. Kasus PPh Orang Pribadi
dengan nilai lebih bayar kecil (17D) mungkin dianggap paling sederhana,
sementara kasus PPh Badan WP Kriteria Tertentu (17C) bisa jadi lebih kompleks
karena melibatkan analisis kepatuhan historis dan potensi nilai restitusi yang
lebih besar. PPN yang bersifat bulanan dan transaksional umumnya diproses dalam
1 bulan, relatif lebih cepat dibandingkan PPh Tahunan Badan. Diferensiasi waktu
proses ini menunjukkan adanya alokasi sumber daya dan waktu penelitian yang
disesuaikan dengan profil risiko dan kompleksitas kasus.
VI. Konsekuensi Setelah
Menerima Pengembalian Pendahuluan
Meskipun skema pengembalian
pendahuluan memberikan keuntungan berupa percepatan penerimaan dana restitusi,
WP harus menyadari bahwa proses ini belum bersifat final. Penerimaan SKPPKP dan
dana pengembalian tidak serta merta menutup kemungkinan adanya tindakan lebih
lanjut dari DJP.
A. Kemungkinan Pemeriksaan
Pajak di Kemudian Hari
Peraturan perundang-undangan
secara tegas menyatakan bahwa penerbitan SKPPKP tidak menghilangkan
kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan pajak atas Tahun
Pajak atau Masa Pajak yang sama di kemudian hari. Pemeriksaan ini akan
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai tata cara pemeriksaan pajak.
Ini merupakan elemen kunci
dari manajemen risiko yang diterapkan DJP dalam skema pengembalian pendahuluan.
Karena keputusan pengembalian didasarkan pada penelitian yang terbatas dan
cepat, DJP mempertahankan hak untuk melakukan audit penuh di kemudian hari
sebagai "jaring pengaman" (safety net) untuk mengoreksi
potensi kesalahan atau ketidaksesuaian pelaporan yang mungkin tidak terdeteksi
dalam penelitian awal.
B. Potensi Penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Konsekuensi paling signifikan
dari pemeriksaan pajak pasca-pengembalian pendahuluan adalah potensi
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Jika hasil
pemeriksaan menunjukkan bahwa jumlah pajak yang seharusnya terutang lebih besar
dari yang dilaporkan WP, atau jumlah kelebihan pembayaran pajak yang telah
dikembalikan melalui SKPPKP ternyata lebih besar dari yang seharusnya, maka DJP
akan menerbitkan SKPKB atas selisih kekurangan pembayaran pajak tersebut.
Jumlah pajak yang kurang
dibayar yang tercantum dalam SKPKB tersebut akan ditambah dengan sanksi
administrasi sesuai ketentuan UU KUP. Sanksi ini bisa berupa bunga atau
kenaikan persentase tertentu dari jumlah pajak yang kurang dibayar, tergantung
pada penyebab diterbitkannya SKPKB.
C. Implikasi Pasal 9 ayat (4f)
UU PPN bagi PKP Berisiko Rendah
Secara khusus untuk PKP
Berisiko Rendah, peraturan menyebutkan bahwa jika setelah menerima pengembalian
pendahuluan kemudian dilakukan pemeriksaan dan diterbitkan SKPKB, maka akan
berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4f) UU PPN.
Sumber informasi yang tersedia
tidak merinci isi dari Pasal 9 ayat (4f) UU PPN. Namun, berdasarkan struktur
umum UU PPN dan UU KUP, pasal ini kemungkinan besar mengatur mengenai pengenaan
sanksi administrasi spesifik (misalnya, sanksi kenaikan dengan persentase
tertentu, yang bisa jadi lebih tinggi dari sanksi bunga biasa) atas jumlah PPN
yang kurang dibayar yang ditemukan dalam pemeriksaan setelah pengembalian
pendahuluan diberikan kepada PKP Berisiko Rendah. Untuk mengetahui detail
sanksi atau ketentuan yang berlaku, WP perlu merujuk langsung pada teks Pasal 9
ayat (4f) UU PPN beserta peraturan pelaksana terkait.
Bagi WP, konsekuensi ini
menegaskan pentingnya menjaga akurasi pelaporan dan kelengkapan dokumentasi
pendukung, meskipun telah menerima pengembalian pendahuluan. Penerimaan SKPPKP
bukanlah akhir dari proses evaluasi kepatuhan untuk periode pajak tersebut.
Risiko audit dan potensi pengenaan SKPKB beserta sanksinya tetap ada hingga
melewati daluwarsa penetapan pajak. Oleh karena itu, WP harus tetap menyimpan
seluruh bukti transaksi, Faktur Pajak, Bukti Potput, dasar perhitungan, dan
dokumen relevan lainnya secara rapi dan sistematis, seolah-olah pemeriksaan
dapat terjadi sewaktu-waktu. Kelalaian dalam pembukuan atau pelaporan dapat
berakibat serius jika pemeriksaan di kemudian hari menemukan adanya kekurangan
pembayaran pajak.
VII. Perkembangan Regulasi
Terbaru: Dampak PMK 119/2024
Sebagai bagian dari upaya
berkelanjutan untuk menyempurnakan sistem perpajakan, Menteri Keuangan
menerbitkan PMK Nomor 119/PMK.03/2024 pada 27 Desember 2024, yang berlaku mulai
1 Januari 2025. PMK ini merupakan perubahan ketiga atas PMK 39/2018 dan membawa
sejumlah penyesuaian penting dalam tata cara pengembalian pendahuluan.
A. Penyesuaian Prosedur dan
Integrasi Coretax
Salah satu perubahan paling
menonjol adalah penekanan pada digitalisasi proses melalui integrasi dengan
sistem inti administrasi perpajakan (Coretax). PMK 119/2024 mengarahkan agar
semua aplikasi yang berkaitan dengan pengembalian pendahuluan – baik permohonan
penetapan status WP Kriteria Tertentu/PKP Berisiko Rendah maupun pengajuan
pengembalian pendahuluan melalui SPT – dilakukan secara elektronik melalui
portal Wajib Pajak yang disediakan DJP.
Langkah ini sejalan dengan
agenda reformasi administrasi perpajakan yang lebih luas dan diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi, mengurangi penggunaan kertas, mempercepat pemrosesan
data, dan memungkinkan analisis risiko yang lebih terintegrasi oleh DJP. Namun,
transisi ke sistem Coretax juga memerlukan kesiapan infrastruktur teknologi
informasi DJP, peningkatan literasi digital di kalangan WP, serta penanganan
yang efektif jika terjadi kendala teknis. Sebagai antisipasi, PMK 119/2024
masih memungkinkan pengajuan secara manual jika WP terkendala menggunakan
sistem elektronik.
B. Perubahan Batasan Nilai
Lebih Bayar (WP Persyaratan Tertentu)
PMK 119/2024 secara signifikan
mengubah batasan (threshold) jumlah lebih bayar bagi WP Persyaratan Tertentu
(Pasal 17D KUP) yang berhak mendapatkan pengembalian pendahuluan:
- WPOP Usaha/Pekerjaan Bebas (PPh):
Batas maksimal lebih bayar dinaikkan menjadi Rp 100.000.000,00.
- WP Badan (PPh):
Batas maksimal lebih bayar dinaikkan menjadi Rp 1.000.000.000,00.
- PKP (PPN):
Batas maksimal lebih bayar dinaikkan secara drastis menjadi Rp
5.000.000.000,00 (dari sebelumnya Rp 1 Miliar).
Kenaikan batas nilai ini,
terutama untuk PPN, berpotensi memperluas secara signifikan jumlah WP,
khususnya PKP skala menengah, yang dapat memanfaatkan fasilitas restitusi
dipercepat melalui jalur Pasal 17D KUP. Kebijakan ini dapat diinterpretasikan
sebagai upaya pemerintah untuk lebih lanjut mendukung likuiditas dunia usaha
dan menyederhanakan proses administrasi bagi segmen WP yang lebih luas.
C. Penegasan Aspek Penelitian
Tambahan
Untuk memperkuat kontrol dalam
proses penelitian yang dipercepat, PMK 119/2024 menambahkan atau menegaskan
beberapa aspek penelitian:
- Untuk WP Kriteria Tertentu (PPN):
Jika permohonan restitusi PPN diajukan pada Masa Pajak selain akhir tahun
buku, DJP akan melakukan penelitian tambahan untuk memastikan pemenuhan
kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (4b) UU PPN (ekspor,
penyerahan ke pemungut, dll.).
- Untuk PPh:
Terdapat penegasan mengenai penelitian atas kebenaran Bukti Potput PPh
yang dikreditkan.
Penambahan aspek penelitian
ini mengindikasikan bahwa DJP, sambil tetap mempertahankan kecepatan proses,
berupaya meningkatkan akurasi dan mengurangi risiko kesalahan atau
penyalahgunaan fasilitas berdasarkan evaluasi implementasi sebelumnya.
D. Ketentuan Peralihan
PMK 119/2024 juga mengatur
ketentuan peralihan. Ditegaskan bahwa permohonan pengembalian pendahuluan yang
berkaitan dengan Tahun Pajak atau Masa Pajak sampai dengan tahun 2024 akan
tetap diproses berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelum PMK 119/2024
(yaitu PMK 39/2018 s.t.d.d PMK 209/2021). Hal ini memberikan kepastian hukum
bagi permohonan yang sedang berjalan atau diajukan untuk periode sebelum
pemberlakuan aturan baru.
Secara keseluruhan, PMK
119/2024 menandai evolusi penting dalam skema pengembalian pendahuluan,
bergerak menuju modernisasi administrasi melalui Coretax sekaligus melakukan
penyesuaian kebijakan yang signifikan seperti perluasan batas nilai untuk WP
Persyaratan Tertentu. Ini mencerminkan upaya DJP untuk terus menyeimbangkan
antara fasilitasi WP, efisiensi administrasi, dan pengamanan penerimaan negara.
VIII. Sintesis dan Kesimpulan
A. Rangkuman Skema
Pengembalian Pendahuluan
Skema pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak merupakan fasilitas yang disediakan oleh DJP untuk
mempercepat proses restitusi bagi WP tertentu, sebagai alternatif dari
mekanisme pemeriksaan standar (Pasal 17B UU KUP). Skema ini didasarkan pada
Pasal 17C UU KUP (untuk WP Kriteria Tertentu), Pasal 17D UU KUP (untuk WP
Persyaratan Tertentu dengan batasan nilai LB tertentu), dan Pasal 9 ayat (4c)
UU PPN (untuk PKP Berisiko Rendah).
Alur utama skema ini meliputi:
- Identifikasi Kelayakan:
WP perlu menentukan apakah memenuhi kriteria sebagai WP Kriteria Tertentu,
WP Persyaratan Tertentu, atau PKP Berisiko Rendah.
- Pemenuhan Syarat & Penetapan Status:
WP Kriteria Tertentu dan PKP Berisiko Rendah (umumnya) perlu mengajukan
permohonan penetapan status terlebih dahulu. WP Persyaratan Tertentu
dinilai kelayakannya saat mengajukan restitusi.
- Pengajuan Permohonan:
Permohonan diajukan dengan mengisi kolom/centang pada SPT Lebih Bayar,
yang idealnya disampaikan melalui sistem Coretax (sesuai PMK 119/2024).
- Penelitian DJP:
DJP melakukan penelitian formal dan material terbatas (bukan pemeriksaan)
dalam jangka waktu yang ditentukan (15 hari kerja s.d. 3 bulan).
- Penerbitan SKPPKP:
Jika memenuhi syarat, DJP menerbitkan SKPPKP, yang menjadi dasar
pengembalian dana setelah diperhitungkan utang pajak.
- Potensi Audit Lanjutan:
Penerbitan SKPPKP tidak menutup kemungkinan pemeriksaan pajak di kemudian
hari, yang dapat berujung pada penerbitan SKPKB jika ditemukan kekurangan
pembayaran.
Skema ini secara inheren
mengadopsi pendekatan berbasis risiko, memberikan jalur cepat bagi WP yang
dinilai memiliki kepatuhan baik, risiko rendah, atau klaim bernilai relatif
kecil, sambil tetap mempertahankan mekanisme kontrol melalui penelitian awal dan
potensi audit lanjutan.
B. Poin Penting bagi Wajib
Pajak
Bagi WP yang mempertimbangkan
untuk memanfaatkan fasilitas pengembalian pendahuluan, beberapa poin penting
perlu diperhatikan:
- Pahami Kriteria Kelayakan:
Sangat penting untuk memahami secara detail kriteria spesifik yang berlaku
untuk masing-masing kategori (WP Kriteria Tertentu, WP Persyaratan
Tertentu, PKP Berisiko Rendah), termasuk batasan nilai lebih bayar terbaru
sesuai PMK 119/2024. Kesalahan dalam mengidentifikasi kelayakan dapat
menyebabkan permohonan ditolak atau dialihkan ke jalur pemeriksaan biasa.
- Jaga Kepatuhan Formal dan Material:
Kepatuhan dalam penyampaian SPT secara tepat waktu dan akurat, serta
pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya, adalah kunci, terutama untuk
mempertahankan status WP Kriteria Tertentu. Selain itu, kebenaran
perhitungan pajak dan kelengkapan dokumentasi pendukung (Faktur Pajak,
Bukti Potput, dll.) tetap krusial, karena DJP melakukan penelitian
material terbatas dan berhak melakukan pemeriksaan di kemudian hari.
- Ikuti Perkembangan Regulasi:
Peraturan mengenai pengembalian pendahuluan bersifat dinamis, sebagaimana
ditunjukkan oleh beberapa kali perubahan PMK 39/2018. WP perlu terus
memantau pembaruan peraturan, terutama terkait prosedur pengajuan melalui
Coretax, perubahan batasan nilai, dan aspek penelitian baru yang mungkin
ditambahkan.
- Manfaatkan Sumber Informasi dan
Konsultasi: Jika terdapat keraguan mengenai
kelayakan, prosedur, atau implikasi dari skema pengembalian pendahuluan,
WP disarankan untuk proaktif mencari informasi dari sumber resmi DJP atau
berkonsultasi dengan KPP tempat terdaftar maupun konsultan pajak yang kompeten.
Secara keseluruhan, skema
pengembalian pendahuluan menawarkan manfaat signifikan berupa percepatan
likuiditas bagi WP yang memenuhi syarat. Namun, manfaat ini perlu diimbangi
dengan pemahaman mendalam mengenai persyaratan, prosedur, dan potensi konsekuensi
di kemudian hari. Dengan pemahaman yang baik dan kepatuhan yang terjaga, WP
dapat memanfaatkan fasilitas ini secara optimal sebagai bagian dari manajemen
arus kas dan pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar