I. Pendahuluan
A. Konteks Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) di Indonesia
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
merupakan pilar penting dalam sistem perpajakan Indonesia. Secara fundamental,
PPN adalah pajak atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak
(JKP) yang dikenakan di dalam Daerah Pabean. Pengenaan PPN menganut prinsip
destinasi, artinya pajak dikenakan di tempat barang atau jasa dikonsumsi.
Karakteristik utama PPN adalah sifatnya yang tidak langsung (beban pajak
pada akhirnya ditanggung oleh konsumen akhir) dan dikenakan secara
bertingkat (multi-stage levy) pada setiap jalur produksi dan distribusi,
namun tidak bersifat kumulatif karena adanya mekanisme pengkreditan Pajak
Masukan.
Landasan hukum utama PPN di
Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang telah
mengalami beberapa kali perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Perubahan-perubahan ini
mencerminkan dinamika kebutuhan penerimaan negara, penyesuaian terhadap praktik
bisnis modern, dan upaya penyederhanaan administrasi.
B. Pengantar Konsep Pemakaian
Sendiri sebagai Objek PPN
Dalam kerangka UU PPN, objek
pengenaan PPN tidak hanya terbatas pada transaksi jual-beli atau penyerahan
kepada pihak ketiga. Salah satu jenis penyerahan spesifik yang termasuk dalam
lingkup objek PPN adalah "pemakaian sendiri" (self-consumption).
Konsep ini merujuk pada penggunaan BKP atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
untuk kepentingan internalnya sendiri, pengurus, atau karyawannya.
Meskipun tidak melibatkan transaksi pembayaran dari pihak eksternal, pemakaian
sendiri dianggap sebagai suatu bentuk konsumsi yang perlu dikenakan PPN
berdasarkan prinsip-prinsip dasar PPN.
Tulisan ini bertujuan untuk
menyajikan analisis mendalam mengenai konsep pemakaian sendiri sebagai objek
PPN menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di
Indonesia. Pembahasan akan mencakup definisi yuridis, dasar hukum, rasionalisasi
pengenaan PPN, perlakuan PPN secara komprehensif (meliputi Dasar Pengenaan
Pajak, tarif, penghitungan PPN Keluaran, pengkreditan PPN Masukan), serta
kewajiban administratif terkait. Analisis ini akan merujuk pada UU PPN
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU HPP, Peraturan Pemerintah (PP) No.
44 Tahun 2022, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait yang relevan.
II. Definisi dan Ruang Lingkup
Pemakaian Sendiri
A. Definisi Yuridis
Definisi pemakaian sendiri
secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan PPN. Merujuk pada
Penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN
sebelum UU HPP, namun definisi ini tetap relevan dan diperkuat oleh peraturan
pelaksana), yang dimaksud dengan "pemakaian sendiri" adalah pemakaian
untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang
produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Definisi ini kemudian diadopsi
dan ditegaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 tentang
Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah. Pasal 6 ayat (3) PP No. 44 Tahun 2022 menyatakan bahwa
pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah pemakaian atau pemanfaatan untuk
kepentingan Pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik yang berasal dari
produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Penting untuk dicatat bahwa
konsep pemakaian sendiri ini berlaku baik untuk Barang Kena Pajak (BKP) maupun
Jasa Kena Pajak (JKP). Pasal 6 ayat (1) PP No. 44 Tahun 2022 secara spesifik
menyatakan pemakaian sendiri BKP merupakan penyerahan BKP yang dikenai PPN atau
PPN dan PPnBM, sementara Pasal 6 ayat (2) menyatakan pemakaian sendiri JKP
merupakan penyerahan JKP yang dikenai PPN.
B. Ruang Lingkup Pemakaian
Sendiri
Ruang lingkup pemakaian
sendiri cukup luas, mencakup berbagai bentuk penggunaan internal BKP/JKP
oleh PKP. Frasa "kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau
karyawan" mengindikasikan bahwa penggunaan tersebut dapat bersifat
operasional maupun non-operasional. Contoh konkret meliputi:
- Perusahaan distributor pelumas menggunakan
pelumas yang dijualnya untuk kendaraan operasional perusahaan.
- Pabrikan menggunakan barang hasil
produksinya (misalnya, truk atau kayu lapis) untuk kegiatan usahanya
sendiri, seperti pengangkutan suku cadang atau sebagai pembungkus produk.
- Perusahaan menggunakan asetnya sebagai
barang contoh (display) untuk tujuan pemasaran.
- Pabrikan menggunakan limbah produksinya
untuk keperluan internal pabrik, seperti pengeras jalan.
- Produsen air minum menggunakan produknya
untuk menjamu tamu perusahaan.
Cakupan pemakaian sendiri juga
meliputi BKP/JKP yang berasal dari "produksi sendiri" maupun
"bukan produksi sendiri". Artinya, PPN dikenakan tidak hanya atas
penggunaan barang yang diproduksi oleh PKP itu sendiri, tetapi juga atas penggunaan
barang yang dibeli dari pihak lain yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan
internal.
Luasnya definisi ini memiliki
implikasi penting. Secara esensial, setiap tindakan
penggunaan atau pemanfaatan internal atas BKP/JKP oleh PKP, pengurus, atau
karyawannya berpotensi masuk dalam kategori pemakaian sendiri yang dikenai PPN.
Fokus definisi hukum terletak pada tindakan pemakaian
("pemakaian" atau "pemanfaatan") untuk pihak internal
("pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan"), bukan pada tujuan
spesifik atau hasil akhir dari pemakaian tersebut. Pendekatan definisi yang
luas ini menjadi dasar bagi pengenaan PPN atas aktivitas internal ini, kecuali
jika terdapat pengecualian spesifik yang diatur lebih lanjut. Hal ini berbeda
dengan beberapa sistem PPN di negara lain yang mungkin hanya mengenakan pajak
atas pemakaian untuk tujuan privat (non-bisnis).
C. Perbedaan dengan Pemberian
Cuma-cuma
Meskipun sama-sama termasuk
dalam kategori penyerahan BKP/JKP yang terutang PPN berdasarkan Pasal 1A ayat
(1) huruf d UU PPN dan diatur dalam PP No. 44 Tahun 2022, perlu dibedakan
antara pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma. Pemakaian sendiri adalah
penggunaan internal oleh PKP, pengurus, atau karyawan. Sementara itu,
pemberian cuma-cuma adalah pemberian BKP/JKP kepada pihak lain
(eksternal) tanpa adanya pembayaran atau imbalan. Contoh pemberian cuma-cuma
adalah pemberian sampel produk untuk promosi kepada relasi atau calon pembeli.
Keduanya merupakan objek PPN, namun mekanisme dan konteks penyerahannya
berbeda.
III. Dasar Hukum Pemakaian
Sendiri sebagai Objek PPN
Pengenaan PPN atas pemakaian
sendiri didasarkan pada hierarki peraturan perundang-undangan perpajakan di
Indonesia, mulai dari Undang-Undang hingga peraturan pelaksanaannya.
A. Undang-Undang PPN
Dasar hukum utama pengenaan
PPN atas pemakaian sendiri terletak dalam Undang-Undang PPN (UU No. 8 Tahun
1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU No. 7 Tahun
2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan - UU HPP). Ketentuan kunci yang
relevan adalah:
- Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPN:
Pasal ini merupakan ketentuan umum (general charging provision)
yang menyatakan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak
(BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Pengenaan PPN
juga berlaku untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) berdasarkan Pasal 4
ayat (1) huruf c.
- Pasal 1A ayat (1) huruf d UU PPN:
Pasal ini secara spesifik mendefinisikan lingkup "penyerahan Barang
Kena Pajak". Huruf d secara eksplisit menyatakan bahwa yang
termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah pemakaian
sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak.
Pencantuman pemakaian sendiri
dalam Pasal 1A ayat (1) huruf d memiliki konsekuensi hukum yang fundamental.
Dengan mendefinisikan pemakaian sendiri sebagai suatu bentuk penyerahan
BKP, ketentuan ini secara otomatis membawa aktivitas pemakaian sendiri ke
dalam cakupan pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a.
Undang-undang tidak menciptakan rezim pajak terpisah atas pemakaian
sendiri, melainkan menganggap (deems) pemakaian sendiri sebagai salah
satu jenis penyerahan kena pajak. Konstruksi hukum ini memastikan bahwa
pemakaian sendiri terintegrasi secara logis dalam kerangka umum pengenaan PPN
atas penyerahan BKP/JKP, menyederhanakan struktur hukum inti PPN.
B. Peraturan Pemerintah (PP)
Sebagai peraturan pelaksana UU
PPN, Peraturan Pemerintah (PP) memberikan detail lebih lanjut mengenai
penerapan PPN, termasuk atas pemakaian sendiri.
- PP No. 1 Tahun 2012 (Telah Dicabut):
Peraturan ini sebelumnya mengatur secara rinci mengenai pemakaian sendiri.
Salah satu aspek penting dalam PP No. 1 Tahun 2012 adalah adanya pembedaan
perlakuan antara pemakaian sendiri untuk tujuan produktif dan tujuan
konsumtif, khususnya terkait mekanisme pemungutan PPN. Namun, perlu
dicatat bahwa PP No. 1 Tahun 2012 telah dicabut dan digantikan oleh PP
No. 44 Tahun 2022.
- PP No. 44 Tahun 2022 (Berlaku Saat Ini): PP
ini merupakan peraturan pelaksana UU PPN pasca UU HPP yang relevan dengan
pemakaian sendiri. Ketentuan utamanya adalah:
- Pasal 6 ayat (1) dan (2):
Menegaskan kembali bahwa pemakaian sendiri BKP (dikenai PPN atau PPN dan
PPnBM) dan pemakaian sendiri JKP (dikenai PPN) merupakan penyerahan yang
terutang PPN.
- Pasal 6 ayat (3):
Menyajikan definisi pemakaian sendiri yang konsisten dengan Penjelasan
Pasal 1A ayat (1) huruf d UU PPN.
- Pasal 6 ayat (5):
Memberikan mandat kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut
mengenai batasan dan tata cara pengenaan PPN atau PPN dan PPnBM atas
pemakaian sendiri.
Penerbitan PP No. 44 Tahun
2022 menandai perubahan kebijakan yang signifikan dibandingkan PP No. 1 Tahun
2012. Perubahan paling mendasar adalah penghapusan ketentuan yang
menyatakan bahwa pemungutan PPN tidak dilakukan atas pemakaian sendiri
untuk tujuan produktif (sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 1
Tahun 2012). Penghapusan klausul ini menyiratkan bahwa kini semua bentuk
pemakaian sendiri, tanpa memandang tujuannya (produktif maupun konsumtif),
secara administratif wajib dipungut PPN. Langkah ini menyelaraskan perlakuan
administratif pemungutan PPN dengan status hukum pemakaian sendiri
sebagai penyerahan kena pajak yang telah ditetapkan dalam UU PPN. Meskipun
berpotensi meningkatkan beban kepatuhan bagi PKP, perubahan ini menyederhanakan
aturan dengan menghilangkan kebutuhan klasifikasi tujuan pemakaian untuk
pemungutan PPN dan memperkuat prinsip netralitas pajak antara konsumsi internal
dan pembelian eksternal.
C. Peraturan Menteri Keuangan
(PMK)
Sebagai tindak lanjut dari
amanat UU PPN dan PP No. 44 Tahun 2022, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur aspek teknis lebih lanjut.
- PMK No. 11 Tahun 2025:
PMK ini diterbitkan sebagai salah satu peraturan pelaksanaan UU HPP dan PP
No. 44 Tahun 2022. PMK ini sangat relevan karena mengatur secara spesifik mengenai
penggunaan "Nilai Lain" sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
untuk transaksi tertentu, termasuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP.
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.
PER-03/PJ/2022 (sebagaimana telah diubah):
Meskipun merupakan Peraturan Dirjen Pajak, PER-03/PJ/2022 sangat krusial
karena mengatur tentang Faktur Pajak, termasuk kode transaksi dan prosedur
administratif yang berlaku untuk penyerahan karena pemakaian sendiri.
IV. Rasionalisasi Pengenaan
PPN atas Pemakaian Sendiri
Pengenaan PPN atas pemakaian
sendiri didasari oleh beberapa prinsip fundamental dalam sistem PPN dan tujuan
kebijakan fiskal.
A. Prinsip Pajak atas Konsumsi
Inti dari PPN adalah sebagai
pajak atas konsumsi akhir barang dan jasa di dalam Daerah Pabean. Pemakaian
sendiri, baik oleh pengusaha, pengurus, maupun karyawan, pada hakikatnya
merupakan suatu bentuk konsumsi. Ketika PKP menggunakan BKP/JKP untuk kepentingan
internalnya, terjadi konsumsi atas barang atau jasa tersebut. Dengan mengenakan
PPN atas pemakaian sendiri, sistem perpajakan memastikan bahwa konsumsi
internal ini dikenakan beban pajak yang sama dengan konsumsi yang terjadi
melalui transaksi pasar (pembelian dari pihak lain). Hal ini menjaga
konsistensi penerapan PPN sebagai pajak atas semua bentuk konsumsi akhir di
wilayah Indonesia.
B. Prinsip Kesetaraan
(Equality/Equity)
Prinsip kesetaraan atau
keadilan (azas kesetaraan) menuntut perlakuan pajak yang
sama terhadap Wajib Pajak atau kasus-kasus perpajakan yang pada hakikatnya
sama. Dalam konteks pemakaian sendiri, prinsip ini berarti bahwa tidak boleh
ada perbedaan perlakuan PPN antara mengonsumsi BKP/JKP yang dibeli dari pihak
ketiga (dimana PPN dibayar saat perolehan) dengan mengonsumsi BKP/JKP yang
diproduksi atau dimiliki sendiri secara internal. Jika pemakaian sendiri tidak
dikenakan PPN, akan timbul insentif pajak untuk melakukan produksi atau
konsumsi internal dibandingkan membeli dari pasar, yang dapat mendistorsi
keputusan ekonomi dan menciptakan ketidakadilan antar pelaku usaha. Pentingnya
prinsip kesetaraan ini bahkan diakui dalam pertimbangan hukum di pengadilan
pajak, yang menunjukkan bahwa penerapan PPN secara konsisten, baik pada
konsumsi eksternal maupun internal, dianggap krusial untuk menjaga keadilan dan
mencegah distorsi ekonomi akibat perlakuan pajak yang berbeda.
C. Pencegahan Penghindaran
Pajak
Pengenaan PPN atas pemakaian
sendiri juga berfungsi sebagai mekanisme anti-penghindaran pajak. Tanpa
ketentuan ini, terdapat potensi bagi PKP untuk menghindari PPN dengan
mengklasifikasikan penyerahan barang atau jasa sebagai pemakaian sendiri,
terutama untuk barang/jasa yang dinikmati secara pribadi oleh pemilik atau
karyawan yang tidak terkait langsung dengan kegiatan usaha. Dengan menetapkan
pemakaian sendiri sebagai objek PPN, celah potensial untuk penghindaran pajak
melalui reklasifikasi transaksi internal dapat ditutup, memastikan bahwa
konsumsi barang/jasa kena pajak tetap terutang PPN sesuai dengan tujuan UU PPN.
V. Perlakuan PPN atas
Pemakaian Sendiri
Perlakuan PPN atas pemakaian
sendiri mengikuti mekanisme umum PPN, namun dengan beberapa penyesuaian terkait
penentuan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan aspek administratif lainnya.
A. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Berbeda dengan transaksi
penjualan biasa yang umumnya menggunakan Harga Jual atau Penggantian sebagai
DPP, penentuan DPP untuk pemakaian sendiri menggunakan mekanisme "Nilai
Lain". Ketentuan ini ditegaskan pasca berlakunya UU HPP dan PP No. 44
Tahun 2022.
Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) No. 11 Tahun 2025, dalam Pasal 2 huruf a, secara spesifik menetapkan
formula Nilai Lain sebagai DPP untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP, yaitu
sebesar 11/12 × (Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor).
Penjelasan komponen formula
ini adalah:
- Harga Jual:
Nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang
dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Digunakan
untuk pemakaian sendiri BKP.
- Penggantian:
Nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP
Tidak Berwujud, tidak termasuk PPN yang dipungut dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak. Digunakan untuk pemakaian sendiri JKP.
- Laba Kotor:
Selisih antara Harga Jual atau Penggantian dengan Harga Pokok Penjualan
atau biaya pokok penyediaan jasa.
Penggunaan formula
"(Harga Jual/Penggantian - Laba Kotor)" pada dasarnya bertujuan untuk
menetapkan DPP berdasarkan biaya perolehan atau biaya produksi BKP/JKP
yang digunakan sendiri. Hal ini logis karena PKP tidak seharusnya dikenakan
PPN atas margin keuntungan yang diatribusikan pada dirinya sendiri untuk
konsumsi internal. Pengenaan pajak difokuskan pada nilai sumber daya yang
benar-benar dikonsumsi.
Faktor pengali 11/12 yang
diperkenalkan dalam PMK 11/2025 kemungkinan besar merupakan mekanisme
transisi atau penyesuaian terkait rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12%
sebagaimana diamanatkan UU HPP. Dengan mengalikan DPP (yang berbasis biaya)
dengan 11/12, beban PPN efektif yang ditanggung PKP atas pemakaian sendiri
dapat dipertahankan setara dengan tarif 11%, meskipun tarif nominal untuk
beberapa jenis barang (misalnya barang mewah) mungkin sudah atau akan menjadi
12% mulai tahun 2025. Pendekatan ini menambah lapisan kompleksitas dalam
perhitungan, namun memberikan fleksibilitas kepada pemerintah dalam mengelola
implementasi kenaikan tarif secara bertahap atau selektif.
B. Tarif PPN
Tarif PPN yang berlaku untuk
pemakaian sendiri adalah tarif PPN standar yang berlaku pada saat penyerahan
(saat terutang PPN). Sesuai dengan UU HPP, tarif PPN umum telah dinaikkan
menjadi 11% yang berlaku efektif mulai 1 April 2022.
UU HPP juga mengamanatkan
kenaikan tarif PPN lebih lanjut menjadi 12% yang direncanakan berlaku paling
lambat 1 Januari 2025. Namun, implementasi tarif 12% ini tampaknya akan
dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Peraturan terbaru seperti PMK No. 131 Tahun
2024 dan PMK No. 11 Tahun 2025 mengindikasikan bahwa tarif 12% pada tahap awal
mungkin hanya akan diterapkan pada barang-barang yang tergolong mewah,
sementara untuk barang/jasa non-mewah, beban PPN efektif tetap dijaga setara
11% melalui penggunaan DPP Nilai Lain dengan faktor 11/12.
C. Mekanisme Penghitungan PPN
Keluaran
PPN Keluaran yang terutang
atas pemakaian sendiri dihitung dengan mengalikan tarif PPN yang berlaku dengan
DPP Nilai Lain yang telah ditentukan.
Formula:
PPNKeluaran=TarifPPN×DPP(NilaiLain)
PPNKeluaran=TarifPPN×[11/12×(Harga Jual/Penggantian−Laba Kotor)]
Saat Terutang PPN:
Penentuan saat terutangnya PPN atas pemakaian sendiri mengikuti ketentuan umum
saat terutang PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU PPN dan ditegaskan dalam
peraturan pelaksana seperti PP No. 44 Tahun 2022 dan PMK terkait:
- Untuk BKP:
PPN terutang pada saat BKP tersebut diserahkan secara langsung kepada
penerima barang (dalam hal ini, pihak internal yang menggunakan) untuk
dipakai sendiri.
- Untuk JKP:
PPN terutang pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk
dipakai secara nyata, baik sebagian maupun seluruhnya.
D. Pengkreditan PPN Masukan
Salah satu aspek krusial dalam
PPN adalah mekanisme pengkreditan PPN Masukan (Input VAT) terhadap PPN Keluaran
(Output VAT).
Prinsip Umum Pengkreditan: Berdasarkan
Pasal 9 ayat (2) UU PPN, PPN Masukan dalam suatu Masa Pajak pada prinsipnya
dapat dikreditkan dengan PPN Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. Namun,
terdapat batasan-batasan. Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN secara tegas
menyatakan bahwa pengkreditan PPN Masukan tidak dapat dilakukan atas
pengeluaran untuk perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha PKP. Kegiatan usaha dalam konteks ini
mencakup kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Relevansi dengan Pemakaian
Sendiri: Ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b ini sangat relevan
untuk menentukan apakah PPN Masukan atas perolehan BKP/JKP yang kemudian
digunakan sendiri dapat dikreditkan:
- Jika BKP/JKP tersebut diperoleh dan
digunakan sendiri untuk tujuan yang memiliki hubungan langsung
dengan kegiatan usaha kena pajak PKP (misalnya, bahan baku yang dipakai
internal untuk proses produksi selanjutnya, pelumas untuk kendaraan
operasional pengangkut barang), maka PPN Masukan atas perolehannya dapat
dikreditkan.
- Sebaliknya, jika BKP/JKP tersebut
diperoleh dan digunakan sendiri untuk tujuan yang tidak memiliki
hubungan langsung dengan kegiatan usaha kena pajak (misalnya, barang
yang digunakan untuk kepentingan pribadi murni karyawan di luar konteks
pekerjaan, fasilitas untuk rekreasi), maka PPN Masukan atas perolehannya tidak
dapat dikreditkan.
Perlu dipahami bahwa perubahan
dalam PP No. 44 Tahun 2022 yang menghapuskan pembedaan tujuan
produktif/konsumtif untuk pemungutan PPN Keluaran tidak serta merta
mengubah aturan pengkreditan PPN Masukan yang tetap mengacu pada Pasal 9
ayat (8) huruf b UU PPN. Artinya, meskipun PPN Keluaran kini wajib dipungut
atas pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif (yang mungkin tidak berhubungan
langsung dengan kegiatan usaha), PPN Masukan terkait perolehan barang/jasa
tersebut kemungkinan besar tetap tidak dapat dikreditkan. Harmonisasi
aturan di sisi PPN Keluaran (semua pemakaian sendiri dikenakan PPN Keluaran)
tidak secara otomatis mengharmonisasi sisi PPN Masukan. Pengkreditan PPN
Masukan tetap tunduk pada syarat fundamental adanya hubungan langsung dengan
kegiatan usaha kena pajak. Hal ini dapat menciptakan situasi dimana PKP
harus menyetor PPN Keluaran atas pemakaian sendiri yang bersifat konsumtif,
namun tidak dapat mengkreditkan PPN Masukan terkait, sehingga meningkatkan
biaya pajak netto atas konsumsi internal yang tidak terkait bisnis.
Batasan Lain: PPN
Masukan juga tidak dapat dikreditkan jika PPN Keluaran atas penyerahan terkait
dihitung menggunakan metode "besaran tertentu". Metode ini berlaku
untuk transaksi spesifik seperti penyerahan kendaraan bermotor bekas atau jasa
kena pajak tertentu, dan umumnya tidak diterapkan pada pemakaian sendiri
biasa yang menggunakan DPP Nilai Lain.
Tempat Pengkreditan:
Sesuai Pasal 22 PP No. 44 Tahun 2022, PPN Masukan harus dikreditkan dengan PPN
Keluaran di tempat PKP dikukuhkan.
E. Kewajiban Administratif
PKP yang melakukan pemakaian
sendiri BKP/JKP memiliki kewajiban administratif sebagai berikut:
- Penerbitan Faktur Pajak:
PKP wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan BKP/JKP karena
pemakaian sendiri. Faktur Pajak ini berfungsi sebagai bukti pemungutan
PPN. Sejak 1 April 2022, Faktur Pajak wajib dibuat dalam bentuk elektronik
(e-Faktur) melalui aplikasi yang disediakan Direktorat Jenderal Pajak
(DJP).
- Kode Transaksi:
Faktur Pajak yang diterbitkan untuk transaksi pemakaian sendiri harus
menggunakan Kode Transaksi 04. Kode 04 menandakan bahwa penyerahan
BKP/JKP tersebut menggunakan DPP Nilai Lain sesuai Pasal 8A ayat (1) UU
PPN.
- Detail Faktur Pajak:
Faktur Pajak harus mencantumkan keterangan minimum sebagaimana diatur
dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.
PER-03/PJ/2022. Untuk Faktur Pajak pemakaian sendiri, kolom keterangan
mengenai Pembeli BKP atau Penerima JKP diisi dengan nama dan NPWP PKP yang
bersangkutan (PKP yang melakukan pemakaian sendiri).
- Faktur Pajak Pedagang Eceran: Terdapat
ketentuan khusus bagi PKP yang diklasifikasikan sebagai Pedagang Eceran.
Berdasarkan Pasal 28 PER-03/PJ/2022, PKP Pedagang Eceran dapat membuat
Faktur Pajak yang digunggung (misalnya berupa bon kontan, struk kasir)
atas pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP yang tidak berkaitan dengan
kegiatan produksi selanjutnya atau digunakan untuk kegiatan yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha PKP yang
bersangkutan. Namun, konsekuensinya, PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak
Pedagang Eceran ini merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan oleh PKP tersebut (Pasal 26 ayat (9) PER-03/PJ/2022).
Ketentuan ini memberikan kemudahan administratif bagi pedagang eceran yang
mungkin memiliki banyak transaksi pemakaian sendiri bernilai kecil
(misalnya, alat tulis kantor), namun dengan konsekuensi hilangnya hak
kredit PPN Masukan. Pilihan ini mencerminkan trade-off antara
penyederhanaan kepatuhan dan optimalisasi pemulihan pajak.
- Pelaporan:
PPN Keluaran yang dipungut atas pemakaian sendiri wajib dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN pada Masa Pajak terjadinya penyerahan.
Batas waktu penyetoran PPN terutang adalah paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak, dan sebelum SPT Masa PPN
disampaikan. Batas waktu penyampaian SPT Masa PPN juga paling lama akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
VI. Perbedaan Perlakuan:
Pemakaian Sendiri Produktif vs. Konsumtif
Salah satu perubahan
signifikan dalam pengaturan PPN atas pemakaian sendiri terjadi dengan
diberlakukannya PP No. 44 Tahun 2022, yang mengubah pendekatan yang sebelumnya
dianut dalam PP No. 1 Tahun 2012.
A. Pengaturan Historis (PP No.
1 Tahun 2012)
PP No. 1 Tahun 2012 secara
eksplisit membedakan perlakuan PPN berdasarkan tujuan pemakaian sendiri:
- Pemakaian Sendiri Tujuan Produktif:
Didefinisikan sebagai pemakaian BKP/JKP yang nyata-nyata digunakan untuk
kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha PKP (meliputi kegiatan produksi,
distribusi, pemasaran, dan manajemen). Contohnya termasuk pabrikan truk
menggunakan truk produksinya untuk mengangkut suku cadang, pabrikan kelapa
sawit menggunakan limbahnya sebagai pengeras jalan pabrik, pabrikan kayu
lapis menggunakan produknya untuk membungkus produk lain yang akan
dipasarkan, atau perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya
untuk operasional internal.
- Perlakuan PPN:
Secara hukum, PPN tetap terutang. Namun, Pasal 5 ayat (3) PP No. 1
Tahun 2012 memberikan kemudahan administratif berupa tidak
dilakukannya pemungutan PPN atas pemakaian sendiri tujuan produktif
ini, kecuali jika pemakaian sendiri tersebut digunakan untuk
melakukan penyerahan yang tidak terutang PPN atau mendapat fasilitas
dibebaskan dari pengenaan PPN. PPN Masukan yang terkait dengan
perolehan BKP/JKP untuk tujuan produktif ini pada umumnya dapat
dikreditkan.
- Pemakaian Sendiri Tujuan Konsumtif:
Didefinisikan sebagai pemakaian BKP/JKP yang tidak berkaitan langsung
dengan kegiatan usaha PKP. Contohnya adalah produsen air minum menggunakan
produknya untuk konsumsi tamu perusahaan atau produsen tekstil memberikan
produknya untuk dipakai karyawan di luar konteks pekerjaan.
- Perlakuan PPN:
PPN terutang dan wajib dipungut oleh PKP.
B. Pengaturan Saat Ini (PP No.
44 Tahun 2022)
PP No. 44 Tahun 2022 membawa
perubahan mendasar dengan menghapuskan pembedaan perlakuan antara
pemakaian sendiri tujuan produktif dan konsumtif dalam konteks pemungutan
PPN Keluaran.
Implikasi:
Dengan berlakunya PP No. 44 Tahun 2022, PPN kini terutang dan wajib dipungut
atas semua jenis pemakaian sendiri BKP/JKP, tanpa memandang apakah
tujuannya produktif atau konsumtif. Kemudahan administratif berupa tidak
dilakukannya pemungutan PPN untuk pemakaian sendiri tujuan produktif
(sebagaimana diatur dalam PP No. 1 Tahun 2012) telah dihapuskan.
Perubahan utama ini terletak
pada aspek administratif pemungutan untuk pemakaian sendiri tujuan
produktif. Jika sebelumnya PPN terutang secara hukum namun tidak perlu
dipungut, kini PPN tersebut harus dipungut dan disetorkan. Langkah ini
memperkuat implementasi prinsip bahwa semua bentuk konsumsi (internal maupun
eksternal) harus dikenakan PPN dan menyederhanakan struktur aturan dengan
menghilangkan kebutuhan untuk mengklasifikasikan tujuan pemakaian dalam rangka
pemungutan PPN Keluaran. Meskipun demikian, hal ini juga berarti peningkatan
beban kepatuhan (kewajiban menerbitkan Faktur Pajak dan menyetor PPN) serta
potensi dampak arus kas bagi PKP yang banyak melakukan pemakaian sendiri untuk
tujuan produktif.
C. Dampak pada Pengkreditan
PPN Masukan
Seperti telah dibahas
sebelumnya (Bagian V.D), penghapusan pembedaan tujuan pemakaian sendiri dalam
PP No. 44/2022 primernya berdampak pada kewajiban pemungutan PPN Keluaran.
Aturan pengkreditan PPN Masukan tetap tunduk pada ketentuan Pasal 9 ayat
(8) huruf b UU PPN, yaitu syarat adanya "hubungan langsung dengan kegiatan
usaha".
Oleh karena itu:
- Untuk pemakaian sendiri yang bersifat
produktif, karena secara inheren memiliki hubungan langsung dengan
kegiatan usaha, PPN Masukan atas perolehan BKP/JKP terkait seharusnya
tetap dapat dikreditkan.
- Untuk pemakaian sendiri yang bersifat
konsumtif, yang seringkali tidak memiliki hubungan langsung dengan
kegiatan usaha, PPN Masukan atas perolehan BKP/JKP terkait kemungkinan
besar tetap tidak dapat dikreditkan, meskipun PPN Keluaran atas
pemakaian sendiri tersebut kini wajib dipungut.
VII. Rangkuman dan Poin Utama
Analisis terhadap peraturan
perundang-undangan PPN di Indonesia menunjukkan bahwa pemakaian sendiri
merupakan konsep penting yang memiliki implikasi PPN signifikan bagi Pengusaha
Kena Pajak (PKP). Berikut adalah rangkuman poin-poin utama:
A. Definisi
dan Dasar Hukum
Pemakaian sendiri didefinisikan sebagai
penggunaan BKP atau JKP untuk kepentingan internal PKP (pengusaha sendiri,
pengurus, atau karyawan), baik berasal dari produksi sendiri maupun bukan.
Secara hukum, pemakaian sendiri dianggap sebagai penyerahan BKP/JKP berdasarkan
Pasal 1A ayat (1) huruf d UU PPN, sehingga menjadi objek PPN sesuai Pasal 4
ayat (1) UU PPN. Penegasan ini diperkuat oleh Pasal 6 PP No. 44 Tahun 2022.
B. Perlakuan
PPN Saat Ini
Perlakuan PPN atas pemakaian
sendiri saat ini (pasca UU HPP dan PP No. 44/2022) adalah sebagai berikut:
- Dasar Pengenaan Pajak (DPP) menggunakan
"Nilai Lain" yang formulanya ditetapkan dalam PMK No. 11 Tahun
2025, yaitu 11/12×(Harga Jual/Penggantian−Laba Kotor).
- Tarif PPN yang berlaku adalah tarif
standar (saat ini 11%).
- PPN Keluaran wajib dihitung (Tarif x DPP
Nilai Lain) dan dipungut oleh PKP.
- PPN Masukan atas perolehan BKP/JKP yang
digunakan sendiri hanya dapat dikreditkan jika memenuhi syarat
"hubungan langsung dengan kegiatan usaha" sebagaimana diatur
dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN.
C. Penghapusan
Pembedaan Produktif/Konsumtif
Perubahan krusial yang dibawa
oleh PP No. 44 Tahun 2022 adalah penghapusan pembedaan perlakuan antara
pemakaian sendiri tujuan produktif dan konsumtif untuk keperluan pemungutan
PPN Keluaran. Kini, PPN wajib dipungut atas semua jenis pemakaian
sendiri, menghilangkan kemudahan administratif yang sebelumnya berlaku untuk
tujuan produktif.
D. Kewajiban
Administratif
PKP wajib menerbitkan Faktur
Pajak (e-Faktur) atas transaksi pemakaian sendiri dengan menggunakan Kode
Transaksi 04. PPN Keluaran yang dipungut harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN
dan disetorkan sesuai batas waktu yang ditentukan. PKP Pedagang Eceran memiliki
opsi menggunakan Faktur Pajak digunggung untuk pemakaian sendiri tertentu yang
tidak terkait langsung usaha, namun dengan konsekuensi PPN Masukan tidak dapat
dikreditkan.
E. Implikasi
bagi Wajib Pajak:
Ketentuan PPN atas pemakaian
sendiri, khususnya pasca PP No. 44 Tahun 2022, membawa implikasi penting bagi
PKP. Terdapat peningkatan beban kepatuhan administratif, terutama bagi PKP
yang sebelumnya memanfaatkan fasilitas tidak dipungutnya PPN atas pemakaian
sendiri produktif. Potensi dampak arus kas juga perlu diperhatikan karena
PPN kini harus disetorkan atas semua pemakaian sendiri. PKP perlu cermat dalam
menghitung DPP Nilai Lain dan mengevaluasi secara hati-hati kelayakan
pengkreditan PPN Masukan berdasarkan kriteria hubungan langsung dengan kegiatan
usaha. Lingkungan peraturan perpajakan yang dinamis menuntut PKP untuk terus
memantau perkembangan peraturan pelaksana lebih lanjut yang mungkin diterbitkan
oleh Menteri Keuangan sesuai amanat Pasal 6 ayat (5) PP No. 44 Tahun 2022.