1.
Pendahuluan
Sistem
perpajakan Indonesia merupakan pilar krusial bagi pembangunan ekonomi nasional
dan sumber utama pendapatan negara, yang mendanai berbagai layanan publik dan
proyek infrastruktur penting . Sejarah sistem perpajakan mencerminkan
transformasi signifikan, seiring dengan perkembangan lanskap ekonomi dan
kebutuhan administratif negara. Perubahan penting termasuk peralihan dari
pendekatan yang lebih dikontrol oleh pemerintah ke sistem yang menekankan
tanggung jawab wajib pajak . Sistem self assessment hadir sebagai
komponen fundamental dari administrasi perpajakan modern Indonesia, menandai
pergeseran menuju efisiensi dan keterlibatan wajib pajak yang lebih besar dalam
proses fiskal .
Inti
dari sistem self assessment adalah penyerahan tanggung jawab utama untuk
memenuhi kewajiban perpajakan secara langsung kepada wajib pajak. Ini mencakup
tugas penting menghitung secara akurat jumlah pajak terutang, melaporkan dengan
sungguh-sungguh pendapatan kena pajak dan informasi terkait, serta memastikan
pembayaran pajak yang dinilai tepat waktu . Sistem ini beroperasi dengan
minimalnya intervensi langsung dari petugas pajak selama tahap awal perhitungan
dan pelaporan pajak, menumbuhkan rasa otonomi dan tanggung jawab pada wajib pajak
.
Tulisan
ini bertujuan untuk memberikan analisis komprehensif dan mendalam mengenai
sistem self assessment sebagaimana diimplementasikan di Indonesia.
Laporan ini akan mengupas tuntas rincian sistem, mencakup definisi
fundamentalnya dalam konteks hukum Indonesia, menelusuri adopsi historis dan
penerapan saat ini, menguraikan secara jelas kewajiban dan tanggung jawab
spesifik yang diemban oleh wajib pajak, merinci peran dan fungsi krusial
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengawasi dan mengelola sistem,
membandingkan dan mengkontraskannya dengan metode pemungutan pajak lain yang
berlaku di Indonesia, mengevaluasi secara kritis kelebihan dan kekurangan
penerapannya dalam konteks Indonesia, memberikan contoh konkret jenis pajak
yang menggunakan mekanisme self assessment, dan akhirnya,
mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan utama yang menjadi
landasan sistem ini.
Reformasi
perpajakan tahun 1983 jelas bukan sekadar perubahan kecil, melainkan perubahan
strategis yang signifikan dalam kebijakan perpajakan Indonesia. Reformasi ini
kemungkinan didorong oleh berbagai faktor, termasuk kebutuhan untuk
meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan, mendorong keterlibatan dan
tanggung jawab wajib pajak yang lebih besar, dan berpotensi menyelaraskan
sistem perpajakan Indonesia dengan praktik terbaik internasional. Peralihan
spesifik menuju sistem self assessment menunjukkan keputusan yang
disengaja untuk memberdayakan wajib pajak dan merampingkan keterlibatan
langsung pemerintah dalam tahap awal pemungutan pajak. Perubahan ini
mengimplikasikan pengakuan akan potensi manfaat dari pendekatan yang lebih
terdesentralisasi dan digerakkan oleh wajib pajak terhadap kepatuhan pajak.
Meskipun
sistem self assessment secara inheren bergantung pada prinsip
kepercayaan dan kepatuhan sukarela dari wajib pajak, berbagai sumber secara
konsisten menyoroti kebutuhan penting akan mekanisme pengawasan dan penegakan
hukum yang kuat oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) . Hal ini mengungkapkan
adanya ketegangan inheren dalam sistem. Meskipun tujuannya adalah untuk
mendorong kepatuhan sukarela dengan memberikan otonomi kepada wajib pajak,
kenyataannya memerlukan pemantauan aktif dan potensi intervensi oleh otoritas
pajak untuk memastikan integritas dan efektivitas sistem. Ini menunjukkan bahwa
model yang murni berbasis kepercayaan tidaklah cukup dan pendekatan yang
seimbang yang menggabungkan tanggung jawab wajib pajak dan pengawasan
pemerintah sangatlah penting.
2.
Definisi Sistem Self Assessment dalam Perpajakan Indonesia
- Prinsip
Utama: Tanggung Jawab Wajib Pajak:
- Prinsip
fundamental dari sistem self assessment dalam perpajakan Indonesia
adalah pemberdayaan wajib pajak dengan tanggung jawab utama untuk
mengelola kewajiban perpajakan mereka. Ini mencakup seluruh proses mulai
dari menghitung dengan cermat jumlah pajak yang terutang berdasarkan
peraturan yang berlaku , hingga melaporkan secara akurat dan benar
informasi keuangan mereka melalui saluran yang ditentukan , dan akhirnya,
memastikan bahwa kewajiban pajak yang dihitung dibayar penuh dan tepat
waktu sesuai dengan tenggat waktu yang ditetapkan .
- Pendekatan
ini berbeda dengan sistem di mana otoritas pajak mengambil peran yang
lebih aktif dalam menentukan kewajiban pajak. Dalam sistem self
assessment, wajib pajak diberdayakan untuk memiliki kepemilikan atas
kewajiban pajak mereka.
- Kepercayaan
dan Kemandirian:
- Implementasi
yang efektif dari sistem self assessment pada dasarnya didasarkan
pada tingkat kepercayaan yang tinggi yang diberikan oleh pemerintah
kepada wajib pajaknya. Wajib pajak diberikan otonomi dan kemandirian
untuk mengelola urusan perpajakan mereka sesuai dengan pemahaman mereka
tentang undang-undang dan peraturan perpajakan yang berlaku .
- Kepercayaan
ini mengimplikasikan harapan bahwa wajib pajak akan proaktif dalam
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memahami kewajiban
mereka, menghitung pajak mereka secara akurat, dan memenuhi tanggung
jawab mereka dengan rajin dan jujur .
- Ketergantungan
pada Surat Pemberitahuan (SPT):
- Dalam
sistem self assessment, mekanisme utama bagi wajib pajak untuk
mendeklarasikan kewajiban pajak mereka dan melaporkan informasi keuangan
mereka kepada otoritas pajak adalah melalui Surat Pemberitahuan (SPT),
yang diterjemahkan menjadi surat pemberitahuan atau pengembalian pajak .
Keakuratan dan kelengkapan informasi yang diberikan dalam SPT sangat
penting untuk berfungsinya sistem dengan baik.
- Penerbitan
surat ketetapan pajak formal oleh otoritas pajak umumnya bukanlah langkah
awal dalam menentukan kewajiban wajib pajak dalam sistem self
assessment . Sebaliknya, kewajiban pajak terutama ditentukan oleh
wajib pajak sendiri melalui informasi yang dideklarasikan dalam SPT
mereka. Namun, otoritas pajak tetap berhak menerbitkan surat ketetapan
pajak dalam keadaan tertentu, seperti ketika ditemukan ketidaksesuaian
selama audit atau ketika wajib pajak gagal mengajukan SPT.
Penekanan
yang signifikan pada kepercayaan dalam sistem self assessment memiliki
hubungan sebab akibat langsung dan krusial dengan tanggung jawab ekstensif yang
didelegasikan kepada wajib pajak dalam model ini. Keputusan pemerintah untuk
mempercayakan wajib pajak dengan tahap awal pengelolaan pajak secara inheren
mengharuskan wajib pajak untuk mengambil tugas-tugas yang sesuai dalam
perhitungan yang akurat, pembayaran tepat waktu, dan pelaporan yang
komprehensif. Tanpa kepercayaan mendasar ini, sistem self assessment
kemungkinan tidak akan berkelanjutan dan akan memerlukan pendekatan yang lebih
langsung dan intervensif dari otoritas pajak.
Peran
otoritas pajak yang sengaja dibatasi dalam penentuan awal kewajiban pajak dalam
sistem self assessment menunjukkan keputusan kebijakan strategis yang
bertujuan untuk merampingkan keseluruhan proses pemungutan pajak dan berpotensi
mengurangi beban administrasi yang signifikan yang akan terkait dengan
pemerintah yang secara individual menilai kewajiban pajak setiap wajib pajak.
Dengan mengalihkan tanggung jawab awal ini kepada wajib pajak itu sendiri,
pemerintah dapat mengoptimalkan sumber dayanya, memfokuskannya pada tahap
selanjutnya seperti audit dan penegakan hukum. Namun, pendekatan ini juga
secara inheren menciptakan kebutuhan akan mekanisme pengawasan yang kuat dan
efektif untuk mencegah potensi penyalahgunaan atau ketidakakuratan dalam
penilaian diri wajib pajak.
3.
Implementasi Sistem Self Assessment di Indonesia
- Adopsi
Historis:
- Indonesia
melakukan perubahan kebijakan yang signifikan selama reformasi perpajakan
tahun 1983 dengan beralih dari sistem official assessment yang
sebelumnya diterapkan ke sistem self assessment . Transisi ini
menandai perubahan mendasar dalam filosofi dan administrasi pemungutan
pajak di negara ini.
- Tonggak
legislatif utama dalam reformasi ini adalah pengesahan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP),
yang meletakkan dasar hukum bagi sistem self assessment di
Indonesia .
- Ketentuan
undang-undang ini, yang memperkenalkan sistem self assessment,
secara resmi mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984, menandai adopsi
formal pendekatan baru ini untuk pemungutan pajak di seluruh Indonesia .
- Penerapan
Saat Ini:
- Saat
ini, sistem self assessment menjadi metode utama dan diterapkan
secara luas untuk pemungutan pajak di seluruh Indonesia, membentuk tulang
punggung kerangka administrasi perpajakan nasional .
- Sistem
ini didominasi diterapkan pada berbagai pajak pemerintah pusat, mencakup
sumber pendapatan utama seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) .
- Peran
Administrasi Perpajakan:
- Dalam
kerangka sistem self assessment, administrasi perpajakan,
khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), memegang peran krusial sebagai
agen pemerintah yang bertanggung jawab untuk memberikan panduan dan
layanan penting kepada wajib pajak, serta untuk secara aktif mengawasi
dan memantau kepatuhan mereka terhadap undang-undang dan peraturan
perpajakan .
- Menyadari
bahwa keberhasilan sistem self assessment bergantung pada
kemampuan wajib pajak untuk memahami dan memenuhi kewajiban mereka,
pemerintah memberikan penekanan yang signifikan pada upaya berkelanjutan
untuk membangun kesadaran publik mengenai masalah perpajakan dan untuk
meningkatkan tingkat literasi keuangan secara keseluruhan dalam populasi
.
- Implementasi
sistem self assessment bukanlah proses yang statis, dan pemerintah
Indonesia terus melakukan berbagai inisiatif dan reformasi yang bertujuan
untuk lebih meningkatkan efektivitas sistem, mengatasi tantangan yang
ada, dan beradaptasi dengan lanskap ekonomi dan teknologi yang terus
berkembang .
Reformasi
perpajakan tahun 1983 merupakan titik balik fundamental dalam sejarah
perpajakan Indonesia. Peralihan yang disengaja dan komprehensif dari sistem official
assessment ke sistem self assessment kemungkinan berasal dari
serangkaian tujuan yang beragam. Ini mungkin termasuk keinginan untuk
memodernisasi administrasi perpajakan, menyelaraskan praktik perpajakan
Indonesia dengan norma internasional , dan mungkin yang paling penting, untuk
meningkatkan keseluruhan pengumpulan pendapatan pajak dengan memberdayakan
basis wajib pajak yang lebih luas dan mengurangi beban administrasi pada
aparatur birokrasi yang berpotensi terbatas yang bertanggung jawab atas
penilaian individual.
Penekanan
yang konsisten dan berkelanjutan pada perlunya meningkatkan kesadaran publik
dan literasi keuangan mengenai masalah perpajakan sangat menunjukkan bahwa
keberhasilan implementasi sistem self assessment tidak hanya bergantung
pada pembentukan kerangka hukum dan prosedur administratif. Sebaliknya,
efektivitasnya sangat terkait dengan kapasitas dan kemauan wajib pajak untuk
secara akurat memahami dan memenuhi kewajiban pajak mereka. Tingkat kesadaran
dan literasi keuangan yang rendah dapat secara langsung menyebabkan kesalahan
yang tidak disengaja dalam perhitungan dan pelaporan pajak, serta berpotensi
berkontribusi pada ketidakpatuhan, sehingga merusak manfaat yang dimaksudkan
dan potensi penghasilan dari sistem self assessment.
4.
Kewajiban dan Tanggung Jawab Wajib Pajak dalam Sistem Self Assessment
- Pendaftaran
NPWP:
- Kewajiban
utama bagi semua individu dan entitas yang memenuhi syarat dalam sistem self
assessment adalah mendaftarkan diri ke kantor pajak terkait untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang berfungsi sebagai Nomor
Identifikasi Wajib Pajak unik mereka . Pendaftaran ini merupakan langkah
mendasar untuk diakui sebagai wajib pajak dalam sistem perpajakan
Indonesia.
- Menghitung
Kewajiban Pajak:
- Wajib
pajak memikul tanggung jawab penting untuk menghitung atau menilai
sendiri secara akurat total jumlah pajak yang mereka hutangkan
berdasarkan ketentuan khusus dari undang-undang dan peraturan perpajakan
yang berlaku untuk pendapatan, transaksi, dan keadaan mereka . Ini sering
melibatkan pemahaman aturan pajak yang kompleks, identifikasi pendapatan
kena pajak, penentuan pengurangan dan kredit yang memenuhi syarat, dan
penerapan tarif pajak yang benar.
- Membayar
Pajak:
- Setelah
kewajiban pajak dihitung, wajib pajak berkewajiban untuk membayar jumlah
pajak yang ditentukan ke kas negara. Pembayaran ini harus dilakukan
melalui saluran yang ditunjuk, yang biasanya mencakup bank dan kantor pos
yang berwenang, dan harus diselesaikan pada tanggal jatuh tempo yang
ditentukan untuk menghindari denda .
- Melaporkan
Pajak:
- Tanggung
jawab penting dalam sistem self assessment adalah kewajiban untuk
mengajukan surat pemberitahuan pajak (SPT) yang akurat dan tepat waktu.
SPT ini harus secara komprehensif merinci pendapatan wajib pajak,
pengurangan atau kredit pajak yang memenuhi syarat, dan perhitungan akhir
kewajiban pajak mereka untuk periode pajak tertentu .
- Penyimpanan
Catatan:
- Meskipun
tidak selalu dinyatakan secara eksplisit, ada tanggung jawab tersirat
bagi wajib pajak untuk menyimpan catatan dan dokumentasi yang
terorganisir dan memadai yang dapat mendukung perhitungan pajak mereka
dan informasi yang dilaporkan dalam SPT mereka . Ini sangat penting jika
terjadi audit atau permintaan klarifikasi dari otoritas pajak.
- Menanggapi
Permintaan Resmi:
- Wajib
pajak memiliki kewajiban untuk segera dan akurat menanggapi setiap
permintaan resmi untuk informasi atau klarifikasi yang dikeluarkan oleh
otoritas pajak, seperti Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau
Keterangan (SP2DK), yang merupakan surat yang meminta penjelasan mengenai
potensi ketidaksesuaian dalam data yang dilaporkan .
Sifat
berurutan dari kewajiban utama wajib pajak dalam sistem self assessment
– mendaftar NPWP, menghitung kewajiban pajak, membayar pajak yang dinilai, dan
kemudian melaporkan informasi ini melalui SPT – menyoroti pendekatan yang
terstruktur dan berorientasi pada proses untuk kepatuhan pajak di Indonesia.
Setiap langkah ini secara logis bergantung pada langkah sebelumnya, menekankan
pentingnya akurasi dan ketepatan waktu pada setiap tahap proses. Kegagalan
untuk memenuhi salah satu kewajiban ini dengan benar atau tepat waktu dapat
menyebabkan ketidakpatuhan dan berpotensi memicu denda atau pemeriksaan lebih
lanjut dari otoritas pajak.
Tanggung
jawab yang signifikan yang ditempatkan pada wajib pajak untuk menghitung
sendiri kewajiban pajak mereka memberikan beban yang cukup besar pada wajib
pajak. Hal ini terutama berlaku bagi individu dan usaha kecil yang mungkin
memiliki literasi keuangan terbatas atau menghadapi situasi keuangan yang
kompleks. Kerumitan undang-undang dan peraturan perpajakan Indonesia dapat
menjadi tantangan untuk dinavigasi, yang berpotensi menyebabkan kesalahan yang
tidak disengaja dalam perhitungan pajak atau memerlukan keterlibatan konsultan
pajak profesional, yang dapat menambah biaya kepatuhan secara keseluruhan bagi
wajib pajak.
5.
Peran dan Fungsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam Mengawasi dan Mengelola
Sistem Self Assessment
- Pengawasan:
- Peran
mendasar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah secara aktif mengawasi
dan memantau kepatuhan wajib pajak terhadap peraturan perpajakan yang
berlaku dalam sistem self assessment. Pengawasan ini sangat
penting untuk memastikan integritas dan efektivitas sistem .
- Bimbingan
dan Pelayanan:
- Selain
sekadar pengawasan, DJP juga memainkan peran penting dalam memberikan
bimbingan penting, sumber daya pendidikan, dan berbagai layanan kepada
wajib pajak. Inisiatif ini dirancang untuk membantu wajib pajak memahami
kewajiban pajak mereka dengan lebih baik, menavigasi kerumitan sistem
perpajakan, dan pada akhirnya memenuhi tanggung jawab mereka secara
akurat dan efisien . Ini termasuk melakukan program sosialisasi,
menyediakan sumber daya dan informasi daring, dan mengoperasikan helpdesk
untuk menjawab pertanyaan dan kekhawatiran wajib pajak.
- Penegakan
Hukum dan Audit:
- Untuk
memastikan kepatuhan dan menjaga integritas sistem self assessment,
DJP berwenang untuk melakukan audit pajak (pemeriksaan pajak) menyeluruh
terhadap catatan keuangan dan informasi yang dilaporkan wajib pajak.
Audit ini bertujuan untuk memverifikasi keakuratan penilaian diri wajib
pajak dan mengidentifikasi setiap kasus ketidaksesuaian, kurang bayar,
atau bentuk ketidakpatuhan lainnya terhadap peraturan perpajakan .
- Sebagai
bagian dari proses pengawasannya, DJP dapat menerbitkan Surat Permintaan
Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), yang merupakan surat
resmi yang meminta wajib pajak untuk memberikan penjelasan dan
dokumentasi pendukung mengenai potensi ketidaksesuaian atau masalah yang
teridentifikasi dalam data yang mereka laporkan .
- Lebih
lanjut, DJP berwenang untuk menjatuhkan berbagai sanksi dan denda kepada
wajib pajak yang gagal mematuhi peraturan perpajakan, termasuk pengenaan
denda dan bunga atas keterlambatan pembayaran pajak atau kurang bayar .
- Analisis
Data dan Teknologi:
- Di
era digital yang semakin maju, DJP memanfaatkan kekuatan analisis data
dan teknologi informasi untuk meningkatkan kemampuan pengawasan dan
penegakan hukumnya dalam sistem self assessment . Dengan
menganalisis sejumlah besar data perpajakan, DJP dapat mengidentifikasi
pola, anomali, dan potensi indikator kurang bayar, tidak lapor, atau
bentuk penghindaran pajak lainnya, yang memungkinkan upaya kepatuhan yang
lebih terarah dan efisien.
- Menjaga
Keadilan dan Transparansi:
- Tanggung
jawab utama DJP adalah untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam
keseluruhan administrasi sistem perpajakan, menumbuhkan kepercayaan dan
keyakinan di antara wajib pajak . Ini termasuk penerapan undang-undang
dan peraturan perpajakan yang konsisten, komunikasi yang jelas mengenai
kebijakan dan prosedur perpajakan, dan mekanisme bagi wajib pajak untuk
mencari klarifikasi atau mengajukan keluhan.
Peran
ganda DJP sebagai penyedia bimbingan dan dukungan kepada wajib pajak dan
sebagai penegak aktif peraturan perpajakan melalui audit dan sanksi sangat
penting untuk legitimasi dan efektivitas keseluruhan sistem self assessment.
Tanpa dukungan dan sumber daya pendidikan yang memadai yang disediakan oleh
DJP, wajib pajak, terutama mereka yang memiliki literasi keuangan terbatas atau
situasi perpajakan yang kompleks, mungkin kesulitan untuk memahami dan memenuhi
kewajiban mereka secara akurat. Sebaliknya, tanpa mekanisme penegakan hukum
yang kuat dan diterapkan secara konsisten, terdapat risiko signifikan
terjadinya ketidakpatuhan yang meluas, yang pada akhirnya akan merusak potensi
penghasilan dan keadilan dari seluruh sistem. Keseimbangan yang halus antara
fasilitasi dan penegakan hukum ini penting agar sistem self assessment
berfungsi secara optimal.
Peningkatan
dan pemanfaatan strategis analisis data dan teknologi informasi oleh DJP
menandakan evolusi krusial menuju pendekatan pengawasan pajak yang lebih
canggih, efisien, dan berbasis risiko dalam kerangka self assessment.
Dengan memanfaatkan alat analisis data canggih, DJP dapat menyaring sejumlah
besar data wajib pajak untuk mengidentifikasi pola, anomali, dan potensi
indikator penghindaran atau kurang bayar pajak. Hal ini memungkinkan otoritas
pajak untuk beralih dari pendekatan audit yang murni acak ke strategi yang
lebih terarah, memfokuskan sumber daya auditnya yang terbatas pada wajib pajak
atau sektor yang menunjukkan kemungkinan ketidakpatuhan yang lebih tinggi.
Pendekatan yang terarah ini tidak hanya meningkatkan efisiensi administrasi
perpajakan dengan memaksimalkan dampak upaya audit tetapi juga membantu
mencegah ketidakpatuhan dengan meningkatkan risiko deteksi yang dirasakan bagi
mereka yang mungkin cenderung kurang melaporkan pajak mereka.
6.
Membedakan Sistem Self Assessment dari Sistem Pemungutan Pajak Indonesia
Lainnya
- Sistem
Official Assessment:
- Berbeda
dengan sistem self assessment, sistem official assessment dicirikan
oleh otoritas pajak, sering disebut sebagai fiskus atau aparat
perpajakan, yang memegang kekuasaan dan tanggung jawab utama untuk
menentukan jumlah pasti pajak yang wajib dibayar oleh wajib pajak .
- Dalam
sistem ini, wajib pajak biasanya memainkan peran yang lebih pasif,
terutama menunggu otoritas pajak untuk menghitung kewajiban pajak mereka
dan menerbitkan surat ketetapan pajak formal yang menentukan jumlah yang
harus dibayar dan batas waktu pembayaran .
- Jenis
sistem pemungutan pajak ini umumnya diterapkan pada kategori pajak
tertentu di Indonesia, khususnya pajak daerah atau lokal tertentu,
seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) .
- Sistem
Withholding Tax:
- Sistem
withholding tax mewakili pendekatan yang berbeda di mana tanggung
jawab untuk memotong dan menyetorkan pajak atas nama wajib pajak
dipercayakan kepada pihak ketiga. Pihak ketiga ini bukanlah wajib pajak
itu sendiri maupun otoritas pajak .
- Contoh
umum sistem withholding tax di Indonesia adalah pemotongan pajak
penghasilan (PPh) langsung dari gaji karyawan oleh pemberi kerja mereka.
Pemberi kerja kemudian menyetorkan pajak yang dipotong ini ke pemerintah
atas nama karyawan .
- Sistem
ini sering diimplementasikan karena efisiensinya dalam memungut pajak
pada sumber penghasilan atau transaksi, menyederhanakan proses pembayaran
pajak bagi wajib pajak dan berpotensi mengurangi beban administrasi pada
otoritas pajak dengan mengotomatisasi pemungutan pajak dari berbagai
sumber .
Keberadaan
tiga sistem pemungutan pajak yang berbeda di Indonesia – sistem self
assessment, sistem official assessment, dan sistem withholding
tax – bukanlah hal yang sewenang-wenang melainkan mencerminkan pendekatan
strategis dan pragmatis terhadap administrasi perpajakan. Pemerintah secara
strategis menggunakan sistem yang berbeda berdasarkan karakteristik spesifik
pajak yang dikenakan dan sifat wajib pajak yang terlibat. Hal ini memungkinkan
proses pemungutan pajak yang lebih disesuaikan dan berpotensi lebih efisien
dibandingkan dengan mengandalkan satu sistem yang seragam untuk semua jenis
pajak dan wajib pajak.
Kemajuan
historis yang diamati dalam sistem perpajakan Indonesia, bergerak dari sistem official
assessment yang dominan menuju ketergantungan yang lebih besar pada sistem self
assessment , menunjukkan tren kebijakan yang jelas menuju peningkatan
pemberdayaan wajib pajak dan pengurangan tingkat intervensi langsung pemerintah
dalam tahap awal pemungutan pajak. Sementara sistem withholding tax juga
telah menjadi fitur lama dalam lanskap perpajakan Indonesia, sistem ini
melayani tujuan yang berbeda yaitu menyederhanakan pembayaran pajak pada sumber
penghasilan atau transaksi tertentu. Peralihan menuju self assessment
mengindikasikan keputusan strategis yang lebih luas untuk menempatkan lebih
banyak tanggung jawab pada wajib pajak untuk mengelola urusan perpajakan mereka
sendiri, yang berpotensi mengarah pada efisiensi yang lebih besar dan basis
wajib pajak yang lebih terlibat.
Tabel
1: Perbandingan Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia
Fitur |
Sistem Self Assessment |
Sistem Official Assessment |
Sistem Withholding Tax |
Penentuan
Kewajiban Pajak |
Wajib
Pajak |
Otoritas
Pajak (Fiskus) |
Pihak
Ketiga |
Peran
Wajib Pajak |
Aktif
(menghitung, membayar, melapor) |
Pasif
(menunggu penetapan) |
Pasif
(pajak dipotong oleh pihak ketiga) |
Peran
Pemerintah |
Pengawasan,
bimbingan, penegakan hukum |
Menentukan
kewajiban pajak, menerbitkan surat ketetapan pajak |
Menetapkan
peraturan untuk pemotongan |
Contoh
Pajak Umum |
Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) |
Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), pajak daerah lainnya |
Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 21, 22, 23, 26, PPh Final 4(2), PPN |
Penerbitan
Surat Ketetapan Pajak |
Umumnya
bukan metode utama |
Metode
utama untuk menentukan kewajiban pajak |
Bukti
pemotongan/pemungutan diterbitkan oleh pihak ketiga |
7.
Kelebihan dan Kekurangan Penerapan Sistem Self Assessment di Indonesia
- Kelebihan:
- Peningkatan
Kesadaran dan Kepatuhan Wajib Pajak: Dengan menempatkan tanggung jawab perhitungan dan
pelaporan secara langsung kepada wajib pajak, sistem self assessment
dapat menumbuhkan rasa kesadaran yang lebih besar mengenai kewajiban
perpajakan mereka dan berpotensi mengarah pada peningkatan kepatuhan
terhadap undang-undang perpajakan .
- Efisiensi
Administrasi bagi Otoritas Pajak: Sistem ini dapat secara signifikan mengurangi beban
administrasi pada otoritas pajak karena wajib pajak melakukan tugas awal
perhitungan dan pelaporan kewajiban pajak mereka, memungkinkan pemerintah
untuk memfokuskan sumber dayanya pada pengawasan dan penegakan hukum .
- Fleksibilitas
dan Keterlibatan Wajib Pajak:
Sistem self assessment dapat memberikan wajib pajak lebih banyak
fleksibilitas dan rasa kontrol yang lebih besar atas urusan perpajakan
mereka, memungkinkan mereka untuk mengelola kewajiban mereka dengan cara
yang selaras dengan keadaan individu atau bisnis mereka .
- Potensi
Peningkatan Pendapatan Negara:
Dengan mendorong kesadaran pajak yang lebih besar dan berpotensi
memperluas basis wajib pajak melalui peningkatan partisipasi, sistem self
assessment dapat berkontribusi pada peningkatan keseluruhan
pengumpulan pendapatan negara .
- Pengurangan
Birokrasi: Sistem
ini dapat merampingkan proses pemungutan pajak dengan meminimalkan
kebutuhan interaksi langsung antara wajib pajak dan otoritas pajak pada
tahap awal penilaian, sehingga mengurangi hambatan birokrasi .
- Peningkatan
Transparansi:
Mewajibkan wajib pajak untuk melaporkan sendiri informasi keuangan mereka
dapat mengarah pada transparansi yang lebih besar dalam pelaporan pajak,
sehingga memudahkan untuk melacak dan menganalisis kepatuhan pajak .
- Mendorong
Kepatuhan Sukarela:
Sistem ini dirancang untuk menumbuhkan budaya kepatuhan sukarela, di mana
wajib pajak termotivasi untuk memenuhi kewajiban pajak mereka karena rasa
kewajiban dan tanggung jawab sipil .
- Kekurangan:
- Risiko
Ketidakakuratan dan Kurang Bayar: Kelemahan signifikan adalah peningkatan potensi
kesalahan dalam perhitungan pajak karena kerumitan atau kurangnya
pemahaman, serta risiko kurang bayar pendapatan atau lebih saji
pengurangan yang disengaja oleh beberapa wajib pajak .
- Kebutuhan
Pengawasan dan Penegakan Hukum yang Kuat: Risiko inheren ketidakakuratan
dan kurang bayar memerlukan pembentukan dan pemeliharaan mekanisme
pengawasan dan penegakan hukum yang kuat oleh otoritas pajak untuk
memastikan kepatuhan dan mencegah kebocoran pendapatan yang signifikan .
- Kerumitan
bagi Wajib Pajak:
Sistem self assessment dapat menjadi rumit dan menantang bagi
banyak wajib pajak, terutama mereka yang kurang memiliki pengetahuan
pajak yang memadai, memiliki literasi keuangan terbatas, atau menghadapi
situasi keuangan yang rumit, yang berpotensi menyebabkan kesalahan dan peningkatan
biaya kepatuhan .
- Potensi
Penghindaran dan Penggelapan Pajak: Sistem ini secara tidak sengaja dapat menciptakan
peluang bagi wajib pajak untuk terlibat dalam skema penghindaran pajak
atau penggelapan pajak dengan memanipulasi pendapatan atau pengurangan
yang dilaporkan, terutama jika pengawasan tidak cukup kuat .
- Ketergantungan
pada Kejujuran dan Kesadaran Wajib Pajak: Keberhasilan sistem self
assessment sangat bergantung pada kejujuran, integritas, dan
pemahaman yang memadai tentang undang-undang perpajakan oleh wajib pajak.
Jika faktor-faktor ini kurang, efektivitas sistem dapat sangat terganggu
.
Terdapat
pertukaran mendasar antara efisiensi administrasi yang diperoleh pemerintah
melalui sistem self assessment dan peningkatan beban yang ditempatkan
pada wajib pajak . Sementara pemerintah mendapat manfaat dari pengurangan beban
kerja pada tahap awal pemungutan pajak, wajib pajak harus menginvestasikan
waktu dan upaya mereka sendiri dan berpotensi mengeluarkan biaya (misalnya,
mempekerjakan penasihat pajak) untuk memastikan bahwa mereka menghitung dan
melaporkan pajak mereka secara akurat.
Jika
kerumitan undang-undang perpajakan terlalu tinggi atau jika wajib pajak merasa
tidak didukung secara memadai dalam memenuhi kewajiban mereka, hal ini dapat
menyebabkan frustrasi, kesalahan, dan berpotensi penurunan kepatuhan sukarela.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mencapai keseimbangan dengan
menyederhanakan peraturan perpajakan jika memungkinkan dan menyediakan sumber
daya dan dukungan yang cukup bagi wajib pajak untuk membantu mereka menavigasi
sistem secara efektif.
Risiko
inheren kurang bayar dan penggelapan pajak dalam sistem self assessment
menjadikan keberadaan otoritas pajak yang kuat, memiliki sumber daya yang
memadai, dan efektif sangat penting. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus
memiliki kapasitas untuk melakukan audit yang menyeluruh dan terarah, untuk
secara ketat menegakkan kepatuhan terhadap undang-undang perpajakan, dan untuk
menjatuhkan sanksi yang berarti kepada mereka yang gagal memenuhi kewajiban
mereka.
Keberhasilan
dan keberlanjutan jangka panjang sistem self assessment di Indonesia
oleh karena itu secara fundamental bergantung pada kemampuan pemerintah untuk
mempertahankan keseimbangan yang halus namun krusial antara kepercayaan yang
diberikan kepada wajib pajak dan tingkat kontrol serta pengawasan yang
diperlukan yang dilakukan oleh otoritas pajak. Tanpa keseimbangan ini, sistem
dapat rentan terhadap penyalahgunaan yang meluas, yang menyebabkan kerugian
pendapatan pemerintah yang signifikan dan merusak keadilan dan ekuitas sistem
perpajakan secara keseluruhan.
8.
Contoh-Contoh Jenis Pajak di Indonesia yang Menggunakan Sistem Self
Assessment
- Pajak
Penghasilan (PPh):
Ini adalah contoh utama pajak di Indonesia yang menggunakan sistem self
assessment. PPh berlaku untuk wajib pajak orang pribadi atas
penghasilan mereka dan wajib pajak badan atas keuntungan usaha mereka .
Wajib pajak bertanggung jawab untuk menghitung penghasilan kena pajak
mereka, menerapkan tarif pajak yang relevan, serta melaporkan dan membayar
pajak yang dihasilkan.
- Pajak
Pertambahan Nilai (PPN):
PPN, yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di Indonesia, merupakan
pajak signifikan lainnya yang beroperasi di bawah sistem self
assessment . Pengusaha Kena Pajak (PKP) diwajibkan untuk menghitung
PPN terutang atas penjualan mereka, mengurangkan PPN masukan yang telah
mereka bayar atas pembelian mereka, serta melaporkan dan menyetorkan
selisihnya kepada otoritas pajak.
- Potensi
pajak pemerintah pusat lainnya:
Berbagai sumber umumnya mengindikasikan bahwa sistem self assessment
adalah pendekatan standar untuk sebagian besar pajak pemerintah pusat di
Indonesia . Penelitian lebih lanjut mengenai hukum perpajakan Indonesia
kemungkinan akan mengungkapkan contoh spesifik tambahan pajak pusat yang
termasuk dalam sistem ini.
Fakta
bahwa baik Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dikelola di bawah sistem self assessment sangat signifikan. Kedua
kategori pajak ini biasanya merupakan sumber pendapatan terbesar bagi
pemerintah Indonesia. Penerapan model self assessment yang luas untuk
sumber pendapatan utama ini menggarisbawahi ketergantungan pemerintah yang kuat
pada pendekatan ini untuk sebagian besar upaya pengumpulan pajak secara
keseluruhan. Keberhasilan dan efektivitas sistem self assessment dalam
konteks PPh dan PPN oleh karena itu sangat penting untuk stabilitas keuangan
dan pembangunan bangsa.
9.
Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan di Indonesia yang Mengatur tentang
Sistem Self Assessment
- Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP):
- Pasal
12 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
KUP) berulang kali ditekankan sebagai dasar hukum utama dan paling
fundamental untuk implementasi sistem self assessment di Indonesia
.
- Ketentuan
penting ini secara eksplisit menyatakan: "Setiap wajib pajak
membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya
surat ketetapan pajak" . Klausul ini dengan jelas menetapkan prinsip
utama tanggung jawab wajib pajak untuk menilai sendiri dan membayar
kewajiban pajak mereka.
- Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983:
Undang-undang ini secara historis signifikan karena merupakan tindakan
legislatif awal yang memperkenalkan sistem self assessment ke dalam
kerangka hukum perpajakan Indonesia selama reformasi perpajakan besar
tahun 1983 . Undang-undang ini meletakkan dasar bagi pengembangan dan
implementasi sistem selanjutnya.
- Amandemen
Selanjutnya terhadap UU KUP:
Penting untuk dicatat bahwa Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP) telah mengalami beberapa amandemen sejak pemberlakuan
awalnya (misalnya, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2009) . Revisi selanjutnya ini mungkin berisi ketentuan,
klarifikasi, atau modifikasi lebih lanjut terkait dengan sistem self
assessment, yang mencerminkan evolusi berkelanjutan dari undang-undang
dan praktik administrasi perpajakan Indonesia.
- Peraturan
Pemerintah dan Keputusan Menteri:
Meskipun kerangka hukum utama ditetapkan oleh undang-undang, rincian
spesifik, prosedur, dan pedoman implementasi untuk sistem self
assessment seringkali diuraikan lebih lanjut dalam peraturan tingkat
rendah yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dan Menteri Keuangan .
Peraturan ini menyediakan kerangka kerja praktis tentang bagaimana wajib
pajak dan otoritas pajak berinteraksi dalam sistem self assessment.
Penyebutan
Pasal 12 ayat (1) UU KUP yang konsisten dan menonjol di berbagai sumber
penelitian secara tegas menyoroti pentingnya yang mendasar dan fondasional
sebagai landasan hukum tempat seluruh sistem self assessment di
Indonesia dibangun. Pasal tunggal ini berfungsi sebagai landasan sistem, dengan
jelas mengartikulasikan prinsip utama tanggung jawab wajib pajak untuk secara
mandiri menentukan dan membayar kewajiban pajak mereka tanpa memerlukan surat
ketetapan pajak sebelumnya dari pemerintah. Kutipan berulang kali menegaskan
peran sentralnya dalam mendefinisikan esensi pendekatan self assessment
dalam konteks hukum Indonesia.
Konteks
historis yang diberikan oleh penyebutan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 , yang
awalnya memperkenalkan sistem self assessment, ditambah dengan pengakuan
atas amandemen selanjutnya terhadap UU KUP , dengan jelas menunjukkan bahwa
kerangka hukum yang mengatur self assessment di Indonesia tidaklah
statis melainkan telah berkembang dan disempurnakan dari waktu ke waktu. Hal
ini menunjukkan komitmen berkelanjutan dari pemerintah Indonesia untuk
mengadaptasi dan meningkatkan sistem perpajakan berdasarkan pengalaman praktis,
perubahan kondisi ekonomi, dan kebutuhan untuk mengatasi tantangan yang muncul
dalam administrasi dan kepatuhan pajak. Ketersediaan untuk mengamandemen dan
memperbarui kerangka hukum menunjukkan pendekatan yang dinamis dan adaptif
untuk memastikan efektivitas dan relevansi berkelanjutan dari sistem self
assessment dalam lanskap perpajakan Indonesia yang lebih luas.
10.
Kesimpulan
Sistem
self assessment di Indonesia merupakan landasan penting dari
administrasi perpajakannya, menempatkan tanggung jawab utama untuk menghitung,
melaporkan, dan membayar pajak secara langsung kepada wajib pajak. Sistem ini,
yang diperkenalkan selama reformasi perpajakan tahun 1983, beroperasi
berdasarkan prinsip kepercayaan dan kemandirian, dengan wajib pajak terutama
mengandalkan Surat Pemberitahuan (SPT) untuk mendeklarasikan kewajiban pajak
mereka.
Sistem
self assessment sangat penting bagi kerangka perpajakan nasional
Indonesia, terutama karena berlaku untuk pajak penghasilan utama seperti Pajak
Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Implementasinya yang
efektif sangat penting bagi kemampuan pemerintah untuk mendanai layanan publik,
berinvestasi dalam infrastruktur, dan mendukung pembangunan ekonomi secara
keseluruhan.
Terlepas
dari manfaatnya, sistem self assessment di Indonesia menghadapi
tantangan berkelanjutan, termasuk kebutuhan untuk terus meningkatkan kepatuhan
wajib pajak, mengatasi risiko ketidakakuratan dan penggelapan pajak, dan
menyederhanakan sistem bagi wajib pajak dengan berbagai tingkat literasi keuangan.
Arah masa depan kemungkinan melibatkan upaya berkelanjutan dalam pendidikan
pajak, memperkuat mekanisme penegakan hukum melalui teknologi dan audit, serta
menyempurnakan kerangka hukum dan peraturan untuk meningkatkan efisiensi dan
keadilan sistem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar