Kamis, 27 Maret 2025

Sistem Pemotongan dan Pemungutan Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan (PPh) memegang peranan krusial dalam struktur fiskal Indonesia, berfungsi sebagai sumber pendapatan negara yang signifikan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah dan mendukung pembangunan nasional . Pemungutan PPh di Indonesia sebagian besar mengandalkan sistem pemotongan dan pemungutan pajak, yang melibatkan pihak ketiga dalam proses pengumpulan pajak dari wajib pajak . 

Sistem ini dirancang untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan efisiensi dalam pengumpulan pendapatan negara dengan mendistribusikan tanggung jawab pengumpulan pajak kepada berbagai entitas yang melakukan pembayaran penghasilan. Laporan ini bertujuan untuk menguraikan secara komprehensif penerapan sistem pemotongan dan pemungutan PPh di Indonesia, dengan fokus pada jenis-jenis PPh utama yang terlibat dalam sistem ini, mekanisme pelaksanaannya, kewajiban pihak-pihak terkait, dan peraturan perundang-undangan terbaru yang mengatur sistem ini.   

Konsep Dasar Sistem Pemotongan dan Pemungutan PPh

Sistem pemotongan dan pemungutan pajak, atau yang sering disebut sebagai withholding tax, adalah mekanisme di mana pihak ketiga yang melakukan pembayaran penghasilan kepada wajib pajak memiliki tanggung jawab untuk memotong atau memungut sejumlah pajak dari penghasilan tersebut dan menyetorkannya langsung ke kas negara . Mekanisme ini menjadi saluran langsung bagi pemerintah untuk mengumpulkan pendapatan pajak dari sumber penghasilan . Prinsip dasar yang mendasari sistem ini, baik untuk pemotongan maupun pemungutan PPh, adalah prinsip self-assessment . Meskipun melibatkan pihak ketiga, sistem ini tetap mengandalkan kepercayaan pemerintah kepada pihak yang memotong atau memungut pajak untuk menghitung, memotong atau memungut, serta menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang secara akurat .  

Terdapat perbedaan mendasar antara istilah "pemotongan" dan "pemungutan" dalam konteks PPh. Secara umum, "pemotongan" pajak penghasilan diterapkan pada jenis PPh seperti Pasal 21, Pasal 23, Pasal 26, dan Pasal 4 ayat 2, dan seringkali didasarkan pada nilai neto penghasilan setelah dikurangi berbagai biaya dan iuran wajib . Sementara itu, "pemungutan" pajak penghasilan umumnya berlaku untuk PPh Pasal 22 dan didasarkan pada nilai bruto suatu transaksi tertentu . Perbedaan ini mencerminkan sifat penghasilan yang dikenakan pajak dan titik di mana pajak tersebut dikenakan . 

Seluruh sistem pemotongan dan pemungutan PPh di Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat, terutama pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta perubahan-perubahannya, serta peraturan-peraturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan peraturan lainnya . Perubahan yang terus-menerus dalam UU PPh menunjukkan adaptasi sistem pajak terhadap dinamika ekonomi dan sosial .  

Jenis-Jenis Pajak Penghasilan dalam Sistem Pemotongan dan Pemungutan

Sistem pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan di Indonesia mencakup berbagai jenis PPh yang dikenakan atas berbagai jenis penghasilan dan transaksi . Beberapa jenis PPh utama yang menggunakan mekanisme ini antara lain:  

  • PPh Pasal 21: Pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri . Pajak ini terutama menyasar penghasilan individu dari pekerjaan dan layanan yang mereka berikan .  
  • PPh Pasal 22: Pajak yang dipungut oleh bendaharawan atau badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta, yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor, impor, dan re-impor, serta pembayaran atas penyerahan barang oleh rekanan pemerintah . PPh ini berfungsi sebagai pembayaran pajak di muka atas kegiatan perdagangan dan pengadaan barang .  
  • PPh Pasal 23: Pajak yang dipotong oleh pihak pembayar atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa (selain tanah dan/atau bangunan), hadiah, penghargaan, bonus, dan imbalan jasa lainnya yang dibayarkan kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap . Pajak ini mencakup berbagai jenis penghasilan di luar penghasilan dari pekerjaan dan perdagangan barang .  
  • PPh Pasal 4 ayat 2: Pajak penghasilan yang bersifat final dan dikenakan atas jenis penghasilan tertentu seperti bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi, hadiah undian, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan . Sifat final pajak ini menyederhanakan proses perpajakan untuk jenis penghasilan tertentu .  

Selain jenis-jenis PPh di atas, sistem pemotongan dan pemungutan juga dapat diterapkan pada jenis PPh lainnya seperti PPh Pasal 15 (pajak atas penghasilan dari usaha pelayaran, penerbangan internasional, dan lain-lain), PPh Pasal 26 (pajak atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri), serta kombinasi dari beberapa pasal seperti PPh Pasal 21/26 dan PPh Pasal 23/26 . Luasnya cakupan sistem ini menunjukkan perannya yang sangat penting dalam administrasi perpajakan di Indonesia .  

Tabel berikut merangkum karakteristik utama dari jenis-jenis PPh yang telah disebutkan:

PPh Pasal

Objek Pajak (Contoh)

Dasar Pajak

Pihak Pemotong/Pemungut Umum

Tarif Umum (Final/Tidak Final)

21

Gaji, upah, honorarium, tunjangan

Neto

Pemberi kerja, bendahara pemerintah, dana pensiun, penyelenggara kegiatan

Progresif (Tidak Final)

22

Pembayaran barang oleh pemerintah, impor barang, penjualan hasil produksi tertentu

Bruto

Bendahara pemerintah, BUMN/BUMD, importir, produsen tertentu, penjual barang mewah

Bervariasi (Tidak Final)

23

Dividen, bunga, royalti, sewa (selain tanah/bangunan), hadiah, imbalan jasa lainnya

Bruto

Badan usaha dalam negeri, BUT

15% atau 2% (Tidak Final)

4 ayat 2

Bunga deposito, hadiah undian, pengalihan hak atas tanah/bangunan, jasa konstruksi

Bruto

Bank, penyelenggara undian, pembeli/penjual tanah/bangunan, pengguna jasa konstruksi

Bervariasi (Final)

Mekanisme Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan

Pemotongan PPh Pasal 21 merupakan mekanisme utama dalam mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh individu sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia . Pihak-pihak yang memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 21 meliputi pemberi kerja (baik badan usaha maupun orang pribadi), bendahara dan pemegang kas pemerintah, dana pensiun, orang pribadi yang membayar honorarium, serta penyelenggara kegiatan . Kewajiban pemotongan ini berlaku atas penghasilan yang diterima oleh berbagai kategori penerima, termasuk pegawai tetap, penerima pensiun, tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, pemain musik, olahragawan, pengajar, konsultan, agen iklan, pengawas proyek, distributor multilevel marketing, anggota dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, mantan pegawai, serta peserta berbagai kegiatan seperti perlombaan, rapat, konferensi, dan pelatihan .  

Mekanisme pemotongan PPh Pasal 21 melibatkan penggunaan tarif pajak progresif sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk perhitungan pajak tahunan. Selain itu, sejak 1 Januari 2024, diperkenalkan skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 bulanan . Skema TER terdiri dari dua jenis tarif efektif, yaitu tarif efektif bulanan dan tarif efektif harian . Tarif efektif bulanan dikategorikan menjadi tiga kategori (A, B, dan C) yang dibedakan berdasarkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib pajak, yang mempertimbangkan status perkawinan dan jumlah tanggungan . Penggunaan skema TER bertujuan untuk menyederhanakan perhitungan PPh Pasal 21 bulanan bagi pemberi kerja . Meskipun demikian, perhitungan PPh Pasal 21 dalam satu tahun pajak tetap mengacu pada tarif Pasal 17 UU PPh .  

Proses pemotongan PPh Pasal 21 dimulai dengan perhitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP), yang meliputi seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh karyawan secara teratur maupun tidak teratur, seperti gaji pokok, tunjangan, uang lembur, bonus, dan penghasilan lain yang bersifat rutin . Setelah DPP diketahui, tarif pajak yang berlaku diterapkan untuk menghitung besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong . Pihak yang melakukan pemotongan wajib menerbitkan bukti pemotongan (bukti potong) sebagai tanda bahwa pajak telah dipotong dari penghasilan penerima . Bukti potong ini penting bagi pemberi kerja untuk keperluan administrasi dan pelaporan, serta bagi penerima penghasilan untuk rekonsiliasi pajak dan potensi kredit pajak .  

Pemberi kerja atau pihak lain yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 memiliki sejumlah kewajiban, antara lain menghitung, memotong, menyetorkan (remitting), dan melaporkan pajak yang terutang . Penyetoran PPh Pasal 21 yang telah dipotong harus dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir, menggunakan kode billing yang sesuai . Pelaporan SPT Masa PPh 21 dilakukan secara daring (online) melalui saluran e-Filing Direktorat Jenderal Pajak atau Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) resmi, paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya . Kelalaian dalam memenuhi kewajiban-kewajiban ini dapat mengakibatkan sanksi berupa denda dan bunga . Penggunaan sistem elektronik seperti e-SPT dan e-Filing bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam pelaporan PPh Pasal 21 .  

Mekanisme Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD, dan Badan Usaha Tertentu

PPh Pasal 22 merupakan jenis pajak penghasilan yang pemungutannya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan . Pihak-pihak yang bertindak sebagai pemungut PPh Pasal 22 meliputi bendahara pemerintah (baik pusat maupun daerah), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), badan-badan tertentu yang bergerak di bidang impor atau kegiatan usaha lain, serta Wajib Pajak badan tertentu yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah . Penunjukan pihak-pihak ini sebagai pemungut mencerminkan upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari transaksi-transaksi ekonomi yang signifikan .  

Objek pemungutan PPh Pasal 22 sangat beragam, meliputi pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh instansi pemerintah, kegiatan impor dan ekspor barang, penjualan hasil produksi tertentu seperti kertas, semen, baja, dan otomotif, serta penjualan barang-barang yang tergolong sangat mewah seperti pesawat udara pribadi, kapal pesiar, rumah mewah, apartemen mewah, dan kendaraan bermotor dengan harga jual dan kapasitas silinder tertentu . Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan pada saat pembayaran oleh bendahara pemerintah atau BUMN/BUMD atas pembelian barang, atau oleh badan yang berwenang pada saat kegiatan impor atau ekspor dilakukan . Mekanisme ini memastikan bahwa pajak dipungut secara bersamaan dengan terjadinya transaksi ekonomi yang mendasarinya .  

Tarif PPh Pasal 22 bervariasi tergantung pada objek pemungutannya . Misalnya, atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD dikenakan tarif sebesar 1,5% dari harga pembelian (tidak termasuk PPN dan bersifat tidak final) . Untuk impor barang, tarifnya bervariasi antara 2,5% bagi yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) dan 7,5% bagi yang tidak menggunakan API . Tarif yang berbeda juga berlaku untuk penjualan hasil produksi industri tertentu dan penjualan barang yang tergolong sangat mewah . Variasi tarif ini mencerminkan perbedaan karakteristik dan nilai transaksi yang dikenakan PPh Pasal 22 .  

Sebagai pihak yang melakukan pemungutan, bendahara pemerintah, BUMN/BUMD, dan badan usaha tertentu memiliki kewajiban untuk memungut pajak, menyetorkannya ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak . SSP ini juga berfungsi sebagai Bukti Pemungutan Pajak . 

Selain itu, pemungut juga wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang telah dipungut dalam SPT Masa PPh Pasal 22 . Terdapat beberapa pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22, seperti pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau pihak lain yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah-pecah . Pengecualian ini bertujuan untuk mengurangi beban administrasi pada transaksi dengan nilai kecil . 

Mekanisme Pemotongan PPh Pasal 23 atas Penghasilan Berupa Dividen, Bunga, Royalti, Sewa, Hadiah, dan Imbalan Jasa Lainnya

PPh Pasal 23 merupakan jenis pajak penghasilan yang dipotong oleh pihak yang membayar penghasilan kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap (BUT) atas penghasilan tertentu yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan . Pihak yang memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 23 adalah badan usaha dalam negeri atau BUT yang melakukan pembayaran atas jenis-jenis penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23 kepada wajib pajak dalam negeri atau BUT lainnya . Pemotongan ini umumnya berlaku untuk transaksi antar pelaku usaha .  

Objek pemotongan PPh Pasal 23 meliputi penghasilan berupa dividen, bunga (termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang), royalti, hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya (selain yang telah dipotong PPh Pasal 21), sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali sewa tanah dan/atau bangunan yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2), serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 . Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada saat pembayaran penghasilan, saat penghasilan disediakan untuk dibayarkan, atau saat jatuh tempo pembayaran penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa mana yang terjadi terlebih dahulu .  

Tarif PPh Pasal 23 dibedakan berdasarkan jenis penghasilannya . Umumnya, tarif sebesar 15% dikenakan atas jumlah bruto dividen, bunga, royalti, serta hadiah dan penghargaan . Sementara itu, tarif sebesar 2% dikenakan atas jumlah bruto sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (selain tanah dan/atau bangunan), serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 . Jika penerima penghasilan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), tarif pemotongan akan menjadi 100% lebih tinggi .  

Pihak yang melakukan pemotongan PPh Pasal 23 memiliki kewajiban untuk memotong pajak, menyetorkannya ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir, dan melaporkannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya menggunakan aplikasi e-Bupot Unifikasi . Selain itu, pihak pemotong juga wajib membuat dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada pihak yang menerima penghasilan . Terdapat beberapa jenis penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23, seperti penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank, sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi, dan dividen tertentu . 

Penerapan PPh Pasal 4 Ayat 2 yang Bersifat Final atas Jenis Penghasilan Tertentu

PPh Pasal 4 ayat 2 merupakan jenis pajak penghasilan yang bersifat final, artinya kewajiban pajak atas penghasilan yang dikenakan pajak ini dianggap selesai pada saat pemotongan atau pemungutan dilakukan dan tidak perlu lagi diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) . Sifat final ini bertujuan untuk memberikan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, dan ketepatan waktu dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tertentu .  

Jenis-jenis penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 bersifat final antara lain penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi, penghasilan berupa hadiah undian, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, penghasilan dari usaha jasa konstruksi, penghasilan dari usaha real estate, dan penghasilan berupa sewa atas tanah dan/atau bangunan .  

Mekanisme pemotongan atau pembayaran PPh Pasal 4 ayat 2 bervariasi tergantung pada jenis penghasilannya . Misalnya, bunga deposito dan tabungan dipotong langsung oleh bank pada saat pembayaran bunga . Hadiah undian dipotong atau dipungut oleh penyelenggara undian . Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan umumnya dibayar sendiri oleh pihak yang mengalihkan hak sebelum akta pengalihan ditandatangani, kecuali untuk transaksi dengan pemerintah yang dilakukan pemungutan oleh bendaharawan pemerintah . Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dapat dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh penyedia jasa jika pengguna jasa bukan pemotong pajak .  

Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 juga berbeda-beda untuk setiap jenis penghasilan . Bunga deposito dan tabungan dikenakan tarif 20% . Hadiah undian dikenakan tarif 25% . Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan tarif 2,5% atau 1% tergantung jenis transaksinya . Tarif untuk usaha jasa konstruksi bervariasi antara 2% hingga 6% tergantung pada kualifikasi usaha penyedia jasa . Perbedaan tarif ini disesuaikan dengan karakteristik masing-masing jenis penghasilan .   

Kewajiban Pihak-Pihak yang Melakukan Pemotongan dan Pemungutan PPh

Pihak-pihak yang melakukan pemotongan dan pemungutan PPh memiliki serangkaian kewajiban yang harus dipenuhi untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan . Kewajiban utama tersebut meliputi:  

  • Perhitungan Pajak: Pihak pemotong atau pemungut wajib menghitung dengan benar jumlah pajak yang harus dipotong atau dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk setiap jenis PPh . Pemahaman yang tepat mengenai dasar pengenaan pajak (DPP) untuk setiap pasal PPh sangat penting dalam proses perhitungan ini . Perhitungan yang akurat menjadi fondasi kepatuhan dalam sistem ini .  
  • Penyetoran Pajak: Pajak yang telah dipotong atau dipungut wajib disetorkan ke kas negara sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Umumnya, batas waktu penyetoran adalah tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir . Proses penyetoran seringkali melibatkan penggunaan kode billing yang diterbitkan melalui sistem Direktorat Jenderal Pajak . Penyetoran yang tepat waktu sangat penting untuk menghindari sanksi dan memastikan aliran pendapatan negara .  
  • Pelaporan Pajak: Pihak pemotong atau pemungut juga memiliki kewajiban untuk melaporkan pajak yang telah dipotong atau dipungut melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa sesuai dengan batas waktu yang berlaku, umumnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir . Pelaporan ini sering dilakukan secara elektronik melalui sistem e-Filing atau aplikasi khusus seperti e-Bupot Unifikasi untuk PPh Pasal 23 . Selain itu, pihak pemotong atau pemungut wajib menerbitkan bukti pemotongan atau pemungutan (bukti potong/pungut) kepada pihak yang menerima penghasilan sebagai bukti transaksi pajak . Pelaporan yang akurat dan tepat waktu penting untuk transparansi dan pengawasan kepatuhan pajak .  

Peraturan Perundang-Undangan Terbaru terkait Sistem Pemotongan dan Pemungutan PPh

Sistem pemotongan dan pemungutan PPh terus mengalami pembaruan melalui berbagai peraturan perundang-undangan terbaru . Salah satu peraturan penting adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek perpajakan, termasuk PPh . UU HPP memengaruhi tarif pajak penghasilan dan ketentuan lainnya yang relevan dengan sistem pemotongan dan pemungutan.  

Peraturan terbaru lainnya yang sangat relevan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi . PP ini memperkenalkan skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang mulai berlaku pada 1 Januari 2024 . Tujuan dari skema TER adalah untuk menyederhanakan perhitungan PPh Pasal 21 bulanan bagi pemberi kerja .  

Sebagai tindak lanjut dari PP Nomor 58 Tahun 2023, diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi . PMK ini memberikan panduan teknis yang lebih rinci mengenai penerapan skema TER dalam perhitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 .  

Perubahan-perubahan regulasi ini secara signifikan memengaruhi mekanisme perhitungan dan pelaporan PPh, terutama PPh Pasal 21 . Meskipun skema TER menyederhanakan perhitungan bulanan, perhitungan PPh Pasal 21 tahunan tetap mengacu pada tarif progresif Pasal 17 UU PPh . Pembaruan peraturan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk terus menyederhanakan dan memodernisasi sistem perpajakan di Indonesia, khususnya dalam hal pemotongan dan pemungutan PPh .  

Kesimpulan

Sistem pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) memainkan peran yang sangat vital dalam administrasi perpajakan di Indonesia. Melalui mekanisme ini, sebagian besar pendapatan PPh berhasil dikumpulkan secara efisien dari berbagai sumber penghasilan. Pemahaman yang mendalam mengenai konsep dasar, jenis-jenis PPh yang terlibat (terutama Pasal 21, 22, 23, dan 4 ayat 2), mekanisme pelaksanaan untuk masing-masing pasal, serta kewajiban pihak-pihak yang melakukan pemotongan dan pemungutan, sangat penting bagi wajib pajak maupun pihak-pihak yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut.

Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan adalah kunci utama dalam menjalankan sistem ini dengan baik. Peraturan terbaru seperti UU HPP, PP Nomor 58 Tahun 2023, dan PMK Nomor 168 Tahun 2023 menunjukkan adanya upaya berkelanjutan dari pemerintah untuk menyederhanakan dan memodernisasi sistem PPh, khususnya dalam hal pemotongan PPh Pasal 21 melalui skema TER. Namun, mengingat dinamika peraturan perpajakan, semua pihak yang terlibat perlu terus memperbarui pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap ketentuan-ketentuan terbaru untuk memastikan kepatuhan yang berkelanjutan dan menghindari potensi sanksi. Dengan demikian, sistem pemotongan dan pemungutan PPh dapat terus berkontribusi secara optimal terhadap penerimaan negara dan pembangunan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Tax Ratio Indonesia Rendah

Pendahuluan: Memahami Rasio Pajak Bagian ini memperkenalkan ko...