Pajak Penghasilan (PPh) memegang peranan krusial dalam struktur fiskal Indonesia, berfungsi sebagai sumber pendapatan negara yang signifikan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah dan mendukung pembangunan nasional . Pemungutan PPh di Indonesia sebagian besar mengandalkan sistem pemotongan dan pemungutan pajak, yang melibatkan pihak ketiga dalam proses pengumpulan pajak dari wajib pajak .
Sistem ini dirancang untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan efisiensi
dalam pengumpulan pendapatan negara dengan mendistribusikan tanggung jawab
pengumpulan pajak kepada berbagai entitas yang melakukan pembayaran
penghasilan. Laporan ini bertujuan untuk menguraikan secara komprehensif
penerapan sistem pemotongan dan pemungutan PPh di Indonesia, dengan fokus pada jenis-jenis
PPh utama yang terlibat dalam sistem ini, mekanisme pelaksanaannya, kewajiban
pihak-pihak terkait, dan peraturan perundang-undangan terbaru yang mengatur
sistem ini.
Konsep
Dasar Sistem Pemotongan dan Pemungutan PPh
Sistem pemotongan dan pemungutan pajak, atau yang sering disebut sebagai withholding tax, adalah mekanisme di mana pihak ketiga yang melakukan pembayaran penghasilan kepada wajib pajak memiliki tanggung jawab untuk memotong atau memungut sejumlah pajak dari penghasilan tersebut dan menyetorkannya langsung ke kas negara . Mekanisme ini menjadi saluran langsung bagi pemerintah untuk mengumpulkan pendapatan pajak dari sumber penghasilan . Prinsip dasar yang mendasari sistem ini, baik untuk pemotongan maupun pemungutan PPh, adalah prinsip self-assessment . Meskipun melibatkan pihak ketiga, sistem ini tetap mengandalkan kepercayaan pemerintah kepada pihak yang memotong atau memungut pajak untuk menghitung, memotong atau memungut, serta menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang secara akurat .
Terdapat perbedaan mendasar antara istilah "pemotongan" dan "pemungutan" dalam konteks PPh. Secara umum, "pemotongan" pajak penghasilan diterapkan pada jenis PPh seperti Pasal 21, Pasal 23, Pasal 26, dan Pasal 4 ayat 2, dan seringkali didasarkan pada nilai neto penghasilan setelah dikurangi berbagai biaya dan iuran wajib . Sementara itu, "pemungutan" pajak penghasilan umumnya berlaku untuk PPh Pasal 22 dan didasarkan pada nilai bruto suatu transaksi tertentu . Perbedaan ini mencerminkan sifat penghasilan yang dikenakan pajak dan titik di mana pajak tersebut dikenakan .
Seluruh sistem pemotongan dan pemungutan PPh di Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat, terutama pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta perubahan-perubahannya, serta peraturan-peraturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan peraturan lainnya . Perubahan yang terus-menerus dalam UU PPh menunjukkan adaptasi sistem pajak terhadap dinamika ekonomi dan sosial .
Jenis-Jenis
Pajak Penghasilan dalam Sistem Pemotongan dan Pemungutan
Sistem
pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan di Indonesia mencakup berbagai
jenis PPh yang dikenakan atas berbagai jenis penghasilan dan transaksi .
Beberapa jenis PPh utama yang menggunakan mekanisme ini antara lain:
- PPh
Pasal 21: Pajak
atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang
diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri . Pajak ini terutama
menyasar penghasilan individu dari pekerjaan dan layanan yang mereka
berikan .
- PPh
Pasal 22: Pajak
yang dipungut oleh bendaharawan atau badan usaha tertentu, baik milik
pemerintah maupun swasta, yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor,
impor, dan re-impor, serta pembayaran atas penyerahan barang oleh rekanan
pemerintah . PPh ini berfungsi sebagai pembayaran pajak di muka atas
kegiatan perdagangan dan pengadaan barang .
- PPh
Pasal 23: Pajak
yang dipotong oleh pihak pembayar atas penghasilan berupa dividen, bunga,
royalti, sewa (selain tanah dan/atau bangunan), hadiah, penghargaan,
bonus, dan imbalan jasa lainnya yang dibayarkan kepada wajib pajak dalam
negeri atau bentuk usaha tetap . Pajak ini mencakup berbagai jenis
penghasilan di luar penghasilan dari pekerjaan dan perdagangan barang .
- PPh
Pasal 4 ayat 2:
Pajak penghasilan yang bersifat final dan dikenakan atas jenis penghasilan
tertentu seperti bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi,
hadiah undian, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya,
transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan .
Sifat final pajak ini menyederhanakan proses perpajakan untuk jenis
penghasilan tertentu .
Selain
jenis-jenis PPh di atas, sistem pemotongan dan pemungutan juga dapat diterapkan
pada jenis PPh lainnya seperti PPh Pasal 15 (pajak atas penghasilan dari usaha
pelayaran, penerbangan internasional, dan lain-lain), PPh Pasal 26 (pajak atas
penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri), serta kombinasi dari
beberapa pasal seperti PPh Pasal 21/26 dan PPh Pasal 23/26 . Luasnya cakupan
sistem ini menunjukkan perannya yang sangat penting dalam administrasi
perpajakan di Indonesia .
Tabel
berikut merangkum karakteristik utama dari jenis-jenis PPh yang telah
disebutkan:
PPh Pasal |
Objek Pajak (Contoh) |
Dasar Pajak |
Pihak Pemotong/Pemungut Umum |
Tarif Umum (Final/Tidak Final) |
21 |
Gaji,
upah, honorarium, tunjangan |
Neto |
Pemberi
kerja, bendahara pemerintah, dana pensiun, penyelenggara kegiatan |
Progresif
(Tidak Final) |
22 |
Pembayaran
barang oleh pemerintah, impor barang, penjualan hasil produksi tertentu |
Bruto |
Bendahara
pemerintah, BUMN/BUMD, importir, produsen tertentu, penjual barang mewah |
Bervariasi
(Tidak Final) |
23 |
Dividen,
bunga, royalti, sewa (selain tanah/bangunan), hadiah, imbalan jasa lainnya |
Bruto |
Badan
usaha dalam negeri, BUT |
15%
atau 2% (Tidak Final) |
4
ayat 2 |
Bunga
deposito, hadiah undian, pengalihan hak atas tanah/bangunan, jasa konstruksi |
Bruto |
Bank,
penyelenggara undian, pembeli/penjual tanah/bangunan, pengguna jasa
konstruksi |
Bervariasi
(Final) |
Mekanisme
Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa,
atau Kegiatan
Pemotongan
PPh Pasal 21 merupakan mekanisme utama dalam mengenakan pajak atas penghasilan
yang diterima oleh individu sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di
Indonesia . Pihak-pihak yang memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh
Pasal 21 meliputi pemberi kerja (baik badan usaha maupun orang pribadi),
bendahara dan pemegang kas pemerintah, dana pensiun, orang pribadi yang
membayar honorarium, serta penyelenggara kegiatan . Kewajiban pemotongan ini
berlaku atas penghasilan yang diterima oleh berbagai kategori penerima,
termasuk pegawai tetap, penerima pensiun, tenaga ahli yang melakukan pekerjaan
bebas, pemain musik, olahragawan, pengajar, konsultan, agen iklan, pengawas
proyek, distributor multilevel marketing, anggota dewan komisaris yang
tidak merangkap sebagai pegawai tetap, mantan pegawai, serta peserta berbagai
kegiatan seperti perlombaan, rapat, konferensi, dan pelatihan .
Mekanisme
pemotongan PPh Pasal 21 melibatkan penggunaan tarif pajak progresif sesuai
dengan Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk perhitungan pajak
tahunan. Selain itu, sejak 1 Januari 2024, diperkenalkan skema Tarif Efektif
Rata-Rata (TER) untuk perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 bulanan . Skema TER
terdiri dari dua jenis tarif efektif, yaitu tarif efektif bulanan dan tarif
efektif harian . Tarif efektif bulanan dikategorikan menjadi tiga kategori (A,
B, dan C) yang dibedakan berdasarkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib
pajak, yang mempertimbangkan status perkawinan dan jumlah tanggungan .
Penggunaan skema TER bertujuan untuk menyederhanakan perhitungan PPh Pasal 21
bulanan bagi pemberi kerja . Meskipun demikian, perhitungan PPh Pasal 21 dalam
satu tahun pajak tetap mengacu pada tarif Pasal 17 UU PPh .
Proses
pemotongan PPh Pasal 21 dimulai dengan perhitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP),
yang meliputi seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh karyawan secara
teratur maupun tidak teratur, seperti gaji pokok, tunjangan, uang lembur,
bonus, dan penghasilan lain yang bersifat rutin . Setelah DPP diketahui, tarif
pajak yang berlaku diterapkan untuk menghitung besarnya PPh Pasal 21 yang harus
dipotong . Pihak yang melakukan pemotongan wajib menerbitkan bukti pemotongan
(bukti potong) sebagai tanda bahwa pajak telah dipotong dari penghasilan
penerima . Bukti potong ini penting bagi pemberi kerja untuk keperluan
administrasi dan pelaporan, serta bagi penerima penghasilan untuk rekonsiliasi
pajak dan potensi kredit pajak .
Pemberi
kerja atau pihak lain yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 memiliki
sejumlah kewajiban, antara lain menghitung, memotong, menyetorkan (remitting),
dan melaporkan pajak yang terutang . Penyetoran PPh Pasal 21 yang telah
dipotong harus dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa
pajak berakhir, menggunakan kode billing yang sesuai . Pelaporan SPT
Masa PPh 21 dilakukan secara daring (online) melalui saluran e-Filing
Direktorat Jenderal Pajak atau Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP) resmi,
paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya . Kelalaian dalam memenuhi kewajiban-kewajiban
ini dapat mengakibatkan sanksi berupa denda dan bunga . Penggunaan sistem
elektronik seperti e-SPT dan e-Filing bertujuan untuk meningkatkan efisiensi
dan akurasi dalam pelaporan PPh Pasal 21 .
Mekanisme
Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD, dan Badan Usaha
Tertentu
PPh
Pasal 22 merupakan jenis pajak penghasilan yang pemungutannya dilakukan oleh
pihak-pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan . Pihak-pihak yang
bertindak sebagai pemungut PPh Pasal 22 meliputi bendahara pemerintah (baik
pusat maupun daerah), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), badan-badan tertentu yang bergerak di bidang impor atau kegiatan
usaha lain, serta Wajib Pajak badan tertentu yang melakukan penjualan barang
yang tergolong sangat mewah . Penunjukan pihak-pihak ini sebagai pemungut
mencerminkan upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari
transaksi-transaksi ekonomi yang signifikan .
Objek
pemungutan PPh Pasal 22 sangat beragam, meliputi pembayaran atas pembelian
barang yang dilakukan oleh instansi pemerintah, kegiatan impor dan ekspor
barang, penjualan hasil produksi tertentu seperti kertas, semen, baja, dan
otomotif, serta penjualan barang-barang yang tergolong sangat mewah seperti
pesawat udara pribadi, kapal pesiar, rumah mewah, apartemen mewah, dan
kendaraan bermotor dengan harga jual dan kapasitas silinder tertentu .
Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan pada saat pembayaran oleh bendahara
pemerintah atau BUMN/BUMD atas pembelian barang, atau oleh badan yang berwenang
pada saat kegiatan impor atau ekspor dilakukan . Mekanisme ini memastikan bahwa
pajak dipungut secara bersamaan dengan terjadinya transaksi ekonomi yang
mendasarinya .
Tarif
PPh Pasal 22 bervariasi tergantung pada objek pemungutannya . Misalnya, atas
pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD
dikenakan tarif sebesar 1,5% dari harga pembelian (tidak termasuk PPN dan
bersifat tidak final) . Untuk impor barang, tarifnya bervariasi antara 2,5%
bagi yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) dan 7,5% bagi yang tidak
menggunakan API . Tarif yang berbeda juga berlaku untuk penjualan hasil
produksi industri tertentu dan penjualan barang yang tergolong sangat mewah .
Variasi tarif ini mencerminkan perbedaan karakteristik dan nilai transaksi yang
dikenakan PPh Pasal 22 .
Sebagai pihak yang melakukan pemungutan, bendahara pemerintah, BUMN/BUMD, dan badan usaha tertentu memiliki kewajiban untuk memungut pajak, menyetorkannya ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak . SSP ini juga berfungsi sebagai Bukti Pemungutan Pajak .
Selain itu, pemungut juga wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang telah dipungut dalam SPT Masa PPh Pasal 22 . Terdapat beberapa pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22, seperti pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau pihak lain yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah-pecah . Pengecualian ini bertujuan untuk mengurangi beban administrasi pada transaksi dengan nilai kecil .
Mekanisme
Pemotongan PPh Pasal 23 atas Penghasilan Berupa Dividen, Bunga, Royalti, Sewa,
Hadiah, dan Imbalan Jasa Lainnya
PPh
Pasal 23 merupakan jenis pajak penghasilan yang dipotong oleh pihak yang
membayar penghasilan kepada wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap
(BUT) atas penghasilan tertentu yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau
penyelenggaraan kegiatan . Pihak yang memiliki kewajiban untuk melakukan
pemotongan PPh Pasal 23 adalah badan usaha dalam negeri atau BUT yang melakukan
pembayaran atas jenis-jenis penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23 kepada
wajib pajak dalam negeri atau BUT lainnya . Pemotongan ini umumnya berlaku
untuk transaksi antar pelaku usaha .
Objek
pemotongan PPh Pasal 23 meliputi penghasilan berupa dividen, bunga (termasuk
premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang),
royalti, hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya (selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21), sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
(kecuali sewa tanah dan/atau bangunan yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2), serta
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21 .
Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada saat pembayaran penghasilan, saat
penghasilan disediakan untuk dibayarkan, atau saat jatuh tempo pembayaran
penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa mana yang terjadi terlebih
dahulu .
Tarif
PPh Pasal 23 dibedakan berdasarkan jenis penghasilannya . Umumnya, tarif
sebesar 15% dikenakan atas jumlah bruto dividen, bunga, royalti, serta hadiah
dan penghargaan . Sementara itu, tarif sebesar 2% dikenakan atas jumlah bruto
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (selain tanah
dan/atau bangunan), serta imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong PPh Pasal 21 . Jika penerima penghasilan tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP), tarif pemotongan akan menjadi 100% lebih tinggi .
Pihak yang melakukan pemotongan PPh Pasal 23 memiliki kewajiban untuk memotong pajak, menyetorkannya ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir, dan melaporkannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23 paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya menggunakan aplikasi e-Bupot Unifikasi . Selain itu, pihak pemotong juga wajib membuat dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada pihak yang menerima penghasilan . Terdapat beberapa jenis penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23, seperti penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank, sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi, dan dividen tertentu .
Penerapan
PPh Pasal 4 Ayat 2 yang Bersifat Final atas Jenis Penghasilan Tertentu
PPh
Pasal 4 ayat 2 merupakan jenis pajak penghasilan yang bersifat final, artinya
kewajiban pajak atas penghasilan yang dikenakan pajak ini dianggap selesai pada
saat pemotongan atau pemungutan dilakukan dan tidak perlu lagi diperhitungkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) . Sifat final ini bertujuan untuk
memberikan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, dan ketepatan waktu dalam
pengenaan pajak atas jenis penghasilan tertentu .
Jenis-jenis
penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 bersifat final antara lain
penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan
surat utang negara, bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi orang pribadi, penghasilan berupa hadiah undian, penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya, penghasilan dari transaksi pengalihan
harta berupa tanah dan/atau bangunan, penghasilan dari usaha jasa konstruksi,
penghasilan dari usaha real estate, dan penghasilan berupa sewa atas tanah
dan/atau bangunan .
Mekanisme
pemotongan atau pembayaran PPh Pasal 4 ayat 2 bervariasi tergantung pada jenis
penghasilannya . Misalnya, bunga deposito dan tabungan dipotong langsung oleh
bank pada saat pembayaran bunga . Hadiah undian dipotong atau dipungut oleh
penyelenggara undian . Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan umumnya dibayar sendiri oleh pihak yang mengalihkan hak sebelum akta
pengalihan ditandatangani, kecuali untuk transaksi dengan pemerintah yang
dilakukan pemungutan oleh bendaharawan pemerintah . Penghasilan dari usaha jasa
konstruksi dapat dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh penyedia
jasa jika pengguna jasa bukan pemotong pajak .
Tarif
PPh Pasal 4 ayat 2 juga berbeda-beda untuk setiap jenis penghasilan . Bunga
deposito dan tabungan dikenakan tarif 20% . Hadiah undian dikenakan tarif 25% .
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan tarif 2,5% atau 1%
tergantung jenis transaksinya . Tarif untuk usaha jasa konstruksi bervariasi
antara 2% hingga 6% tergantung pada kualifikasi usaha penyedia jasa . Perbedaan
tarif ini disesuaikan dengan karakteristik masing-masing jenis penghasilan .
Kewajiban
Pihak-Pihak yang Melakukan Pemotongan dan Pemungutan PPh
Pihak-pihak
yang melakukan pemotongan dan pemungutan PPh memiliki serangkaian kewajiban
yang harus dipenuhi untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan .
Kewajiban utama tersebut meliputi:
- Perhitungan
Pajak: Pihak
pemotong atau pemungut wajib menghitung dengan benar jumlah pajak yang
harus dipotong atau dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk setiap jenis PPh . Pemahaman yang
tepat mengenai dasar pengenaan pajak (DPP) untuk setiap pasal PPh sangat
penting dalam proses perhitungan ini . Perhitungan yang akurat menjadi
fondasi kepatuhan dalam sistem ini .
- Penyetoran
Pajak: Pajak yang
telah dipotong atau dipungut wajib disetorkan ke kas negara sesuai dengan
batas waktu yang telah ditentukan. Umumnya, batas waktu penyetoran adalah
tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir . Proses
penyetoran seringkali melibatkan penggunaan kode billing yang
diterbitkan melalui sistem Direktorat Jenderal Pajak . Penyetoran yang
tepat waktu sangat penting untuk menghindari sanksi dan memastikan aliran
pendapatan negara .
- Pelaporan
Pajak: Pihak
pemotong atau pemungut juga memiliki kewajiban untuk melaporkan pajak yang
telah dipotong atau dipungut melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa sesuai
dengan batas waktu yang berlaku, umumnya tanggal 20 bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir . Pelaporan ini sering dilakukan secara
elektronik melalui sistem e-Filing atau aplikasi khusus seperti e-Bupot
Unifikasi untuk PPh Pasal 23 . Selain itu, pihak pemotong atau pemungut
wajib menerbitkan bukti pemotongan atau pemungutan (bukti potong/pungut) kepada
pihak yang menerima penghasilan sebagai bukti transaksi pajak . Pelaporan
yang akurat dan tepat waktu penting untuk transparansi dan pengawasan
kepatuhan pajak .
Peraturan
Perundang-Undangan Terbaru terkait Sistem Pemotongan dan Pemungutan PPh
Sistem
pemotongan dan pemungutan PPh terus mengalami pembaruan melalui berbagai
peraturan perundang-undangan terbaru . Salah satu peraturan penting adalah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang
membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek perpajakan, termasuk PPh . UU
HPP memengaruhi tarif pajak penghasilan dan ketentuan lainnya yang relevan
dengan sistem pemotongan dan pemungutan.
Peraturan
terbaru lainnya yang sangat relevan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas
Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang
Pribadi . PP ini memperkenalkan skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk
pemotongan PPh Pasal 21 yang mulai berlaku pada 1 Januari 2024 . Tujuan dari
skema TER adalah untuk menyederhanakan perhitungan PPh Pasal 21 bulanan bagi
pemberi kerja .
Sebagai
tindak lanjut dari PP Nomor 58 Tahun 2023, diterbitkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak
atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Orang Pribadi
. PMK ini memberikan panduan teknis yang lebih rinci mengenai penerapan skema
TER dalam perhitungan dan pemotongan PPh Pasal 21 .
Perubahan-perubahan
regulasi ini secara signifikan memengaruhi mekanisme perhitungan dan pelaporan
PPh, terutama PPh Pasal 21 . Meskipun skema TER menyederhanakan perhitungan
bulanan, perhitungan PPh Pasal 21 tahunan tetap mengacu pada tarif progresif Pasal
17 UU PPh . Pembaruan peraturan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk terus
menyederhanakan dan memodernisasi sistem perpajakan di Indonesia, khususnya
dalam hal pemotongan dan pemungutan PPh .
Kesimpulan
Sistem
pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) memainkan peran yang sangat
vital dalam administrasi perpajakan di Indonesia. Melalui mekanisme ini,
sebagian besar pendapatan PPh berhasil dikumpulkan secara efisien dari berbagai
sumber penghasilan. Pemahaman yang mendalam mengenai konsep dasar, jenis-jenis
PPh yang terlibat (terutama Pasal 21, 22, 23, dan 4 ayat 2), mekanisme
pelaksanaan untuk masing-masing pasal, serta kewajiban pihak-pihak yang
melakukan pemotongan dan pemungutan, sangat penting bagi wajib pajak maupun
pihak-pihak yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut.
Kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan adalah kunci utama dalam
menjalankan sistem ini dengan baik. Peraturan terbaru seperti UU HPP, PP Nomor
58 Tahun 2023, dan PMK Nomor 168 Tahun 2023 menunjukkan adanya upaya
berkelanjutan dari pemerintah untuk menyederhanakan dan memodernisasi sistem
PPh, khususnya dalam hal pemotongan PPh Pasal 21 melalui skema TER. Namun,
mengingat dinamika peraturan perpajakan, semua pihak yang terlibat perlu terus
memperbarui pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap ketentuan-ketentuan
terbaru untuk memastikan kepatuhan yang berkelanjutan dan menghindari potensi
sanksi. Dengan demikian, sistem pemotongan dan pemungutan PPh dapat terus
berkontribusi secara optimal terhadap penerimaan negara dan pembangunan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar