1.
Pendahuluan
Pajak
penghasilan merupakan instrumen fiskal yang krusial bagi negara-negara modern,
berfungsi sebagai sumber utama pendapatan pemerintah untuk membiayai berbagai
pengeluaran publik dan program pembangunan. Di Indonesia, pemahaman mendalam
mengenai evolusi pajak penghasilan sangat penting untuk mengerti struktur,
tantangan, dan efektivitas sistem perpajakan yang berlaku saat ini.
Tulisan
ini bertujuan untuk menguraikan dan menjelaskan sejarah penerapan pajak
penghasilan di Indonesia, mulai dari masa diperkenalkannya pada era kolonial
Belanda hingga perkembangannya setelah kemerdekaan. Laporan ini akan menelusuri
berbagai aspek penting, termasuk sistem yang diterapkan pada masa kolonial,
perubahan dan perkembangan setelah kemerdekaan, undang-undang dan peraturan
terkait, reformasi signifikan, struktur sistem saat ini, pengaruh kondisi
ekonomi dan politik, serta analisis efektivitas dan tantangan implementasinya.
2.
Genealogi Pendahulu Pajak Penghasilan
Sebelum
diperkenalkannya pajak penghasilan dalam bentuk modern, wilayah Nusantara telah
mengenal berbagai sistem pemungutan sumber daya untuk mendukung kekuasaan. Pada
masa kerajaan dan kesultanan, dikenal konsep "upeti," yaitu
persembahan kepada raja atau sultan sebagai simbol penghormatan dan kepatuhan .
Upeti ini umumnya berupa hasil bumi, seperti padi, kelapa, dan ternak, yang
digunakan untuk kepentingan administrasi kerajaan, pembangunan infrastruktur,
serta penyelenggaraan acara-acara keagamaan . Meskipun berbeda dengan pajak
penghasilan dalam definisinya saat ini, sistem upeti ini merupakan bentuk awal
mobilisasi sumber daya oleh penguasa.
Memasuki
era kolonial, terutama dengan kedatangan Belanda, sistem perpajakan yang lebih
formal mulai diperkenalkan . Salah satu pajak pertama yang tercatat adalah
"Landrent" atau pajak bumi, yang dikenakan oleh pemerintah
kolonial Belanda pada awal abad ke-19 . Pajak ini mewajibkan penduduk pribumi
untuk membayar sejumlah uang kepada pemerintah kolonial atas kepemilikan dan
penggunaan tanah . Landrent menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi
pemerintah kolonial, namun sering kali dianggap tidak adil dan memberatkan
rakyat . Peralihan dari sistem upeti yang lebih bersifat simbolik ke pajak
tanah yang lebih sistematis menandai perkembangan awal perpajakan di Indonesia
sebelum munculnya pajak penghasilan.
3.
Pengenalan Pajak Penghasilan pada Masa Kolonial Belanda
Pajak
penghasilan dalam bentuk yang lebih mendekati konsep modern mulai diperkenalkan
pada masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1816, pemerintah kolonial
memberlakukan "huistaks" atau pajak rumah . Pajak ini dikenakan
sebagai sewa kepada mereka yang mendiami suatu wilayah atau tempat tertentu di
atas bumi, seperti sewa tanah dan bangunan, yang kini dikenal sebagai Pajak
Bumi dan Bangunan . Selain itu, antara tahun 1882 hingga 1916, terdapat pajak
pemungutan suara yang dipungut berdasarkan status pribadi, kepemilikan tempat
tinggal, dan tanah . Pajak-pajak awal ini menunjukkan upaya pemerintah kolonial
untuk mengenakan pungutan yang terkait dengan potensi ekonomi atau kepemilikan
aset.
Tonggak
penting dalam sejarah pajak penghasilan di Indonesia adalah pemberlakuan "Ordonantie
op de Inkomstenbelasting" (Ordonansi Pajak Penghasilan) pada tahun 1908
. Ordonansi ini dianggap sebagai pajak penghasilan formal pertama di Indonesia
. Tarif pajak yang dikenakan pada awalnya adalah sebesar 2% dari pendapatan .
Pemerintah kolonial juga mengeluarkan suplemen dan penjelasan terkait ordonansi
ini pada tahun-tahun berikutnya . Perkembangan selanjutnya adalah
dikeluarkannya "Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting"
(Ordonansi Pajak Penghasilan yang Direvisi) pada tahun 1920. Ordonansi
tahun 1920 ini memperkenalkan asas unikasi, yang berarti pemungutan pajak tidak
lagi didasarkan pada kebangsaan, serta asas worldwide income bagi wajib
pajak dalam negeri. Tarif pajak progresif mulai diterapkan untuk wajib pajak
orang pribadi, berkisar antara 1% hingga 25%, sementara tarif untuk perusahaan
ditetapkan sebesar 6% . Revisi lebih lanjut menghasilkan "Ordonantie op
de Herziene Inkomstenbelasting" tahun 1932 yang lebih fokus pada wajib
pajak orang pribadi dan memperkenalkan asas sumber, kriteria residensi, serta
batasan penghasilan tidak kena pajak .
Selain
pajak penghasilan untuk orang pribadi, pemerintah kolonial juga mengenakan
pajak atas badan usaha. Pada tahun 1925, "Ordonantie op de
Vennootschapbelasting" (Ordonansi Pajak Perseroan) diberlakukan .
Ordonansi ini secara khusus mengenakan pajak atas laba bersih perusahaan dengan
tarif sebesar 10% . Ordonansi Pajak Perseroan ini juga mengadopsi
prinsip-prinsip akuntansi modern dalam perhitungan laba . Selanjutnya, pada
tahun 1935, "Ordonansi Pajak Pajak Upah" (Ordonansi Pajak Upah)
mulai ditetapkan. Ordonansi ini mewajibkan para majikan untuk memotong pajak
dari upah atau gaji pegawai dengan tarif progresif dari 0% hingga 15% .
Sistem
perpajakan pada masa kolonial Belanda memiliki beberapa karakteristik penting.
Pada awalnya, terdapat perbedaan perlakuan pajak antara masyarakat Indonesia
dan Eropa, yang menunjukkan inkonsistensi dalam penerapan pajak . Tujuan utama
dari sistem perpajakan ini adalah untuk menghasilkan pendapatan bagi
administrasi kolonial. Seiring berjalannya waktu, beban pajak yang dikenakan
kepada penduduk Indonesia cenderung meningkat, terutama dengan adanya
sistem-sistem seperti Cultuurstelsel (tanam paksa), meskipun sistem ini
lebih berkaitan langsung dengan hasil pertanian . Perkembangan pajak
penghasilan pada masa kolonial menunjukkan evolusi pemikiran mengenai
sumber-sumber pendapatan yang dapat dikenakan pajak, dari kepemilikan properti hingga
pendapatan individu, laba perusahaan, dan upah. Pengenalan Ordonansi Pajak Upah
pada tahun 1935 juga merupakan bentuk awal dari sistem pemotongan pajak di
sumber, yang menjadi ciri khas sistem pajak penghasilan modern.
4.
Pajak Penghasilan pada Awal Kemerdekaan Indonesia (1945-1983)
Setelah
proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, pemerintah Indonesia mulai menata
sistem perpajakan negara. Pada masa awal kemerdekaan, beberapa peraturan pajak
peninggalan kolonial masih diadopsi, termasuk "Ordonansi Pajak
Pendapatan 1944" (Ordonansi Pajak Penghasilan Tahun 1944) . Pasal 23
Undang-Undang Dasar 1945 menjadi landasan konstitusional bagi perpajakan di
Indonesia, yang menyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan negara harus
berdasarkan undang-undang. Kementerian Keuangan dan Direktorat Pajak dibentuk
pada tanggal 19 Agustus 1945 sebagai bagian dari pemerintah yang bertugas
mengelola keuangan negara dan perpajakan. Namun, kondisi revolusi kemerdekaan
dan perpindahan ibu kota ke Yogyakarta menyebabkan pemerintah belum dapat
mengeluarkan undang-undang khusus tentang pajak, sehingga adopsi peraturan
kolonial menjadi solusi sementara . Sistem pemungutan pajak yang diwarisi dari
era kolonial adalah sistem official assessment, di mana fiskus
yang menetapkan besarnya pajak yang terutang.
Pemerintah
juga mengeluarkan beberapa undang-undang darurat terkait perpajakan, seperti Undang-Undang
Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi Pajak Penjualan. Pada
tahun 1957, Pajak Peralihan tahun 1957 diganti namanya menjadi Pajak Pendapatan
tahun 1944 (Ord. PPd. 1944) . Langkah penting menuju perubahan sistem
pemungutan pajak terjadi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967
dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 . Peraturan ini memperkenalkan
sistem self-assessment secara bertahap, yang dikenal dengan MPS
(Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain). Perubahan
ini didasari oleh evaluasi terhadap kegagalan sistem official assessment
yang dianggap kurang efektif . Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970 juga
dikeluarkan untuk mengubah dan menyempurnakan tata cara pemungutan Pajak
Pendapatan Tahun 1944, Pajak Bumi Milik Tahun 1932, dan Pajak Penghasilan Badan
Tahun 1925 . Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1970 juga merupakan amandemen
signifikan terhadap Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944 . Meskipun demikian,
beberapa peraturan pajak era kolonial, seperti Ordonansi Pajak Perseroan tahun
1925, masih berlaku hingga tahun 1983 . Masa awal kemerdekaan menunjukkan upaya
pemerintah untuk membangun sistem perpajakan sendiri, meskipun tantangan
politik dan ekonomi menyebabkan berlanjutnya penggunaan beberapa peraturan
warisan kolonial. Pengenalan sistem self-assessment pada akhir
periode ini menandai langkah maju dalam modernisasi sistem perpajakan
Indonesia.
5.
Reformasi Pajak 1983 yang Bersejarah
Tahun
1983 menjadi titik balik penting dalam sejarah perpajakan Indonesia dengan
dilakukannya reformasi pajak yang komprehensif. Reformasi ini dilatarbelakangi
oleh beberapa faktor krusial, salah satunya adalah penurunan pendapatan negara
dari sektor minyak dan gas bumi yang sebelumnya mendominasi penerimaan negara.
Pemerintah menyadari perlunya sumber pendapatan lain yang lebih stabil dan
mandiri untuk membiayai pembangunan nasional. Selain itu, peraturan perpajakan
yang berlaku saat itu, yang sebagian besar merupakan warisan kolonial, dianggap
sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan negara . Sistem
perpajakan yang ada juga dinilai terlalu rumit dengan berbagai jenis pajak dan
tarif yang berbeda .
Reformasi
pajak tahun 1983
menghasilkan beberapa undang-undang baru yang fundamental. Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
mengatur prinsip-prinsip dasar dan prosedur administrasi perpajakan. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) menggantikan
ordonansi-ordonansi pajak penghasilan sebelumnya dan menjadi dasar hukum utama
untuk pengenaan pajak penghasilan di Indonesia . Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (UU PPN) juga diperkenalkan sebagai bagian dari reformasi ini
. Selain itu, undang-undang terkait Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) dan
Bea Materai (UU BM) juga disahkan .
Salah
satu dampak paling signifikan dari reformasi tahun 1983 adalah perubahan sistem
pemungutan pajak dari official assessment menjadi self-assessment
. Dalam sistem self-assessment, wajib pajak diberikan tanggung
jawab penuh untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban
pajaknya. Reformasi ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi aktif wajib
pajak dalam pembiayaan negara dan menyederhanakan sistem perpajakan. Reformasi
pajak tahun 1983 merupakan langkah fundamental dalam membangun sistem
perpajakan yang lebih modern dan mandiri bagi Indonesia, melepaskan diri dari
ketergantungan pada sektor migas dan warisan peraturan kolonial.
6.
Evolusi Legislasi Pajak Penghasilan dan Reformasi Selanjutnya (1983-Sekarang)
Sejak
reformasi pajak tahun 1983, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan telah mengalami beberapa kali perubahan atau amandemen untuk
menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi, sosial, dan politik di Indonesia
serta praktik perpajakan internasional. Amandemen-amandemen ini mencerminkan
upaya berkelanjutan untuk meningkatkan efisiensi, keadilan, dan penerimaan
negara dari sektor pajak penghasilan.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1991 merupakan
amandemen pertama terhadap UU PPh tahun 1983 . Amandemen ini diikuti oleh Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1994 yang menjadi amandemen kedua, dengan fokus pada
penyempurnaan lebih lanjut peraturan pajak penghasilan. Perubahan signifikan
lainnya terjadi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yang
merupakan amandemen ketiga dan membawa perubahan substansial dalam sistem pajak
penghasilan . Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menjadi amandemen keempat yang
memperkenalkan modifikasi lebih lanjut terhadap tarif pajak, objek pajak, dan
prosedur perpajakan . Yang terbaru, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) juga memuat beberapa ketentuan baru
dan perubahan terkait pajak penghasilan .
Setiap
amandemen membawa perubahan spesifik dalam sistem pajak penghasilan. Misalnya,
perubahan tarif pajak untuk berbagai lapisan penghasilan, perluasan atau
penyempitan definisi objek pajak (seperti perlakuan terhadap natura atau
penghasilan dari sumber tertentu), penyesuaian tarif pajak untuk badan usaha,
serta perubahan dalam mekanisme administrasi seperti pelaporan dan pembayaran
pajak. Rationale di balik perubahan-perubahan ini sering kali terkait dengan
upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong investasi,
menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan, mengatasi celah-celah
penghindaran pajak, dan merespons perkembangan ekonomi global. Evolusi
legislasi pajak penghasilan sejak tahun 1983 menunjukkan komitmen pemerintah
Indonesia untuk terus menyempurnakan sistem perpajakannya agar lebih efektif
dan responsif terhadap dinamika ekonomi dan kebutuhan pembangunan nasional.
7.
Struktur dan Karakteristik Utama Sistem Pajak Penghasilan Indonesia Saat Ini
Sistem
pajak penghasilan yang berlaku di Indonesia saat ini memiliki beberapa
karakteristik dan struktur utama. Subjek pajak penghasilan dibedakan menjadi
dua kategori utama: wajib pajak orang pribadi (individu) dan wajib pajak badan
(perusahaan atau organisasi) . Selain itu, terdapat juga perlakuan pajak untuk
entitas lain seperti persekutuan dan bentuk usaha tetap. Objek pajak
penghasilan meliputi berbagai sumber penghasilan yang diterima atau diperoleh
wajib pajak dalam suatu tahun pajak, termasuk penghasilan dari pekerjaan (gaji,
upah, tunjangan), keuntungan usaha, penghasilan dari modal (bunga, dividen,
royalti), dan penghasilan lain-lain . Beberapa jenis penghasilan tertentu
dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh Final), seperti bunga deposito
dan keuntungan dari pengalihan aset tertentu . Terdapat juga jenis penghasilan
yang dikecualikan dari objek pajak, seperti bantuan atau sumbangan tertentu,
warisan, dan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dengan batasan tertentu
.
Struktur
tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi saat ini menggunakan
tarif progresif, di mana tarif pajak meningkat seiring dengan meningkatnya Penghasilan
Kena Pajak (PKP). Lapisan PKP dan tarifnya saat ini adalah: hingga
Rp60.000.000 (5%), di atas Rp60.000.000 hingga Rp250.000.000 (15%), di atas
Rp250.000.000 hingga Rp500.000.000 (25%), di atas Rp500.000.000 hingga
Rp5.000.000.000 (30%), dan di atas Rp5.000.000.000 (35%) . Untuk wajib pajak
badan, saat ini berlaku tarif pajak penghasilan sebesar 22% .
Mekanisme
pemotongan pajak di sumber (withholding tax) juga merupakan bagian
penting dari sistem pajak penghasilan di Indonesia. PPh Pasal 21 diterapkan
untuk penghasilan yang diterima pegawai, PPh Pasal 23 untuk penghasilan dari
modal dan jasa, dan lain-lain . Sistem pemungutan pajak di Indonesia didominasi
oleh sistem self-assessment, di mana wajib pajak bertanggung jawab untuk
menghitung dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya . Meskipun demikian,
otoritas pajak berhak melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan
pajak jika ditemukan ketidaksesuaian. Struktur dan karakteristik sistem pajak
penghasilan Indonesia saat ini dirancang untuk mencapai keseimbangan antara
keadilan, efisiensi, dan kemudahan administrasi, sambil terus beradaptasi
dengan perkembangan ekonomi dan kebutuhan negara.
8.
Pengaruh Kondisi Ekonomi dan Politik terhadap Perkembangan Sistem Pajak
Penghasilan
Perkembangan
sistem pajak penghasilan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kondisi
ekonomi dan politik yang berlaku dari waktu ke waktu. Pertumbuhan ekonomi
dan terjadinya krisis ekonomi memiliki dampak langsung terhadap kebijakan pajak.
Pada masa pertumbuhan ekonomi yang kuat, pemerintah mungkin melakukan
penyesuaian tarif pajak atau memperluas basis pajak untuk meningkatkan
penerimaan negara . Sebaliknya, saat terjadi krisis ekonomi, pemerintah dapat
memberikan insentif pajak atau relaksasi untuk mendorong aktivitas ekonomi dan
membantu masyarakat yang terdampak .
Perubahan
rezim politik dan prioritas kebijakan pemerintah juga sangat memengaruhi
legislasi dan penegakan hukum pajak
. Setiap pemerintahan mungkin memiliki pandangan yang berbeda mengenai peran
pajak dalam perekonomian dan bagaimana sistem pajak harus dirancang untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu, seperti pertumbuhan ekonomi, pemerataan
pendapatan, atau stabilitas fiskal . Partai politik juga memainkan peran
penting dalam membentuk kebijakan pajak melalui platform mereka dan pengaruh
mereka di lembaga legislatif .
Selain
itu, isu mengenai koneksi politik dan praktik lobi juga dapat memengaruhi
kebijakan dan implementasi pajak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
perusahaan dengan koneksi politik mungkin mendapatkan perlakuan pajak yang
berbeda atau lebih agresif dalam perencanaan pajaknya . Namun, dampak koneksi
politik terhadap penghindaran pajak masih menjadi topik penelitian yang
beragam, dengan hasil yang bervariasi antara studi yang satu dengan yang lain .
Interaksi antara kondisi ekonomi dan politik secara berkelanjutan membentuk
arah perkembangan sistem pajak penghasilan di Indonesia, mencerminkan respons
pemerintah terhadap tantangan dan peluang yang ada.
9.
Analisis Efektivitas dan Tantangan dalam Penerapan Pajak Penghasilan
Pajak
penghasilan telah menjadi sumber pendapatan yang krusial bagi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia . Kontribusi pajak penghasilan
terhadap total penerimaan negara menunjukkan tren yang fluktuatif seiring
dengan perkembangan ekonomi dan kebijakan perpajakan . Meskipun demikian,
efektivitas implementasi pajak penghasilan di Indonesia masih menghadapi
berbagai tantangan.
Salah
satu tantangan utama adalah tingkat kepatuhan wajib pajak yang belum optimal . Praktik
penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion)
masih menjadi isu yang signifikan, mengurangi potensi penerimaan negara .
Faktor-faktor seperti besarnya sektor informal, kompleksitas peraturan
perpajakan, dan potensi kelemahan dalam penegakan hukum berkontribusi terhadap
tantangan ini . Selain itu, ketidakpastian hukum akibat seringnya perubahan
peraturan dan interpretasi yang ambigu juga menyulitkan wajib pajak dalam
memahami dan mematuhi kewajiban perpajakannya . Beban administrasi bagi wajib
pajak dan otoritas pajak juga menjadi pertimbangan penting dalam efektivitas
sistem pajak penghasilan .
Globalisasi
dan perkembangan ekonomi digital juga menghadirkan tantangan baru dalam
perpajakan penghasilan, terutama terkait dengan transaksi lintas negara dan
penghasilan yang dihasilkan dari platform digital. Pemerintah Indonesia terus
berupaya melakukan reformasi untuk meningkatkan efektivitas sistem pajak
penghasilan dan mengatasi tantangan-tantangan yang ada . Inisiatif seperti
modernisasi administrasi perpajakan melalui teknologi dan digitalisasi, peningkatan
pengawasan dan penegakan hukum, serta upaya meningkatkan kesadaran dan
kepatuhan wajib pajak terus dilakukan .
10.
Kesimpulan: Perspektif Historis Pajak Penghasilan Indonesia dan Arah Masa Depan
Sejarah
pajak penghasilan di Indonesia merupakan perjalanan panjang yang mencerminkan
dinamika ekonomi, politik, dan sosial bangsa. Dari akar kolonialnya hingga
menjadi pilar utama pendapatan negara, sistem pajak penghasilan telah mengalami
transformasi signifikan melalui berbagai undang-undang dan reformasi. Kondisi
ekonomi dan politik secara berkelanjutan memengaruhi perkembangan sistem ini,
mendorong perubahan kebijakan dan administrasi untuk merespons tantangan dan
memanfaatkan peluang yang ada.
Meskipun
pajak penghasilan telah menjadi sumber pendapatan yang vital, implementasinya
masih dihadapkan pada tantangan seperti kepatuhan wajib pajak, penghindaran
pajak, kompleksitas administrasi, dan isu-isu yang timbul dari globalisasi dan
ekonomi digital. Upaya reformasi yang berkelanjutan, termasuk pemanfaatan
teknologi dan peningkatan kesadaran pajak, akan terus menjadi kunci untuk
meningkatkan efektivitas dan keadilan sistem pajak penghasilan di Indonesia di
masa depan. Memahami lintasan sejarah ini memberikan perspektif yang berharga
untuk merancang kebijakan pajak yang lebih baik dan memastikan kontribusi pajak
penghasilan yang optimal bagi pembangunan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar