Rabu, 26 Maret 2025

Sejarah dan Perkembangan Pajak Penghasilan di Indonesia

 

1. Pendahuluan

Pajak penghasilan merupakan instrumen fiskal yang krusial bagi negara-negara modern, berfungsi sebagai sumber utama pendapatan pemerintah untuk membiayai berbagai pengeluaran publik dan program pembangunan. Di Indonesia, pemahaman mendalam mengenai evolusi pajak penghasilan sangat penting untuk mengerti struktur, tantangan, dan efektivitas sistem perpajakan yang berlaku saat ini.

Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan dan menjelaskan sejarah penerapan pajak penghasilan di Indonesia, mulai dari masa diperkenalkannya pada era kolonial Belanda hingga perkembangannya setelah kemerdekaan. Laporan ini akan menelusuri berbagai aspek penting, termasuk sistem yang diterapkan pada masa kolonial, perubahan dan perkembangan setelah kemerdekaan, undang-undang dan peraturan terkait, reformasi signifikan, struktur sistem saat ini, pengaruh kondisi ekonomi dan politik, serta analisis efektivitas dan tantangan implementasinya.

2. Genealogi Pendahulu Pajak Penghasilan

Sebelum diperkenalkannya pajak penghasilan dalam bentuk modern, wilayah Nusantara telah mengenal berbagai sistem pemungutan sumber daya untuk mendukung kekuasaan. Pada masa kerajaan dan kesultanan, dikenal konsep "upeti," yaitu persembahan kepada raja atau sultan sebagai simbol penghormatan dan kepatuhan . Upeti ini umumnya berupa hasil bumi, seperti padi, kelapa, dan ternak, yang digunakan untuk kepentingan administrasi kerajaan, pembangunan infrastruktur, serta penyelenggaraan acara-acara keagamaan . Meskipun berbeda dengan pajak penghasilan dalam definisinya saat ini, sistem upeti ini merupakan bentuk awal mobilisasi sumber daya oleh penguasa.  

Memasuki era kolonial, terutama dengan kedatangan Belanda, sistem perpajakan yang lebih formal mulai diperkenalkan . Salah satu pajak pertama yang tercatat adalah "Landrent" atau pajak bumi, yang dikenakan oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-19 . Pajak ini mewajibkan penduduk pribumi untuk membayar sejumlah uang kepada pemerintah kolonial atas kepemilikan dan penggunaan tanah . Landrent menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi pemerintah kolonial, namun sering kali dianggap tidak adil dan memberatkan rakyat . Peralihan dari sistem upeti yang lebih bersifat simbolik ke pajak tanah yang lebih sistematis menandai perkembangan awal perpajakan di Indonesia sebelum munculnya pajak penghasilan.  

3. Pengenalan Pajak Penghasilan pada Masa Kolonial Belanda

Pajak penghasilan dalam bentuk yang lebih mendekati konsep modern mulai diperkenalkan pada masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1816, pemerintah kolonial memberlakukan "huistaks" atau pajak rumah . Pajak ini dikenakan sebagai sewa kepada mereka yang mendiami suatu wilayah atau tempat tertentu di atas bumi, seperti sewa tanah dan bangunan, yang kini dikenal sebagai Pajak Bumi dan Bangunan . Selain itu, antara tahun 1882 hingga 1916, terdapat pajak pemungutan suara yang dipungut berdasarkan status pribadi, kepemilikan tempat tinggal, dan tanah . Pajak-pajak awal ini menunjukkan upaya pemerintah kolonial untuk mengenakan pungutan yang terkait dengan potensi ekonomi atau kepemilikan aset.  

Tonggak penting dalam sejarah pajak penghasilan di Indonesia adalah pemberlakuan "Ordonantie op de Inkomstenbelasting" (Ordonansi Pajak Penghasilan) pada tahun 1908 . Ordonansi ini dianggap sebagai pajak penghasilan formal pertama di Indonesia . Tarif pajak yang dikenakan pada awalnya adalah sebesar 2% dari pendapatan . Pemerintah kolonial juga mengeluarkan suplemen dan penjelasan terkait ordonansi ini pada tahun-tahun berikutnya . Perkembangan selanjutnya adalah dikeluarkannya "Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting" (Ordonansi Pajak Penghasilan yang Direvisi) pada tahun 1920. Ordonansi tahun 1920 ini memperkenalkan asas unikasi, yang berarti pemungutan pajak tidak lagi didasarkan pada kebangsaan, serta asas worldwide income bagi wajib pajak dalam negeri. Tarif pajak progresif mulai diterapkan untuk wajib pajak orang pribadi, berkisar antara 1% hingga 25%, sementara tarif untuk perusahaan ditetapkan sebesar 6% . Revisi lebih lanjut menghasilkan "Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting" tahun 1932 yang lebih fokus pada wajib pajak orang pribadi dan memperkenalkan asas sumber, kriteria residensi, serta batasan penghasilan tidak kena pajak .  

Selain pajak penghasilan untuk orang pribadi, pemerintah kolonial juga mengenakan pajak atas badan usaha. Pada tahun 1925, "Ordonantie op de Vennootschapbelasting" (Ordonansi Pajak Perseroan) diberlakukan . Ordonansi ini secara khusus mengenakan pajak atas laba bersih perusahaan dengan tarif sebesar 10% . Ordonansi Pajak Perseroan ini juga mengadopsi prinsip-prinsip akuntansi modern dalam perhitungan laba . Selanjutnya, pada tahun 1935, "Ordonansi Pajak Pajak Upah" (Ordonansi Pajak Upah) mulai ditetapkan. Ordonansi ini mewajibkan para majikan untuk memotong pajak dari upah atau gaji pegawai dengan tarif progresif dari 0% hingga 15% .  

Sistem perpajakan pada masa kolonial Belanda memiliki beberapa karakteristik penting. Pada awalnya, terdapat perbedaan perlakuan pajak antara masyarakat Indonesia dan Eropa, yang menunjukkan inkonsistensi dalam penerapan pajak . Tujuan utama dari sistem perpajakan ini adalah untuk menghasilkan pendapatan bagi administrasi kolonial. Seiring berjalannya waktu, beban pajak yang dikenakan kepada penduduk Indonesia cenderung meningkat, terutama dengan adanya sistem-sistem seperti Cultuurstelsel (tanam paksa), meskipun sistem ini lebih berkaitan langsung dengan hasil pertanian . Perkembangan pajak penghasilan pada masa kolonial menunjukkan evolusi pemikiran mengenai sumber-sumber pendapatan yang dapat dikenakan pajak, dari kepemilikan properti hingga pendapatan individu, laba perusahaan, dan upah. Pengenalan Ordonansi Pajak Upah pada tahun 1935 juga merupakan bentuk awal dari sistem pemotongan pajak di sumber, yang menjadi ciri khas sistem pajak penghasilan modern.  

4. Pajak Penghasilan pada Awal Kemerdekaan Indonesia (1945-1983)

Setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, pemerintah Indonesia mulai menata sistem perpajakan negara. Pada masa awal kemerdekaan, beberapa peraturan pajak peninggalan kolonial masih diadopsi, termasuk "Ordonansi Pajak Pendapatan 1944" (Ordonansi Pajak Penghasilan Tahun 1944) . Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 menjadi landasan konstitusional bagi perpajakan di Indonesia, yang menyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-undang. Kementerian Keuangan dan Direktorat Pajak dibentuk pada tanggal 19 Agustus 1945 sebagai bagian dari pemerintah yang bertugas mengelola keuangan negara dan perpajakan. Namun, kondisi revolusi kemerdekaan dan perpindahan ibu kota ke Yogyakarta menyebabkan pemerintah belum dapat mengeluarkan undang-undang khusus tentang pajak, sehingga adopsi peraturan kolonial menjadi solusi sementara . Sistem pemungutan pajak yang diwarisi dari era kolonial adalah sistem official assessment, di mana fiskus yang menetapkan besarnya pajak yang terutang.  

Pemerintah juga mengeluarkan beberapa undang-undang darurat terkait perpajakan, seperti Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi Pajak Penjualan. Pada tahun 1957, Pajak Peralihan tahun 1957 diganti namanya menjadi Pajak Pendapatan tahun 1944 (Ord. PPd. 1944) . Langkah penting menuju perubahan sistem pemungutan pajak terjadi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 . Peraturan ini memperkenalkan sistem self-assessment secara bertahap, yang dikenal dengan MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang Lain). Perubahan ini didasari oleh evaluasi terhadap kegagalan sistem official assessment yang dianggap kurang efektif . Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970 juga dikeluarkan untuk mengubah dan menyempurnakan tata cara pemungutan Pajak Pendapatan Tahun 1944, Pajak Bumi Milik Tahun 1932, dan Pajak Penghasilan Badan Tahun 1925 . Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1970 juga merupakan amandemen signifikan terhadap Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944 . Meskipun demikian, beberapa peraturan pajak era kolonial, seperti Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925, masih berlaku hingga tahun 1983 . Masa awal kemerdekaan menunjukkan upaya pemerintah untuk membangun sistem perpajakan sendiri, meskipun tantangan politik dan ekonomi menyebabkan berlanjutnya penggunaan beberapa peraturan warisan kolonial. Pengenalan sistem self-assessment pada akhir periode ini menandai langkah maju dalam modernisasi sistem perpajakan Indonesia.  

5. Reformasi Pajak 1983 yang Bersejarah

Tahun 1983 menjadi titik balik penting dalam sejarah perpajakan Indonesia dengan dilakukannya reformasi pajak yang komprehensif. Reformasi ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor krusial, salah satunya adalah penurunan pendapatan negara dari sektor minyak dan gas bumi yang sebelumnya mendominasi penerimaan negara. Pemerintah menyadari perlunya sumber pendapatan lain yang lebih stabil dan mandiri untuk membiayai pembangunan nasional. Selain itu, peraturan perpajakan yang berlaku saat itu, yang sebagian besar merupakan warisan kolonial, dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan negara . Sistem perpajakan yang ada juga dinilai terlalu rumit dengan berbagai jenis pajak dan tarif yang berbeda .  

Reformasi pajak tahun 1983 menghasilkan beberapa undang-undang baru yang fundamental. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) mengatur prinsip-prinsip dasar dan prosedur administrasi perpajakan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) menggantikan ordonansi-ordonansi pajak penghasilan sebelumnya dan menjadi dasar hukum utama untuk pengenaan pajak penghasilan di Indonesia . Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) juga diperkenalkan sebagai bagian dari reformasi ini . Selain itu, undang-undang terkait Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB) dan Bea Materai (UU BM) juga disahkan .  

Salah satu dampak paling signifikan dari reformasi tahun 1983 adalah perubahan sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self-assessment . Dalam sistem self-assessment, wajib pajak diberikan tanggung jawab penuh untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya. Reformasi ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi aktif wajib pajak dalam pembiayaan negara dan menyederhanakan sistem perpajakan. Reformasi pajak tahun 1983 merupakan langkah fundamental dalam membangun sistem perpajakan yang lebih modern dan mandiri bagi Indonesia, melepaskan diri dari ketergantungan pada sektor migas dan warisan peraturan kolonial.  

6. Evolusi Legislasi Pajak Penghasilan dan Reformasi Selanjutnya (1983-Sekarang)

Sejak reformasi pajak tahun 1983, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah mengalami beberapa kali perubahan atau amandemen untuk menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi, sosial, dan politik di Indonesia serta praktik perpajakan internasional. Amandemen-amandemen ini mencerminkan upaya berkelanjutan untuk meningkatkan efisiensi, keadilan, dan penerimaan negara dari sektor pajak penghasilan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 merupakan amandemen pertama terhadap UU PPh tahun 1983 . Amandemen ini diikuti oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 yang menjadi amandemen kedua, dengan fokus pada penyempurnaan lebih lanjut peraturan pajak penghasilan. Perubahan signifikan lainnya terjadi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yang merupakan amandemen ketiga dan membawa perubahan substansial dalam sistem pajak penghasilan . Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menjadi amandemen keempat yang memperkenalkan modifikasi lebih lanjut terhadap tarif pajak, objek pajak, dan prosedur perpajakan . Yang terbaru, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) juga memuat beberapa ketentuan baru dan perubahan terkait pajak penghasilan .  

Setiap amandemen membawa perubahan spesifik dalam sistem pajak penghasilan. Misalnya, perubahan tarif pajak untuk berbagai lapisan penghasilan, perluasan atau penyempitan definisi objek pajak (seperti perlakuan terhadap natura atau penghasilan dari sumber tertentu), penyesuaian tarif pajak untuk badan usaha, serta perubahan dalam mekanisme administrasi seperti pelaporan dan pembayaran pajak. Rationale di balik perubahan-perubahan ini sering kali terkait dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong investasi, menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan, mengatasi celah-celah penghindaran pajak, dan merespons perkembangan ekonomi global. Evolusi legislasi pajak penghasilan sejak tahun 1983 menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk terus menyempurnakan sistem perpajakannya agar lebih efektif dan responsif terhadap dinamika ekonomi dan kebutuhan pembangunan nasional.  

7. Struktur dan Karakteristik Utama Sistem Pajak Penghasilan Indonesia Saat Ini

Sistem pajak penghasilan yang berlaku di Indonesia saat ini memiliki beberapa karakteristik dan struktur utama. Subjek pajak penghasilan dibedakan menjadi dua kategori utama: wajib pajak orang pribadi (individu) dan wajib pajak badan (perusahaan atau organisasi) . Selain itu, terdapat juga perlakuan pajak untuk entitas lain seperti persekutuan dan bentuk usaha tetap. Objek pajak penghasilan meliputi berbagai sumber penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam suatu tahun pajak, termasuk penghasilan dari pekerjaan (gaji, upah, tunjangan), keuntungan usaha, penghasilan dari modal (bunga, dividen, royalti), dan penghasilan lain-lain . Beberapa jenis penghasilan tertentu dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh Final), seperti bunga deposito dan keuntungan dari pengalihan aset tertentu . Terdapat juga jenis penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak, seperti bantuan atau sumbangan tertentu, warisan, dan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dengan batasan tertentu .  

Struktur tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi saat ini menggunakan tarif progresif, di mana tarif pajak meningkat seiring dengan meningkatnya Penghasilan Kena Pajak (PKP). Lapisan PKP dan tarifnya saat ini adalah: hingga Rp60.000.000 (5%), di atas Rp60.000.000 hingga Rp250.000.000 (15%), di atas Rp250.000.000 hingga Rp500.000.000 (25%), di atas Rp500.000.000 hingga Rp5.000.000.000 (30%), dan di atas Rp5.000.000.000 (35%) . Untuk wajib pajak badan, saat ini berlaku tarif pajak penghasilan sebesar 22% .  

Mekanisme pemotongan pajak di sumber (withholding tax) juga merupakan bagian penting dari sistem pajak penghasilan di Indonesia. PPh Pasal 21 diterapkan untuk penghasilan yang diterima pegawai, PPh Pasal 23 untuk penghasilan dari modal dan jasa, dan lain-lain . Sistem pemungutan pajak di Indonesia didominasi oleh sistem self-assessment, di mana wajib pajak bertanggung jawab untuk menghitung dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya . Meskipun demikian, otoritas pajak berhak melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak jika ditemukan ketidaksesuaian. Struktur dan karakteristik sistem pajak penghasilan Indonesia saat ini dirancang untuk mencapai keseimbangan antara keadilan, efisiensi, dan kemudahan administrasi, sambil terus beradaptasi dengan perkembangan ekonomi dan kebutuhan negara.  

8. Pengaruh Kondisi Ekonomi dan Politik terhadap Perkembangan Sistem Pajak Penghasilan

Perkembangan sistem pajak penghasilan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kondisi ekonomi dan politik yang berlaku dari waktu ke waktu. Pertumbuhan ekonomi dan terjadinya krisis ekonomi memiliki dampak langsung terhadap kebijakan pajak. Pada masa pertumbuhan ekonomi yang kuat, pemerintah mungkin melakukan penyesuaian tarif pajak atau memperluas basis pajak untuk meningkatkan penerimaan negara . Sebaliknya, saat terjadi krisis ekonomi, pemerintah dapat memberikan insentif pajak atau relaksasi untuk mendorong aktivitas ekonomi dan membantu masyarakat yang terdampak .  

Perubahan rezim politik dan prioritas kebijakan pemerintah juga sangat memengaruhi legislasi dan penegakan hukum pajak . Setiap pemerintahan mungkin memiliki pandangan yang berbeda mengenai peran pajak dalam perekonomian dan bagaimana sistem pajak harus dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, seperti pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, atau stabilitas fiskal . Partai politik juga memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan pajak melalui platform mereka dan pengaruh mereka di lembaga legislatif .  

Selain itu, isu mengenai koneksi politik dan praktik lobi juga dapat memengaruhi kebijakan dan implementasi pajak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perusahaan dengan koneksi politik mungkin mendapatkan perlakuan pajak yang berbeda atau lebih agresif dalam perencanaan pajaknya . Namun, dampak koneksi politik terhadap penghindaran pajak masih menjadi topik penelitian yang beragam, dengan hasil yang bervariasi antara studi yang satu dengan yang lain . Interaksi antara kondisi ekonomi dan politik secara berkelanjutan membentuk arah perkembangan sistem pajak penghasilan di Indonesia, mencerminkan respons pemerintah terhadap tantangan dan peluang yang ada.  

9. Analisis Efektivitas dan Tantangan dalam Penerapan Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan telah menjadi sumber pendapatan yang krusial bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia . Kontribusi pajak penghasilan terhadap total penerimaan negara menunjukkan tren yang fluktuatif seiring dengan perkembangan ekonomi dan kebijakan perpajakan . Meskipun demikian, efektivitas implementasi pajak penghasilan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan.  

Salah satu tantangan utama adalah tingkat kepatuhan wajib pajak yang belum optimal . Praktik penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak (tax evasion) masih menjadi isu yang signifikan, mengurangi potensi penerimaan negara . Faktor-faktor seperti besarnya sektor informal, kompleksitas peraturan perpajakan, dan potensi kelemahan dalam penegakan hukum berkontribusi terhadap tantangan ini . Selain itu, ketidakpastian hukum akibat seringnya perubahan peraturan dan interpretasi yang ambigu juga menyulitkan wajib pajak dalam memahami dan mematuhi kewajiban perpajakannya . Beban administrasi bagi wajib pajak dan otoritas pajak juga menjadi pertimbangan penting dalam efektivitas sistem pajak penghasilan .  

Globalisasi dan perkembangan ekonomi digital juga menghadirkan tantangan baru dalam perpajakan penghasilan, terutama terkait dengan transaksi lintas negara dan penghasilan yang dihasilkan dari platform digital. Pemerintah Indonesia terus berupaya melakukan reformasi untuk meningkatkan efektivitas sistem pajak penghasilan dan mengatasi tantangan-tantangan yang ada . Inisiatif seperti modernisasi administrasi perpajakan melalui teknologi dan digitalisasi, peningkatan pengawasan dan penegakan hukum, serta upaya meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib pajak terus dilakukan .  

10. Kesimpulan: Perspektif Historis Pajak Penghasilan Indonesia dan Arah Masa Depan

Sejarah pajak penghasilan di Indonesia merupakan perjalanan panjang yang mencerminkan dinamika ekonomi, politik, dan sosial bangsa. Dari akar kolonialnya hingga menjadi pilar utama pendapatan negara, sistem pajak penghasilan telah mengalami transformasi signifikan melalui berbagai undang-undang dan reformasi. Kondisi ekonomi dan politik secara berkelanjutan memengaruhi perkembangan sistem ini, mendorong perubahan kebijakan dan administrasi untuk merespons tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada.

Meskipun pajak penghasilan telah menjadi sumber pendapatan yang vital, implementasinya masih dihadapkan pada tantangan seperti kepatuhan wajib pajak, penghindaran pajak, kompleksitas administrasi, dan isu-isu yang timbul dari globalisasi dan ekonomi digital. Upaya reformasi yang berkelanjutan, termasuk pemanfaatan teknologi dan peningkatan kesadaran pajak, akan terus menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas dan keadilan sistem pajak penghasilan di Indonesia di masa depan. Memahami lintasan sejarah ini memberikan perspektif yang berharga untuk merancang kebijakan pajak yang lebih baik dan memastikan kontribusi pajak penghasilan yang optimal bagi pembangunan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Tax Ratio Indonesia Rendah

Pendahuluan: Memahami Rasio Pajak Bagian ini memperkenalkan ko...