Jumat, 16 Mei 2025

PPN Besaran Tertentu atas Penyerahan Aset Kripto di Indonesia

 1. Pendahuluan: Konsep PPN Besaran Tertentu dan Relevansinya dengan Aset Kripto

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan salah satu pilar utama dalam sistem perpajakan Indonesia, dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean. Sebagai pajak tidak langsung, beban PPN pada akhirnya ditanggung oleh konsumen akhir, meskipun pemungutan, penyetoran, dan pelaporannya menjadi kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam konteks PPN, terdapat berbagai mekanisme pengenaan, salah satunya adalah PPN dengan besaran tertentu.

Mekanisme PPN Besaran Tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 9A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), merupakan sebuah pendekatan khusus dalam pemungutan PPN yang ditujukan bagi PKP dengan karakteristik tertentu, seperti memiliki peredaran usaha yang tidak melebihi jumlah tertentu dalam satu tahun buku, melakukan kegiatan usaha tertentu, atau melakukan penyerahan BKP tertentu dan/atau JKP tertentu. Tujuan dari penerapan mekanisme ini beragam, mulai dari penyederhanaan administrasi perpajakan, optimalisasi potensi penerimaan negara, hingga penyesuaian dengan karakteristik khusus dari objek pajak yang bersangkutan. Kemudahan administrasi menjadi salah satu pertimbangan utama, mengingat kompleksitas yang mungkin timbul jika mekanisme PPN umum diterapkan pada seluruh jenis transaksi dan pelaku usaha.  

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan pesat aset kripto telah menarik perhatian regulator perpajakan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Awalnya, aset kripto diklasifikasikan sebagai komoditas berupa barang tidak berwujud yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka. Konsekuensi dari klasifikasi ini adalah penyerahan aset kripto dianggap sebagai penyerahan BKP Tidak Berwujud, yang secara inheren masuk dalam lingkup objek PPN. Pemerintah Indonesia memandang pengenaan pajak atas transaksi aset kripto memiliki beberapa tujuan strategis. Di antaranya adalah untuk meningkatkan kepastian hukum dengan menyediakan kerangka regulasi yang jelas bagi para pelaku pasar aset digital, yang pada gilirannya diharapkan dapat mengurangi risiko aktivitas ilegal. Selain itu, dengan volume transaksi aset kripto yang signifikan, pengenaan pajak ini juga bertujuan untuk memperluas basis penerimaan negara. Data menunjukkan bahwa nilai transaksi aset kripto di Indonesia sepanjang Januari hingga September 2024 telah mencapai Rp426,69 triliun, sebuah angka yang mengindikasikan potensi besar bagi penerimaan negara dari sektor ekonomi digital ini.  

Penerapan PPN dengan besaran tertentu pada transaksi aset kripto dapat dilihat sebagai upaya pemerintah untuk menyeimbangkan antara potensi penerimaan negara yang besar dari sektor yang sedang berkembang ini dengan kebutuhan akan kemudahan administrasi perpajakan. Aset kripto, sebagai fenomena yang relatif baru dengan karakteristik unik seperti volatilitas harga yang tinggi dan kompleksitas jenis transaksi (misalnya, swap antar aset kripto), mungkin akan menghadapi kesulitan jika mekanisme PPN umum diterapkan secara kaku. Mekanisme PPN besaran tertentu menawarkan penyederhanaan dalam penghitungan dan pemungutan, yang bisa jadi lebih sesuai untuk industri aset kripto. Keputusan awal untuk mengenakan PPN atas aset kripto sebagai komoditas juga menunjukkan adaptasi sistem perpajakan terhadap inovasi digital, meskipun klasifikasi ini kemudian berkembang seiring dengan peralihan pengawasan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Mengingat dinamika regulasi yang terus berkembang, termasuk perubahan signifikan dalam pengawasan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK dan reklasifikasinya sebagai aset keuangan digital, analisis yuridis yang mendalam dan komprehensif mengenai mekanisme PPN besaran tertentu atas aset kripto menjadi sangat krusial. Laporan ini bertujuan untuk menguraikan secara detail dasar hukum, mekanisme pengenaan, serta implikasi dari perkembangan regulasi terkini terhadap PPN atas penyerahan aset kripto di Indonesia.

2. Dasar Hukum Pengenaan PPN Besaran Tertentu atas Aset Kripto di Indonesia

Pengenaan PPN dengan besaran tertentu atas transaksi aset kripto di Indonesia dilandasi oleh beberapa peraturan perundang-undangan, yang telah mengalami evolusi seiring dengan perkembangan industri dan kebijakan perpajakan.

Dasar hukum utama yang memberikan kewenangan untuk menerapkan PPN dengan besaran tertentu adalah Pasal 9A UU PPN. Pasal ini secara eksplisit menyatakan bahwa PPN dapat dipungut dan disetor dengan besaran tertentu atas penyerahan BKP tertentu dan/atau JKP tertentu. Lebih lanjut, pasal ini memberikan mandat kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan jenis BKP dan/atau JKP serta besaran PPN yang dipungut dan disetor tersebut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).  

Implementasi PPN atas aset kripto secara spesifik diatur melalui serangkaian PMK, yang mencerminkan respons pemerintah terhadap perkembangan pasar aset kripto:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 (PMK 68/2022): Peraturan ini menjadi tonggak awal pengaturan PPN (dan PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto di Indonesia, yang mulai berlaku efektif sejak 1 Mei 2022. PMK 68/2022 secara tegas mengklasifikasikan aset kripto sebagai Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud yang atas penyerahannya dikenai PPN. Lebih lanjut, peraturan ini menetapkan mekanisme PPN dengan besaran tertentu, yaitu sebesar 1% (satu persen) dari tarif PPN dikali dengan nilai transaksi aset kripto, jika Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) merupakan Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang terdaftar. Apabila PPMSE bukan merupakan PFAK, tarifnya menjadi 2% (dua persen) dari tarif PPN dikalikan dengan nilai transaksi aset kripto. Pada saat itu, tarif PPN umum yang berlaku adalah 11%, sehingga tarif efektif PPN atas transaksi aset kripto menjadi 0,11% atau 0,22%.  
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK 81/2024): Peraturan ini diterbitkan dalam rangka pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP atau Coretax System) dan secara resmi mencabut beberapa PMK sebelumnya, termasuk PMK 68/2022. Meskipun mencabut PMK 68/2022, penting untuk dicatat bahwa PMK 81/2024 tidak mengubah ketentuan mengenai penghitungan besaran tertentu PPN yang telah diatur dalam PMK yang dicabut tersebut, termasuk untuk aset kripto. Fokus utama PMK 81/2024 lebih kepada penyesuaian prosedur dan administrasi perpajakan agar selaras dengan sistem baru, bukan pada perubahan substansi kebijakan material PPN kripto yang telah ada. Salah satu perubahan prosedural yang relevan adalah terkait batas waktu penyetoran dan pelaporan PPN aset kripto, yang berlaku mulai 1 Januari 2025. Pencabutan PMK 68/2022 oleh PMK 81/2024, tanpa mengubah esensi perhitungan PPN besaran tertentu untuk kripto, mengindikasikan bahwa kebijakan tarif PPN kripto yang ada dianggap sudah cukup mapan, namun memerlukan integrasi ke dalam kerangka regulasi yang lebih luas dan sistem administrasi yang lebih modern.  
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 (PMK 11/2025): Diundangkan pada 14 Februari 2025 namun berlaku efektif mulai 1 Januari 2025, PMK ini sering disebut sebagai "Omnibus PMK" karena mengubah beberapa PMK yang mengatur tentang PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain dan PPN Besaran Tertentu, termasuk yang berkaitan dengan aset kripto. Tujuan utama penerbitan PMK 11/2025 adalah untuk menjaga agar besaran PPN yang dipungut secara efektif atas penyerahan tertentu, termasuk aset kripto, tidak mengalami perubahan meskipun terjadi kenaikan tarif PPN umum dari 11% menjadi 12% yang berlaku mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Untuk mencapai tujuan ini, PMK 11/2025 menyesuaikan formula perhitungan PPN besaran tertentu. Sebagai contoh, untuk tarif PPN besaran tertentu yang sebelumnya dihitung sebagai persentase tertentu dikali tarif PPN umum (11%), kini dihitung sebagai persentase tertentu dikalikan dengan faktor pengali (11/12) dari tarif PPN umum yang baru (12%). Penyesuaian ini menunjukkan kehati-hatian pemerintah agar tidak memberatkan industri aset kripto yang masih dalam tahap perkembangan dan sensitif terhadap perubahan biaya transaksi.  

Evolusi peraturan ini menunjukkan respons yang adaptif dan pragmatis dari Kementerian Keuangan. Di satu sisi, terdapat upaya untuk menjaga stabilitas dan prediktabilitas bagi pelaku pasar aset kripto dengan mempertahankan tarif efektif PPN melalui penyesuaian formula di PMK 11/2025. Di sisi lain, ada dorongan untuk mengintegrasikan administrasi perpajakan aset kripto ke dalam sistem yang lebih modern dan terpadu melalui PMK 81/2024 dan implementasi PSIAP.

3. Mekanisme Rinci Pengenaan PPN Besaran Tertentu pada Transaksi Aset Kripto

Pengenaan PPN dengan besaran tertentu pada transaksi aset kripto melibatkan beberapa elemen kunci, mulai dari objek pajak, subjek dan pemungut pajak, tarif dan dasar pengenaan pajak, hingga kewajiban administratif terkait.

Objek PPN PPN dikenakan atas beberapa jenis penyerahan terkait aset kripto, yaitu:

  1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud berupa Aset Kripto oleh Penjual Aset Kripto. Penyerahan ini mencakup berbagai skenario transaksi, yaitu:  
    • Jual beli Aset Kripto dengan menggunakan mata uang fiat (misalnya Rupiah, Dolar AS).  
    • Tukar-menukar (swap) antara satu jenis Aset Kripto dengan jenis Aset Kripto lainnya.  
    • Tukar-menukar Aset Kripto dengan barang selain Aset Kripto (misalnya, properti, kendaraan) dan/atau dengan jasa.  
  2. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) berupa jasa penyediaan sarana elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan Aset Kripto oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE). Berdasarkan beberapa sumber, PPN atas fee atau imbalan jasa yang diterima PPMSE dari penyediaan platform ini dikenakan PPN dengan tarif umum (bukan besaran tertentu). Namun, terdapat sumber lain yang mengindikasikan "Jasa Penyediaan Sarana Transaksi Kripto" termasuk dalam lingkup tarif besaran tertentu. Untuk menjaga fokus laporan ini pada PPN atas penyerahan aset kriptonya itu sendiri dan jasa mining yang secara eksplisit diatur dengan besaran tertentu, aspek PPN atas fee platform PPMSE memerlukan klarifikasi lebih lanjut dari otoritas pajak.  
  3. Penyerahan JKP berupa jasa verifikasi transaksi Aset Kripto dan/atau jasa manajemen kelompok Penambang Aset Kripto (mining pool) oleh Penambang Aset Kripto. Kegiatan ini merupakan bagian integral dari operasional beberapa jenis aset kripto dan dianggap sebagai penyerahan jasa yang dikenai PPN.  

Subjek PPN dan Pemungut PPN Dalam mekanisme PPN, penting untuk membedakan antara pihak yang menanggung beban pajak (subjek PPN) dan pihak yang berkewajiban memungut, menyetor, serta melaporkan pajak tersebut (pemungut PPN).

  • Subjek PPN (Pihak yang Menanggung Beban PPN): PPN atas transaksi aset kripto pada dasarnya ditanggung oleh Pembeli Aset Kripto atau pihak yang menerima penyerahan Aset Kripto atau jasa terkait.  
  • Pemungut PPN:
    • Untuk penyerahan Aset Kripto (seperti jual beli dan swap): PPN dipungut oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE). PPMSE ini dapat berupa Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang telah terdaftar dan diawasi oleh regulator (sebelumnya Bappebti, kini OJK), maupun PPMSE yang tidak atau belum terdaftar sebagai PFAK.  
    • Untuk jasa verifikasi transaksi Aset Kripto dan/atau jasa manajemen kelompok Penambang Aset Kripto: PPN dipungut oleh Penambang Aset Kripto itu sendiri, dengan syarat penambang tersebut telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).  

Tarif Efektif PPN Besaran Tertentu dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Tarif PPN yang dikenakan atas transaksi aset kripto menggunakan mekanisme besaran tertentu, yang menghasilkan tarif efektif yang lebih rendah dari tarif PPN umum. Berdasarkan PMK 11/2025 yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2025, tarif efektif PPN dihitung dengan mempertimbangkan tarif PPN umum sebesar 12%.

  1. Untuk Perdagangan Aset Kripto melalui PPMSE:
    • Jika PPMSE adalah Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) terdaftar: Tarif efektif PPN adalah 0,11% dari nilai transaksi. Perhitungan ini berasal dari formula: 1%×(11/12)×Tarif PPN Umum (12%). Sebelumnya, berdasarkan PMK 68/2022 dengan tarif PPN umum 11%, tarif efektifnya adalah 1%×11%=0,11%.  
    • Jika PPMSE bukan merupakan PFAK terdaftar: Tarif efektif PPN adalah 0,22% dari nilai transaksi. Formula perhitungannya: 2%×(11/12)×Tarif PPN Umum (12%). Sebelumnya, dengan tarif PPN umum 11%, tarif efektifnya adalah 2%×11%=0,22%.  
    • Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk perdagangan aset kripto adalah nilai transaksi Aset Kripto. Untuk transaksi jual beli dengan mata uang fiat, DPP adalah jumlah uang yang dibayarkan oleh pembeli Aset Kripto. Untuk transaksi tukar-menukar (swap) Aset Kripto dengan Aset Kripto lain, DPP adalah nilai masing-masing Aset Kripto yang diserahkan oleh para pihak yang bertransaksi. Jika nilai transaksi dalam mata uang asing, maka harus dikonversikan terlebih dahulu ke dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atau nilai yang ditetapkan oleh bursa berjangka/sistem PPMSE yang diterapkan secara konsisten.  
  2. Untuk Jasa Verifikasi Transaksi Aset Kripto dan/atau Jasa Manajemen Kelompok Penambang Aset Kripto oleh Penambang Aset Kripto:
    • Tarif efektif PPN adalah 1,1% dari nilai berupa uang atas Aset Kripto yang diterima oleh Penambang Aset Kripto, termasuk Aset Kripto yang diterima dari sistem Aset Kripto (seperti block reward). Formula perhitungannya: 10%×(11/12)×Tarif PPN Umum (12%). Sebelumnya, dengan tarif PPN umum 11%, tarif efektifnya adalah 10%×11%=1,1%.  
    • Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk jasa mining adalah nilai berupa uang atas Aset Kripto yang diterima oleh Penambang Aset Kripto, termasuk imbalan berupa block reward. Jika imbalan diterima dalam bentuk mata uang asing atau Aset Kripto, nilai tersebut harus dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang berlaku atau nilai yang ditetapkan oleh bursa berjangka/sistem Penambang Aset Kripto yang diterapkan secara konsisten.  

Perbedaan tarif PPN antara transaksi yang dilakukan melalui PFAK terdaftar (0,11%) dengan yang tidak terdaftar (0,22%) merupakan bentuk insentif dari pemerintah. Kebijakan ini dirancang untuk mendorong platform perdagangan aset kripto agar mendaftarkan diri secara resmi dan beroperasi di bawah pengawasan regulator. Dengan demikian, pemerintah dapat lebih mudah melakukan pemantauan, memastikan kepatuhan pajak, serta memberikan perlindungan yang lebih baik kepada konsumen, sejalan dengan tujuan untuk meningkatkan kepastian hukum dan mengurangi risiko aktivitas ilegal di pasar aset kripto.  

Saat Terutang dan Tempat Terutang PPN

  • Saat Terutang PPN:
    • Untuk transaksi jual beli Aset Kripto dengan mata uang fiat: PPN terutang pada saat pembayaran dari pembeli Aset Kripto diterima oleh PPMSE.  
    • Untuk transaksi tukar-menukar (swap) Aset Kripto dengan Aset Kripto lainnya: PPN terutang pada saat pertukaran Aset Kripto ke akun pihak lain dilakukan.  
    • Untuk transaksi tukar-menukar Aset Kripto dengan barang selain Aset Kripto dan/atau jasa: PPN terutang pada saat pemindahan Aset Kripto ke akun pihak lain.  
    • Untuk jasa mining yang dilakukan oleh Penambang Aset Kripto: PPN terutang pada saat diterimanya imbalan (berupa aset kripto atau mata uang fiat) oleh Penambang Aset Kripto.
  • Tempat Terutang PPN: PPN terutang di dalam Daerah Pabean, yaitu wilayah Republik Indonesia.

Kewajiban Faktur Pajak Pemungut PPN memiliki kewajiban untuk menerbitkan dokumen sebagai bukti pemungutan PPN:

  • Untuk transaksi yang dikenai PPN Besaran Tertentu, termasuk transaksi aset kripto, kode faktur pajak yang harus digunakan adalah 05. Penggunaan kode faktur yang tepat ini sangat penting dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengidentifikasi dan melacak transaksi yang menggunakan mekanisme khusus ini, memastikan perlakuan PPN yang benar dalam pelaporan dan audit. Kesalahan dalam penggunaan kode faktur dapat mengakibatkan faktur pajak dianggap tidak lengkap dan berpotensi dikenai sanksi.  
  • PPMSE yang memungut PPN atas penyerahan Aset Kripto wajib membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi. Dokumen ini dapat berupa dokumen yang dipersamakan dengan Faktur Pajak. Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi ini setidaknya harus memuat informasi mengenai nama dan NPWP PPMSE, nama dan NPWP/Nomor Induk Kependudukan (NIK) pihak yang dipungut, nomor unik transaksi, Dasar Pengenaan Pajak, tarif PPN, jumlah PPN yang dipungut, dan status bukti pemungutan.  
  • Penambang Aset Kripto yang telah dikukuhkan sebagai PKP dan memungut PPN atas jasa mining juga wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan jasanya. Mereka dapat diperlakukan sebagai PKP pedagang eceran dan membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi pedagang eceran.  

Ketentuan Pajak Masukan Salah satu karakteristik fundamental dari mekanisme PPN Besaran Tertentu adalah perlakuan terhadap Pajak Masukan (PPN yang dibayar atas perolehan BKP atau JKP):

  • Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP yang berhubungan dengan penyerahan Aset Kripto yang PPN-nya dipungut dengan besaran tertentu tidak dapat dikreditkan oleh Penjual Aset Kripto. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip umum yang diatur dalam Pasal 9A ayat (2) UU PPN, yang menyatakan bahwa Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang PPN-nya dipungut dengan besaran tertentu tidak dapat dikreditkan.  
  • Konsekuensi dari tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan ini adalah PPN tersebut menjadi komponen biaya (cost) bagi PPMSE atau Penjual Aset Kripto. Beban biaya ini berpotensi untuk diteruskan kepada pengguna akhir dalam bentuk harga transaksi yang lebih tinggi atau fee yang lebih besar, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi daya saing platform lokal dibandingkan dengan platform global yang mungkin tidak memberlakukan rezim pajak serupa.  
  • Untuk Penambang Aset Kripto, PMK 68/2022 tidak secara eksplisit mengatur mengenai pengkreditan Pajak Masukan yang terkait dengan kegiatan mining. Namun, berdasarkan prinsip umum PPN, jika Pajak Masukan tersebut memiliki hubungan langsung dengan penyerahan jasa mining yang terutang PPN, maka terdapat kemungkinan Pajak Masukan tersebut dapat dikreditkan. Meskipun demikian, hal ini memerlukan konfirmasi lebih lanjut melalui peraturan terbaru atau interpretasi resmi dari DJP untuk kepastian hukumnya.  

Penyederhanaan administrasi melalui tidak adanya mekanisme pengkreditan Pajak Masukan ini merupakan salah satu alasan mengapa PPN Besaran Tertentu diterapkan, yakni untuk kemudahan bagi Wajib Pajak pemungut.

4. Implikasi Peralihan Pengawasan Aset Kripto ke OJK terhadap Rezim PPN

Peralihan kewenangan pengaturan dan pengawasan aset kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membawa implikasi signifikan terhadap status hukum aset kripto di Indonesia, yang pada gilirannya memunculkan diskursus mengenai perlakuan PPN-nya.

Peralihan Pengawasan dan Klasifikasi Baru Landasan utama perubahan ini adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Undang-undang ini mengamanatkan pengalihan tugas pengaturan dan pengawasan kegiatan di sektor inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK), aset keuangan digital, dan aset kripto dari Bappebti kepada OJK. Proses peralihan ini dijadwalkan selesai secara penuh paling lama 24 bulan sejak UU P2SK diundangkan pada Januari 2023.  

Sebagai tindak lanjut dari amanat UU P2SK, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 27 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Keuangan Digital Termasuk Aset Kripto (POJK AKD-AK). POJK ini mulai berlaku efektif pada tanggal 10 Januari 2025.  

Salah satu perubahan fundamental yang dibawa oleh POJK 27/2024 adalah klasifikasi aset kripto. Dalam peraturan ini:

  • Aset Keuangan Digital didefinisikan sebagai aset keuangan yang disimpan atau direpresentasikan secara digital, termasuk di dalamnya aset kripto (Pasal 1 angka 5 POJK 27/2024).  
  • Aset Kripto didefinisikan sebagai representasi digital dari nilai yang dapat disimpan dan ditransfer menggunakan teknologi buku besar terdistribusi (seperti blockchain), tidak dijamin oleh otoritas pusat, diterbitkan oleh pihak swasta, dapat ditransaksikan, disimpan, dan dipindahkan atau dialihkan secara elektronik. Ini mencakup baik backed crypto-asset maupun unbacked crypto-asset (Pasal 1 angka 6 POJK 27/2024).  

Klasifikasi ini berbeda secara signifikan dengan pendekatan sebelumnya di bawah Bappebti, yang memperlakukan aset kripto sebagai komoditi yang diperdagangkan di bursa berjangka. Dengan POJK 27/2024, aset kripto kini secara yuridis ditempatkan dalam ranah aset keuangan.  

Analisis Yuridis: Potensi Benturan dengan Ketentuan Non-Pengenaan PPN atas Jasa Keuangan (Pasal 4A UU PPN) Perubahan klasifikasi aset kripto menjadi "Aset Keuangan Digital" memicu pertanyaan mendasar terkait perlakuan PPN-nya. Pasal 4A ayat (3) huruf d UU PPN, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), secara eksplisit menyatakan bahwa jasa keuangan termasuk dalam kelompok jasa yang tidak dikenai PPN. Penjelasan pasal tersebut memberikan contoh-contoh jasa keuangan yang tidak dikenai PPN, antara lain jasa menghimpun dana dari masyarakat, jasa menempatkan dana, jasa meminjamkan dana, jasa pembiayaan (termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah seperti sewa guna usaha dengan hak opsi, anjak piutang, usaha kartu kredit, dan pembiayaan konsumen), jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, dan jasa penjaminan.  

Dengan status baru aset kripto sebagai "aset keuangan" di bawah pengawasan OJK, timbul argumen yuridis bahwa transaksi terkait aset kripto seharusnya diperlakukan sebagai jasa keuangan yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Pandangan ini telah disuarakan oleh beberapa pelaku industri. Misalnya, CEO Indodax, Oscar Darmawan, berpendapat bahwa karena aset kripto kini berada di bawah regulasi OJK sebagai aset keuangan, maka seharusnya tidak lagi dikenai PPN, sebagaimana produk keuangan lainnya. Asosiasi terkait aset kripto juga telah menyarankan agar aset kripto sebagai aset keuangan digital dapat dibebaskan dari pemungutan PPN, sejalan dengan semangat UU HPP dan UU PPN.  

Diskursus dan Pandangan Mengenai Masa Depan PPN atas Aset Kripto Meskipun terdapat peralihan pengawasan dan reklasifikasi aset kripto oleh OJK, hingga saat ini, ketentuan PPN besaran tertentu atas transaksi aset kripto masih tetap berlaku. Hal ini ditegaskan dengan terbitnya PMK Nomor 11 Tahun 2025, yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2025. PMK tersebut justru mengafirmasi kelanjutan mekanisme PPN besaran tertentu dengan melakukan penyesuaian formula perhitungan untuk menjaga stabilitas tarif efektif PPN.  

Sampai laporan ini disusun, belum ada pernyataan resmi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan yang secara eksplisit mengindikasikan penghapusan PPN atas aset kripto sebagai dampak langsung dari POJK 27/2024. Sebaliknya, data penerimaan pajak dari transaksi aset kripto, termasuk PPN, terus dilaporkan oleh pemerintah sebagai kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan negara.  

OJK sendiri telah menyatakan rencananya untuk bekerja sama dengan Kementerian Keuangan guna memastikan bahwa regulasi baru terkait aset keuangan digital dapat berjalan selaras dengan dinamika pasar yang terus berkembang. Ini mengisyaratkan bahwa dialog dan koordinasi antar-lembaga regulator sedang dan akan terus berlangsung, yang kemungkinan akan mencakup pembahasan mengenai implikasi perpajakan dari status baru aset kripto.  

Potensi inkonsistensi atau ketegangan regulasi antara klasifikasi aset kripto sebagai "aset keuangan" oleh OJK dan perlakuan PPN-nya yang masih sebagai objek kena pajak menciptakan suatu area yang memerlukan klarifikasi lebih lanjut. Di satu sisi, jika aset kripto dianggap sebagai instrumen keuangan, maka logikanya perlakuan PPN-nya mengikuti rezim jasa keuangan yang umumnya tidak dikenai PPN. Di sisi lain, DJP dan Kementerian Keuangan, melalui PMK terbaru, masih mempertahankan pengenaan PPN. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai sikap kehati-hatian untuk menjaga sumber penerimaan negara yang telah ada dan terbukti signifikan, sambil menunggu kajian yang lebih komprehensif atau perkembangan regulasi yang lebih definitif mengenai perlakuan pajak atas aset keuangan digital secara menyeluruh. Penghapusan PPN secara tiba-tiba akan berdampak pada hilangnya sumber penerimaan tersebut.

Tantangan utama terletak pada interpretasi apakah definisi "jasa keuangan" dalam Pasal 4A UU PPN dapat secara langsung dan menyeluruh mencakup seluruh aktivitas terkait aset kripto yang saat ini dikenai PPN (yaitu, penyerahan aset kripto itu sendiri yang dikategorikan sebagai BKP Tidak Berwujud, dan jasa mining). Ada kemungkinan bahwa meskipun diklasifikasikan sebagai "aset keuangan", karakteristik penyerahan aset kripto sebagai barang digital dan jasa mining sebagai layanan teknis masih dianggap berbeda dari jenis-jenis "jasa keuangan" tradisional yang secara spesifik disebutkan dalam Penjelasan Pasal 4A UU PPN. Penyelesaian atas diskursus ini memerlukan klarifikasi resmi dari otoritas pajak, atau bahkan penyesuaian lebih lanjut pada UU PPN atau peraturan pelaksananya yang secara eksplisit mengatur status PPN aset kripto pasca reklasifikasi oleh OJK.

Naskah Akademik UU P2SK, yang menjadi dasar pengalihan pengawasan aset kripto ke OJK dan klasifikasinya sebagai aset keuangan, idealnya memuat justifikasi dan pertimbangan terkait implikasi perpajakannya. UU P2SK sendiri mendefinisikan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) yang mencakup produk, aktivitas, layanan, dan model bisnis dalam ekosistem keuangan digital, di mana aset kripto kini menjadi bagiannya. Buku Saku OJK mengenai POJK AKD-AK juga menegaskan bahwa peralihan kewenangan ini merupakan amanat dari UU P2SK. Pemahaman mendalam atas rasionalisasi dalam Naskah Akademik tersebut (jika dapat diakses secara publik dan memuat detail ini) akan sangat penting untuk menilai apakah aspek PPN telah dipertimbangkan secara komprehensif sejak awal perumusan UU P2SK.  

5. Aspek Kepatuhan dan Sanksi Perpajakan

Kepatuhan terhadap ketentuan PPN merupakan kewajiban fundamental bagi para pemungut PPN, yaitu PPMSE dan Penambang Aset Kripto. Ketidakpatuhan dapat berujung pada pengenaan sanksi administratif yang signifikan.

Kewajiban Pelaporan dan Penyetoran PPN oleh Pemungut PPMSE dan Penambang Aset Kripto yang bertindak sebagai pemungut PPN memiliki beberapa kewajiban utama:

  1. Penyetoran PPN: PPN yang telah dipungut dari transaksi aset kripto atau jasa mining wajib disetorkan ke kas negara. Berdasarkan PMK 81/2024, yang mengubah ketentuan sebelumnya, penyetoran PPN harus dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Sebelumnya, batas waktu penyetoran umumnya adalah akhir bulan berikutnya.  
  2. Pelaporan PPN: PPN yang telah dipungut dan disetor tersebut wajib dilaporkan kepada DJP melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN. Batas waktu pelaporan adalah paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. PMK 68/2022 secara spesifik menyebutkan bahwa pelaporan PPN oleh PPMSE dilakukan menggunakan formulir SPT Masa PPN 1107 PUT (Pemungut). Dengan adanya Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP), pelaporan kemungkinan akan terintegrasi ke dalam sistem SPT Masa PPN Unifikasi jika relevan.  
  3. Penerbitan Bukti Pungut: PPMSE diwajibkan untuk membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi atas PPN yang dipungut. Dokumen ini dapat berupa dokumen yang dipersamakan dengan Faktur Pajak dan harus memuat informasi detail mengenai transaksi dan pajak yang dipungut. Penambang Aset Kripto yang merupakan PKP juga wajib menerbitkan Faktur Pajak atas jasa mining yang diserahkannya.  

Penyeragaman batas waktu penyetoran PPN (menjadi tanggal 15 bulan berikutnya) melalui PMK 81/2024 merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menyederhanakan dan mengharmoniskan administrasi perpajakan secara lebih luas. Hal ini sejalan dengan implementasi Coretax System (PSIAP) yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kepatuhan Wajib Pajak.  

Sanksi Administratif atas Ketidakpatuhan Pelanggaran terhadap kewajiban PPN dapat mengakibatkan pengenaan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan peraturan pelaksananya. PMK 81/2024 Pasal 344 ayat (5) secara eksplisit menyatakan bahwa pengenaan sanksi terkait PPN aset kripto mengacu pada ketentuan dalam UU KUP. Beberapa sanksi yang relevan meliputi:  

  1. Keterlambatan Penyetoran PPN: Jika PPN yang telah dipungut terlambat disetorkan ke kas negara, akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga. Besaran bunga ini dihitung berdasarkan suku bunga acuan Bank Indonesia ditambah dengan persentase tertentu (misalnya, 5% untuk keterlambatan pembayaran biasa, atau bisa lebih tinggi seperti 10% atau 15% tergantung pada kondisi spesifik seperti adanya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar/SKPKB) yang kemudian dibagi 12 untuk mendapatkan tarif bunga bulanan. Sanksi bunga ini dikenakan per bulan atas jumlah pajak yang kurang atau terlambat disetor, dengan periode pengenaan maksimal 24 bulan.  
  2. Keterlambatan Pelaporan SPT Masa PPN: Keterlambatan dalam menyampaikan SPT Masa PPN akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000 per SPT Masa PPN yang terlambat dilaporkan.  
  3. Tidak Membuat Faktur Pajak atau Membuat Faktur Pajak Tidak Lengkap/Tidak Sesuai: PKP yang tidak membuat Faktur Pajak, atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu, atau tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap (termasuk kesalahan penggunaan kode faktur), dapat dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).  
  4. Sanksi Lainnya: Selain sanksi-sanksi di atas, ketentuan lain dalam UU KUP terkait pemeriksaan, penetapan pajak, hingga tindakan penagihan pajak juga dapat diterapkan jika ditemukan adanya ketidakpatuhan yang lebih serius.  

Meskipun tarif PPN yang dikenakan atas transaksi aset kripto relatif kecil (0,11% atau 0,22% untuk perdagangan, dan 1,1% untuk jasa mining), potensi sanksi administratif akibat ketidakpatuhan bisa menjadi signifikan. Hal ini terutama berlaku jika volume transaksi yang dikelola oleh PPMSE atau yang dihasilkan oleh penambang sangat besar. Denda keterlambatan lapor SPT Masa PPN yang bersifat flat (Rp500.000 per masa) dapat terakumulasi jika terjadi keterlambatan berulang. Lebih lanjut, sanksi bunga atas keterlambatan setor yang dihitung dari pokok pajak terutang dapat menjadi material jika nilai transaksi kripto yang besar menghasilkan jumlah PPN yang dipungut juga besar. Demikian pula, sanksi 1% dari DPP untuk kesalahan faktur pajak bisa menjadi beban yang cukup berat jika DPP transaksinya tinggi. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam dan kepatuhan yang tinggi terhadap seluruh aspek administratif PPN menjadi sangat penting bagi para pemungut PPN di sektor aset kripto untuk menghindari beban sanksi yang tidak perlu.

6. Kesimpulan dan Rekomendasi

Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan besaran tertentu atas penyerahan aset kripto di Indonesia merupakan sebuah mekanisme yang dirancang untuk mengakomodasi karakteristik unik dari industri aset digital yang berkembang pesat, sekaligus sebagai upaya negara untuk memperluas basis perpajakan dan meningkatkan kepastian hukum. Mekanisme ini didasarkan pada Pasal 9A UU PPN dan diimplementasikan melalui serangkaian Peraturan Menteri Keuangan (PMK), dengan PMK 68/2022 sebagai landasan awal yang kemudian substansinya dilanjutkan dan disesuaikan oleh PMK 81/2024 dan PMK 11/2025.

Poin-poin utama yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:

  • PPN atas penyerahan aset kripto dikenakan dengan tarif efektif sebesar 0,11% (jika melalui PPMSE yang merupakan PFAK terdaftar) atau 0,22% (jika melalui PPMSE non-PFAK), serta 1,1% untuk jasa mining oleh Penambang Aset Kripto PKP. Tarif efektif ini dijaga kestabilannya melalui penyesuaian formula dalam PMK 11/2025, meskipun tarif PPN umum mengalami kenaikan.
  • Pemungutan PPN dilakukan oleh PPMSE untuk transaksi perdagangan aset kripto dan oleh Penambang Aset Kripto (PKP) untuk jasa mining.
  • Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan aset kripto yang PPN-nya dipungut dengan besaran tertentu umumnya tidak dapat dikreditkan, yang merupakan karakteristik dari mekanisme PPN Besaran Tertentu.
  • Peralihan pengawasan aset kripto ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan klasifikasinya sebagai "Aset Keuangan Digital" melalui POJK 27/2024 menimbulkan diskursus yuridis mengenai potensi perlakuan PPN di masa depan, khususnya terkait ketentuan non-pengenaan PPN atas "jasa keuangan" sebagaimana diatur dalam Pasal 4A UU PPN. Namun, hingga saat ini, rezim PPN besaran tertentu atas aset kripto masih berlaku.

Keberhasilan implementasi kebijakan pajak aset kripto ini sangat bergantung pada tingkat pemahaman, kesadaran, dan kepatuhan dari seluruh pemangku kepentingan. Edukasi dan sosialisasi yang berkelanjutan dari pemerintah, serta kerjasama yang baik dengan pelaku industri dan masyarakat, menjadi kunci. Tantangan literasi pajak dan kompleksitas aset kripto itu sendiri menunjukkan bahwa upaya ini harus dilakukan secara persisten. Dinamika regulasi PPN aset kripto juga mencerminkan bagaimana sistem hukum dan perpajakan terus beradaptasi dengan inovasi teknologi dan model bisnis baru, di mana keseimbangan antara mendorong inovasi, melindungi konsumen, dan mengoptimalkan penerimaan negara menjadi pertimbangan utama.  

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, berikut adalah beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan:

  • Bagi Wajib Pajak (Investor dan Trader Aset Kripto):
    • Meningkatkan pemahaman mengenai kewajiban perpajakan (baik PPN maupun PPh) yang timbul dari transaksi aset kripto.
    • Sebaiknya melakukan transaksi melalui PPMSE yang telah terdaftar secara resmi di OJK untuk mendapatkan tarif PPN yang lebih rendah dan tingkat kepastian hukum serta perlindungan konsumen yang lebih baik.  
    • Menyimpan seluruh bukti transaksi secara rapi dan sistematis untuk keperluan pelaporan pajak dan potensi pemeriksaan di masa mendatang.
  • Bagi Pelaku Industri (PPMSE dan Penambang Aset Kripto):
    • Memastikan kepatuhan penuh terhadap kewajiban sebagai pemungut PPN, termasuk pemungutan, penyetoran tepat waktu, dan pelaporan SPT Masa PPN sesuai dengan ketentuan dalam PMK terbaru.
    • Menggunakan kode faktur pajak yang benar (kode 05 untuk PPN Besaran Tertentu) dan menerbitkan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi atau Faktur Pajak sesuai standar yang ditetapkan.
    • Terus memantau perkembangan regulasi perpajakan dan regulasi dari OJK, terutama terkait klarifikasi status PPN aset kripto pasca klasifikasinya sebagai aset keuangan digital.
  • Bagi Regulator (Kementerian Keuangan/Direktorat Jenderal Pajak dan Otoritas Jasa Keuangan):
    • Segera memberikan klarifikasi dan kepastian hukum yang definitif mengenai status pengenaan PPN atas aset kripto setelah efektifnya POJK 27/2024 dan reklasifikasi aset kripto sebagai aset keuangan digital. Perlu dijawab secara tegas apakah transaksi aset kripto dan jasa terkait dapat dikategorikan sebagai "jasa keuangan" yang tidak dikenai PPN berdasarkan Pasal 4A UU PPN, atau apakah tetap diperlukan perlakuan khusus.
    • Melakukan sosialisasi dan edukasi yang intensif dan berkelanjutan kepada seluruh pemangku kepentingan (investor, trader, PPMSE, penambang, dan masyarakat umum) mengenai mekanisme PPN aset kripto, termasuk setiap perubahan dan implikasinya.  
    • Terus melakukan kajian mengenai dampak kompetitif pengenaan PPN terhadap platform perdagangan aset kripto lokal dibandingkan dengan platform global yang mungkin tidak memiliki beban pajak serupa, dan mempertimbangkan langkah-langkah untuk menjaga daya saing industri dalam negeri.  
    • Melakukan kajian lebih lanjut mengenai kemungkinan dan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan bagi Penambang Aset Kripto, untuk menciptakan perlakuan yang lebih adil dan efisien dari sisi PPN, terutama jika jasa mining dianggap sebagai kegiatan produktif yang menghasilkan penyerahan JKP terutang PPN.

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan implementasi PPN atas aset kripto di Indonesia dapat berjalan lebih efektif, memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi, mendukung pertumbuhan ekosistem aset digital yang sehat, serta mengoptimalkan kontribusinya terhadap penerimaan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Tax Ratio Indonesia Rendah

Pendahuluan: Memahami Rasio Pajak Bagian ini memperkenalkan ko...