1. Pendahuluan: Konsep PPN Besaran Tertentu dan Relevansinya dengan Aset Kripto
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
merupakan salah satu pilar utama dalam sistem perpajakan Indonesia, dikenakan
atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah
Pabean. Sebagai pajak tidak langsung, beban PPN pada akhirnya ditanggung oleh
konsumen akhir, meskipun pemungutan, penyetoran, dan pelaporannya menjadi
kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam konteks PPN, terdapat berbagai
mekanisme pengenaan, salah satunya adalah PPN dengan besaran tertentu.
Mekanisme PPN Besaran
Tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 9A Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai (UU PPN), merupakan sebuah pendekatan khusus dalam pemungutan PPN yang
ditujukan bagi PKP dengan karakteristik tertentu, seperti memiliki peredaran usaha
yang tidak melebihi jumlah tertentu dalam satu tahun buku, melakukan kegiatan
usaha tertentu, atau melakukan penyerahan BKP tertentu dan/atau JKP tertentu.
Tujuan dari penerapan mekanisme ini beragam, mulai dari penyederhanaan
administrasi perpajakan, optimalisasi potensi penerimaan negara, hingga
penyesuaian dengan karakteristik khusus dari objek pajak yang bersangkutan.
Kemudahan administrasi menjadi salah satu pertimbangan utama, mengingat
kompleksitas yang mungkin timbul jika mekanisme PPN umum diterapkan pada
seluruh jenis transaksi dan pelaku usaha.
Dalam beberapa tahun terakhir,
perkembangan pesat aset kripto telah menarik perhatian regulator perpajakan di
berbagai negara, termasuk Indonesia. Awalnya, aset kripto diklasifikasikan
sebagai komoditas berupa barang tidak berwujud yang dapat diperdagangkan di
bursa berjangka. Konsekuensi dari klasifikasi ini adalah penyerahan aset kripto
dianggap sebagai penyerahan BKP Tidak Berwujud, yang secara inheren masuk dalam
lingkup objek PPN. Pemerintah Indonesia memandang pengenaan pajak atas
transaksi aset kripto memiliki beberapa tujuan strategis. Di antaranya adalah
untuk meningkatkan kepastian hukum dengan menyediakan kerangka regulasi yang
jelas bagi para pelaku pasar aset digital, yang pada gilirannya diharapkan
dapat mengurangi risiko aktivitas ilegal. Selain itu, dengan volume transaksi
aset kripto yang signifikan, pengenaan pajak ini juga bertujuan untuk
memperluas basis penerimaan negara. Data menunjukkan bahwa nilai transaksi aset
kripto di Indonesia sepanjang Januari hingga September 2024 telah mencapai
Rp426,69 triliun, sebuah angka yang mengindikasikan potensi besar bagi
penerimaan negara dari sektor ekonomi digital ini.
Penerapan PPN dengan besaran
tertentu pada transaksi aset kripto dapat dilihat sebagai upaya pemerintah
untuk menyeimbangkan antara potensi penerimaan negara yang besar dari sektor
yang sedang berkembang ini dengan kebutuhan akan kemudahan administrasi perpajakan.
Aset kripto, sebagai fenomena yang relatif baru dengan karakteristik unik
seperti volatilitas harga yang tinggi dan kompleksitas jenis transaksi
(misalnya, swap antar aset kripto), mungkin akan menghadapi kesulitan
jika mekanisme PPN umum diterapkan secara kaku. Mekanisme PPN besaran tertentu
menawarkan penyederhanaan dalam penghitungan dan pemungutan, yang bisa jadi
lebih sesuai untuk industri aset kripto. Keputusan awal untuk mengenakan PPN
atas aset kripto sebagai komoditas juga menunjukkan adaptasi sistem perpajakan
terhadap inovasi digital, meskipun klasifikasi ini kemudian berkembang seiring
dengan peralihan pengawasan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Mengingat dinamika regulasi
yang terus berkembang, termasuk perubahan signifikan dalam pengawasan aset
kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK dan
reklasifikasinya sebagai aset keuangan digital, analisis yuridis yang mendalam
dan komprehensif mengenai mekanisme PPN besaran tertentu atas aset kripto
menjadi sangat krusial. Laporan ini bertujuan untuk menguraikan secara detail
dasar hukum, mekanisme pengenaan, serta implikasi dari perkembangan regulasi
terkini terhadap PPN atas penyerahan aset kripto di Indonesia.
2. Dasar Hukum Pengenaan PPN
Besaran Tertentu atas Aset Kripto di Indonesia
Pengenaan PPN dengan besaran
tertentu atas transaksi aset kripto di Indonesia dilandasi oleh beberapa
peraturan perundang-undangan, yang telah mengalami evolusi seiring dengan
perkembangan industri dan kebijakan perpajakan.
Dasar hukum utama yang
memberikan kewenangan untuk menerapkan PPN dengan besaran tertentu adalah Pasal
9A UU PPN. Pasal ini secara eksplisit menyatakan bahwa PPN dapat dipungut dan
disetor dengan besaran tertentu atas penyerahan BKP tertentu dan/atau JKP
tertentu. Lebih lanjut, pasal ini memberikan mandat kepada Menteri Keuangan
untuk menetapkan jenis BKP dan/atau JKP serta besaran PPN yang dipungut dan
disetor tersebut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Implementasi PPN atas aset
kripto secara spesifik diatur melalui serangkaian PMK, yang mencerminkan
respons pemerintah terhadap perkembangan pasar aset kripto:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor
68/PMK.03/2022 (PMK 68/2022): Peraturan ini menjadi
tonggak awal pengaturan PPN (dan PPh) atas transaksi perdagangan aset
kripto di Indonesia, yang mulai berlaku efektif sejak 1 Mei 2022. PMK
68/2022 secara tegas mengklasifikasikan aset kripto sebagai Barang Kena
Pajak (BKP) Tidak Berwujud yang atas penyerahannya dikenai PPN. Lebih
lanjut, peraturan ini menetapkan mekanisme PPN dengan besaran tertentu,
yaitu sebesar 1% (satu persen) dari tarif PPN dikali dengan nilai
transaksi aset kripto, jika Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik (PPMSE) merupakan Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang
terdaftar. Apabila PPMSE bukan merupakan PFAK, tarifnya menjadi 2% (dua
persen) dari tarif PPN dikalikan dengan nilai transaksi aset kripto. Pada
saat itu, tarif PPN umum yang berlaku adalah 11%, sehingga tarif efektif
PPN atas transaksi aset kripto menjadi 0,11% atau 0,22%.
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun
2024 (PMK 81/2024): Peraturan ini diterbitkan dalam
rangka pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP atau Coretax
System) dan secara resmi mencabut beberapa PMK sebelumnya, termasuk
PMK 68/2022. Meskipun mencabut PMK 68/2022, penting untuk dicatat bahwa
PMK 81/2024 tidak mengubah ketentuan mengenai penghitungan besaran
tertentu PPN yang telah diatur dalam PMK yang dicabut tersebut,
termasuk untuk aset kripto. Fokus utama PMK 81/2024 lebih kepada
penyesuaian prosedur dan administrasi perpajakan agar selaras dengan
sistem baru, bukan pada perubahan substansi kebijakan material PPN kripto
yang telah ada. Salah satu perubahan prosedural yang relevan adalah
terkait batas waktu penyetoran dan pelaporan PPN aset kripto, yang berlaku
mulai 1 Januari 2025. Pencabutan PMK 68/2022 oleh PMK 81/2024, tanpa
mengubah esensi perhitungan PPN besaran tertentu untuk kripto,
mengindikasikan bahwa kebijakan tarif PPN kripto yang ada dianggap sudah
cukup mapan, namun memerlukan integrasi ke dalam kerangka regulasi yang
lebih luas dan sistem administrasi yang lebih modern.
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun
2025 (PMK 11/2025): Diundangkan pada 14 Februari 2025
namun berlaku efektif mulai 1 Januari 2025, PMK ini sering disebut sebagai
"Omnibus PMK" karena mengubah beberapa PMK yang mengatur tentang
PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain dan PPN Besaran Tertentu,
termasuk yang berkaitan dengan aset kripto. Tujuan utama penerbitan PMK
11/2025 adalah untuk menjaga agar besaran PPN yang dipungut secara efektif
atas penyerahan tertentu, termasuk aset kripto, tidak mengalami
perubahan meskipun terjadi kenaikan tarif PPN umum dari 11% menjadi
12% yang berlaku mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Untuk mencapai
tujuan ini, PMK 11/2025 menyesuaikan formula perhitungan PPN besaran
tertentu. Sebagai contoh, untuk tarif PPN besaran tertentu yang sebelumnya
dihitung sebagai persentase tertentu dikali tarif PPN umum (11%), kini
dihitung sebagai persentase tertentu dikalikan dengan faktor pengali
(11/12) dari tarif PPN umum yang baru (12%). Penyesuaian ini menunjukkan
kehati-hatian pemerintah agar tidak memberatkan industri aset kripto yang
masih dalam tahap perkembangan dan sensitif terhadap perubahan biaya
transaksi.
Evolusi peraturan ini
menunjukkan respons yang adaptif dan pragmatis dari Kementerian Keuangan. Di
satu sisi, terdapat upaya untuk menjaga stabilitas dan prediktabilitas bagi
pelaku pasar aset kripto dengan mempertahankan tarif efektif PPN melalui penyesuaian
formula di PMK 11/2025. Di sisi lain, ada dorongan untuk mengintegrasikan
administrasi perpajakan aset kripto ke dalam sistem yang lebih modern dan
terpadu melalui PMK 81/2024 dan implementasi PSIAP.
3. Mekanisme Rinci Pengenaan
PPN Besaran Tertentu pada Transaksi Aset Kripto
Pengenaan PPN dengan besaran
tertentu pada transaksi aset kripto melibatkan beberapa elemen kunci, mulai
dari objek pajak, subjek dan pemungut pajak, tarif dan dasar pengenaan pajak,
hingga kewajiban administratif terkait.
Objek PPN PPN
dikenakan atas beberapa jenis penyerahan terkait aset kripto, yaitu:
- Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tidak
berwujud berupa Aset Kripto oleh Penjual Aset
Kripto. Penyerahan ini mencakup berbagai skenario transaksi, yaitu:
- Jual beli Aset Kripto dengan menggunakan
mata uang fiat (misalnya Rupiah, Dolar AS).
- Tukar-menukar (swap) antara satu jenis
Aset Kripto dengan jenis Aset Kripto lainnya.
- Tukar-menukar Aset Kripto dengan barang
selain Aset Kripto (misalnya, properti, kendaraan) dan/atau dengan jasa.
- Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) berupa
jasa penyediaan sarana elektronik yang digunakan untuk transaksi
perdagangan Aset Kripto oleh Penyelenggara
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE). Berdasarkan beberapa
sumber, PPN atas fee atau imbalan jasa yang diterima PPMSE dari
penyediaan platform ini dikenakan PPN dengan tarif umum (bukan besaran
tertentu). Namun, terdapat sumber lain yang mengindikasikan "Jasa
Penyediaan Sarana Transaksi Kripto" termasuk dalam lingkup tarif
besaran tertentu. Untuk menjaga fokus laporan ini pada PPN atas penyerahan
aset kriptonya itu sendiri dan jasa mining yang secara eksplisit
diatur dengan besaran tertentu, aspek PPN atas fee platform PPMSE
memerlukan klarifikasi lebih lanjut dari otoritas pajak.
- Penyerahan JKP berupa jasa verifikasi
transaksi Aset Kripto dan/atau jasa manajemen kelompok Penambang Aset
Kripto (mining pool) oleh Penambang Aset
Kripto. Kegiatan ini merupakan bagian integral dari operasional beberapa
jenis aset kripto dan dianggap sebagai penyerahan jasa yang dikenai PPN.
Subjek PPN dan Pemungut PPN Dalam
mekanisme PPN, penting untuk membedakan antara pihak yang menanggung beban
pajak (subjek PPN) dan pihak yang berkewajiban memungut, menyetor, serta
melaporkan pajak tersebut (pemungut PPN).
- Subjek PPN (Pihak yang Menanggung Beban
PPN): PPN atas transaksi aset kripto pada dasarnya
ditanggung oleh Pembeli Aset Kripto atau pihak yang menerima
penyerahan Aset Kripto atau jasa terkait.
- Pemungut PPN:
- Untuk penyerahan Aset Kripto (seperti
jual beli dan swap): PPN dipungut oleh Penyelenggara
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE). PPMSE ini dapat berupa
Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang telah terdaftar dan diawasi oleh
regulator (sebelumnya Bappebti, kini OJK), maupun PPMSE yang tidak atau
belum terdaftar sebagai PFAK.
- Untuk jasa verifikasi transaksi Aset
Kripto dan/atau jasa manajemen kelompok Penambang Aset Kripto: PPN
dipungut oleh Penambang Aset Kripto itu sendiri, dengan syarat
penambang tersebut telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Tarif Efektif PPN Besaran
Tertentu dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Tarif PPN yang dikenakan atas
transaksi aset kripto menggunakan mekanisme besaran tertentu, yang menghasilkan
tarif efektif yang lebih rendah dari tarif PPN umum. Berdasarkan PMK 11/2025
yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2025, tarif efektif PPN dihitung dengan
mempertimbangkan tarif PPN umum sebesar 12%.
- Untuk Perdagangan Aset Kripto melalui
PPMSE:
- Jika PPMSE adalah Pedagang Fisik Aset
Kripto (PFAK) terdaftar: Tarif efektif PPN adalah 0,11% dari
nilai transaksi. Perhitungan ini berasal dari formula: 1%×(11/12)×Tarif PPN Umum (12%).
Sebelumnya, berdasarkan PMK 68/2022 dengan tarif PPN umum 11%, tarif
efektifnya adalah 1%×11%=0,11%.
- Jika PPMSE bukan merupakan PFAK
terdaftar: Tarif efektif PPN adalah 0,22% dari nilai
transaksi. Formula perhitungannya: 2%×(11/12)×Tarif PPN Umum (12%).
Sebelumnya, dengan tarif PPN umum 11%, tarif efektifnya adalah 2%×11%=0,22%.
- Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
untuk perdagangan aset kripto adalah nilai transaksi Aset Kripto.
Untuk transaksi jual beli dengan mata uang fiat, DPP adalah jumlah uang
yang dibayarkan oleh pembeli Aset Kripto. Untuk transaksi tukar-menukar (swap)
Aset Kripto dengan Aset Kripto lain, DPP adalah nilai masing-masing Aset
Kripto yang diserahkan oleh para pihak yang bertransaksi. Jika nilai
transaksi dalam mata uang asing, maka harus dikonversikan terlebih dahulu
ke dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan atau nilai yang ditetapkan oleh bursa berjangka/sistem PPMSE
yang diterapkan secara konsisten.
- Untuk Jasa Verifikasi Transaksi Aset
Kripto dan/atau Jasa Manajemen Kelompok Penambang Aset Kripto oleh
Penambang Aset Kripto:
- Tarif efektif PPN adalah 1,1% dari
nilai berupa uang atas Aset Kripto yang diterima oleh Penambang Aset
Kripto, termasuk Aset Kripto yang diterima dari sistem Aset Kripto
(seperti block reward). Formula perhitungannya: 10%×(11/12)×Tarif PPN Umum (12%).
Sebelumnya, dengan tarif PPN umum 11%, tarif efektifnya adalah 10%×11%=1,1%.
- Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
untuk jasa mining adalah nilai berupa uang atas Aset Kripto
yang diterima oleh Penambang Aset Kripto, termasuk imbalan berupa block
reward. Jika imbalan diterima dalam bentuk mata uang asing atau Aset
Kripto, nilai tersebut harus dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah
berdasarkan kurs yang berlaku atau nilai yang ditetapkan oleh bursa
berjangka/sistem Penambang Aset Kripto yang diterapkan secara konsisten.
Perbedaan tarif PPN antara
transaksi yang dilakukan melalui PFAK terdaftar (0,11%) dengan yang tidak
terdaftar (0,22%) merupakan bentuk insentif dari pemerintah. Kebijakan ini
dirancang untuk mendorong platform perdagangan aset kripto agar mendaftarkan diri
secara resmi dan beroperasi di bawah pengawasan regulator. Dengan demikian,
pemerintah dapat lebih mudah melakukan pemantauan, memastikan kepatuhan pajak,
serta memberikan perlindungan yang lebih baik kepada konsumen, sejalan dengan
tujuan untuk meningkatkan kepastian hukum dan mengurangi risiko aktivitas
ilegal di pasar aset kripto.
Saat Terutang dan Tempat
Terutang PPN
- Saat Terutang PPN:
- Untuk transaksi jual beli Aset Kripto
dengan mata uang fiat: PPN terutang pada saat pembayaran dari pembeli
Aset Kripto diterima oleh PPMSE.
- Untuk transaksi tukar-menukar (swap)
Aset Kripto dengan Aset Kripto lainnya: PPN terutang pada saat pertukaran
Aset Kripto ke akun pihak lain dilakukan.
- Untuk transaksi tukar-menukar Aset Kripto
dengan barang selain Aset Kripto dan/atau jasa: PPN terutang pada saat
pemindahan Aset Kripto ke akun pihak lain.
- Untuk jasa mining yang dilakukan
oleh Penambang Aset Kripto: PPN terutang pada saat diterimanya imbalan
(berupa aset kripto atau mata uang fiat) oleh Penambang Aset Kripto.
- Tempat Terutang PPN:
PPN terutang di dalam Daerah Pabean, yaitu wilayah Republik Indonesia.
Kewajiban Faktur Pajak
Pemungut PPN memiliki kewajiban untuk menerbitkan dokumen sebagai bukti
pemungutan PPN:
- Untuk transaksi yang dikenai PPN Besaran
Tertentu, termasuk transaksi aset kripto, kode faktur pajak yang harus
digunakan adalah 05. Penggunaan kode faktur yang tepat ini sangat
penting dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk
mengidentifikasi dan melacak transaksi yang menggunakan mekanisme khusus
ini, memastikan perlakuan PPN yang benar dalam pelaporan dan audit.
Kesalahan dalam penggunaan kode faktur dapat mengakibatkan faktur pajak
dianggap tidak lengkap dan berpotensi dikenai sanksi.
- PPMSE yang memungut PPN atas penyerahan
Aset Kripto wajib membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi.
Dokumen ini dapat berupa dokumen yang dipersamakan dengan Faktur Pajak.
Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi ini setidaknya harus memuat
informasi mengenai nama dan NPWP PPMSE, nama dan NPWP/Nomor Induk
Kependudukan (NIK) pihak yang dipungut, nomor unik transaksi, Dasar
Pengenaan Pajak, tarif PPN, jumlah PPN yang dipungut, dan status bukti
pemungutan.
- Penambang Aset Kripto yang telah
dikukuhkan sebagai PKP dan memungut PPN atas jasa mining juga wajib
membuat Faktur Pajak atas penyerahan jasanya. Mereka dapat diperlakukan
sebagai PKP pedagang eceran dan membuat Faktur Pajak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku bagi pedagang eceran.
Ketentuan Pajak Masukan Salah
satu karakteristik fundamental dari mekanisme PPN Besaran Tertentu adalah
perlakuan terhadap Pajak Masukan (PPN yang dibayar atas perolehan BKP atau
JKP):
- Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau
JKP yang berhubungan dengan penyerahan Aset Kripto yang PPN-nya dipungut
dengan besaran tertentu tidak dapat dikreditkan oleh Penjual Aset
Kripto. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip umum yang diatur dalam Pasal
9A ayat (2) UU PPN, yang menyatakan bahwa Pajak Masukan yang terkait
dengan penyerahan yang PPN-nya dipungut dengan besaran tertentu tidak
dapat dikreditkan.
- Konsekuensi dari tidak dapat
dikreditkannya Pajak Masukan ini adalah PPN tersebut menjadi komponen
biaya (cost) bagi PPMSE atau Penjual Aset Kripto. Beban biaya ini
berpotensi untuk diteruskan kepada pengguna akhir dalam bentuk harga
transaksi yang lebih tinggi atau fee yang lebih besar, yang pada
gilirannya dapat mempengaruhi daya saing platform lokal dibandingkan
dengan platform global yang mungkin tidak memberlakukan rezim pajak
serupa.
- Untuk Penambang Aset Kripto, PMK 68/2022
tidak secara eksplisit mengatur mengenai pengkreditan Pajak Masukan yang
terkait dengan kegiatan mining. Namun, berdasarkan prinsip umum
PPN, jika Pajak Masukan tersebut memiliki hubungan langsung dengan
penyerahan jasa mining yang terutang PPN, maka terdapat kemungkinan
Pajak Masukan tersebut dapat dikreditkan. Meskipun demikian, hal ini
memerlukan konfirmasi lebih lanjut melalui peraturan terbaru atau
interpretasi resmi dari DJP untuk kepastian hukumnya.
Penyederhanaan administrasi
melalui tidak adanya mekanisme pengkreditan Pajak Masukan ini merupakan salah
satu alasan mengapa PPN Besaran Tertentu diterapkan, yakni untuk kemudahan bagi
Wajib Pajak pemungut.
4. Implikasi Peralihan
Pengawasan Aset Kripto ke OJK terhadap Rezim PPN
Peralihan kewenangan
pengaturan dan pengawasan aset kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) membawa implikasi signifikan terhadap status hukum aset kripto di
Indonesia, yang pada gilirannya memunculkan diskursus mengenai perlakuan
PPN-nya.
Peralihan Pengawasan dan
Klasifikasi Baru Landasan utama perubahan ini adalah
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor
Keuangan (UU P2SK). Undang-undang ini mengamanatkan pengalihan tugas pengaturan
dan pengawasan kegiatan di sektor inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK),
aset keuangan digital, dan aset kripto dari Bappebti kepada OJK. Proses
peralihan ini dijadwalkan selesai secara penuh paling lama 24 bulan sejak UU
P2SK diundangkan pada Januari 2023.
Sebagai tindak lanjut dari
amanat UU P2SK, OJK telah menerbitkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 27 Tahun 2024
tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Keuangan Digital Termasuk Aset Kripto
(POJK AKD-AK). POJK ini mulai berlaku efektif pada tanggal 10 Januari 2025.
Salah satu perubahan
fundamental yang dibawa oleh POJK 27/2024 adalah klasifikasi aset kripto. Dalam
peraturan ini:
- Aset Keuangan Digital
didefinisikan sebagai aset keuangan yang disimpan atau direpresentasikan
secara digital, termasuk di dalamnya aset kripto (Pasal 1 angka 5
POJK 27/2024).
- Aset Kripto
didefinisikan sebagai representasi digital dari nilai yang dapat disimpan
dan ditransfer menggunakan teknologi buku besar terdistribusi (seperti blockchain),
tidak dijamin oleh otoritas pusat, diterbitkan oleh pihak swasta, dapat
ditransaksikan, disimpan, dan dipindahkan atau dialihkan secara
elektronik. Ini mencakup baik backed crypto-asset maupun unbacked
crypto-asset (Pasal 1 angka 6 POJK 27/2024).
Klasifikasi ini berbeda secara
signifikan dengan pendekatan sebelumnya di bawah Bappebti, yang memperlakukan
aset kripto sebagai komoditi yang diperdagangkan di bursa berjangka.
Dengan POJK 27/2024, aset kripto kini secara yuridis ditempatkan dalam ranah
aset keuangan.
Analisis Yuridis: Potensi
Benturan dengan Ketentuan Non-Pengenaan PPN atas Jasa Keuangan (Pasal 4A UU
PPN)
Perubahan klasifikasi aset kripto menjadi "Aset Keuangan Digital"
memicu pertanyaan mendasar terkait perlakuan PPN-nya. Pasal 4A ayat (3) huruf d
UU PPN, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun
2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), secara eksplisit
menyatakan bahwa jasa keuangan termasuk dalam kelompok jasa yang tidak
dikenai PPN. Penjelasan pasal tersebut memberikan contoh-contoh jasa
keuangan yang tidak dikenai PPN, antara lain jasa menghimpun dana dari
masyarakat, jasa menempatkan dana, jasa meminjamkan dana, jasa pembiayaan
(termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah seperti sewa guna usaha dengan
hak opsi, anjak piutang, usaha kartu kredit, dan pembiayaan konsumen), jasa
penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, dan jasa penjaminan.
Dengan status baru aset kripto
sebagai "aset keuangan" di bawah pengawasan OJK, timbul argumen
yuridis bahwa transaksi terkait aset kripto seharusnya diperlakukan sebagai
jasa keuangan yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Pandangan ini telah disuarakan
oleh beberapa pelaku industri. Misalnya, CEO Indodax, Oscar Darmawan,
berpendapat bahwa karena aset kripto kini berada di bawah regulasi OJK sebagai
aset keuangan, maka seharusnya tidak lagi dikenai PPN, sebagaimana produk
keuangan lainnya. Asosiasi terkait aset kripto juga telah menyarankan agar aset
kripto sebagai aset keuangan digital dapat dibebaskan dari pemungutan PPN,
sejalan dengan semangat UU HPP dan UU PPN.
Diskursus dan Pandangan
Mengenai Masa Depan PPN atas Aset Kripto Meskipun terdapat peralihan
pengawasan dan reklasifikasi aset kripto oleh OJK, hingga saat ini, ketentuan
PPN besaran tertentu atas transaksi aset kripto masih tetap berlaku. Hal
ini ditegaskan dengan terbitnya PMK Nomor 11 Tahun 2025, yang berlaku efektif
mulai 1 Januari 2025. PMK tersebut justru mengafirmasi kelanjutan mekanisme PPN
besaran tertentu dengan melakukan penyesuaian formula perhitungan untuk menjaga
stabilitas tarif efektif PPN.
Sampai laporan ini disusun,
belum ada pernyataan resmi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian
Keuangan yang secara eksplisit mengindikasikan penghapusan PPN atas aset kripto
sebagai dampak langsung dari POJK 27/2024. Sebaliknya, data penerimaan pajak
dari transaksi aset kripto, termasuk PPN, terus dilaporkan oleh pemerintah
sebagai kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan negara.
OJK sendiri telah menyatakan
rencananya untuk bekerja sama dengan Kementerian Keuangan guna memastikan bahwa
regulasi baru terkait aset keuangan digital dapat berjalan selaras dengan
dinamika pasar yang terus berkembang. Ini mengisyaratkan bahwa dialog dan
koordinasi antar-lembaga regulator sedang dan akan terus berlangsung, yang
kemungkinan akan mencakup pembahasan mengenai implikasi perpajakan dari status
baru aset kripto.
Potensi inkonsistensi atau
ketegangan regulasi antara klasifikasi aset kripto sebagai "aset
keuangan" oleh OJK dan perlakuan PPN-nya yang masih sebagai objek kena
pajak menciptakan suatu area yang memerlukan klarifikasi lebih lanjut. Di satu
sisi, jika aset kripto dianggap sebagai instrumen keuangan, maka logikanya
perlakuan PPN-nya mengikuti rezim jasa keuangan yang umumnya tidak dikenai PPN.
Di sisi lain, DJP dan Kementerian Keuangan, melalui PMK terbaru, masih
mempertahankan pengenaan PPN. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai sikap
kehati-hatian untuk menjaga sumber penerimaan negara yang telah ada dan
terbukti signifikan, sambil menunggu kajian yang lebih komprehensif atau
perkembangan regulasi yang lebih definitif mengenai perlakuan pajak atas aset
keuangan digital secara menyeluruh. Penghapusan PPN secara tiba-tiba akan
berdampak pada hilangnya sumber penerimaan tersebut.
Tantangan utama terletak pada
interpretasi apakah definisi "jasa keuangan" dalam Pasal 4A UU PPN
dapat secara langsung dan menyeluruh mencakup seluruh aktivitas terkait aset
kripto yang saat ini dikenai PPN (yaitu, penyerahan aset kripto itu sendiri
yang dikategorikan sebagai BKP Tidak Berwujud, dan jasa mining). Ada
kemungkinan bahwa meskipun diklasifikasikan sebagai "aset keuangan",
karakteristik penyerahan aset kripto sebagai barang digital dan jasa mining
sebagai layanan teknis masih dianggap berbeda dari jenis-jenis "jasa
keuangan" tradisional yang secara spesifik disebutkan dalam Penjelasan
Pasal 4A UU PPN. Penyelesaian atas diskursus ini memerlukan klarifikasi resmi
dari otoritas pajak, atau bahkan penyesuaian lebih lanjut pada UU PPN atau
peraturan pelaksananya yang secara eksplisit mengatur status PPN aset kripto
pasca reklasifikasi oleh OJK.
Naskah Akademik UU P2SK, yang
menjadi dasar pengalihan pengawasan aset kripto ke OJK dan klasifikasinya
sebagai aset keuangan, idealnya memuat justifikasi dan pertimbangan terkait
implikasi perpajakannya. UU P2SK sendiri mendefinisikan Inovasi Teknologi Sektor
Keuangan (ITSK) yang mencakup produk, aktivitas, layanan, dan model bisnis
dalam ekosistem keuangan digital, di mana aset kripto kini menjadi bagiannya.
Buku Saku OJK mengenai POJK AKD-AK juga menegaskan bahwa peralihan kewenangan
ini merupakan amanat dari UU P2SK. Pemahaman mendalam atas rasionalisasi dalam
Naskah Akademik tersebut (jika dapat diakses secara publik dan memuat detail
ini) akan sangat penting untuk menilai apakah aspek PPN telah dipertimbangkan
secara komprehensif sejak awal perumusan UU P2SK.
5. Aspek Kepatuhan dan Sanksi
Perpajakan
Kepatuhan terhadap ketentuan
PPN merupakan kewajiban fundamental bagi para pemungut PPN, yaitu PPMSE dan
Penambang Aset Kripto. Ketidakpatuhan dapat berujung pada pengenaan sanksi
administratif yang signifikan.
Kewajiban Pelaporan dan
Penyetoran PPN oleh Pemungut PPMSE dan Penambang Aset
Kripto yang bertindak sebagai pemungut PPN memiliki beberapa kewajiban utama:
- Penyetoran PPN:
PPN yang telah dipungut dari transaksi aset kripto atau jasa mining
wajib disetorkan ke kas negara. Berdasarkan PMK 81/2024, yang mengubah
ketentuan sebelumnya, penyetoran PPN harus dilakukan paling lambat tanggal
15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Sebelumnya, batas waktu
penyetoran umumnya adalah akhir bulan berikutnya.
- Pelaporan PPN:
PPN yang telah dipungut dan disetor tersebut wajib dilaporkan kepada DJP
melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN. Batas waktu pelaporan adalah
paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan. PMK 68/2022 secara spesifik menyebutkan bahwa pelaporan PPN
oleh PPMSE dilakukan menggunakan formulir SPT Masa PPN 1107 PUT
(Pemungut). Dengan adanya Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP),
pelaporan kemungkinan akan terintegrasi ke dalam sistem SPT Masa PPN
Unifikasi jika relevan.
- Penerbitan Bukti Pungut:
PPMSE diwajibkan untuk membuat Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi atas
PPN yang dipungut. Dokumen ini dapat berupa dokumen yang dipersamakan
dengan Faktur Pajak dan harus memuat informasi detail mengenai transaksi
dan pajak yang dipungut. Penambang Aset Kripto yang merupakan PKP juga
wajib menerbitkan Faktur Pajak atas jasa mining yang diserahkannya.
Penyeragaman batas waktu
penyetoran PPN (menjadi tanggal 15 bulan berikutnya) melalui PMK 81/2024
merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menyederhanakan dan
mengharmoniskan administrasi perpajakan secara lebih luas. Hal ini sejalan
dengan implementasi Coretax System (PSIAP) yang bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi dan kepatuhan Wajib Pajak.
Sanksi Administratif atas
Ketidakpatuhan Pelanggaran terhadap kewajiban PPN dapat
mengakibatkan pengenaan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan peraturan
pelaksananya. PMK 81/2024 Pasal 344 ayat (5) secara eksplisit menyatakan bahwa
pengenaan sanksi terkait PPN aset kripto mengacu pada ketentuan dalam UU KUP.
Beberapa sanksi yang relevan meliputi:
- Keterlambatan Penyetoran PPN:
Jika PPN yang telah dipungut terlambat disetorkan ke kas negara, akan
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga. Besaran bunga ini dihitung
berdasarkan suku bunga acuan Bank Indonesia ditambah dengan persentase
tertentu (misalnya, 5% untuk keterlambatan pembayaran biasa, atau bisa
lebih tinggi seperti 10% atau 15% tergantung pada kondisi spesifik seperti
adanya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar/SKPKB) yang kemudian dibagi 12
untuk mendapatkan tarif bunga bulanan. Sanksi bunga ini dikenakan per
bulan atas jumlah pajak yang kurang atau terlambat disetor, dengan periode
pengenaan maksimal 24 bulan.
- Keterlambatan Pelaporan SPT Masa PPN:
Keterlambatan dalam menyampaikan SPT Masa PPN akan dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebesar Rp500.000 per SPT Masa PPN yang
terlambat dilaporkan.
- Tidak Membuat Faktur Pajak atau Membuat
Faktur Pajak Tidak Lengkap/Tidak Sesuai: PKP yang tidak
membuat Faktur Pajak, atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu,
atau tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap (termasuk kesalahan
penggunaan kode faktur), dapat dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
- Sanksi Lainnya:
Selain sanksi-sanksi di atas, ketentuan lain dalam UU KUP terkait
pemeriksaan, penetapan pajak, hingga tindakan penagihan pajak juga dapat
diterapkan jika ditemukan adanya ketidakpatuhan yang lebih serius.
Meskipun tarif PPN yang
dikenakan atas transaksi aset kripto relatif kecil (0,11% atau 0,22% untuk
perdagangan, dan 1,1% untuk jasa mining), potensi sanksi administratif
akibat ketidakpatuhan bisa menjadi signifikan. Hal ini terutama berlaku jika
volume transaksi yang dikelola oleh PPMSE atau yang dihasilkan oleh penambang
sangat besar. Denda keterlambatan lapor SPT Masa PPN yang bersifat flat
(Rp500.000 per masa) dapat terakumulasi jika terjadi keterlambatan berulang.
Lebih lanjut, sanksi bunga atas keterlambatan setor yang dihitung dari pokok
pajak terutang dapat menjadi material jika nilai transaksi kripto yang besar
menghasilkan jumlah PPN yang dipungut juga besar. Demikian pula, sanksi 1% dari
DPP untuk kesalahan faktur pajak bisa menjadi beban yang cukup berat jika DPP
transaksinya tinggi. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam dan kepatuhan
yang tinggi terhadap seluruh aspek administratif PPN menjadi sangat penting
bagi para pemungut PPN di sektor aset kripto untuk menghindari beban sanksi
yang tidak perlu.
6. Kesimpulan dan Rekomendasi
Pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dengan besaran tertentu atas penyerahan aset kripto di Indonesia
merupakan sebuah mekanisme yang dirancang untuk mengakomodasi karakteristik
unik dari industri aset digital yang berkembang pesat, sekaligus sebagai upaya
negara untuk memperluas basis perpajakan dan meningkatkan kepastian hukum.
Mekanisme ini didasarkan pada Pasal 9A UU PPN dan diimplementasikan melalui
serangkaian Peraturan Menteri Keuangan (PMK), dengan PMK 68/2022 sebagai
landasan awal yang kemudian substansinya dilanjutkan dan disesuaikan oleh PMK
81/2024 dan PMK 11/2025.
Poin-poin utama yang dapat
disimpulkan adalah sebagai berikut:
- PPN atas penyerahan aset kripto dikenakan
dengan tarif efektif sebesar 0,11% (jika melalui PPMSE yang merupakan PFAK
terdaftar) atau 0,22% (jika melalui PPMSE non-PFAK), serta 1,1% untuk jasa
mining oleh Penambang Aset Kripto PKP. Tarif efektif ini dijaga
kestabilannya melalui penyesuaian formula dalam PMK 11/2025, meskipun
tarif PPN umum mengalami kenaikan.
- Pemungutan PPN dilakukan oleh PPMSE untuk
transaksi perdagangan aset kripto dan oleh Penambang Aset Kripto (PKP)
untuk jasa mining.
- Pajak Masukan yang terkait dengan
penyerahan aset kripto yang PPN-nya dipungut dengan besaran tertentu
umumnya tidak dapat dikreditkan, yang merupakan karakteristik dari
mekanisme PPN Besaran Tertentu.
- Peralihan pengawasan aset kripto ke
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan klasifikasinya sebagai "Aset
Keuangan Digital" melalui POJK 27/2024 menimbulkan diskursus yuridis
mengenai potensi perlakuan PPN di masa depan, khususnya terkait ketentuan
non-pengenaan PPN atas "jasa keuangan" sebagaimana diatur dalam
Pasal 4A UU PPN. Namun, hingga saat ini, rezim PPN besaran tertentu atas
aset kripto masih berlaku.
Keberhasilan implementasi
kebijakan pajak aset kripto ini sangat bergantung pada tingkat pemahaman,
kesadaran, dan kepatuhan dari seluruh pemangku kepentingan. Edukasi dan
sosialisasi yang berkelanjutan dari pemerintah, serta kerjasama yang baik
dengan pelaku industri dan masyarakat, menjadi kunci. Tantangan literasi pajak
dan kompleksitas aset kripto itu sendiri menunjukkan bahwa upaya ini harus
dilakukan secara persisten. Dinamika regulasi PPN aset kripto juga mencerminkan
bagaimana sistem hukum dan perpajakan terus beradaptasi dengan inovasi
teknologi dan model bisnis baru, di mana keseimbangan antara mendorong inovasi,
melindungi konsumen, dan mengoptimalkan penerimaan negara menjadi pertimbangan
utama.
Berdasarkan analisis yang
telah dilakukan, berikut adalah beberapa rekomendasi yang dapat
dipertimbangkan:
- Bagi Wajib Pajak (Investor dan Trader Aset
Kripto):
- Meningkatkan pemahaman mengenai kewajiban
perpajakan (baik PPN maupun PPh) yang timbul dari transaksi aset kripto.
- Sebaiknya melakukan transaksi melalui
PPMSE yang telah terdaftar secara resmi di OJK untuk mendapatkan tarif
PPN yang lebih rendah dan tingkat kepastian hukum serta perlindungan
konsumen yang lebih baik.
- Menyimpan seluruh bukti transaksi secara
rapi dan sistematis untuk keperluan pelaporan pajak dan potensi
pemeriksaan di masa mendatang.
- Bagi Pelaku Industri (PPMSE dan Penambang
Aset Kripto):
- Memastikan kepatuhan penuh terhadap
kewajiban sebagai pemungut PPN, termasuk pemungutan, penyetoran tepat
waktu, dan pelaporan SPT Masa PPN sesuai dengan ketentuan dalam PMK
terbaru.
- Menggunakan kode faktur pajak yang benar
(kode 05 untuk PPN Besaran Tertentu) dan menerbitkan Bukti
Pemotongan/Pemungutan Unifikasi atau Faktur Pajak sesuai standar yang
ditetapkan.
- Terus memantau perkembangan regulasi
perpajakan dan regulasi dari OJK, terutama terkait klarifikasi status PPN
aset kripto pasca klasifikasinya sebagai aset keuangan digital.
- Bagi Regulator (Kementerian
Keuangan/Direktorat Jenderal Pajak dan Otoritas Jasa Keuangan):
- Segera memberikan klarifikasi dan
kepastian hukum yang definitif mengenai status pengenaan PPN atas aset
kripto setelah efektifnya POJK 27/2024 dan reklasifikasi aset kripto
sebagai aset keuangan digital. Perlu dijawab secara tegas apakah
transaksi aset kripto dan jasa terkait dapat dikategorikan sebagai
"jasa keuangan" yang tidak dikenai PPN berdasarkan Pasal 4A UU
PPN, atau apakah tetap diperlukan perlakuan khusus.
- Melakukan sosialisasi dan edukasi yang
intensif dan berkelanjutan kepada seluruh pemangku kepentingan (investor,
trader, PPMSE, penambang, dan masyarakat umum) mengenai mekanisme PPN
aset kripto, termasuk setiap perubahan dan implikasinya.
- Terus melakukan kajian mengenai dampak
kompetitif pengenaan PPN terhadap platform perdagangan aset kripto lokal
dibandingkan dengan platform global yang mungkin tidak memiliki beban
pajak serupa, dan mempertimbangkan langkah-langkah untuk menjaga daya saing
industri dalam negeri.
- Melakukan kajian lebih lanjut mengenai
kemungkinan dan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan bagi Penambang Aset
Kripto, untuk menciptakan perlakuan yang lebih adil dan efisien dari sisi
PPN, terutama jika jasa mining dianggap sebagai kegiatan produktif
yang menghasilkan penyerahan JKP terutang PPN.
Dengan langkah-langkah
tersebut, diharapkan implementasi PPN atas aset kripto di Indonesia dapat
berjalan lebih efektif, memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi, mendukung
pertumbuhan ekosistem aset digital yang sehat, serta mengoptimalkan kontribusinya
terhadap penerimaan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar