Minggu, 18 Mei 2025

Penggunaan Perusahaan Rugi sebagai Pembanding dalam Pengujian Transfer Pricing

I. Pendahuluan

Signifikansi pemilihan pembanding yang tepat dalam transfer pricing.

Penentuan harga transfer (transfer pricing) merupakan aspek krusial dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Tujuan utama dari regulasi transfer pricing adalah untuk memastikan bahwa harga yang ditetapkan dalam transaksi tersebut telah mencerminkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) atau Arm's Length Principle (ALP). Prinsip ini menghendaki agar kondisi dalam transaksi afiliasi sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antar pihak independen dalam situasi yang serupa.  

Dalam konteks ini, pemilihan perusahaan pembanding yang andal dan benar-benar sebanding menjadi elemen fundamental, terutama ketika Wajib Pajak menerapkan metode penentuan harga transfer berbasis laba seperti Metode Laba Bersih Transaksional (TNMM). Perusahaan pembanding berfungsi sebagai tolok ukur untuk menentukan apakah laba yang dihasilkan oleh pihak yang diuji (tested party) dari transaksi afiliasinya berada dalam rentang yang wajar. Kesalahan dalam proses identifikasi dan seleksi pembanding dapat mengakibatkan distorsi pada rentang kewajaran laba, yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan koreksi pajak signifikan dan sengketa dengan otoritas pajak.  

Permasalahan spesifik terkait penggunaan perusahaan rugi dalam metode TNMM.

Salah satu isu yang kerap menimbulkan perdebatan dalam praktik transfer pricing adalah penggunaan perusahaan yang mengalami kerugian (loss-making comparables atau LMC) sebagai pembanding dalam analisis TNMM. Penggunaan LMC dapat secara substansial memengaruhi hasil analisis benchmarking dan, akibatnya, rentang kewajaran laba yang dihasilkan. Terdapat pandangan, khususnya dari sisi otoritas pajak, bahwa perusahaan yang merugi secara inheren tidak dapat dianggap sebanding dengan tested party yang umumnya diasumsikan beroperasi secara normal dan bertujuan untuk menghasilkan laba, terutama jika tested party merupakan entitas dengan fungsi, aset, dan risiko (FAR) yang bersifat rutin atau terbatas.  

Kontroversi seputar LMC ini sejatinya tidak hanya berkutat pada aspek teknis pemilihan pembanding. Lebih jauh, ia mencerminkan perbedaan pandangan yang lebih mendasar mengenai ekspektasi profitabilitas "normal" dalam dinamika pasar yang seringkali tidak ideal. Otoritas pajak mungkin memiliki kecenderungan untuk berpegang pada asumsi bahwa entitas independen akan selalu berupaya memaksimalkan laba dan menghindari kerugian. Namun, realitas dunia usaha menunjukkan bahwa kerugian dapat terjadi karena berbagai alasan yang sah dan wajar, seperti strategi penetrasi pasar, siklus bisnis, kondisi ekonomi makro yang kurang menguntungkan, atau investasi awal yang besar. Dengan demikian, Wajib Pajak seringkali dihadapkan pada tantangan untuk menjembatani persepsi ini dengan menyajikan justifikasi ekonomis yang kuat dan dokumentasi yang detail mengenai alasan di balik kerugian yang dialami oleh perusahaan pembanding yang dipilih.

Seiring dengan meningkatnya pengawasan transfer pricing baik di tingkat global maupun di Indonesia , isu-isu teknis seperti pemilihan LMC menjadi semakin krusial. Otoritas pajak, termasuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Indonesia, semakin cermat dalam melakukan pemeriksaan transfer pricing, dan kerugian atau kinerja laba yang buruk seringkali menjadi salah satu faktor risiko yang memicu audit. Oleh karena itu, keputusan untuk menyertakan atau mengecualikan LMC dari set pembanding harus didasarkan pada analisis yang mendalam dan didukung oleh argumentasi yang kokoh.  

Tujuan dan Struktur Tulisan

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan analisis yang komprehensif mengenai apakah dan dalam kondisi bagaimana perusahaan yang merugi dapat digunakan sebagai pembanding dalam analisis TNMM. Pembahasan akan merujuk pada panduan internasional, khususnya OECD Transfer Pricing Guidelines, serta peraturan perundang-undangan dan praktik yang berlaku di Indonesia. Selain itu, laporan ini juga akan menyajikan panduan praktis bagi Wajib Pajak dalam menghadapi isu kompleks ini.

Struktur tulisan ini akan dimulai dengan tinjauan umum mengenai metode TNMM dan prinsip analisis kesebandingan. Selanjutnya, akan dibahas panduan OECD terkait perlakuan LMC, diikuti dengan perspektif regulasi dan praktik di Indonesia, termasuk analisis terhadap peraturan terbaru dan putusan pengadilan pajak. Bagian berikutnya akan menyajikan analisis kritis terhadap faktor-faktor penentu dan pertimbangan praktis dalam mengevaluasi LMC. Laporan akan diakhiri dengan kesimpulan dan rekomendasi strategis bagi Wajib Pajak.

II. Tinjauan Umum Metode Laba Bersih Transaksional (TNMM) dan Analisis Kesebandingan

Prinsip dasar dan penerapan TNMM.

Metode Laba Bersih Transaksional (TNMM) adalah salah satu dari lima metode penentuan harga transfer yang diakui secara internasional dan diadopsi dalam peraturan perpajakan Indonesia. Metode ini bekerja dengan cara membandingkan tingkat laba bersih operasional relatif terhadap dasar atau basis yang tepat (misalnya, biaya, penjualan, atau aset) yang diperoleh tested party dari transaksi afiliasi, dengan tingkat laba bersih operasional yang diperoleh perusahaan independen dalam transaksi sebanding. Dasar pemikiran TNMM adalah bahwa perusahaan yang menjalankan fungsi, menggunakan aset, dan menanggung risiko yang serupa diharapkan akan memperoleh tingkat laba bersih operasional yang sebanding pula.  

TNMM seringkali menjadi pilihan ketika metode transfer pricing tradisional—yaitu Metode Perbandingan Harga Antar Pihak yang Independen (CUP), Metode Harga Penjualan Kembali (RPM), dan Metode Biaya-Plus (CPM)—tidak dapat diterapkan secara andal. Hal ini biasanya terjadi karena kurangnya data transaksi pembanding yang memiliki tingkat kesebandingan tinggi pada level harga atau margin kotor. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 (PER-32), TNMM dianggap tepat untuk diterapkan dalam kondisi di mana salah satu pihak dalam transaksi afiliasi melakukan kontribusi yang unik atau khusus, atau ketika salah satu pihak melakukan transaksi yang kompleks dan saling terkait satu sama lain.  

Kunci keberhasilan penerapan TNMM terletak pada pemilihan Indikator Tingkat Laba (Profit Level Indicator atau PLI) yang paling sesuai dengan fakta dan kondisi transaksi serta karakteristik usaha tested party. Beberapa PLI yang umum digunakan antara lain adalah marjin laba bersih atas penjualan (Net Margin atau Operating Margin), mark-up laba bersih atas total biaya (Net Cost Plus Mark-up atau Full Cost Mark-up), dan tingkat pengembalian atas aset (Return on Assets atau ROA). Pemilihan PLI harus mempertimbangkan faktor pendorong laba (profit driver) utama perusahaan dan independensi denominator yang digunakan dalam rasio PLI tersebut.  

Pentingnya analisis kesebandingan yang komprehensif.

Analisis kesebandingan merupakan landasan fundamental dalam penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU). OECD bahkan menyebut analisis kesebandingan sebagai jantung dari penerapan ALP. Tujuan utama dari analisis ini adalah untuk mengidentifikasi transaksi independen atau perusahaan independen yang kondisinya cukup sebanding dengan transaksi afiliasi atau pihak yang diuji, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan harga atau laba yang wajar.  

Analisis kesebandingan yang andal harus mempertimbangkan lima faktor utama, yaitu: (i) karakteristik barang atau jasa yang ditransaksikan; (ii) analisis fungsional, yang mencakup identifikasi fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung (analisis FAR) oleh masing-masing pihak yang bertransaksi; (iii) ketentuan kontraktual antara para pihak; (iv) keadaan ekonomi yang relevan; dan (v) strategi bisnis yang dijalankan oleh para pihak. Penting untuk ditekankan bahwa kesebandingan dinilai berdasarkan kelima faktor ini, dan bukan semata-mata berdasarkan kinerja keuangan seperti laba atau rugi.  

Tahapan dalam melakukan analisis kesebandingan umumnya meliputi pemahaman terhadap industri tested party, identifikasi transaksi afiliasi, analisis kondisi transaksi dan analisis FAR, pemilihan metode transfer pricing yang paling tepat, pencarian calon pembanding potensial, seleksi pembanding akhir, dan penerapan metode serta penentuan rentang kewajaran.  

Fleksibilitas TNMM dalam hal tingkat komparabilitas produk yang tidak seketat metode tradisional seringkali menjadi daya tarik utama. Namun, kemudahan ini justru membebankan tuntutan yang lebih tinggi pada aspek kesebandingan fungsional (FAR). Jika perusahaan yang merugi (LMC) dipertimbangkan sebagai calon pembanding, analisis FAR yang detail dan mendalam menjadi semakin vital. Hal ini diperlukan untuk membuktikan bahwa perbedaan profitabilitas (dalam hal ini, kerugian) tidak disebabkan oleh perbedaan fundamental dalam fungsi yang dijalankan, aset yang digunakan, atau risiko yang ditanggung oleh LMC dibandingkan dengan tested party. Dengan kata lain, Wajib Pajak tidak dapat hanya mengandalkan kemiripan industri atau produk saat memilih LMC untuk analisis TNMM; justifikasi berdasarkan analisis FAR yang kuat menjadi sebuah keharusan.  

Lebih lanjut, penekanan pada prinsip bahwa penerapan PKKU harus didasarkan pada "keadaan yang sebenarnya" memiliki implikasi penting terkait LMC. Jika kondisi pasar secara umum, seperti resesi industri atau disrupsi ekonomi yang luas (contohnya pandemi COVID-19 ), menyebabkan banyak perusahaan, termasuk perusahaan independen, mengalami kerugian, maka pengecualian otomatis terhadap LMC justru dapat bertentangan dengan prinsip "keadaan yang sebenarnya". Dalam skenario demikian, menolak LMC hanya karena status kerugiannya dapat menghasilkan rentang kewajaran yang artifisial tinggi dan tidak mencerminkan realitas ekonomi yang dihadapi oleh pelaku usaha independen. Hal ini mendukung argumentasi untuk tidak secara otomatis menolak LMC, melainkan melakukan analisis mendalam terhadap penyebab kerugian dalam konteks kondisi ekonomi dan industri yang relevan.  

III. Panduan Internasional (OECD) Mengenai Perusahaan Rugi sebagai Pembanding

Posisi umum OECD Transfer Pricing Guidelines (TPG).

OECD Transfer Pricing Guidelines (OECD TPG), yang menjadi rujukan utama bagi banyak negara termasuk Indonesia dalam menyusun regulasi transfer pricing, tidak menetapkan aturan yang kaku atau absolut mengenai perlakuan terhadap perusahaan yang merugi (LMC) dalam analisis kesebandingan. Panduan OECD COVID-19 secara eksplisit menyatakan bahwa tidak ada aturan yang mengesampingkan (overriding rule) dalam OECD TPG mengenai penyertaan atau pengecualian LMC. Sebaliknya, OECD TPG menganjurkan pendekatan analisis berdasarkan kasus per kasus (case-by-case) yang didasarkan pada fakta dan kondisi spesifik yang melingkupi setiap LMC potensial.  

Prinsip utamanya adalah bahwa LMC yang memenuhi kriteria kesebandingan lainnya tidak seharusnya ditolak sebagai pembanding hanya karena status kerugiannya. Jika setelah melalui analisis yang cermat terhadap lima faktor kesebandingan sebuah LMC terbukti sebanding dengan tested party, maka kerugian yang dialaminya dapat menjadi bagian dari rentang kewajaran yang mencerminkan kondisi pasar.  

Analisis mendalam terhadap Paragraf 3.64, 3.65, dan 3.66 OECD TPG 2022.

Meskipun edisi OECD TPG 2022 tidak secara langsung memuat teks spesifik paragraf ini dalam abstraknya , konten dari paragraf-paragraf ini (yang kemungkinan besar konsisten dengan edisi sebelumnya seperti TPG 2017) telah banyak dirujuk dan dianalisis dalam berbagai literatur dan putusan pengadilan.  

Paragraf 3.64 OECD TPG (berdasarkan interpretasi dari ) pada intinya menyatakan bahwa LMC tidak boleh secara otomatis dikecualikan dari set pembanding. Kesebandingan harus dinilai berdasarkan lima faktor kesebandingan yang telah disebutkan sebelumnya (karakteristik produk/jasa, analisis FAR, ketentuan kontrak, kondisi ekonomi, dan strategi bisnis), bukan semata-mata berdasarkan kinerja keuangan. Paragraf ini mengakui bahwa perusahaan independen pun dapat mengalami kerugian karena berbagai alasan yang sah dalam menjalankan aktivitas bisnisnya.  

Paragraf 3.65 OECD TPG (berdasarkan interpretasi dari ) menguraikan beberapa kondisi spesifik di mana LMC dapat dikecualikan dari set pembanding. Kondisi-kondisi tersebut adalah:  

  1. Kerugian mencerminkan kondisi bisnis abnormal: Ini terjadi jika kerugian yang dialami LMC disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak biasa atau tidak dialami oleh tested party. Contohnya termasuk perusahaan yang berada dalam tahap penurunan bisnis yang signifikan (decline phase), menuju kebangkrutan, atau mengalami kerugian akibat kejadian luar biasa yang bersifat unik bagi LMC tersebut. Perusahaan dalam kondisi seperti ini cenderung memiliki perilaku bisnis yang berbeda secara fundamental dibandingkan dengan perusahaan yang beroperasi dengan asumsi kelangsungan usaha (going concern).  
  2. Kerugian mencerminkan tingkat risiko yang tidak sebanding: Jika tested party memiliki profil risiko yang rendah (misalnya, sebagai low-risk distributor atau contract manufacturer), maka LMC yang kerugiannya mengindikasikan bahwa ia menanggung tingkat risiko yang jauh lebih tinggi mungkin tidak sebanding. Meskipun demikian, OECD TPG tetap menyarankan dilakukannya analisis lebih lanjut untuk memahami alasan di balik kerugian tersebut sebelum mengambil keputusan eksklusi. Kerugian yang persisten atau berkelanjutan selama beberapa tahun juga dapat menjadi indikasi bahwa LMC beroperasi dalam kondisi ekonomi yang berbeda secara substansial dan menanggung risiko yang tidak sebanding.  

Paragraf 3.66 OECD TPG (berdasarkan interpretasi dari ) menambahkan bahwa analisis harus mempertimbangkan apakah kerugian yang dialami LMC disebabkan oleh faktor-faktor siklikal dalam industri atau kejadian ekonomi tertentu yang dapat dijelaskan. Dalam kasus seperti itu, penyesuaian kesebandingan (comparability adjustments) atau penyertaan faktor penjelas dalam analisis mungkin diperlukan untuk mempertahankan kesebandingan LMC tersebut.  

Secara historis, praktik untuk mengecualikan LMC seringkali didasarkan pada asumsi bahwa entitas yang terus merugi pada akhirnya akan keluar dari pasar, atau bahwa kerugian tersebut merupakan cerminan dari inefisiensi manajemen, atau strategi bisnis yang unik dan tidak representatif. Namun, pandangan ini semakin dikritisi karena dianggap kurang mencerminkan realitas ekonomi, terutama dalam periode resesi atau tantangan industri yang luas.  

Pentingnya analisis case-by-case dan justifikasi ekonomis.

Pendekatan OECD TPG yang menekankan analisis case-by-case mengharuskan setiap LMC potensial dievaluasi secara individual. Alasan di balik kerugian yang dialami harus dipahami secara mendalam dan didokumentasikan dengan baik. Apakah kerugian tersebut bersifat sementara atau persisten? Apakah disebabkan oleh strategi bisnis yang sah dan wajar, seperti upaya penetrasi pasar, investasi besar dalam riset dan pengembangan, atau biaya start-up yang tinggi? Ataukah kerugian tersebut merupakan akibat dari kondisi pasar umum yang juga memengaruhi pelaku usaha independen lainnya?.  

Dokumentasi yang komprehensif, transparan, dan dapat dipertahankan menjadi sangat krusial dalam mendukung keputusan untuk menyertakan atau mengecualikan LMC. Wajib Pajak harus mampu menyajikan justifikasi ekonomis yang kuat untuk setiap pilihannya.  

Contoh yurisprudensi internasional.

Perkembangan yurisprudensi di berbagai negara menunjukkan adanya pergeseran menuju pendekatan yang lebih bernuansa dalam memperlakukan LMC, sejalan dengan panduan OECD.

  • Mahkamah Agung Italia (Juli 2024, dilaporkan Januari 2025) mengeluarkan putusan penting yang menekankan bahwa strategi bisnis yang sah, seperti strategi penetrasi pasar atau tingginya biaya awal (startup costs), dapat menjadi justifikasi yang valid untuk kerugian sementara yang dialami perusahaan. Putusan ini memperkuat prinsip bahwa analisis benchmarking harus mempertimbangkan konteks ekonomi dan strategis yang lebih luas, bukan hanya metrik keuangan semata.  
  • Mahkamah Agung Kolombia (Desember 2024, dipublikasikan Februari 2025) juga mengeluarkan putusan yang sejalan. Pengadilan menyatakan bahwa keberadaan kerugian tidak secara otomatis menghilangkan kesebandingan suatu perusahaan, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut bersifat berulang, struktural, atau mencerminkan situasi ekonomi yang secara fundamental berbeda dari tested party. Putusan ini menekankan pentingnya analisis multifaktor (fungsi, aset, risiko, dan kondisi pasar) dan menolak eksklusi LMC secara otomatis hanya berdasarkan kriteria kuantitatif.  
  • Kasus-kasus di India menunjukkan variasi dalam keputusan hakim. Dalam kasus M/S. Bobst India Pvt. Ltd. (2017), pengadilan menerima LMC yang mengalami kerugian selama tiga tahun. Namun, dalam kasus lain seperti Erhardt+Leimer (India) Private Limited (2016), pengadilan menekankan perlunya analisis fakta dan kondisi yang lebih mendalam untuk menentukan apakah kerugian tersebut mencerminkan kondisi bisnis yang abnormal atau tingkat risiko yang berbeda.  
  • Praktik di China, sebaliknya, menunjukkan kecenderungan otoritas pajak untuk lebih ketat. Panduan seperti "Circular 2" (2009) dan "Bulletin 6" (2017) mengindikasikan bahwa entitas dengan fungsi rutin diharapkan mempertahankan tingkat laba yang wajar, dan LMC akan diawasi dengan lebih ketat.  

Yurisprudensi internasional yang berkembang, seperti di Italia dan Kolombia, memberikan sinyal positif bagi Wajib Pajak. Putusan-putusan ini menantang praktik historis beberapa otoritas pajak yang cenderung mengecualikan LMC secara otomatis dan menekankan perlunya justifikasi ekonomi yang kuat dari otoritas pajak jika mereka hendak menolak LMC yang relevan. Meskipun putusan dari yurisdiksi lain tidak mengikat secara hukum di Indonesia, tren ini dapat menjadi argumen persuasif dan mendorong otoritas pajak untuk memberikan alasan yang lebih substantif saat menolak LMC.

Lebih lanjut, Paragraf 3.65 OECD TPG, meskipun memberikan dasar untuk penolakan LMC, secara tidak langsung juga menetapkan standar pembuktian yang cukup tinggi. Klaim bahwa suatu kerugian mencerminkan "kondisi bisnis abnormal" atau "level risiko yang tidak sebanding" bukanlah klaim yang dapat dibuat dengan mudah tanpa analisis yang mendalam dan didukung bukti. Ini berarti beban pembuktian tidak hanya terletak pada Wajib Pajak yang menggunakan LMC, tetapi juga pada otoritas pajak yang berupaya menolaknya. Otoritas pajak juga dituntut untuk melakukan analisis yang komprehensif sebelum menolak LMC. Implikasinya, Wajib Pajak harus proaktif melakukan analisis ini untuk setiap LMC yang dipilih guna mengantisipasi dan menjawab potensi keberatan dari otoritas pajak.

IV. Perspektif Regulasi dan Praktik di Indonesia

Ketentuan dalam Peraturan Dirjen Pajak (PER-32/PJ/2011 dan SE-50/PJ/2013).

Regulasi transfer pricing di Indonesia telah mengalami perkembangan signifikan. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan PER-32/PJ/2011 (selanjutnya disebut PER-32) menjadi salah satu tonggak penting. PER-32 memperkenalkan pendekatan metode penentuan harga transfer yang paling sesuai (most appropriate method), menggantikan pendekatan hierarki metode yang kaku, meskipun Metode Perbandingan Harga Antar Pihak yang Independen (CUP) tetap dianggap sebagai metode yang paling diutamakan jika dapat diterapkan secara andal. PER-32 juga mengatur langkah-langkah penerapan ALP, termasuk pelaksanaan analisis kesebandingan dan identifikasi pembanding.  

Terkait secara spesifik dengan perlakuan perusahaan rugi (LMC) sebagai pembanding dalam analisis TNMM, PER-32 tidak memberikan panduan eksplisit. Namun demikian, prinsip-prinsip umum dalam analisis kesebandingan, terutama analisis fungsi, aset, dan risiko (FAR), tetap berlaku dan menjadi pedoman utama. Artinya, meskipun tidak ada larangan atau izin khusus terkait LMC, kelayakannya akan dinilai berdasarkan pemenuhan kriteria kesebandingan secara keseluruhan.  

Untuk memberikan panduan lebih lanjut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-50/PJ/2013 (SE-50). Surat Edaran ini memberikan petunjuk teknis mengenai pelaksanaan analisis kesebandingan, termasuk kriteria pencarian dan proses seleksi manual pembanding eksternal. Proses seleksi manual ini melibatkan penelaahan profil perusahaan kandidat pembanding, informasi dari situs web perusahaan, serta informasi dari media cetak atau daring untuk menentukan keandalan kandidat tersebut. SE-50 juga menjelaskan mengenai penggunaan data beberapa tahun (multiple years data) yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas analisis kesebandingan dan membantu mengidentifikasi pembanding yang memiliki perbedaan signifikan dengan pihak yang diuji. Meskipun demikian, SE-50 menegaskan bahwa penentuan harga atau laba wajar pada akhirnya tetap didasarkan pada data tahun transaksi yang bersangkutan, bukan pada rata-rata kinerja data beberapa tahun.  

Implikasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/PMK.03/2023 (PMK-172/2023) terhadap analisis kesebandingan dan pemilihan pembanding.

Pada akhir tahun 2023, Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/PMK.03/2023 (PMK-172/2023). Regulasi ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan dan menyempurnakan berbagai peraturan transfer pricing sebelumnya, termasuk yang berkaitan dengan dokumentasi transfer pricing, Prosedur Persetujuan Bersama (MAP), dan Kesepakatan Harga Transfer di Muka (APA).  

Meskipun PMK-172/2023, serupa dengan PER-32, tidak secara eksplisit mengatur perlakuan terhadap LMC , beberapa ketentuan baru di dalamnya memiliki implikasi signifikan terhadap bagaimana analisis kesebandingan dan pemilihan pembanding (termasuk LMC) dilakukan:  

  1. Penyesuaian Kesebandingan: Salah satu perubahan fundamental adalah ketentuan bahwa penyesuaian kesebandingan, jika diperlukan untuk menghilangkan dampak material perbedaan kondisi, harus dilakukan pada data pembanding independen, bukan pada data pihak yang diuji atau transaksi afiliasi yang dikendalikan. Ketentuan ini berbeda dengan praktik umum di banyak yurisdiksi dan panduan OECD TPG yang tidak membatasi pada siapa penyesuaian dilakukan. Hal ini dapat menimbulkan tantangan praktis, terutama jika data detail mengenai operasional pembanding (khususnya LMC) terbatas.  
  2. Preferensi Geografis untuk Pembanding: PMK-172/2023 menegaskan bahwa jika tersedia lebih dari satu pembanding eksternal dengan tingkat kesebandingan dan keandalan yang sama, maka pembanding yang berasal dari negara atau yurisdiksi yang sama dengan pihak yang diuji harus dipilih dan digunakan. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan relevansi kondisi pasar, ketentuan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Jika LMC lokal yang relevan tersedia, ini dapat memperkuat argumen. Namun, jika tidak ada LMC lokal yang memadai dan Wajib Pajak harus mencari pembanding dari yurisdiksi lain (setelah pencarian lokal tidak berhasil), tantangan untuk membuktikan kesebandingan kondisi pasar bisa lebih besar.  
  3. Penggunaan Data Tahun Tunggal vs. Data Multi-Tahun: PMK-172/2023 menunjukkan preferensi terhadap penggunaan data pembanding tahun tunggal (single-year data), kecuali jika penggunaan data multi-tahun dapat dibuktikan meningkatkan kesebandingan antara transaksi afiliasi dan transaksi independen. Hal ini berpotensi menjadi tantangan dalam menganalisis LMC, di mana kerugian mungkin bersifat sementara dan lebih akurat jika dianalisis menggunakan data beberapa tahun untuk melihat tren jangka panjang.  
  4. Pembentukan Rentang Kewajaran: PMK-172/2023 mengatur bahwa rentang kewajaran dapat berupa rentang penuh (full range) jika terdiri dari dua pembanding, atau rentang interkuartil (interquartile range) jika terdiri dari tiga pembanding atau lebih. Fleksibilitas ini dapat memengaruhi bagaimana sebuah LMC (jika dimasukkan) akan memengaruhi batas atas dan bawah rentang kewajaran.  
  5. Analisis Industri yang Komprehensif: Regulasi ini merinci tujuh faktor yang harus dipenuhi dalam analisis industri, yang bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan kondisi transaksi afiliasi dengan data pembanding secara lebih komprehensif.  

Meskipun PMK-172/2023 tidak secara eksplisit membahas LMC, penekanannya pada penggunaan data tahun tunggal dan pelaksanaan penyesuaian pada data pembanding dapat secara tidak langsung mempersulit justifikasi penggunaan LMC di Indonesia. Wajib Pajak perlu sangat cermat dalam membangun argumen kesebandingan jika memutuskan untuk menggunakan LMC, terutama jika kerugian terjadi pada tahun tunggal yang menjadi fokus analisis. Kemampuan untuk menunjukkan bahwa penggunaan data multi-tahun justru meningkatkan kesebandingan akan menjadi kunci.

Praktik umum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan potensi area sengketa.

Dalam praktiknya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) seringkali menunjukkan sikap skeptis dan cenderung menolak penggunaan LMC sebagai pembanding, terutama jika pihak yang diuji adalah entitas dengan profil risiko rendah seperti contract manufacturer atau limited-risk distributor. Alasan umum yang dikemukakan DJP untuk penolakan adalah bahwa LMC dianggap tidak beroperasi dalam kondisi bisnis yang normal atau tidak mencerminkan perilaku perusahaan independen yang bertujuan mencari laba.  

Lebih lanjut, DJP melakukan pemrofilan risiko (risk-profiling) terhadap Wajib Pajak, di mana kerugian usaha atau kinerja laba yang buruk dibandingkan dengan rata-rata industri menjadi salah satu indikator yang dapat memicu pemeriksaan transfer pricing. Perbedaan pandangan antara Wajib Pajak dan DJP mengenai kelayakan LMC sebagai pembanding seringkali menjadi sumber sengketa pajak transfer pricing di Indonesia.  

Analisis putusan pengadilan pajak di Indonesia.

Meskipun praktik DJP cenderung konservatif, beberapa putusan pengadilan pajak di Indonesia memberikan perspektif yang berbeda dan lebih sejalan dengan panduan OECD. Salah satu contoh yang relevan adalah Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-119380.15/2014/PP/M.XVI A Tahun 2020. Dalam kasus ini, yang melibatkan PT Seamless Pipe Indonesia Jaya sebagai Pemohon Banding dengan karakterisasi sebagai Contract Manufacturer (CM), Terbanding (DJP) melakukan koreksi atas peredaran usaha terkait transaksi afiliasi. Salah satu dasar koreksi adalah penolakan terhadap perusahaan pembanding yang digunakan oleh Pemohon Banding, yaitu Dongyang S.Tec.Co.,Ltd., dengan alasan perusahaan tersebut mengalami kerugian operasional pada tahun 2012. Argumen DJP adalah bahwa CM seharusnya menanggung risiko terbatas dan oleh karena itu tidak seharusnya mengalami kerugian.  

Pemohon Banding memberikan sanggahan bahwa meskipun CM umumnya memiliki risiko terbatas, hal tersebut tidak berarti CM tidak pernah bisa mengalami kerugian operasional dalam satu tahun tertentu. Berbagai faktor eksternal seperti fluktuasi harga bahan baku, volatilitas kurs mata uang asing, atau bahkan kejadian force majeure dapat menyebabkan kerugian sementara. Pemohon Banding juga menekankan bahwa tidak ada peraturan yang secara eksplisit mengharuskan CM untuk selalu mencatatkan laba operasional positif setiap tahun.  

Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam putusannya setuju dengan argumentasi Pemohon Banding. Majelis berpendapat bahwa kerugian operasional yang bersifat sementara tidak secara otomatis mendiskualifikasi suatu perusahaan untuk menjadi pembanding bagi entitas CM. Pandangan DJP bahwa CM tidak mungkin mengalami kerugian dianggap tidak masuk akal jika mempertimbangkan realitas dunia usaha. Meskipun putusan ini tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Dongyang S.Tec.Co.,Ltd. harus diterima, penalaran Majelis Hakim dengan jelas mengindikasikan bahwa fakta kerugian operasional pada tahun 2012 saja tidak cukup menjadi dasar penolakan. Pengadilan akhirnya mengabulkan permohonan banding, yang menyiratkan bahwa koreksi DJP yang didasarkan pada penolakan pembanding tersebut tidak dipertahankan.  

Putusan seperti ini memberikan preseden penting bagi Wajib Pajak di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa pengadilan bersedia untuk melihat lebih dari sekadar angka kerugian dan mempertimbangkan justifikasi ekonomis yang mendasarinya, sejalan dengan semangat OECD TPG. Namun, perlu diingat bahwa setiap kasus transfer pricing bersifat unik, dan DJP kemungkinan akan tetap menantang penggunaan LMC. Oleh karena itu, Wajib Pajak tetap harus mempersiapkan analisis FAR yang kuat dan dokumentasi yang spesifik untuk kasus mereka masing-masing.

V. Analisis Kritis: Faktor Penentu dan Pertimbangan Praktis

Keberhasilan penggunaan perusahaan yang merugi (LMC) sebagai pembanding dalam analisis TNMM sangat bergantung pada kemampuan Wajib Pajak untuk melakukan analisis yang cermat dan menyajikan justifikasi yang kuat. Beberapa faktor krusial perlu dipertimbangkan secara mendalam.

Evaluasi fungsi, aset, dan risiko (FAR) secara detail.

Analisis fungsi, aset, dan risiko (FAR) merupakan pilar utama dalam menentukan tingkat kesebandingan antara pihak yang diuji (tested party) dan calon perusahaan pembanding. Perusahaan yang merugi hanya dapat dianggap sebanding jika memiliki profil FAR yang secara substansial serupa dengan tested party. Kerugian yang dialami oleh LMC tidak boleh disebabkan oleh perbedaan signifikan dalam fungsi yang dijalankan, aset yang digunakan, atau risiko yang ditanggung dibandingkan dengan tested party. Sebagai contoh, jika tested party adalah sebuah entitas distributor dengan risiko terbatas (limited-risk distributor), maka LMC yang menanggung risiko pasar secara penuh, yang tercermin dari kerugiannya, kemungkinan besar tidak akan dianggap sebanding. Oleh karena itu, dokumentasi transfer pricing harus memuat analisis FAR yang rinci untuk setiap LMC yang dipertimbangkan.  

Analisis penyebab kerugian.

Memahami mengapa sebuah perusahaan mengalami kerugian adalah "jantung" dari argumen untuk menerima atau menolaknya sebagai pembanding. Analisis ini memerlukan investigasi yang mendalam yang melampaui angka-angka dalam laporan keuangan semata, dan mungkin melibatkan penelaahan laporan tahunan secara detail, berita industri, laporan analisis pasar, serta kondisi makroekonomi yang relevan. Hal ini secara signifikan meningkatkan kompleksitas dan waktu yang dibutuhkan untuk analisis benchmarking. Wajib Pajak harus dapat mengidentifikasi dan mendokumentasikan penyebab kerugian LMC, yang dapat meliputi:

  • Strategi bisnis yang sah: Misalnya, perusahaan sedang dalam tahap penetrasi pasar dengan menetapkan harga jual rendah untuk mendapatkan pangsa pasar, melakukan investasi awal yang besar dalam fasilitas atau teknologi, atau mengeluarkan biaya riset dan pengembangan yang signifikan untuk produk baru.  
  • Kondisi pasar atau industri secara umum: Kerugian dapat disebabkan oleh resesi ekonomi, persaingan yang sangat ketat dalam industri, disrupsi teknologi yang mengubah lanskap bisnis, atau berada dalam fase siklus bisnis yang sedang menurun. Jika tested party juga beroperasi dalam kondisi pasar atau industri yang serupa, maka LMC yang mengalami kerugian karena faktor-faktor ini mungkin tetap relevan.  
  • Inefisiensi operasional atau manajemen yang buruk pada LMC: Jika kerugian disebabkan oleh masalah internal LMC yang bersifat idiosinkratik, seperti manajemen yang tidak kompeten atau proses operasional yang tidak efisien, maka LMC tersebut kemungkinan besar tidak sebanding.  
  • Kejadian luar biasa (extraordinary events): Bencana alam, pandemi global (seperti COVID-19), atau peristiwa tak terduga lainnya dapat menyebabkan kerugian signifikan. Panduan OECD terkait implikasi COVID-19 terhadap transfer pricing memberikan arahan mengenai bagaimana memperlakukan kerugian akibat kejadian semacam ini.  

Penting untuk membedakan antara kerugian yang mencerminkan risiko bisnis yang normal dan wajar dalam konteks industri dan kondisi ekonomi tertentu, dengan kerugian yang timbul akibat faktor-faktor unik pada LMC yang tidak relevan atau tidak dialami oleh tested party.

Penggunaan data multi-tahun (multiple-year data) versus data tahun tunggal (single-year data).

Penggunaan data beberapa tahun (biasanya 3-5 tahun) dalam analisis kesebandingan seringkali direkomendasikan untuk meningkatkan keandalan hasil. Data multi-tahun dapat membantu:

  • Menormalkan fluktuasi laba atau rugi tahunan yang mungkin bersifat sementara dan menunjukkan kinerja jangka panjang yang lebih stabil dari perusahaan pembanding.  
  • Mengidentifikasi apakah kerugian yang dialami LMC bersifat persisten (terjadi berulang kali selama beberapa tahun, yang mungkin mengindikasikan masalah struktural atau risiko yang lebih tinggi) atau hanya bersifat sementara atau insidental.  
  • Menilai dampak siklus bisnis terhadap profitabilitas perusahaan dalam industri tertentu.

OECD TPG umumnya mendukung penggunaan data multi-tahun untuk tujuan ini. Di Indonesia, SE-50 juga menyebutkan bahwa penggunaan data multi-tahun dapat meningkatkan analisis kesebandingan, meskipun penentuan laba wajar tetap didasarkan pada data tahun transaksi. Namun, PMK-172/2023 menunjukkan preferensi terhadap penggunaan data tahun tunggal, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa penggunaan data multi-tahun secara spesifik dapat meningkatkan kesebandingan.  

Perdebatan mengenai penggunaan data tahun tunggal versus data multi-tahun untuk LMC sangat dipengaruhi oleh filosofi dasar apakah analisis transfer pricing bertujuan untuk menguji hasil aktual tahunan (ex-post testing) atau kewajaran penetapan harga pada saat transaksi dilakukan (ex-ante pricing). Preferensi PMK-172/2023 terhadap data tahun tunggal dan penekanan pada penerapan ALP pada saat transaksi terjadi atau harga transfer ditetapkan tampaknya lebih condong ke perspektif pengujian hasil aktual tahunan atau penetapan harga awal berdasarkan kondisi saat itu. Pendekatan ini bisa kurang ideal untuk LMC yang kerugiannya mungkin bersifat siklis atau sementara, di mana data multi-tahun akan memberikan gambaran yang lebih representatif. Implikasinya, Wajib Pajak di Indonesia perlu sangat berhati-hati dan memiliki justifikasi yang sangat kuat jika ingin menggunakan data multi-tahun untuk LMC di bawah rezim PMK-172/2023, dengan secara eksplisit menunjukkan bagaimana penggunaan data tersebut secara nyata meningkatkan kesebandingan.  

Kebutuhan dan tantangan dalam melakukan penyesuaian kesebandingan (comparability adjustments).

Jika terdapat perbedaan kondisi yang material antara tested party dan LMC yang dipilih (misalnya, perbedaan dalam tingkat modal kerja, skala operasi, intensitas aset, atau tingkat risiko yang ditanggung), penyesuaian kesebandingan mungkin diperlukan untuk menghilangkan dampak perbedaan tersebut dan meningkatkan keandalan hasil analisis. Penyesuaian ini harus dilakukan secara andal dan didasarkan pada data yang dapat diverifikasi dan diukur secara kuantitatif.  

Tantangan utama dalam melakukan penyesuaian adalah ketersediaan data yang cukup detail dan akurat mengenai operasional perusahaan pembanding, terutama jika LMC adalah perusahaan swasta dengan informasi publik yang terbatas. Lebih lanjut, PMK-172/2023 di Indonesia mengharuskan penyesuaian kesebandingan dilakukan pada data pembanding independen, bukan pada data tested party. Ketentuan ini dapat menambah kompleksitas dan kesulitan praktis, karena Wajib Pajak mungkin tidak memiliki akses ke informasi internal pembanding yang diperlukan untuk melakukan penyesuaian yang akurat. Tantangan ini dapat secara efektif menjadi penghalang praktis untuk menggunakan beberapa LMC, bahkan jika secara konseptual mereka sebanding, karena kurangnya data untuk melakukan penyesuaian yang andal. Hal ini berpotensi mempersempit set pembanding yang layak dan, dalam beberapa kasus, mendistorsi rentang kewajaran.  

Strategi dokumentasi untuk mendukung penggunaan (atau penolakan) perusahaan rugi sebagai pembanding.

Dokumentasi transfer pricing (TP Doc) memegang peranan sentral. TP Doc harus secara jelas dan transparan memberikan justifikasi atas keputusan untuk menyertakan atau mengecualikan setiap LMC yang dipertimbangkan selama proses pencarian pembanding. Dokumentasi tersebut harus mencakup:  

  • Analisis FAR yang rinci untuk tested party dan setiap LMC yang dianalisis.
  • Penjelasan mendalam mengenai penyebab kerugian yang dialami LMC, didukung oleh bukti dari sumber-sumber yang kredibel (misalnya, laporan tahunan LMC, laporan industri, analisis ekonomi).
  • Analisis data multi-tahun (jika digunakan), yang menunjukkan bagaimana kinerja LMC dalam jangka panjang dan apakah kerugian bersifat sementara atau persisten.
  • Justifikasi untuk setiap penyesuaian kesebandingan yang dilakukan (atau alasan mengapa penyesuaian tidak dilakukan atau tidak dimungkinkan).
  • Bukti-bukti pendukung lainnya, seperti artikel berita, analisis pasar, atau data statistik industri.

VI. Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Berdasarkan analisis terhadap panduan internasional (OECD TPG) dan kerangka regulasi serta praktik di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang mengalami kerugian dapat digunakan sebagai perusahaan pembanding dalam pengujian transfer pricing yang menggunakan Metode Laba Bersih Transaksional (TNMM). Tidak ada larangan absolut baik dalam OECD TPG maupun dalam peraturan perpajakan Indonesia yang secara otomatis mengecualikan LMC dari set pembanding hanya karena status kerugiannya.

Namun demikian, penerimaan LMC sebagai pembanding yang valid tidak bersifat otomatis dan sangat bergantung pada pemenuhan kriteria kesebandingan yang ketat. Diperlukan analisis yang sangat cermat, komprehensif, dan berdasarkan fakta serta kondisi spesifik (case-by-case) untuk setiap LMC yang dipertimbangkan. Fokus utama bukanlah pada angka laba atau rugi semata, melainkan pada apakah kerugian yang dialami LMC tersebut menjadikannya secara fundamental tidak sebanding dengan pihak yang diuji (tested party) setelah mempertimbangkan secara menyeluruh lima faktor kesebandingan (karakteristik produk/jasa, analisis FAR, ketentuan kontrak, kondisi ekonomi, dan strategi bisnis), serta penyebab spesifik di balik kerugian tersebut.

Dalam menghadapi kompleksitas isu LMC, Wajib Pajak disarankan untuk mengadopsi pendekatan yang hati-hati, metodis, dan didukung oleh dokumentasi yang kuat. Berikut adalah beberapa rekomendasi strategis:

  1. Lakukan Analisis FAR Mendalam: Pastikan bahwa profil fungsi, aset, dan risiko (FAR) dari LMC yang dipertimbangkan benar-benar sebanding dengan tested party. Identifikasi dan dokumentasikan setiap perbedaan, serta evaluasi dampaknya terhadap kesebandingan.
  2. Selidiki Penyebab Kerugian secara Komprehensif: Jangan hanya menerima angka kerugian pada laporan keuangan. Lakukan investigasi untuk memahami mengapa LMC tersebut merugi. Apakah karena strategi bisnis yang wajar, kondisi pasar umum, inefisiensi internal, atau kejadian luar biasa? Hubungkan penyebab kerugian ini dengan relevansinya terhadap kondisi tested party dan pasar tempat ia beroperasi.
  3. Pertimbangkan Penggunaan Data Multi-Tahun dengan Cermat: Meskipun PMK-172/2023 di Indonesia menunjukkan preferensi untuk data tahun tunggal, Wajib Pajak sebaiknya tetap mempertimbangkan dan, jika relevan, mengargumentasikan penggunaan data multi-tahun. Data multi-tahun dapat memberikan gambaran yang lebih andal mengenai profitabilitas normal LMC dalam jangka panjang dan membantu menormalkan fluktuasi tahunan, terutama jika kerugian bersifat sementara atau siklis. Justifikasi yang kuat mengenai bagaimana data multi-tahun meningkatkan kesebandingan menjadi kunci.
  4. Lakukan Penyesuaian Kesebandingan yang Andal (Jika Diperlukan dan Memungkinkan): Jika terdapat perbedaan kondisi yang material antara tested party dan LMC, lakukan penyesuaian kesebandingan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomis dan didukung oleh data yang valid. Pahami tantangan dan persyaratan melakukan penyesuaian pada data pembanding berdasarkan ketentuan PMK-172/2023.
  5. Dokumentasikan Setiap Langkah Secara Komprehensif dan Transparan: Buat justifikasi yang rinci dan kuat dalam Dokumentasi Harga Transfer (TP Doc) untuk setiap LMC yang disertakan dalam set pembanding maupun yang dikecualikan selama proses seleksi. Jelaskan secara detail proses pencarian dan seleksi pembanding, analisis FAR, investigasi penyebab kerugian, analisis data (tahun tunggal vs. multi-tahun), dan dasar serta metodologi penyesuaian yang dilakukan (atau alasan mengapa tidak dilakukan).
  6. Pahami Praktik DJP dan Yurisprudensi yang Berkembang: Sadari kecenderungan umum DJP untuk mengkritisi penggunaan LMC, namun juga manfaatkan putusan pengadilan pajak di Indonesia yang mungkin mendukung penggunaan LMC dalam kondisi tertentu sebagai argumen pendukung, jika relevan dengan fakta kasus Wajib Pajak.  
  7. Konsisten dengan Kondisi Ekonomi dan Industri: Jika kerugian merupakan fenomena yang meluas dalam industri atau pasar akibat kondisi ekonomi tertentu (misalnya, resesi, pandemi), maka penyertaan LMC yang terdampak serupa dapat lebih mudah dipertahankan karena mencerminkan "keadaan yang sebenarnya".
  8. Siapkan Pembelaan yang Kuat dan Proaktif: Antisipasi pertanyaan dan potensi keberatan dari otoritas pajak terkait penggunaan LMC. Siapkan argumen yang solid, didukung oleh analisis ekonomi dan bukti-bukti pendukung yang relevan.

Strategi "terbaik" dalam menghadapi isu LMC mungkin bukanlah tentang selalu berusaha memasukkan atau selalu mengecualikan LMC secara apriori. Sebaliknya, fokus seharusnya pada pembangunan proses seleksi pembanding yang transparan, metodis, objektif, dan didukung oleh bukti yang kuat. Keputusan mengenai penerimaan atau penolakan LMC haruslah merupakan hasil logis dari proses analisis kesebandingan yang cermat tersebut. Pendekatan ini tidak hanya menunjukkan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip transfer pricing, tetapi juga mencerminkan kematangan dan profesionalisme dalam pengelolaan risiko transfer pricing.

Dalam arena transfer pricing yang seringkali kompleks dan penuh perdebatan, terutama terkait isu sensitif seperti penggunaan LMC, dokumentasi yang komprehensif dan justifikasi ekonomis yang kuat bukan lagi sekadar pemenuhan kewajiban formal. Keduanya adalah alat pertahanan utama Wajib Pajak. Semakin baik, detail, dan logis justifikasi yang disajikan, serta semakin lengkap dan relevan dokumentasi pendukungnya, maka semakin besar pula peluang LMC yang dipilih dapat diterima oleh otoritas pajak, atau setidaknya, posisi Wajib Pajak dapat dipertahankan dengan lebih baik dalam potensi sengketa.

Mengingat kompleksitas isu LMC dan potensi terjadinya sengketa yang memakan waktu dan biaya , Wajib Pajak yang memiliki transaksi afiliasi signifikan dan menghadapi kesulitan dalam menemukan pembanding yang ideal mungkin perlu mempertimbangkan pendekatan proaktif. Salah satu opsi adalah mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer di Muka (Advance Pricing Agreement atau APA) kepada DJP, sebagaimana diatur dalam PMK-172/2023. Melalui APA, Wajib Pajak dapat mendiskusikan dan menyepakati metodologi penentuan harga transfer, termasuk kriteria pemilihan pembanding (dan perlakuan terhadap LMC jika relevan), dengan DJP untuk periode tertentu di masa mendatang. Langkah ini dapat memberikan kepastian hukum yang lebih besar dan meminimalkan risiko sengketa transfer pricing di kemudian hari.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Tax Ratio Indonesia Rendah

Pendahuluan: Memahami Rasio Pajak Bagian ini memperkenalkan ko...