I. Pendahuluan
Signifikansi
pemilihan pembanding yang tepat dalam transfer pricing.
Penentuan
harga transfer (transfer pricing) merupakan aspek krusial dalam
transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Tujuan utama
dari regulasi transfer pricing adalah untuk memastikan bahwa harga yang
ditetapkan dalam transaksi tersebut telah mencerminkan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha (PKKU) atau Arm's Length Principle (ALP). Prinsip ini
menghendaki agar kondisi dalam transaksi afiliasi sebanding dengan kondisi
dalam transaksi yang dilakukan antar pihak independen dalam situasi yang
serupa.
Dalam
konteks ini, pemilihan perusahaan pembanding yang andal dan benar-benar
sebanding menjadi elemen fundamental, terutama ketika Wajib Pajak menerapkan
metode penentuan harga transfer berbasis laba seperti Metode Laba Bersih
Transaksional (TNMM). Perusahaan pembanding berfungsi sebagai tolok ukur untuk
menentukan apakah laba yang dihasilkan oleh pihak yang diuji (tested party)
dari transaksi afiliasinya berada dalam rentang yang wajar. Kesalahan dalam
proses identifikasi dan seleksi pembanding dapat mengakibatkan distorsi pada
rentang kewajaran laba, yang pada gilirannya berpotensi menimbulkan koreksi
pajak signifikan dan sengketa dengan otoritas pajak.
Permasalahan
spesifik terkait penggunaan perusahaan rugi dalam metode TNMM.
Salah
satu isu yang kerap menimbulkan perdebatan dalam praktik transfer pricing
adalah penggunaan perusahaan yang mengalami kerugian (loss-making
comparables atau LMC) sebagai pembanding dalam analisis TNMM.
Penggunaan LMC dapat secara substansial memengaruhi hasil analisis benchmarking
dan, akibatnya, rentang kewajaran laba yang dihasilkan. Terdapat pandangan,
khususnya dari sisi otoritas pajak, bahwa perusahaan yang merugi secara inheren
tidak dapat dianggap sebanding dengan tested party yang umumnya
diasumsikan beroperasi secara normal dan bertujuan untuk menghasilkan laba,
terutama jika tested party merupakan entitas dengan fungsi, aset, dan
risiko (FAR) yang bersifat rutin atau terbatas.
Kontroversi
seputar LMC ini sejatinya tidak hanya berkutat pada aspek teknis pemilihan
pembanding. Lebih jauh, ia mencerminkan perbedaan pandangan yang lebih mendasar
mengenai ekspektasi profitabilitas "normal" dalam dinamika pasar yang
seringkali tidak ideal. Otoritas pajak mungkin memiliki kecenderungan untuk
berpegang pada asumsi bahwa entitas independen akan selalu berupaya
memaksimalkan laba dan menghindari kerugian. Namun, realitas dunia usaha
menunjukkan bahwa kerugian dapat terjadi karena berbagai alasan yang sah dan
wajar, seperti strategi penetrasi pasar, siklus bisnis, kondisi ekonomi makro
yang kurang menguntungkan, atau investasi awal yang besar. Dengan demikian,
Wajib Pajak seringkali dihadapkan pada tantangan untuk menjembatani persepsi
ini dengan menyajikan justifikasi ekonomis yang kuat dan dokumentasi yang
detail mengenai alasan di balik kerugian yang dialami oleh perusahaan
pembanding yang dipilih.
Seiring
dengan meningkatnya pengawasan transfer pricing baik di tingkat global
maupun di Indonesia , isu-isu teknis seperti pemilihan LMC menjadi semakin
krusial. Otoritas pajak, termasuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Indonesia,
semakin cermat dalam melakukan pemeriksaan transfer pricing, dan
kerugian atau kinerja laba yang buruk seringkali menjadi salah satu faktor
risiko yang memicu audit. Oleh karena itu, keputusan untuk menyertakan atau
mengecualikan LMC dari set pembanding harus didasarkan pada analisis yang
mendalam dan didukung oleh argumentasi yang kokoh.
Tujuan
dan Struktur Tulisan
Tulisan
ini bertujuan untuk memberikan analisis yang komprehensif mengenai apakah dan
dalam kondisi bagaimana perusahaan yang merugi dapat digunakan sebagai
pembanding dalam analisis TNMM. Pembahasan akan merujuk pada panduan
internasional, khususnya OECD Transfer Pricing Guidelines, serta
peraturan perundang-undangan dan praktik yang berlaku di Indonesia. Selain itu,
laporan ini juga akan menyajikan panduan praktis bagi Wajib Pajak dalam
menghadapi isu kompleks ini.
Struktur
tulisan ini akan dimulai dengan tinjauan umum mengenai metode TNMM dan prinsip
analisis kesebandingan. Selanjutnya, akan dibahas panduan OECD terkait
perlakuan LMC, diikuti dengan perspektif regulasi dan praktik di Indonesia,
termasuk analisis terhadap peraturan terbaru dan putusan pengadilan pajak.
Bagian berikutnya akan menyajikan analisis kritis terhadap faktor-faktor
penentu dan pertimbangan praktis dalam mengevaluasi LMC. Laporan akan diakhiri
dengan kesimpulan dan rekomendasi strategis bagi Wajib Pajak.
II.
Tinjauan Umum Metode Laba Bersih Transaksional (TNMM) dan Analisis
Kesebandingan
Prinsip
dasar dan penerapan TNMM.
Metode
Laba Bersih Transaksional (TNMM) adalah salah satu dari lima metode penentuan
harga transfer yang diakui secara internasional dan diadopsi dalam peraturan
perpajakan Indonesia. Metode ini bekerja dengan cara membandingkan tingkat laba
bersih operasional relatif terhadap dasar atau basis yang tepat (misalnya,
biaya, penjualan, atau aset) yang diperoleh tested party dari transaksi
afiliasi, dengan tingkat laba bersih operasional yang diperoleh perusahaan
independen dalam transaksi sebanding. Dasar pemikiran TNMM adalah bahwa
perusahaan yang menjalankan fungsi, menggunakan aset, dan menanggung risiko
yang serupa diharapkan akan memperoleh tingkat laba bersih operasional yang
sebanding pula.
TNMM
seringkali menjadi pilihan ketika metode transfer pricing
tradisional—yaitu Metode Perbandingan Harga Antar Pihak yang Independen (CUP),
Metode Harga Penjualan Kembali (RPM), dan Metode Biaya-Plus (CPM)—tidak dapat
diterapkan secara andal. Hal ini biasanya terjadi karena kurangnya data
transaksi pembanding yang memiliki tingkat kesebandingan tinggi pada level
harga atau margin kotor. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-32/PJ/2011 (PER-32), TNMM dianggap tepat untuk diterapkan dalam
kondisi di mana salah satu pihak dalam transaksi afiliasi melakukan kontribusi
yang unik atau khusus, atau ketika salah satu pihak melakukan transaksi yang
kompleks dan saling terkait satu sama lain.
Kunci
keberhasilan penerapan TNMM terletak pada pemilihan Indikator Tingkat Laba (Profit
Level Indicator atau PLI) yang
paling sesuai dengan fakta dan kondisi transaksi serta karakteristik usaha tested
party. Beberapa PLI yang umum digunakan antara lain adalah marjin laba
bersih atas penjualan (Net Margin atau Operating Margin), mark-up
laba bersih atas total biaya (Net Cost Plus Mark-up atau Full Cost
Mark-up), dan tingkat pengembalian atas aset (Return on Assets atau
ROA). Pemilihan PLI harus mempertimbangkan faktor pendorong laba (profit
driver) utama perusahaan dan independensi denominator yang digunakan dalam
rasio PLI tersebut.
Pentingnya
analisis kesebandingan yang komprehensif.
Analisis
kesebandingan merupakan landasan fundamental dalam penerapan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha (PKKU). OECD bahkan menyebut analisis kesebandingan sebagai
jantung dari penerapan ALP. Tujuan utama dari analisis ini adalah untuk
mengidentifikasi transaksi independen atau perusahaan independen yang
kondisinya cukup sebanding dengan transaksi afiliasi atau pihak yang diuji,
sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan harga atau laba yang
wajar.
Analisis
kesebandingan yang andal harus mempertimbangkan lima faktor utama, yaitu: (i)
karakteristik barang atau jasa yang ditransaksikan; (ii) analisis fungsional,
yang mencakup identifikasi fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan
risiko yang ditanggung (analisis FAR) oleh masing-masing pihak yang
bertransaksi; (iii) ketentuan kontraktual antara para pihak; (iv) keadaan
ekonomi yang relevan; dan (v) strategi bisnis yang dijalankan oleh para pihak.
Penting untuk ditekankan bahwa kesebandingan dinilai berdasarkan kelima faktor
ini, dan bukan semata-mata berdasarkan kinerja keuangan seperti laba atau rugi.
Tahapan
dalam melakukan analisis kesebandingan umumnya meliputi pemahaman terhadap
industri tested party, identifikasi transaksi afiliasi, analisis kondisi
transaksi dan analisis FAR, pemilihan metode transfer pricing yang
paling tepat, pencarian calon pembanding potensial, seleksi pembanding akhir,
dan penerapan metode serta penentuan rentang kewajaran.
Fleksibilitas
TNMM dalam hal tingkat
komparabilitas produk yang tidak seketat metode tradisional seringkali menjadi
daya tarik utama. Namun, kemudahan ini justru membebankan tuntutan yang
lebih tinggi pada aspek kesebandingan fungsional (FAR). Jika perusahaan
yang merugi (LMC) dipertimbangkan sebagai calon pembanding, analisis FAR
yang detail dan mendalam menjadi semakin vital. Hal ini diperlukan untuk
membuktikan bahwa perbedaan profitabilitas (dalam hal ini, kerugian) tidak
disebabkan oleh perbedaan fundamental dalam fungsi yang dijalankan, aset yang
digunakan, atau risiko yang ditanggung oleh LMC dibandingkan dengan tested
party. Dengan kata lain, Wajib Pajak tidak dapat hanya mengandalkan
kemiripan industri atau produk saat memilih LMC untuk analisis TNMM; justifikasi
berdasarkan analisis FAR yang kuat menjadi sebuah keharusan.
Lebih
lanjut, penekanan pada prinsip bahwa penerapan PKKU harus didasarkan pada
"keadaan yang sebenarnya" memiliki implikasi penting terkait LMC.
Jika kondisi pasar secara umum, seperti resesi industri atau disrupsi ekonomi
yang luas (contohnya pandemi COVID-19 ), menyebabkan banyak perusahaan,
termasuk perusahaan independen, mengalami kerugian, maka pengecualian otomatis
terhadap LMC justru dapat bertentangan dengan prinsip "keadaan yang
sebenarnya". Dalam skenario demikian, menolak LMC hanya karena status
kerugiannya dapat menghasilkan rentang kewajaran yang artifisial tinggi dan
tidak mencerminkan realitas ekonomi yang dihadapi oleh pelaku usaha independen.
Hal ini mendukung argumentasi untuk tidak secara otomatis menolak LMC,
melainkan melakukan analisis mendalam terhadap penyebab kerugian dalam konteks
kondisi ekonomi dan industri yang relevan.
III.
Panduan Internasional (OECD) Mengenai Perusahaan Rugi sebagai Pembanding
Posisi
umum OECD Transfer Pricing Guidelines (TPG).
OECD
Transfer Pricing Guidelines
(OECD TPG), yang menjadi rujukan utama bagi banyak negara termasuk Indonesia
dalam menyusun regulasi transfer pricing, tidak menetapkan aturan yang
kaku atau absolut mengenai perlakuan terhadap perusahaan yang merugi (LMC)
dalam analisis kesebandingan. Panduan OECD COVID-19 secara eksplisit menyatakan
bahwa tidak ada aturan yang mengesampingkan (overriding rule) dalam OECD
TPG mengenai penyertaan atau pengecualian LMC. Sebaliknya, OECD TPG
menganjurkan pendekatan analisis berdasarkan kasus per kasus (case-by-case)
yang didasarkan pada fakta dan kondisi spesifik yang melingkupi setiap LMC
potensial.
Prinsip
utamanya adalah bahwa LMC yang memenuhi kriteria kesebandingan lainnya tidak
seharusnya ditolak sebagai pembanding hanya karena status kerugiannya. Jika
setelah melalui analisis yang cermat terhadap lima faktor kesebandingan sebuah
LMC terbukti sebanding dengan tested party, maka kerugian yang
dialaminya dapat menjadi bagian dari rentang kewajaran yang mencerminkan
kondisi pasar.
Analisis
mendalam terhadap Paragraf 3.64, 3.65, dan 3.66 OECD TPG 2022.
Meskipun
edisi OECD TPG 2022 tidak secara langsung memuat teks spesifik paragraf ini
dalam abstraknya , konten dari paragraf-paragraf ini (yang kemungkinan besar
konsisten dengan edisi sebelumnya seperti TPG 2017) telah banyak dirujuk dan
dianalisis dalam berbagai literatur dan putusan pengadilan.
Paragraf
3.64 OECD TPG
(berdasarkan interpretasi dari ) pada intinya menyatakan bahwa LMC tidak
boleh secara otomatis dikecualikan dari set pembanding. Kesebandingan harus
dinilai berdasarkan lima faktor kesebandingan yang telah disebutkan sebelumnya
(karakteristik produk/jasa, analisis FAR, ketentuan kontrak, kondisi ekonomi,
dan strategi bisnis), bukan semata-mata berdasarkan kinerja keuangan. Paragraf
ini mengakui bahwa perusahaan independen pun dapat mengalami kerugian karena
berbagai alasan yang sah dalam menjalankan aktivitas bisnisnya.
Paragraf
3.65 OECD TPG
(berdasarkan interpretasi dari ) menguraikan beberapa kondisi spesifik di
mana LMC dapat dikecualikan dari set pembanding. Kondisi-kondisi
tersebut adalah:
- Kerugian
mencerminkan kondisi bisnis abnormal: Ini terjadi jika kerugian yang dialami LMC disebabkan
oleh faktor-faktor yang tidak biasa atau tidak dialami oleh tested
party. Contohnya termasuk perusahaan yang berada dalam tahap penurunan
bisnis yang signifikan (decline phase), menuju kebangkrutan, atau
mengalami kerugian akibat kejadian luar biasa yang bersifat unik bagi LMC
tersebut. Perusahaan dalam kondisi seperti ini cenderung memiliki perilaku
bisnis yang berbeda secara fundamental dibandingkan dengan perusahaan yang
beroperasi dengan asumsi kelangsungan usaha (going concern).
- Kerugian
mencerminkan tingkat risiko yang tidak sebanding: Jika tested party memiliki
profil risiko yang rendah (misalnya, sebagai low-risk distributor
atau contract manufacturer), maka LMC yang kerugiannya
mengindikasikan bahwa ia menanggung tingkat risiko yang jauh lebih tinggi
mungkin tidak sebanding. Meskipun demikian, OECD TPG tetap menyarankan
dilakukannya analisis lebih lanjut untuk memahami alasan di balik kerugian
tersebut sebelum mengambil keputusan eksklusi. Kerugian yang persisten
atau berkelanjutan selama beberapa tahun juga dapat menjadi indikasi bahwa
LMC beroperasi dalam kondisi ekonomi yang berbeda secara substansial dan
menanggung risiko yang tidak sebanding.
Paragraf
3.66 OECD TPG
(berdasarkan interpretasi dari ) menambahkan bahwa analisis harus
mempertimbangkan apakah kerugian yang dialami LMC disebabkan oleh faktor-faktor
siklikal dalam industri atau kejadian ekonomi tertentu yang dapat dijelaskan.
Dalam kasus seperti itu, penyesuaian kesebandingan (comparability
adjustments) atau penyertaan faktor penjelas dalam analisis mungkin
diperlukan untuk mempertahankan kesebandingan LMC tersebut.
Secara
historis, praktik untuk mengecualikan LMC seringkali didasarkan pada asumsi
bahwa entitas yang terus merugi pada akhirnya akan keluar dari pasar, atau
bahwa kerugian tersebut merupakan cerminan dari inefisiensi manajemen, atau
strategi bisnis yang unik dan tidak representatif. Namun, pandangan ini semakin
dikritisi karena dianggap kurang mencerminkan realitas ekonomi, terutama dalam
periode resesi atau tantangan industri yang luas.
Pentingnya
analisis case-by-case dan justifikasi ekonomis.
Pendekatan
OECD TPG yang menekankan analisis case-by-case mengharuskan setiap
LMC potensial dievaluasi secara individual. Alasan di balik kerugian yang
dialami harus dipahami secara mendalam dan didokumentasikan dengan baik. Apakah
kerugian tersebut bersifat sementara atau persisten? Apakah disebabkan oleh
strategi bisnis yang sah dan wajar, seperti upaya penetrasi pasar, investasi
besar dalam riset dan pengembangan, atau biaya start-up yang tinggi?
Ataukah kerugian tersebut merupakan akibat dari kondisi pasar umum yang juga
memengaruhi pelaku usaha independen lainnya?.
Dokumentasi
yang komprehensif, transparan, dan dapat dipertahankan menjadi sangat krusial
dalam mendukung keputusan untuk menyertakan atau mengecualikan LMC. Wajib Pajak
harus mampu menyajikan justifikasi ekonomis yang kuat untuk setiap pilihannya.
Contoh
yurisprudensi internasional.
Perkembangan
yurisprudensi di berbagai negara menunjukkan adanya pergeseran menuju
pendekatan yang lebih bernuansa dalam memperlakukan LMC, sejalan dengan panduan
OECD.
- Mahkamah
Agung Italia (Juli 2024, dilaporkan Januari 2025) mengeluarkan putusan penting yang
menekankan bahwa strategi bisnis yang sah, seperti strategi penetrasi
pasar atau tingginya biaya awal (startup costs), dapat menjadi
justifikasi yang valid untuk kerugian sementara yang dialami perusahaan.
Putusan ini memperkuat prinsip bahwa analisis benchmarking harus
mempertimbangkan konteks ekonomi dan strategis yang lebih luas, bukan
hanya metrik keuangan semata.
- Mahkamah
Agung Kolombia (Desember 2024, dipublikasikan Februari 2025) juga mengeluarkan putusan yang
sejalan. Pengadilan menyatakan bahwa keberadaan kerugian tidak secara
otomatis menghilangkan kesebandingan suatu perusahaan, kecuali jika dapat
dibuktikan bahwa kerugian tersebut bersifat berulang, struktural, atau
mencerminkan situasi ekonomi yang secara fundamental berbeda dari tested
party. Putusan ini menekankan pentingnya analisis multifaktor (fungsi,
aset, risiko, dan kondisi pasar) dan menolak eksklusi LMC secara otomatis
hanya berdasarkan kriteria kuantitatif.
- Kasus-kasus
di India
menunjukkan variasi dalam keputusan hakim. Dalam kasus M/S. Bobst India
Pvt. Ltd. (2017), pengadilan menerima LMC yang mengalami kerugian
selama tiga tahun. Namun, dalam kasus lain seperti Erhardt+Leimer
(India) Private Limited (2016), pengadilan menekankan perlunya
analisis fakta dan kondisi yang lebih mendalam untuk menentukan apakah
kerugian tersebut mencerminkan kondisi bisnis yang abnormal atau tingkat
risiko yang berbeda.
- Praktik
di China,
sebaliknya, menunjukkan kecenderungan otoritas pajak untuk lebih ketat.
Panduan seperti "Circular 2" (2009) dan "Bulletin 6"
(2017) mengindikasikan bahwa entitas dengan fungsi rutin diharapkan
mempertahankan tingkat laba yang wajar, dan LMC akan diawasi dengan lebih
ketat.
Yurisprudensi
internasional yang berkembang, seperti di Italia dan Kolombia, memberikan
sinyal positif bagi Wajib Pajak. Putusan-putusan ini menantang praktik
historis beberapa otoritas pajak yang cenderung mengecualikan LMC secara
otomatis dan menekankan perlunya justifikasi ekonomi yang kuat dari otoritas
pajak jika mereka hendak menolak LMC yang relevan. Meskipun putusan dari
yurisdiksi lain tidak mengikat secara hukum di Indonesia, tren ini dapat
menjadi argumen persuasif dan mendorong otoritas pajak untuk memberikan alasan
yang lebih substantif saat menolak LMC.
Lebih
lanjut, Paragraf 3.65 OECD TPG, meskipun memberikan dasar untuk penolakan LMC,
secara tidak langsung juga menetapkan standar pembuktian yang cukup tinggi.
Klaim bahwa suatu kerugian mencerminkan "kondisi bisnis abnormal"
atau "level risiko yang tidak sebanding" bukanlah klaim yang dapat
dibuat dengan mudah tanpa analisis yang mendalam dan didukung bukti. Ini
berarti beban pembuktian tidak hanya terletak pada Wajib Pajak yang menggunakan
LMC, tetapi juga pada otoritas pajak yang berupaya menolaknya. Otoritas pajak
juga dituntut untuk melakukan analisis yang komprehensif sebelum menolak LMC.
Implikasinya, Wajib Pajak harus proaktif melakukan analisis ini untuk setiap
LMC yang dipilih guna mengantisipasi dan menjawab potensi keberatan dari
otoritas pajak.
IV.
Perspektif Regulasi dan Praktik di Indonesia
Ketentuan
dalam Peraturan Dirjen Pajak (PER-32/PJ/2011 dan SE-50/PJ/2013).
Regulasi
transfer pricing di Indonesia telah mengalami perkembangan signifikan.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah
dengan PER-32/PJ/2011 (selanjutnya disebut PER-32) menjadi salah satu tonggak
penting. PER-32 memperkenalkan pendekatan metode penentuan harga transfer yang
paling sesuai (most appropriate method), menggantikan pendekatan
hierarki metode yang kaku, meskipun Metode Perbandingan Harga Antar Pihak yang
Independen (CUP) tetap dianggap sebagai metode yang paling diutamakan jika
dapat diterapkan secara andal. PER-32 juga mengatur langkah-langkah penerapan
ALP, termasuk pelaksanaan analisis kesebandingan dan identifikasi pembanding.
Terkait
secara spesifik dengan perlakuan perusahaan rugi (LMC) sebagai pembanding dalam
analisis TNMM, PER-32 tidak memberikan panduan eksplisit. Namun demikian,
prinsip-prinsip umum dalam analisis kesebandingan, terutama analisis fungsi,
aset, dan risiko (FAR), tetap berlaku dan menjadi pedoman utama. Artinya,
meskipun tidak ada larangan atau izin khusus terkait LMC, kelayakannya akan
dinilai berdasarkan pemenuhan kriteria kesebandingan secara keseluruhan.
Untuk
memberikan panduan lebih lanjut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat
Edaran Nomor SE-50/PJ/2013 (SE-50). Surat Edaran ini memberikan petunjuk teknis
mengenai pelaksanaan analisis kesebandingan, termasuk kriteria pencarian dan
proses seleksi manual pembanding eksternal. Proses seleksi manual ini
melibatkan penelaahan profil perusahaan kandidat pembanding, informasi dari
situs web perusahaan, serta informasi dari media cetak atau daring untuk
menentukan keandalan kandidat tersebut. SE-50 juga menjelaskan mengenai
penggunaan data beberapa tahun (multiple years data) yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas analisis kesebandingan dan membantu
mengidentifikasi pembanding yang memiliki perbedaan signifikan dengan pihak
yang diuji. Meskipun demikian, SE-50 menegaskan bahwa penentuan harga atau laba
wajar pada akhirnya tetap didasarkan pada data tahun transaksi yang
bersangkutan, bukan pada rata-rata kinerja data beberapa tahun.
Implikasi
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/PMK.03/2023 (PMK-172/2023) terhadap
analisis kesebandingan dan pemilihan pembanding.
Pada
akhir tahun 2023, Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 172/PMK.03/2023 (PMK-172/2023). Regulasi ini bertujuan untuk
mengkonsolidasikan dan menyempurnakan berbagai peraturan transfer pricing
sebelumnya, termasuk yang berkaitan dengan dokumentasi transfer pricing,
Prosedur Persetujuan Bersama (MAP), dan Kesepakatan Harga Transfer di Muka
(APA).
Meskipun
PMK-172/2023, serupa dengan PER-32, tidak secara eksplisit mengatur perlakuan
terhadap LMC , beberapa ketentuan baru di dalamnya memiliki implikasi
signifikan terhadap bagaimana analisis kesebandingan dan pemilihan pembanding
(termasuk LMC) dilakukan:
- Penyesuaian
Kesebandingan:
Salah satu perubahan fundamental adalah ketentuan bahwa penyesuaian
kesebandingan, jika diperlukan untuk menghilangkan dampak material
perbedaan kondisi, harus dilakukan pada data pembanding independen, bukan
pada data pihak yang diuji atau transaksi afiliasi yang dikendalikan.
Ketentuan ini berbeda dengan praktik umum di banyak yurisdiksi dan panduan
OECD TPG yang tidak membatasi pada siapa penyesuaian dilakukan. Hal ini
dapat menimbulkan tantangan praktis, terutama jika data detail mengenai
operasional pembanding (khususnya LMC) terbatas.
- Preferensi
Geografis untuk Pembanding:
PMK-172/2023 menegaskan bahwa jika tersedia lebih dari satu pembanding
eksternal dengan tingkat kesebandingan dan keandalan yang sama, maka
pembanding yang berasal dari negara atau yurisdiksi yang sama dengan pihak
yang diuji harus dipilih dan digunakan. Meskipun bertujuan untuk
meningkatkan relevansi kondisi pasar, ketentuan ini bisa menjadi pedang
bermata dua. Jika LMC lokal yang relevan tersedia, ini dapat memperkuat
argumen. Namun, jika tidak ada LMC lokal yang memadai dan Wajib Pajak
harus mencari pembanding dari yurisdiksi lain (setelah pencarian lokal
tidak berhasil), tantangan untuk membuktikan kesebandingan kondisi pasar
bisa lebih besar.
- Penggunaan
Data Tahun Tunggal vs. Data Multi-Tahun: PMK-172/2023 menunjukkan preferensi terhadap
penggunaan data pembanding tahun tunggal (single-year data),
kecuali jika penggunaan data multi-tahun dapat dibuktikan meningkatkan
kesebandingan antara transaksi afiliasi dan transaksi independen. Hal ini
berpotensi menjadi tantangan dalam menganalisis LMC, di mana kerugian
mungkin bersifat sementara dan lebih akurat jika dianalisis menggunakan
data beberapa tahun untuk melihat tren jangka panjang.
- Pembentukan
Rentang Kewajaran:
PMK-172/2023 mengatur bahwa rentang kewajaran dapat berupa rentang penuh (full
range) jika terdiri dari dua pembanding, atau rentang interkuartil (interquartile
range) jika terdiri dari tiga pembanding atau lebih. Fleksibilitas ini
dapat memengaruhi bagaimana sebuah LMC (jika dimasukkan) akan memengaruhi
batas atas dan bawah rentang kewajaran.
- Analisis
Industri yang Komprehensif:
Regulasi ini merinci tujuh faktor yang harus dipenuhi dalam analisis
industri, yang bertujuan untuk mengidentifikasi perbedaan kondisi
transaksi afiliasi dengan data pembanding secara lebih komprehensif.
Meskipun
PMK-172/2023 tidak secara eksplisit membahas LMC, penekanannya pada penggunaan
data tahun tunggal dan pelaksanaan penyesuaian pada data pembanding dapat
secara tidak langsung mempersulit justifikasi penggunaan LMC di Indonesia.
Wajib Pajak perlu sangat cermat dalam membangun argumen kesebandingan jika
memutuskan untuk menggunakan LMC, terutama jika kerugian terjadi pada tahun
tunggal yang menjadi fokus analisis. Kemampuan untuk menunjukkan bahwa
penggunaan data multi-tahun justru meningkatkan kesebandingan akan menjadi
kunci.
Praktik
umum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan potensi area sengketa.
Dalam
praktiknya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) seringkali menunjukkan sikap
skeptis dan cenderung menolak penggunaan LMC sebagai pembanding, terutama jika
pihak yang diuji adalah entitas dengan profil risiko rendah seperti contract
manufacturer atau limited-risk distributor. Alasan umum yang
dikemukakan DJP untuk penolakan adalah bahwa LMC dianggap tidak beroperasi
dalam kondisi bisnis yang normal atau tidak mencerminkan perilaku perusahaan
independen yang bertujuan mencari laba.
Lebih
lanjut, DJP melakukan pemrofilan risiko (risk-profiling) terhadap Wajib
Pajak, di mana kerugian usaha atau kinerja laba yang buruk dibandingkan dengan
rata-rata industri menjadi salah satu indikator yang dapat memicu pemeriksaan transfer
pricing. Perbedaan pandangan antara Wajib Pajak dan DJP mengenai kelayakan
LMC sebagai pembanding seringkali menjadi sumber sengketa pajak transfer
pricing di Indonesia.
Analisis
putusan pengadilan pajak di Indonesia.
Meskipun
praktik DJP cenderung konservatif, beberapa putusan pengadilan pajak di
Indonesia memberikan perspektif yang berbeda dan lebih sejalan dengan panduan
OECD. Salah satu contoh yang relevan adalah Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put-119380.15/2014/PP/M.XVI A Tahun 2020. Dalam kasus ini, yang melibatkan
PT Seamless Pipe Indonesia Jaya sebagai Pemohon Banding dengan karakterisasi
sebagai Contract Manufacturer (CM), Terbanding (DJP) melakukan koreksi
atas peredaran usaha terkait transaksi afiliasi. Salah satu dasar koreksi
adalah penolakan terhadap perusahaan pembanding yang digunakan oleh Pemohon
Banding, yaitu Dongyang S.Tec.Co.,Ltd., dengan alasan perusahaan tersebut
mengalami kerugian operasional pada tahun 2012. Argumen DJP adalah bahwa CM
seharusnya menanggung risiko terbatas dan oleh karena itu tidak seharusnya
mengalami kerugian.
Pemohon
Banding memberikan sanggahan bahwa meskipun CM umumnya memiliki risiko
terbatas, hal tersebut tidak berarti CM tidak pernah bisa mengalami kerugian
operasional dalam satu tahun tertentu. Berbagai faktor eksternal seperti
fluktuasi harga bahan baku, volatilitas kurs mata uang asing, atau bahkan
kejadian force majeure dapat menyebabkan kerugian sementara. Pemohon
Banding juga menekankan bahwa tidak ada peraturan yang secara eksplisit
mengharuskan CM untuk selalu mencatatkan laba operasional positif setiap tahun.
Majelis
Hakim Pengadilan Pajak dalam putusannya setuju dengan argumentasi Pemohon
Banding. Majelis berpendapat bahwa kerugian operasional yang bersifat
sementara tidak secara otomatis mendiskualifikasi suatu perusahaan untuk
menjadi pembanding bagi entitas CM. Pandangan DJP bahwa CM tidak mungkin
mengalami kerugian dianggap tidak masuk akal jika mempertimbangkan realitas
dunia usaha. Meskipun putusan ini tidak secara eksplisit menyatakan bahwa
Dongyang S.Tec.Co.,Ltd. harus diterima, penalaran Majelis Hakim dengan
jelas mengindikasikan bahwa fakta kerugian operasional pada tahun 2012 saja
tidak cukup menjadi dasar penolakan. Pengadilan akhirnya mengabulkan permohonan
banding, yang menyiratkan bahwa koreksi DJP yang didasarkan pada penolakan
pembanding tersebut tidak dipertahankan.
Putusan
seperti ini memberikan preseden penting bagi Wajib Pajak di Indonesia. Ini
menunjukkan bahwa pengadilan bersedia untuk melihat lebih dari sekadar angka
kerugian dan mempertimbangkan justifikasi ekonomis yang mendasarinya, sejalan
dengan semangat OECD TPG. Namun, perlu diingat bahwa setiap kasus transfer
pricing bersifat unik, dan DJP kemungkinan akan tetap menantang penggunaan
LMC. Oleh karena itu, Wajib Pajak tetap harus mempersiapkan analisis FAR yang
kuat dan dokumentasi yang spesifik untuk kasus mereka masing-masing.
V.
Analisis Kritis: Faktor Penentu dan Pertimbangan Praktis
Keberhasilan
penggunaan perusahaan yang merugi (LMC) sebagai pembanding dalam analisis TNMM
sangat bergantung pada kemampuan Wajib Pajak untuk melakukan analisis yang
cermat dan menyajikan justifikasi yang kuat. Beberapa faktor krusial perlu
dipertimbangkan secara mendalam.
Evaluasi
fungsi, aset, dan risiko (FAR) secara detail.
Analisis
fungsi, aset, dan risiko (FAR) merupakan pilar utama dalam menentukan tingkat
kesebandingan antara pihak yang diuji (tested party) dan calon
perusahaan pembanding. Perusahaan yang merugi hanya dapat dianggap sebanding
jika memiliki profil FAR yang secara substansial serupa dengan tested party.
Kerugian yang dialami oleh LMC tidak boleh disebabkan oleh perbedaan signifikan
dalam fungsi yang dijalankan, aset yang digunakan, atau risiko yang ditanggung
dibandingkan dengan tested party. Sebagai contoh, jika tested party
adalah sebuah entitas distributor dengan risiko terbatas (limited-risk
distributor), maka LMC yang menanggung risiko pasar secara penuh, yang
tercermin dari kerugiannya, kemungkinan besar tidak akan dianggap sebanding.
Oleh karena itu, dokumentasi transfer pricing harus memuat analisis FAR
yang rinci untuk setiap LMC yang dipertimbangkan.
Analisis
penyebab kerugian.
Memahami
mengapa sebuah perusahaan mengalami kerugian adalah "jantung" dari
argumen untuk menerima atau menolaknya sebagai pembanding. Analisis ini
memerlukan investigasi yang mendalam yang melampaui angka-angka dalam laporan
keuangan semata, dan mungkin melibatkan penelaahan laporan tahunan secara
detail, berita industri, laporan analisis pasar, serta kondisi makroekonomi
yang relevan. Hal ini secara signifikan meningkatkan kompleksitas dan waktu
yang dibutuhkan untuk analisis benchmarking. Wajib Pajak harus dapat
mengidentifikasi dan mendokumentasikan penyebab kerugian LMC, yang dapat
meliputi:
- Strategi
bisnis yang sah:
Misalnya, perusahaan sedang dalam tahap penetrasi pasar dengan menetapkan
harga jual rendah untuk mendapatkan pangsa pasar, melakukan investasi awal
yang besar dalam fasilitas atau teknologi, atau mengeluarkan biaya riset
dan pengembangan yang signifikan untuk produk baru.
- Kondisi
pasar atau industri secara umum:
Kerugian dapat disebabkan oleh resesi ekonomi, persaingan yang sangat
ketat dalam industri, disrupsi teknologi yang mengubah lanskap bisnis,
atau berada dalam fase siklus bisnis yang sedang menurun. Jika tested
party juga beroperasi dalam kondisi pasar atau industri yang serupa,
maka LMC yang mengalami kerugian karena faktor-faktor ini mungkin tetap
relevan.
- Inefisiensi
operasional atau manajemen yang buruk pada LMC: Jika kerugian disebabkan oleh
masalah internal LMC yang bersifat idiosinkratik, seperti manajemen yang
tidak kompeten atau proses operasional yang tidak efisien, maka LMC
tersebut kemungkinan besar tidak sebanding.
- Kejadian
luar biasa (extraordinary events): Bencana alam, pandemi global
(seperti COVID-19), atau peristiwa tak terduga lainnya dapat menyebabkan
kerugian signifikan. Panduan OECD terkait implikasi COVID-19 terhadap transfer
pricing memberikan arahan mengenai bagaimana memperlakukan kerugian
akibat kejadian semacam ini.
Penting
untuk membedakan antara kerugian yang mencerminkan risiko bisnis yang normal
dan wajar dalam konteks industri dan kondisi ekonomi tertentu, dengan kerugian
yang timbul akibat faktor-faktor unik pada LMC yang tidak relevan atau tidak
dialami oleh tested party.
Penggunaan
data multi-tahun (multiple-year data) versus data tahun tunggal (single-year
data).
Penggunaan
data beberapa tahun (biasanya 3-5 tahun) dalam analisis kesebandingan
seringkali direkomendasikan untuk meningkatkan keandalan hasil. Data
multi-tahun dapat membantu:
- Menormalkan
fluktuasi laba atau rugi tahunan yang mungkin bersifat sementara dan
menunjukkan kinerja jangka panjang yang lebih stabil dari perusahaan
pembanding.
- Mengidentifikasi
apakah kerugian yang dialami LMC bersifat persisten (terjadi berulang kali
selama beberapa tahun, yang mungkin mengindikasikan masalah struktural
atau risiko yang lebih tinggi) atau hanya bersifat sementara atau
insidental.
- Menilai
dampak siklus bisnis terhadap profitabilitas perusahaan dalam industri
tertentu.
OECD
TPG umumnya mendukung penggunaan data multi-tahun untuk tujuan ini. Di
Indonesia, SE-50 juga menyebutkan bahwa penggunaan data multi-tahun dapat
meningkatkan analisis kesebandingan, meskipun penentuan laba wajar tetap
didasarkan pada data tahun transaksi. Namun, PMK-172/2023 menunjukkan
preferensi terhadap penggunaan data tahun tunggal, kecuali jika dapat
dibuktikan bahwa penggunaan data multi-tahun secara spesifik dapat meningkatkan
kesebandingan.
Perdebatan
mengenai penggunaan data tahun tunggal versus data multi-tahun untuk LMC sangat
dipengaruhi oleh filosofi dasar apakah analisis transfer pricing
bertujuan untuk menguji hasil aktual tahunan (ex-post testing) atau
kewajaran penetapan harga pada saat transaksi dilakukan (ex-ante pricing).
Preferensi PMK-172/2023 terhadap data tahun tunggal dan penekanan pada
penerapan ALP pada saat transaksi terjadi atau harga transfer ditetapkan
tampaknya lebih condong ke perspektif pengujian hasil aktual tahunan atau
penetapan harga awal berdasarkan kondisi saat itu. Pendekatan ini bisa kurang
ideal untuk LMC yang kerugiannya mungkin bersifat siklis atau sementara, di
mana data multi-tahun akan memberikan gambaran yang lebih representatif.
Implikasinya, Wajib Pajak di Indonesia perlu sangat berhati-hati dan memiliki
justifikasi yang sangat kuat jika ingin menggunakan data multi-tahun untuk LMC
di bawah rezim PMK-172/2023, dengan secara eksplisit menunjukkan bagaimana
penggunaan data tersebut secara nyata meningkatkan kesebandingan.
Kebutuhan
dan tantangan dalam melakukan penyesuaian kesebandingan (comparability
adjustments).
Jika
terdapat perbedaan kondisi yang material antara tested party dan LMC
yang dipilih (misalnya, perbedaan dalam tingkat modal kerja, skala operasi,
intensitas aset, atau tingkat risiko yang ditanggung), penyesuaian
kesebandingan mungkin diperlukan untuk menghilangkan dampak perbedaan tersebut
dan meningkatkan keandalan hasil analisis. Penyesuaian ini harus dilakukan
secara andal dan didasarkan pada data yang dapat diverifikasi dan diukur secara
kuantitatif.
Tantangan
utama dalam melakukan penyesuaian adalah ketersediaan data yang cukup detail
dan akurat mengenai operasional perusahaan pembanding, terutama jika LMC adalah
perusahaan swasta dengan informasi publik yang terbatas. Lebih lanjut,
PMK-172/2023 di Indonesia mengharuskan penyesuaian kesebandingan dilakukan pada
data pembanding independen, bukan pada data tested party. Ketentuan ini
dapat menambah kompleksitas dan kesulitan praktis, karena Wajib Pajak mungkin
tidak memiliki akses ke informasi internal pembanding yang diperlukan untuk
melakukan penyesuaian yang akurat. Tantangan ini dapat secara efektif menjadi
penghalang praktis untuk menggunakan beberapa LMC, bahkan jika secara
konseptual mereka sebanding, karena kurangnya data untuk melakukan penyesuaian
yang andal. Hal ini berpotensi mempersempit set pembanding yang layak dan,
dalam beberapa kasus, mendistorsi rentang kewajaran.
Strategi
dokumentasi untuk mendukung penggunaan (atau penolakan) perusahaan rugi sebagai
pembanding.
Dokumentasi
transfer pricing (TP Doc) memegang peranan sentral. TP Doc harus secara
jelas dan transparan memberikan justifikasi atas keputusan untuk menyertakan
atau mengecualikan setiap LMC yang dipertimbangkan selama proses pencarian
pembanding. Dokumentasi tersebut harus mencakup:
- Analisis
FAR yang rinci untuk tested party dan setiap LMC yang dianalisis.
- Penjelasan
mendalam mengenai penyebab kerugian yang dialami LMC, didukung oleh bukti
dari sumber-sumber yang kredibel (misalnya, laporan tahunan LMC, laporan
industri, analisis ekonomi).
- Analisis
data multi-tahun (jika digunakan), yang menunjukkan bagaimana kinerja LMC
dalam jangka panjang dan apakah kerugian bersifat sementara atau
persisten.
- Justifikasi
untuk setiap penyesuaian kesebandingan yang dilakukan (atau alasan mengapa
penyesuaian tidak dilakukan atau tidak dimungkinkan).
- Bukti-bukti
pendukung lainnya, seperti artikel berita, analisis pasar, atau data
statistik industri.
VI.
Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis
Berdasarkan
analisis terhadap panduan internasional (OECD TPG) dan kerangka regulasi serta
praktik di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang mengalami
kerugian dapat digunakan sebagai perusahaan pembanding dalam pengujian transfer
pricing yang menggunakan Metode Laba Bersih Transaksional (TNMM). Tidak
ada larangan absolut baik dalam OECD TPG maupun dalam peraturan perpajakan
Indonesia yang secara otomatis mengecualikan LMC dari set pembanding hanya
karena status kerugiannya.
Namun
demikian, penerimaan LMC sebagai pembanding yang valid tidak bersifat
otomatis dan sangat bergantung pada pemenuhan kriteria kesebandingan yang
ketat. Diperlukan analisis yang sangat cermat, komprehensif, dan berdasarkan
fakta serta kondisi spesifik (case-by-case) untuk setiap LMC yang
dipertimbangkan. Fokus utama bukanlah pada angka laba atau rugi semata,
melainkan pada apakah kerugian yang dialami LMC tersebut menjadikannya secara
fundamental tidak sebanding dengan pihak yang diuji (tested party)
setelah mempertimbangkan secara menyeluruh lima faktor kesebandingan
(karakteristik produk/jasa, analisis FAR, ketentuan kontrak, kondisi ekonomi,
dan strategi bisnis), serta penyebab spesifik di balik kerugian tersebut.
Dalam
menghadapi kompleksitas isu LMC, Wajib Pajak disarankan untuk mengadopsi
pendekatan yang hati-hati, metodis, dan didukung oleh dokumentasi yang kuat.
Berikut adalah beberapa rekomendasi strategis:
- Lakukan
Analisis FAR Mendalam:
Pastikan bahwa profil fungsi, aset, dan risiko (FAR) dari LMC yang
dipertimbangkan benar-benar sebanding dengan tested party.
Identifikasi dan dokumentasikan setiap perbedaan, serta evaluasi dampaknya
terhadap kesebandingan.
- Selidiki
Penyebab Kerugian secara Komprehensif: Jangan hanya menerima angka kerugian pada laporan
keuangan. Lakukan investigasi untuk memahami mengapa LMC tersebut merugi.
Apakah karena strategi bisnis yang wajar, kondisi pasar umum, inefisiensi
internal, atau kejadian luar biasa? Hubungkan penyebab kerugian ini dengan
relevansinya terhadap kondisi tested party dan pasar tempat ia
beroperasi.
- Pertimbangkan
Penggunaan Data Multi-Tahun dengan Cermat: Meskipun PMK-172/2023 di Indonesia
menunjukkan preferensi untuk data tahun tunggal, Wajib Pajak sebaiknya
tetap mempertimbangkan dan, jika relevan, mengargumentasikan penggunaan
data multi-tahun. Data multi-tahun dapat memberikan gambaran yang lebih
andal mengenai profitabilitas normal LMC dalam jangka panjang dan membantu
menormalkan fluktuasi tahunan, terutama jika kerugian bersifat sementara
atau siklis. Justifikasi yang kuat mengenai bagaimana data multi-tahun
meningkatkan kesebandingan menjadi kunci.
- Lakukan
Penyesuaian Kesebandingan yang Andal (Jika Diperlukan dan Memungkinkan): Jika terdapat perbedaan kondisi
yang material antara tested party dan LMC, lakukan penyesuaian
kesebandingan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomis dan
didukung oleh data yang valid. Pahami tantangan dan persyaratan melakukan
penyesuaian pada data pembanding berdasarkan ketentuan PMK-172/2023.
- Dokumentasikan
Setiap Langkah Secara Komprehensif dan Transparan: Buat justifikasi yang rinci dan
kuat dalam Dokumentasi Harga Transfer (TP Doc) untuk setiap LMC yang
disertakan dalam set pembanding maupun yang dikecualikan selama proses
seleksi. Jelaskan secara detail proses pencarian dan seleksi pembanding,
analisis FAR, investigasi penyebab kerugian, analisis data (tahun tunggal
vs. multi-tahun), dan dasar serta metodologi penyesuaian yang dilakukan
(atau alasan mengapa tidak dilakukan).
- Pahami
Praktik DJP dan Yurisprudensi yang Berkembang: Sadari kecenderungan umum DJP
untuk mengkritisi penggunaan LMC, namun juga manfaatkan putusan pengadilan
pajak di Indonesia yang mungkin mendukung penggunaan LMC dalam kondisi
tertentu sebagai argumen pendukung, jika relevan dengan fakta kasus Wajib
Pajak.
- Konsisten
dengan Kondisi Ekonomi dan Industri: Jika kerugian merupakan fenomena yang meluas dalam
industri atau pasar akibat kondisi ekonomi tertentu (misalnya, resesi,
pandemi), maka penyertaan LMC yang terdampak serupa dapat lebih mudah
dipertahankan karena mencerminkan "keadaan yang sebenarnya".
- Siapkan
Pembelaan yang Kuat dan Proaktif:
Antisipasi pertanyaan dan potensi keberatan dari otoritas pajak terkait
penggunaan LMC. Siapkan argumen yang solid, didukung oleh analisis ekonomi
dan bukti-bukti pendukung yang relevan.
Strategi
"terbaik" dalam menghadapi isu LMC mungkin bukanlah tentang selalu
berusaha memasukkan atau selalu mengecualikan LMC secara apriori. Sebaliknya,
fokus seharusnya pada pembangunan proses seleksi pembanding yang transparan,
metodis, objektif, dan didukung oleh bukti yang kuat. Keputusan mengenai
penerimaan atau penolakan LMC haruslah merupakan hasil logis dari proses
analisis kesebandingan yang cermat tersebut. Pendekatan ini tidak hanya
menunjukkan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip transfer pricing, tetapi
juga mencerminkan kematangan dan profesionalisme dalam pengelolaan risiko transfer
pricing.
Dalam
arena transfer pricing yang seringkali kompleks dan penuh perdebatan,
terutama terkait isu sensitif seperti penggunaan LMC, dokumentasi yang
komprehensif dan justifikasi ekonomis yang kuat bukan lagi sekadar pemenuhan
kewajiban formal. Keduanya adalah alat pertahanan utama Wajib Pajak.
Semakin baik, detail, dan logis justifikasi yang disajikan, serta semakin
lengkap dan relevan dokumentasi pendukungnya, maka semakin besar pula peluang
LMC yang dipilih dapat diterima oleh otoritas pajak, atau setidaknya, posisi
Wajib Pajak dapat dipertahankan dengan lebih baik dalam potensi sengketa.
Mengingat
kompleksitas isu LMC dan potensi terjadinya sengketa yang memakan waktu dan
biaya , Wajib Pajak yang memiliki transaksi afiliasi signifikan dan menghadapi
kesulitan dalam menemukan pembanding yang ideal mungkin perlu mempertimbangkan
pendekatan proaktif. Salah satu opsi adalah mengajukan permohonan Kesepakatan
Harga Transfer di Muka (Advance Pricing Agreement atau APA) kepada DJP,
sebagaimana diatur dalam PMK-172/2023. Melalui APA, Wajib Pajak dapat
mendiskusikan dan menyepakati metodologi penentuan harga transfer, termasuk
kriteria pemilihan pembanding (dan perlakuan terhadap LMC jika relevan), dengan
DJP untuk periode tertentu di masa mendatang. Langkah ini dapat memberikan
kepastian hukum yang lebih besar dan meminimalkan risiko sengketa transfer
pricing di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar