1. Pendahuluan
Latar Belakang dan Tujuan
Pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) bukanlah sebuah rezim pemajakan yang baru
dalam sistem perpajakan Indonesia. Ketentuan ini telah diterapkan sejak tahun
1995. Pengenaan PPN KMS dilandasi oleh beberapa pertimbangan fundamental,
terutama untuk mencegah praktik penghindaran PPN yang mungkin terjadi jika
tidak ada mekanisme khusus yang mengatur pembangunan yang dilakukan secara
mandiri. Lebih lanjut, PPN KMS bertujuan untuk menciptakan perlakuan yang
setara dan memenuhi rasa keadilan antara Wajib Pajak yang memilih untuk membeli
bangunan jadi dari pengembang properti (developer/real estate) atau menggunakan
jasa kontraktor (pemborong) dengan Wajib Pajak yang melakukan kegiatan
pembangunan sendiri.
Tanpa adanya PPN KMS, akan
timbul disinsentif bagi penggunaan jasa konstruksi formal yang tunduk pada PPN,
serta potensi hilangnya penerimaan negara dari sektor konstruksi. Pihak yang
membeli rumah dari pengembang atau menggunakan jasa kontraktor akan dikenakan
PPN atas nilai bangunan atau jasa konstruksi tersebut. Sebaliknya, pihak yang
membangun sendiri dengan nilai yang sama, tanpa PPN KMS, tidak akan menanggung
beban PPN serupa. Oleh karena itu, tujuan utama dari pengenaan PPN KMS adalah
untuk menciptakan kesetaraan atau level playing field dalam pengenaan
PPN di sektor properti dan konstruksi, memastikan bahwa semua pihak yang
melakukan pembangunan dengan skala tertentu turut berkontribusi terhadap
penerimaan negara.
Dasar Hukum Utama yang
Mengatur PPN KMS di Indonesia
Pengaturan PPN atas Kegiatan
Membangun Sendiri di Indonesia didasarkan pada beberapa jenjang peraturan
perundang-undangan, mulai dari Undang-Undang hingga peraturan pelaksana
teknisnya.
Landasan hukum utama bagi
pengenaan PPN KMS adalah Pasal 16C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(UU PPN), sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU
HPP). Pasal 16C UU PPN secara spesifik memberikan amanat untuk mengenakan PPN
atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan
sendiri atau digunakan pihak lain, dengan batasan dan tata cara yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.
Sebagai peraturan pelaksanaan
teknis, ketentuan PPN KMS telah mengalami beberapa kali perubahan. Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) yang saat ini berlaku dan menjadi acuan utama adalah Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK 81/2024) tentang Ketentuan
Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. PMK
ini mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2025 dan secara komprehensif
mengatur berbagai aspek administrasi perpajakan, termasuk PPN KMS, sejalan
dengan implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Coretax
System. Dengan berlakunya PMK 81/2024, peraturan sebelumnya yang mengatur PPN
KMS, yaitu PMK Nomor 61/PMK.03/2022, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Selanjutnya, terkait dengan
penyesuaian formula perhitungan tarif PPN KMS agar selaras dengan kenaikan
tarif PPN umum menjadi 12% namun tetap mempertahankan beban efektif PPN KMS,
diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 (PMK 11/2025)
tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu
Pajak Pertambahan Nilai. PMK 11/2025 ini memiliki dampak signifikan karena
ditetapkan berlaku surut (retroaktif) sejak tanggal 1 Januari 2025, memastikan
konsistensi tarif efektif PPN KMS sejak awal tahun 2025.
Evolusi regulasi PPN KMS,
mulai dari PMK Nomor 163/PMK.03/2012, kemudian PMK Nomor 61/PMK.03/2022, hingga
yang terbaru PMK 81/2024 yang disusul dengan cepat oleh PMK 11/2025,
mencerminkan upaya berkelanjutan dari pemerintah untuk menyempurnakan dan menyederhanakan
ketentuan PPN KMS. Penerbitan PMK 81/2024 merupakan bagian integral dari agenda
reformasi administrasi perpajakan yang lebih luas melalui implementasi Coretax
System, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan
kepatuhan Wajib Pajak. Pemberlakuan PMK 11/2025 secara retroaktif menunjukkan
respons cepat pemerintah untuk memberikan kepastian hukum dan mengklarifikasi
aspek tarif PPN KMS yang mungkin menimbulkan interpretasi berbeda pasca
kenaikan tarif PPN umum. Hal ini menggarisbawahi pentingnya bagi Wajib Pajak
untuk senantiasa memantau perkembangan peraturan perpajakan terkini, mengingat
perubahan dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat, khususnya yang
berkaitan dengan tarif dan prosedur administrasi.
2. Konsep Dasar PPN atas
Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)
Definisi Kegiatan Membangun
Sendiri (KMS) sesuai PMK 81/2024 Pasal 323
Berdasarkan Pasal 323 PMK
81/2024, Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) didefinisikan sebagai kegiatan
membangun bangunan, baik berupa bangunan baru maupun perluasan bangunan lama,
yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan, dan hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain. Definisi
ini sejalan dengan amanat Pasal 16C UU PPN yang menekankan bahwa kegiatan
tersebut dilakukan "tidak dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaan".
Cakupan KMS juga meliputi
situasi di mana kegiatan membangun bangunan tersebut sebenarnya dilakukan oleh
pihak lain (misalnya, tukang bangunan harian atau borongan perorangan yang
bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak/PKP) untuk kepentingan orang pribadi atau
badan, namun PPN atas kegiatan tersebut tidak dipungut oleh pihak lain
tersebut. Ini menutup celah di mana pembangunan yang secara substansi serupa
dengan menggunakan jasa konstruksi informal tetap dikenakan PPN KMS.
Subjek Pajak: Siapa yang Wajib
Membayar PPN KMS
Subjek PPN KMS adalah orang
pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri sebagaimana telah
didefinisikan di atas. Kewajiban untuk menghitung, memungut, menyetor, dan
melaporkan PPN KMS melekat pada individu atau entitas yang melakukan pembangunan
tersebut, bukan pada pihak ketiga seperti tukang atau penyedia material
bangunan, kecuali jika pihak ketiga tersebut adalah kontraktor PKP yang secara
formal dikontrak untuk melakukan pembangunan (dalam hal ini, bukan lagi KMS
melainkan penyerahan jasa konstruksi).
Objek Pajak: Kriteria Bangunan
yang Dikenakan PPN KMS (Pasal 323 PMK 81/2024)
Tidak semua kegiatan membangun
sendiri secara otomatis dikenakan PPN KMS. Terdapat kriteria spesifik terkait
bangunan yang menjadi objek PPN KMS, sebagaimana diatur dalam Pasal 323 PMK
81/2024. Bangunan yang dimaksud adalah satu atau lebih konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau
perairan. Kriteria tersebut meliputi:
- Kriteria Konstruksi Utama:
Konstruksi utama bangunan harus terdiri dari kayu, beton, pasangan batu
bata atau bahan sejenis, dan/atau baja. Kriteria ini mengindikasikan bahwa
bangunan yang dimaksud adalah bangunan yang bersifat permanen atau
semi-permanen, bukan bangunan sementara atau darurat.
- Kriteria Peruntukan Bangunan:
Bangunan tersebut harus diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat
kegiatan usaha. Ini mencakup rumah tinggal, ruko, kantor, gudang, atau
bangunan lain yang digunakan untuk tujuan komersial atau residensial.
- Kriteria Luas Minimum Bangunan: Luas
keseluruhan bangunan yang dibangun paling sedikit adalah 200 m2 (dua ratus
meter persegi). Batasan luas ini merupakan filter penting yang
mengecualikan pembangunan rumah sederhana atau bangunan skala kecil dari
pengenaan PPN KMS. Penetapan batas luas minimal 200 m2 ini mencerminkan
upaya pemerintah untuk tidak membebani masyarakat berpenghasilan rendah
atau mereka yang membangun rumah sederhana untuk kebutuhan primer. PPN KMS
lebih ditujukan pada pembangunan dengan skala yang lebih besar, yang
apabila dilakukan melalui kontraktor formal, sudah pasti akan dikenakan
PPN. Hal ini sejalan dengan tujuan keadilan dalam pemajakan yang sering
ditekankan dalam berbagai peraturan terkait. Implikasinya, individu yang
membangun rumah dengan luas di bawah 200 m2 tidak perlu khawatir akan
kewajiban PPN KMS. Namun, perlu dicermati ketentuan mengenai pembangunan
bertahap.
Ketentuan Pembangunan Bertahap
(Pasal 323 ayat (3) PMK 81/2024)
Peraturan juga mengatur
mengenai kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap. Kegiatan
tersebut dianggap sebagai satu kesatuan kegiatan KMS sepanjang tenggang waktu
antara tahapan-tahapan pembangunan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Jika tenggang waktu antar
tahapan pembangunan melebihi 2 (dua) tahun, maka kegiatan membangun pada
tahapan berikutnya dianggap sebagai kegiatan membangun bangunan yang terpisah
dari tahapan sebelumnya. Konsekuensinya, setiap tahapan yang terpisah tersebut
akan diuji kembali secara individual apakah memenuhi kriteria sebagai objek PPN
KMS (terutama kriteria luas minimal 200 m2).
Ketentuan mengenai pembangunan
bertahap ini memiliki implikasi perencanaan yang signifikan bagi Wajib Pajak.
Jika jeda antar tahapan melebihi dua tahun, tahapan berikutnya dapat dianggap
sebagai KMS baru. Situasi ini bisa menguntungkan jika luas bangunan pada
tahapan berikutnya tersebut di bawah 200 m2, sehingga tidak terutang PPN KMS.
Sebaliknya, bisa juga merugikan jika total biaya pembangunan menjadi dasar
perhitungan yang terpisah-pisah dan berpotensi mengakumulasi beban administrasi
yang lebih kompleks. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang merencanakan pembangunan
secara bertahap harus cermat dalam menghitung rentang waktu dan akumulasi luas
bangunan agar dapat memenuhi kewajiban PPN KMS secara benar dan tepat.
3. Perhitungan PPN KMS
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
PPN KMS
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
untuk PPN KMS diatur secara spesifik dalam Pasal 324 ayat (2) PMK 81/2024, yang
senada dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) PMK 61/2022 sebelumnya. DPP PPN
KMS adalah nilai tertentu yang ditetapkan sebesar jumlah seluruh biaya
yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan tersebut
untuk setiap Masa Pajak sampai dengan bangunan selesai dibangun.
Poin krusial dalam penentuan
DPP PPN KMS adalah pengecualian biaya perolehan tanah. Biaya perolehan
tanah, yang seringkali merupakan komponen paling signifikan dari total biaya
investasi properti, tidak termasuk dalam dasar perhitungan PPN KMS. Biaya-biaya
yang termasuk dalam DPP adalah semua pengeluaran yang terkait langsung dengan pembangunan
fisik bangunan, seperti biaya pembelian material bangunan (semen, pasir, batu,
besi, kayu, keramik, dll.), upah tenaga kerja (tukang, mandor, kuli), biaya
sewa peralatan konstruksi, biaya perizinan yang terkait langsung dengan proses
konstruksi (misalnya Izin Mendirikan Bangunan - IMB, jika relevan dengan biaya
pembangunan fisiknya), serta biaya jasa perencanaan atau pengawasan yang tidak
dilakukan oleh kontraktor PKP.
Pengecualian biaya perolehan
tanah dari DPP merupakan sebuah konsesi yang signifikan. Harga tanah, terutama
di kawasan perkotaan atau lokasi strategis, bisa jauh melampaui biaya
konstruksi fisik bangunan itu sendiri. Apabila biaya perolehan tanah turut dimasukkan
sebagai komponen DPP, beban PPN KMS akan melonjak drastis dan dapat dianggap
tidak proporsional serta memberatkan. Pengecualian ini sejalan dengan prinsip
dasar PPN yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa kena pajak, dalam
konteks KMS, yang menjadi fokus adalah kegiatan membangunnya, bukan perolehan
tanahnya. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus memiliki dokumentasi yang jelas,
akurat, dan terpisah antara biaya perolehan tanah dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk pembangunan fisik bangunan guna menghindari potensi sengketa
dalam penentuan DPP PPN KMS.
Tarif PPN KMS
PPN KMS dikenakan dengan
menggunakan mekanisme besaran tertentu yang dikalikan dengan tarif PPN
umum yang berlaku, kemudian dikalikan dengan DPP. Formula besaran tertentu ini
telah mengalami beberapa kali penyesuaian seiring dengan perubahan tarif PPN
umum dan kebijakan pemerintah.
Berikut adalah perkembangan
tarif efektif PPN KMS:
- Sebelum 1 April 2022 (berdasarkan PMK
163/PMK.03/2012): Tarif efektif PPN KMS adalah 2%. Ini
dihitung dari 10% (tarif PPN umum saat itu) dikalikan dengan 20% (besaran
tertentu DPP).
- Periode 1 April 2022 - 31 Desember 2024
(berdasarkan PMK 61/PMK.03/2022): Tarif efektif PPN KMS
adalah 2,2%. Ini dihitung dari 20% (besaran tertentu) dikalikan
dengan 11% (tarif PPN umum yang berlaku saat itu), dikalikan dengan DPP.
- Potensi Tarif berdasarkan PMK 81/2024
(sebelum terbitnya PMK 11/2025) untuk berlaku 1 Januari 2025:
Sempat terdapat indikasi bahwa tarif efektif PPN KMS akan menjadi 2,4%.
Perhitungan ini didasarkan pada 20% (besaran tertentu sebagaimana diatur
dalam Pasal 324 PMK 81/2024) dikalikan dengan 12% (tarif PPN umum baru
yang direncanakan berlaku mulai 2025), dikalikan dengan DPP.
- Berlaku Mulai 1 Januari 2025 (berdasarkan
PMK 81/2024 jo. PMK 11/2025): Tarif efektif PPN KMS
kembali ditetapkan sebesar 2,2%. Penyesuaian ini diatur dalam Pasal
20 PMK 11/2025, yang menetapkan bahwa besaran tertentu untuk PPN KMS
dihitung dari hasil perkalian 20% (besaran tertentu) dikali 11/12
(sebelas per dua belas) dikali tarif PPN Pasal 7 ayat (1) UU PPN (yaitu
12%), dikalikan dengan DPP. PMK 11/2025 ini ditegaskan berlaku secara
surut (retroaktif) sejak tanggal 1 Januari 2025.
Dengan demikian, rumus
perhitungan PPN KMS yang terutang efektif mulai 1 Januari 2025 adalah:
PPNKMS = 2,2%×Total Biaya Pembangunan (tidak termasuk biaya perolehan tanah)
Dinamika perubahan tarif ini,
dari 2,2% (berdasarkan PMK 61/2022), kemudian sempat muncul potensi kenaikan
menjadi 2,4% (sebagai konsekuensi logis dari kenaikan tarif PPN umum menjadi
12% dalam kerangka PMK 81/2024), hingga akhirnya kembali ditetapkan menjadi
2,2% melalui PMK 11/2025, menunjukkan adanya proses penyesuaian kebijakan yang
responsif. Kemungkinan besar, pemerintah berkeinginan untuk mempertahankan
beban PPN KMS pada tingkat yang relatif stabil meskipun terjadi kenaikan tarif
PPN umum. Penggunaan formula baru dengan pengali 11/12 dalam PMK 11/2025
merupakan mekanisme teknis untuk mencapai tarif efektif 2,2% tersebut dengan
tetap mengacu pada tarif PPN umum sebesar 12%. Hal ini menunjukkan bahwa
komponen "besaran tertentu" dalam formula PPN KMS merupakan instrumen
yang fleksibel dan dapat disesuaikan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan
kebijakan tertentu. Bagi Wajib Pajak, penetapan kembali tarif efektif 2,2% ini
memberikan kepastian dan menghindarkan dari kenaikan beban PPN KMS pada tahun
2025. Pemberlakuan surut PMK 11/2025 juga sangat krusial untuk menjamin
kepastian hukum sejak awal tahun 2025.
Contoh Perhitungan PPN KMS
Untuk memberikan gambaran yang
lebih jelas, berikut adalah contoh perhitungan PPN KMS: Misalkan Tuan Budi
melakukan kegiatan membangun sendiri sebuah rumah tinggal pada bulan Maret
2025. Luas bangunan yang didirikan adalah 300 m2. Total biaya yang dikeluarkan
selama bulan Maret 2025 untuk pembangunan tersebut (tidak termasuk biaya
perolehan tanah) adalah Rp 300.000.000.
Maka, PPN KMS yang terutang
untuk Masa Pajak Maret 2025 dihitung sebagai berikut: DPP PPN KMS = Rp
300.000.000 Tarif Efektif PPN KMS = 2,2%
PPN KMS Terutang = Tarif
Efektif PPN KMS x DPP PPN KMS PPN KMS Terutang = 2,2% x Rp 300.000.000 PPN KMS
Terutang = Rp 6.600.000
Dengan demikian, Tuan Budi
wajib menyetorkan PPN KMS sebesar Rp 6.600.000 untuk pengeluaran biaya di Masa
Pajak Maret 2025.
4. Saat Terutang dan Tempat
Terutangnya PPN KMS
Penentuan Saat Terutangnya PPN
KMS
Saat terutangnya PPN KMS
diatur dalam Pasal 325 ayat (1) PMK 81/2024. Disebutkan bahwa PPN atas kegiatan
membangun sendiri terutang pada saat dimulainya kegiatan membangun bangunan
sampai dengan bangunan tersebut selesai dibangun.
Interpretasi dari ketentuan
ini adalah bahwa PPN KMS tidak terutang sekaligus pada awal atau akhir
pembangunan, melainkan terutang secara periodik (bulanan) seiring dengan
dikeluarkannya biaya-biaya untuk pembangunan tersebut. Setiap kali ada
pengeluaran biaya yang menjadi komponen DPP PPN KMS dalam suatu Masa Pajak
(bulan), maka pada Masa Pajak tersebut terutang PPN KMS atas biaya yang
dikeluarkan. Kewajiban ini berlanjut setiap bulannya selama proses pembangunan
berlangsung hingga bangunan dinyatakan selesai.
Penentuan Tempat PPN KMS
Terutang
Tempat PPN KMS terutang juga
mengalami perubahan signifikan dengan berlakunya PMK 81/2024. Sesuai Pasal 325
ayat (2) PMK 81/2024, tempat PPN atas kegiatan membangun sendiri terutang
adalah di tempat tinggal atau tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha
Wajib Pajak yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
Ketentuan ini berbeda dengan
peraturan sebelumnya, misalnya PMK 163/PMK.03/2012, yang menyatakan bahwa
tempat PPN KMS terutang adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. Perubahan
ini merupakan konsekuensi logis dari modernisasi administrasi perpajakan dan
implementasi Coretax System. Dengan sistem yang lebih terpusat dan penggunaan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang terintegrasi (berbasis NIK untuk orang
pribadi atau format 16 digit untuk badan), penentuan tempat terutang
berdasarkan domisili atau tempat kedudukan Wajib Pajak akan lebih memudahkan
proses administrasi, pengawasan, dan pelayanan oleh Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar. Sebelumnya, jika seorang Wajib Pajak
membangun beberapa bangunan di lokasi yang berbeda-beda yang berada di bawah
wilayah kerja KPP yang berbeda pula, maka Wajib Pajak tersebut harus berurusan
dengan beberapa KPP lokasi. Dengan ketentuan baru ini, administrasi menjadi
lebih sederhana karena Wajib Pajak cukup melaporkan dan menyetorkan PPN KMS ke
KPP tempat mereka terdaftar, terlepas dari lokasi fisik bangunan yang dibangun.
Hal ini juga dikonfirmasi oleh pemberitaan yang menyatakan bahwa pembuatan Kode
Billing PPN KMS tidak lagi mengacu pada KPP tempat bangunan didirikan,
melainkan pada data Wajib Pajak yang melakukan KMS.
5. Tata Cara Penyetoran dan
Pelaporan PPN KMS
Kewajiban Penyetoran PPN KMS
Sesuai dengan Pasal 326 PMK
81/2024, PPN KMS yang terutang wajib dihitung, dipungut, dan disetor sendiri
oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. Ini
menegaskan sifat self-assessment dalam pemenuhan kewajiban PPN KMS.
Proses penyetoran PPN KMS
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
- Pembuatan Kode Billing:
Wajib Pajak harus membuat Kode Billing secara mandiri. Dengan berlakunya
Coretax System, pembuatan Kode Billing ini dilakukan melalui aplikasi
Coretax yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
- Pengisian Data Kode Billing:
Dalam pembuatan Kode Billing, Wajib Pajak perlu memilih Kode Akun Pajak
(KAP) 411211 untuk PPN Dalam Negeri dan Kode Jenis Setoran (KJS) 103 untuk
PPN Kegiatan Membangun Sendiri. Kemudian, Wajib Pajak mengisi nilai PPN
KMS yang terutang untuk Masa Pajak yang bersangkutan.
- Batas Waktu Penyetoran:
PPN KMS yang terutang untuk suatu Masa Pajak harus disetor ke kas negara
paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak terjadinya pengeluaran biaya dan/atau pembayaran biaya untuk
membangun bangunan tersebut berakhir, sampai dengan bangunan selesai.
Ketentuan batas waktu penyetoran ini sejalan dengan penyeragaman batas
waktu penyetoran pajak masa yang diatur dalam Pasal 94 ayat (2) PMK
81/2024. Sebagai contoh, PPN KMS atas biaya yang dikeluarkan pada bulan
Maret 2025 harus disetor paling lambat tanggal 15 April 2025.
Kewajiban Pelaporan PPN KMS
Kewajiban pelaporan PPN KMS
dibedakan berdasarkan status Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
atau bukan PKP (non-PKP), sebagaimana diatur dalam Pasal 328 PMK 81/2024:
- Bagi Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak
(PKP): Wajib Pajak yang berstatus PKP diwajibkan
untuk melaporkan PPN KMS yang telah disetor dalam Surat Pemberitahuan
(SPT) Masa PPN. Pelaporan ini dilakukan secara elektronik melalui aplikasi
Coretax. PPN KMS yang disetor akan menjadi bagian dari perhitungan PPN
dalam SPT Masa PPN PKP yang bersangkutan.
- Bagi Wajib Pajak Non-PKP:
Wajib Pajak orang pribadi atau badan yang bukan merupakan PKP dianggap
telah melaporkan PPN KMS sepanjang telah melakukan penyetoran PPN KMS
terutang sesuai dengan ketentuan. Ini merupakan bentuk penyederhanaan
administrasi bagi Wajib Pajak non-PKP, yang pada dasarnya tidak memiliki
kewajiban rutin untuk menyampaikan SPT Masa PPN.
Batas waktu pelaporan PPN KMS
bagi Wajib Pajak PKP mengikuti batas waktu pelaporan SPT Masa PPN, yaitu paling
lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
Implementasi PMK 81/2024
secara tegas mengarahkan seluruh proses administrasi PPN KMS, mulai dari
pembuatan kode billing, penyetoran, hingga pelaporan (bagi PKP), untuk
dilakukan melalui Coretax System. Ini merupakan bagian dari agenda besar
digitalisasi DJP yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi,
akurasi data, dan pada akhirnya kepatuhan Wajib Pajak. Dengan demikian, Wajib
Pajak yang melakukan KMS diharapkan untuk segera familiar dengan penggunaan
Coretax, karena proses manual secara bertahap akan semakin ditinggalkan.
Digitalisasi ini juga memberikan kemudahan bagi DJP dalam melakukan pengawasan,
analisis data, dan rekonsiliasi kewajiban PPN KMS.
Perbedaan perlakuan dalam hal
pelaporan antara PKP dan non-PKP juga merupakan aspek penting. Kemudahan yang
diberikan kepada non-PKP, di mana penyetoran PPN KMS dianggap telah sekaligus
memenuhi kewajiban pelaporan, adalah logis mengingat non-PKP tidak memiliki
kewajiban rutin untuk menyampaikan SPT Masa PPN. Bagi PKP, PPN KMS yang disetor
harus dilaporkan dengan benar sebagai salah satu komponen dalam SPT Masa PPN
mereka.
Surat Setoran Pajak (SSP)
sebagai Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak
Pasal 327 ayat (1) PMK 81/2024
menyatakan bahwa Surat Setoran Pajak (SSP) atas penyetoran PPN KMS merupakan
dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Hal ini
memberikan dasar hukum bahwa bukti penyetoran PPN KMS memiliki validitas formal
sebagai bukti pemungutan PPN.
Pengecualian Kewajiban
Penyetoran dan Pelaporan
Terdapat pengecualian dari
kewajiban penyetoran dan pelaporan PPN KMS. Sesuai Pasal 326 ayat (3) dan Pasal
328 ayat (3) PMK 81/2024, Wajib Pajak dikecualikan dari kewajiban penyetoran
dan pelaporan PPN KMS jika jumlah PPN KMS yang terutang dalam Masa Pajak yang
bersangkutan adalah nihil. Kondisi nihil ini bisa terjadi jika dalam suatu Masa
Pajak tidak ada pengeluaran biaya sama sekali untuk kegiatan membangun sendiri
tersebut.
6. Ketentuan Pajak Masukan
terkait KMS
Aturan Tidak Dapat
Dikreditkannya Pajak Masukan
Salah satu ketentuan
fundamental dan konsisten dalam pengaturan PPN KMS adalah perlakuan terhadap
Pajak Masukan. Pasal 327 ayat (2) PMK 81/2024 secara tegas menyatakan bahwa
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa
Kena Pajak (JKP) sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat
dikreditkan.
Ini berarti PPN yang tercantum
dalam faktur-faktur pembelian material bangunan (misalnya semen, besi,
keramik), PPN atas pembayaran jasa konsultan perencana atau pengawas (jika ada
dan bukan merupakan kontraktor utama yang membangun), serta PPN atas perolehan
BKP/JKP lainnya yang digunakan untuk kegiatan membangun sendiri tersebut,
sepenuhnya menjadi beban biaya bagi Wajib Pajak yang melakukan KMS. PPN Masukan
tersebut tidak dapat digunakan untuk mengurangi PPN Keluaran (jika Wajib Pajak
tersebut PKP dan memiliki PPN Keluaran dari kegiatan usaha lainnya) dan juga
tidak dapat dimintakan restitusi.
Ketentuan mengenai tidak dapat
dikreditkannya Pajak Masukan ini telah berlaku secara konsisten sejak
peraturan-peraturan PPN KMS sebelumnya, seperti PMK 163/PMK.03/2012 dan PMK
61/PMK.03/2022 , dan kini ditegaskan kembali dalam PMK 81/2024. Ini merupakan
salah satu karakteristik utama yang membedakan PPN KMS dengan mekanisme PPN
pada umumnya. Alasan mendasar di balik ketentuan ini adalah karena PPN KMS itu
sendiri sudah dikenakan dengan tarif efektif tertentu (2,2%) yang relatif lebih
rendah dibandingkan tarif PPN umum (12%) yang dikenakan atas seluruh nilai
penyerahan jika pembangunan dilakukan melalui kontraktor PKP. Jika Pajak
Masukan atas biaya-biaya pembangunan diizinkan untuk dikreditkan, maka beban
PPN efektif atas KMS akan menjadi sangat kecil, atau bahkan berpotensi nihil
atau lebih bayar, yang tentunya akan mencederai prinsip keadilan dan kesetaraan
perlakuan PPN antara membangun sendiri dengan membeli dari pengembang atau
menggunakan jasa kontraktor PKP.
Implikasi bagi Wajib Pajak
Meskipun SSP atas penyetoran
PPN KMS kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, hal ini hanya relevan
untuk membuktikan bahwa PPN KMS itu sendiri telah disetor sesuai ketentuan. Ini
tidak berarti bahwa PPN Masukan yang terkandung dalam biaya-biaya pembangunan
dapat diperlakukan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Konsekuensinya, Wajib Pajak
harus memperhitungkan seluruh PPN Masukan yang terkait dengan kegiatan
membangun sendiri sebagai bagian dari total biaya investasi atau perolehan
bangunan tersebut. PPN Masukan ini akan menjadi komponen harga perolehan aset
tetap (bangunan) dan akan diperhitungkan dalam penyusutan (jika bangunan
digunakan untuk kegiatan usaha). Perlakuan ini berbeda jika pembangunan
dilakukan melalui kontraktor PKP, di mana PPN yang dipungut oleh kontraktor
(yang merupakan Pajak Keluaran bagi kontraktor) dapat menjadi Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak pembeli, dengan syarat Wajib Pajak
pembeli tersebut adalah PKP dan bangunan yang diperoleh digunakan untuk
kegiatan usaha yang penyerahannya terutang PPN.
7. Ketentuan Lain-Lain dan
Peralihan
Penerbitan NPWP secara Jabatan
Untuk memastikan kepatuhan dan
pengawasan terhadap Wajib Pajak yang melakukan KMS, Pasal 330 PMK 81/2024
memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak (DJP) untuk menerbitkan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan bagi orang pribadi yang melakukan
kegiatan membangun sendiri namun belum memiliki NPWP. Penerbitan NPWP secara
jabatan ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan yang berlaku.
Ketentuan ini menunjukkan
keseriusan DJP dalam menjaring potensi pajak dari kegiatan membangun sendiri.
DJP tidak hanya bersifat pasif menunggu Wajib Pajak mendaftarkan diri, tetapi
dapat bertindak proaktif apabila memiliki data atau informasi mengenai adanya
kegiatan pembangunan yang memenuhi kriteria PPN KMS yang dilakukan oleh pihak
yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak. Implikasinya, bagi orang pribadi yang
melakukan KMS dan belum memiliki NPWP, sangat disarankan untuk secara sukarela
mendaftarkan diri guna memperoleh NPWP. Langkah proaktif ini akan menghindarkan
dari potensi penerbitan NPWP secara jabatan yang mungkin akan diikuti dengan
tindakan pemeriksaan atau penerbitan surat tagihan pajak oleh DJP.
Status Peraturan Sebelumnya
Dengan berlakunya
peraturan-peraturan baru, peraturan lama yang mengatur PPN KMS secara otomatis
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Berikut adalah kronologisnya:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor
163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri telah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.03/2022 pada
tanggal 1 April 2022.
- Selanjutnya, Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 61/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan
Membangun Sendiri juga telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan
diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024. PMK 81/2024
ini mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2025.
Sanksi atas Ketidakpatuhan
Ketidakpatuhan terhadap
ketentuan PPN KMS, seperti tidak menyetor PPN terutang atau terlambat menyetor,
serta tidak melaporkan PPN KMS bagi PKP sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan, akan dikenakan sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat berupa bunga
dan/atau denda sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana
telah beberapa kali diubah.
Sebagai contoh, atas
keterlambatan penyetoran PPN KMS, Wajib Pajak dapat dikenai sanksi administrasi
berupa bunga per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo penyetoran hingga
tanggal dilakukannya pembayaran pajak. Besaran tarif bunga sanksi administrasi
ini mengacu pada suku bunga acuan Bank Indonesia ditambah dengan uplift
factor tertentu sebagaimana diatur dalam UU HPP dan peraturan
pelaksanaannya.
8. Kesimpulan dan Rekomendasi
Ringkasan Poin-Poin Utama
Kewajiban PPN KMS
Berdasarkan analisis terhadap
Undang-Undang PPN dan peraturan pelaksanaan terbarunya, khususnya PMK 81/2024
dan PMK 11/2025, berikut adalah poin-poin utama terkait kewajiban PPN atas
Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) di Indonesia:
- Objek dan Subjek:
PPN KMS dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan
membangun sendiri bangunan (baru atau perluasan) yang tidak dilakukan
dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan, dengan konstruksi utama
tertentu, peruntukan untuk tempat tinggal atau kegiatan usaha, dan luas
keseluruhan bangunan minimal 200 m2.
- Tarif dan DPP:
Tarif efektif PPN KMS yang berlaku mulai 1 Januari 2025 adalah 2,2%.
Tarif ini dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa total biaya
yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak
termasuk biaya perolehan tanah.
- Dasar Hukum Utama:
Landasan pengenaan PPN KMS adalah Pasal 16C UU PPN, dengan peraturan
pelaksanaan teknis terbaru yang diatur dalam PMK 81/2024 jo. PMK 11/2025.
- Saat dan Tempat Terutang: PPN
KMS terutang sejak dimulainya pembangunan hingga selesai, dan disetor
berdasarkan biaya yang dikeluarkan setiap Masa Pajak. Tempat PPN terutang
adalah di tempat tinggal/kedudukan/tempat usaha Wajib Pajak yang melakukan
KMS.
- Penyetoran:
PPN KMS disetor sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan, paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, melalui pembuatan
Kode Billing di aplikasi Coretax.
- Pelaporan:
- Bagi Wajib Pajak PKP, PPN KMS dilaporkan
dalam SPT Masa PPN.
- Bagi Wajib Pajak non-PKP, penyetoran PPN
KMS dianggap telah sekaligus memenuhi kewajiban pelaporan.
- Pajak Masukan:
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan/atau JKP sehubungan
dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.
- Administrasi Digital:
Seluruh proses administrasi PPN KMS, mulai dari pembuatan kode billing,
penyetoran, hingga pelaporan (bagi PKP), diarahkan melalui Coretax System.
Rekomendasi bagi Wajib Pajak
yang Melakukan KMS
Untuk memastikan kepatuhan dan
menghindari potensi sanksi di kemudian hari, Wajib Pajak yang berencana atau
sedang melakukan kegiatan membangun sendiri disarankan untuk memperhatikan
hal-hal berikut:
- Pahami Kriteria dengan Seksama:
Sebelum memulai pembangunan, pastikan apakah kegiatan tersebut memenuhi
seluruh kriteria sebagai objek PPN KMS, terutama terkait batasan luas
minimal 200 m2, jenis konstruksi, dan tujuan penggunaan bangunan.
Perhatikan juga ketentuan pembangunan bertahap jika relevan.
- Lakukan Administrasi Biaya yang Rapi:
Lakukan pencatatan yang detail, akurat, dan teratur atas seluruh biaya
yang dikeluarkan untuk pembangunan. Sangat penting untuk memisahkan dengan
jelas antara biaya perolehan tanah (yang tidak termasuk DPP) dengan
biaya-biaya pembangunan fisik. Simpan seluruh bukti transaksi dan dokumen
pendukung (faktur, kuitansi, kontrak, dll.) secara tertib.
- Hitung PPN KMS dengan Benar:
Gunakan tarif efektif PPN KMS yang berlaku (2,2%) dan Dasar Pengenaan
Pajak yang tepat (total biaya pembangunan tidak termasuk harga tanah)
sesuai dengan ketentuan dalam PMK 81/2024 jo. PMK 11/2025.
- Setor PPN KMS Tepat Waktu:
Lakukan penyetoran PPN KMS yang terutang setiap bulan paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Gunakan aplikasi
Coretax untuk membuat Kode Billing dan melakukan pembayaran.
- Laporkan Sesuai Status Kepatuhan Pajak:
- Jika berstatus PKP, pastikan PPN KMS yang
telah disetor dilaporkan dengan benar dalam SPT Masa PPN.
- Jika berstatus non-PKP, simpan bukti
penyetoran PPN KMS (SSP yang telah tervalidasi) dengan baik sebagai bukti
pelaporan.
- Selalu Perbarui Informasi Regulasi:
Peraturan perpajakan bersifat dinamis. Wajib Pajak disarankan untuk terus
memantau perkembangan terbaru terkait PPN KMS dan peraturan perpajakan
lainnya melalui sumber-sumber resmi dari DJP atau konsultan pajak.
- Pertimbangkan Konsultasi Profesional:
Apabila terdapat keraguan, kompleksitas dalam penentuan objek atau DPP,
atau pertanyaan lebih lanjut mengenai aspek PPN KMS, jangan ragu untuk
berkonsultasi dengan konsultan pajak yang kompeten atau menghubungi
Account Representative (AR) di KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
Dengan semakin canggihnya
sistem administrasi perpajakan melalui Coretax dan meningkatnya kemampuan DJP
dalam melakukan analisis data serta pertukaran informasi dengan pihak ketiga
(misalnya, data perizinan bangunan dari pemerintah daerah), kepatuhan proaktif
dari Wajib Pajak menjadi kunci utama. Mengabaikan kewajiban PPN KMS dengan
asumsi bahwa kegiatan tersebut tidak akan terdeteksi oleh otoritas pajak
merupakan strategi yang sangat berisiko di era digitalisasi perpajakan saat
ini. Pemenuhan kewajiban PPN KMS secara benar dan tepat waktu tidak hanya akan
menghindarkan Wajib Pajak dari risiko pengenaan sanksi dan pemeriksaan di
kemudian hari, tetapi juga menunjukkan kontribusi nyata dalam pembangunan
negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar