Jumat, 16 Mei 2025

PPN Besaran Tertentu Atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)

 1. Pendahuluan

Latar Belakang dan Tujuan Pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) bukanlah sebuah rezim pemajakan yang baru dalam sistem perpajakan Indonesia. Ketentuan ini telah diterapkan sejak tahun 1995. Pengenaan PPN KMS dilandasi oleh beberapa pertimbangan fundamental, terutama untuk mencegah praktik penghindaran PPN yang mungkin terjadi jika tidak ada mekanisme khusus yang mengatur pembangunan yang dilakukan secara mandiri. Lebih lanjut, PPN KMS bertujuan untuk menciptakan perlakuan yang setara dan memenuhi rasa keadilan antara Wajib Pajak yang memilih untuk membeli bangunan jadi dari pengembang properti (developer/real estate) atau menggunakan jasa kontraktor (pemborong) dengan Wajib Pajak yang melakukan kegiatan pembangunan sendiri.  

Tanpa adanya PPN KMS, akan timbul disinsentif bagi penggunaan jasa konstruksi formal yang tunduk pada PPN, serta potensi hilangnya penerimaan negara dari sektor konstruksi. Pihak yang membeli rumah dari pengembang atau menggunakan jasa kontraktor akan dikenakan PPN atas nilai bangunan atau jasa konstruksi tersebut. Sebaliknya, pihak yang membangun sendiri dengan nilai yang sama, tanpa PPN KMS, tidak akan menanggung beban PPN serupa. Oleh karena itu, tujuan utama dari pengenaan PPN KMS adalah untuk menciptakan kesetaraan atau level playing field dalam pengenaan PPN di sektor properti dan konstruksi, memastikan bahwa semua pihak yang melakukan pembangunan dengan skala tertentu turut berkontribusi terhadap penerimaan negara.  

Dasar Hukum Utama yang Mengatur PPN KMS di Indonesia

Pengaturan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri di Indonesia didasarkan pada beberapa jenjang peraturan perundang-undangan, mulai dari Undang-Undang hingga peraturan pelaksana teknisnya.

Landasan hukum utama bagi pengenaan PPN KMS adalah Pasal 16C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN), sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pasal 16C UU PPN secara spesifik memberikan amanat untuk mengenakan PPN atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain, dengan batasan dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.  

Sebagai peraturan pelaksanaan teknis, ketentuan PPN KMS telah mengalami beberapa kali perubahan. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang saat ini berlaku dan menjadi acuan utama adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK 81/2024) tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. PMK ini mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2025 dan secara komprehensif mengatur berbagai aspek administrasi perpajakan, termasuk PPN KMS, sejalan dengan implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Coretax System. Dengan berlakunya PMK 81/2024, peraturan sebelumnya yang mengatur PPN KMS, yaitu PMK Nomor 61/PMK.03/2022, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.  

Selanjutnya, terkait dengan penyesuaian formula perhitungan tarif PPN KMS agar selaras dengan kenaikan tarif PPN umum menjadi 12% namun tetap mempertahankan beban efektif PPN KMS, diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11 Tahun 2025 (PMK 11/2025) tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai. PMK 11/2025 ini memiliki dampak signifikan karena ditetapkan berlaku surut (retroaktif) sejak tanggal 1 Januari 2025, memastikan konsistensi tarif efektif PPN KMS sejak awal tahun 2025.  

Evolusi regulasi PPN KMS, mulai dari PMK Nomor 163/PMK.03/2012, kemudian PMK Nomor 61/PMK.03/2022, hingga yang terbaru PMK 81/2024 yang disusul dengan cepat oleh PMK 11/2025, mencerminkan upaya berkelanjutan dari pemerintah untuk menyempurnakan dan menyederhanakan ketentuan PPN KMS. Penerbitan PMK 81/2024 merupakan bagian integral dari agenda reformasi administrasi perpajakan yang lebih luas melalui implementasi Coretax System, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan Wajib Pajak. Pemberlakuan PMK 11/2025 secara retroaktif menunjukkan respons cepat pemerintah untuk memberikan kepastian hukum dan mengklarifikasi aspek tarif PPN KMS yang mungkin menimbulkan interpretasi berbeda pasca kenaikan tarif PPN umum. Hal ini menggarisbawahi pentingnya bagi Wajib Pajak untuk senantiasa memantau perkembangan peraturan perpajakan terkini, mengingat perubahan dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat, khususnya yang berkaitan dengan tarif dan prosedur administrasi.  

2. Konsep Dasar PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS)

Definisi Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) sesuai PMK 81/2024 Pasal 323

Berdasarkan Pasal 323 PMK 81/2024, Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) didefinisikan sebagai kegiatan membangun bangunan, baik berupa bangunan baru maupun perluasan bangunan lama, yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, dan hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain. Definisi ini sejalan dengan amanat Pasal 16C UU PPN yang menekankan bahwa kegiatan tersebut dilakukan "tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan".  

Cakupan KMS juga meliputi situasi di mana kegiatan membangun bangunan tersebut sebenarnya dilakukan oleh pihak lain (misalnya, tukang bangunan harian atau borongan perorangan yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak/PKP) untuk kepentingan orang pribadi atau badan, namun PPN atas kegiatan tersebut tidak dipungut oleh pihak lain tersebut. Ini menutup celah di mana pembangunan yang secara substansi serupa dengan menggunakan jasa konstruksi informal tetap dikenakan PPN KMS.  

Subjek Pajak: Siapa yang Wajib Membayar PPN KMS

Subjek PPN KMS adalah orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri sebagaimana telah didefinisikan di atas. Kewajiban untuk menghitung, memungut, menyetor, dan melaporkan PPN KMS melekat pada individu atau entitas yang melakukan pembangunan tersebut, bukan pada pihak ketiga seperti tukang atau penyedia material bangunan, kecuali jika pihak ketiga tersebut adalah kontraktor PKP yang secara formal dikontrak untuk melakukan pembangunan (dalam hal ini, bukan lagi KMS melainkan penyerahan jasa konstruksi).  

Objek Pajak: Kriteria Bangunan yang Dikenakan PPN KMS (Pasal 323 PMK 81/2024)

Tidak semua kegiatan membangun sendiri secara otomatis dikenakan PPN KMS. Terdapat kriteria spesifik terkait bangunan yang menjadi objek PPN KMS, sebagaimana diatur dalam Pasal 323 PMK 81/2024. Bangunan yang dimaksud adalah satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan. Kriteria tersebut meliputi:  

  1. Kriteria Konstruksi Utama: Konstruksi utama bangunan harus terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja. Kriteria ini mengindikasikan bahwa bangunan yang dimaksud adalah bangunan yang bersifat permanen atau semi-permanen, bukan bangunan sementara atau darurat.  
  2. Kriteria Peruntukan Bangunan: Bangunan tersebut harus diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha. Ini mencakup rumah tinggal, ruko, kantor, gudang, atau bangunan lain yang digunakan untuk tujuan komersial atau residensial.  
  3. Kriteria Luas Minimum Bangunan: Luas keseluruhan bangunan yang dibangun paling sedikit adalah 200 m2 (dua ratus meter persegi). Batasan luas ini merupakan filter penting yang mengecualikan pembangunan rumah sederhana atau bangunan skala kecil dari pengenaan PPN KMS. Penetapan batas luas minimal 200 m2 ini mencerminkan upaya pemerintah untuk tidak membebani masyarakat berpenghasilan rendah atau mereka yang membangun rumah sederhana untuk kebutuhan primer. PPN KMS lebih ditujukan pada pembangunan dengan skala yang lebih besar, yang apabila dilakukan melalui kontraktor formal, sudah pasti akan dikenakan PPN. Hal ini sejalan dengan tujuan keadilan dalam pemajakan yang sering ditekankan dalam berbagai peraturan terkait. Implikasinya, individu yang membangun rumah dengan luas di bawah 200 m2 tidak perlu khawatir akan kewajiban PPN KMS. Namun, perlu dicermati ketentuan mengenai pembangunan bertahap.  

Ketentuan Pembangunan Bertahap (Pasal 323 ayat (3) PMK 81/2024)

Peraturan juga mengatur mengenai kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap. Kegiatan tersebut dianggap sebagai satu kesatuan kegiatan KMS sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan pembangunan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.  

Jika tenggang waktu antar tahapan pembangunan melebihi 2 (dua) tahun, maka kegiatan membangun pada tahapan berikutnya dianggap sebagai kegiatan membangun bangunan yang terpisah dari tahapan sebelumnya. Konsekuensinya, setiap tahapan yang terpisah tersebut akan diuji kembali secara individual apakah memenuhi kriteria sebagai objek PPN KMS (terutama kriteria luas minimal 200 m2).  

Ketentuan mengenai pembangunan bertahap ini memiliki implikasi perencanaan yang signifikan bagi Wajib Pajak. Jika jeda antar tahapan melebihi dua tahun, tahapan berikutnya dapat dianggap sebagai KMS baru. Situasi ini bisa menguntungkan jika luas bangunan pada tahapan berikutnya tersebut di bawah 200 m2, sehingga tidak terutang PPN KMS. Sebaliknya, bisa juga merugikan jika total biaya pembangunan menjadi dasar perhitungan yang terpisah-pisah dan berpotensi mengakumulasi beban administrasi yang lebih kompleks. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang merencanakan pembangunan secara bertahap harus cermat dalam menghitung rentang waktu dan akumulasi luas bangunan agar dapat memenuhi kewajiban PPN KMS secara benar dan tepat.

3. Perhitungan PPN KMS

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN KMS

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk PPN KMS diatur secara spesifik dalam Pasal 324 ayat (2) PMK 81/2024, yang senada dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) PMK 61/2022 sebelumnya. DPP PPN KMS adalah nilai tertentu yang ditetapkan sebesar jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan tersebut untuk setiap Masa Pajak sampai dengan bangunan selesai dibangun.  

Poin krusial dalam penentuan DPP PPN KMS adalah pengecualian biaya perolehan tanah. Biaya perolehan tanah, yang seringkali merupakan komponen paling signifikan dari total biaya investasi properti, tidak termasuk dalam dasar perhitungan PPN KMS. Biaya-biaya yang termasuk dalam DPP adalah semua pengeluaran yang terkait langsung dengan pembangunan fisik bangunan, seperti biaya pembelian material bangunan (semen, pasir, batu, besi, kayu, keramik, dll.), upah tenaga kerja (tukang, mandor, kuli), biaya sewa peralatan konstruksi, biaya perizinan yang terkait langsung dengan proses konstruksi (misalnya Izin Mendirikan Bangunan - IMB, jika relevan dengan biaya pembangunan fisiknya), serta biaya jasa perencanaan atau pengawasan yang tidak dilakukan oleh kontraktor PKP.  

Pengecualian biaya perolehan tanah dari DPP merupakan sebuah konsesi yang signifikan. Harga tanah, terutama di kawasan perkotaan atau lokasi strategis, bisa jauh melampaui biaya konstruksi fisik bangunan itu sendiri. Apabila biaya perolehan tanah turut dimasukkan sebagai komponen DPP, beban PPN KMS akan melonjak drastis dan dapat dianggap tidak proporsional serta memberatkan. Pengecualian ini sejalan dengan prinsip dasar PPN yang dikenakan atas konsumsi barang atau jasa kena pajak, dalam konteks KMS, yang menjadi fokus adalah kegiatan membangunnya, bukan perolehan tanahnya. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus memiliki dokumentasi yang jelas, akurat, dan terpisah antara biaya perolehan tanah dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan fisik bangunan guna menghindari potensi sengketa dalam penentuan DPP PPN KMS.

Tarif PPN KMS

PPN KMS dikenakan dengan menggunakan mekanisme besaran tertentu yang dikalikan dengan tarif PPN umum yang berlaku, kemudian dikalikan dengan DPP. Formula besaran tertentu ini telah mengalami beberapa kali penyesuaian seiring dengan perubahan tarif PPN umum dan kebijakan pemerintah.

Berikut adalah perkembangan tarif efektif PPN KMS:

  • Sebelum 1 April 2022 (berdasarkan PMK 163/PMK.03/2012): Tarif efektif PPN KMS adalah 2%. Ini dihitung dari 10% (tarif PPN umum saat itu) dikalikan dengan 20% (besaran tertentu DPP).
  • Periode 1 April 2022 - 31 Desember 2024 (berdasarkan PMK 61/PMK.03/2022): Tarif efektif PPN KMS adalah 2,2%. Ini dihitung dari 20% (besaran tertentu) dikalikan dengan 11% (tarif PPN umum yang berlaku saat itu), dikalikan dengan DPP.  
  • Potensi Tarif berdasarkan PMK 81/2024 (sebelum terbitnya PMK 11/2025) untuk berlaku 1 Januari 2025: Sempat terdapat indikasi bahwa tarif efektif PPN KMS akan menjadi 2,4%. Perhitungan ini didasarkan pada 20% (besaran tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 324 PMK 81/2024) dikalikan dengan 12% (tarif PPN umum baru yang direncanakan berlaku mulai 2025), dikalikan dengan DPP.  
  • Berlaku Mulai 1 Januari 2025 (berdasarkan PMK 81/2024 jo. PMK 11/2025): Tarif efektif PPN KMS kembali ditetapkan sebesar 2,2%. Penyesuaian ini diatur dalam Pasal 20 PMK 11/2025, yang menetapkan bahwa besaran tertentu untuk PPN KMS dihitung dari hasil perkalian 20% (besaran tertentu) dikali 11/12 (sebelas per dua belas) dikali tarif PPN Pasal 7 ayat (1) UU PPN (yaitu 12%), dikalikan dengan DPP. PMK 11/2025 ini ditegaskan berlaku secara surut (retroaktif) sejak tanggal 1 Januari 2025.  

Dengan demikian, rumus perhitungan PPN KMS yang terutang efektif mulai 1 Januari 2025 adalah:

PPNKMS = 2,2%×Total Biaya Pembangunan (tidak termasuk biaya perolehan tanah)

Dinamika perubahan tarif ini, dari 2,2% (berdasarkan PMK 61/2022), kemudian sempat muncul potensi kenaikan menjadi 2,4% (sebagai konsekuensi logis dari kenaikan tarif PPN umum menjadi 12% dalam kerangka PMK 81/2024), hingga akhirnya kembali ditetapkan menjadi 2,2% melalui PMK 11/2025, menunjukkan adanya proses penyesuaian kebijakan yang responsif. Kemungkinan besar, pemerintah berkeinginan untuk mempertahankan beban PPN KMS pada tingkat yang relatif stabil meskipun terjadi kenaikan tarif PPN umum. Penggunaan formula baru dengan pengali 11/12 dalam PMK 11/2025 merupakan mekanisme teknis untuk mencapai tarif efektif 2,2% tersebut dengan tetap mengacu pada tarif PPN umum sebesar 12%. Hal ini menunjukkan bahwa komponen "besaran tertentu" dalam formula PPN KMS merupakan instrumen yang fleksibel dan dapat disesuaikan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan kebijakan tertentu. Bagi Wajib Pajak, penetapan kembali tarif efektif 2,2% ini memberikan kepastian dan menghindarkan dari kenaikan beban PPN KMS pada tahun 2025. Pemberlakuan surut PMK 11/2025 juga sangat krusial untuk menjamin kepastian hukum sejak awal tahun 2025.  

Contoh Perhitungan PPN KMS

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut adalah contoh perhitungan PPN KMS: Misalkan Tuan Budi melakukan kegiatan membangun sendiri sebuah rumah tinggal pada bulan Maret 2025. Luas bangunan yang didirikan adalah 300 m2. Total biaya yang dikeluarkan selama bulan Maret 2025 untuk pembangunan tersebut (tidak termasuk biaya perolehan tanah) adalah Rp 300.000.000.

Maka, PPN KMS yang terutang untuk Masa Pajak Maret 2025 dihitung sebagai berikut: DPP PPN KMS = Rp 300.000.000 Tarif Efektif PPN KMS = 2,2%

PPN KMS Terutang = Tarif Efektif PPN KMS x DPP PPN KMS PPN KMS Terutang = 2,2% x Rp 300.000.000 PPN KMS Terutang = Rp 6.600.000

Dengan demikian, Tuan Budi wajib menyetorkan PPN KMS sebesar Rp 6.600.000 untuk pengeluaran biaya di Masa Pajak Maret 2025.

4. Saat Terutang dan Tempat Terutangnya PPN KMS

Penentuan Saat Terutangnya PPN KMS

Saat terutangnya PPN KMS diatur dalam Pasal 325 ayat (1) PMK 81/2024. Disebutkan bahwa PPN atas kegiatan membangun sendiri terutang pada saat dimulainya kegiatan membangun bangunan sampai dengan bangunan tersebut selesai dibangun.  

Interpretasi dari ketentuan ini adalah bahwa PPN KMS tidak terutang sekaligus pada awal atau akhir pembangunan, melainkan terutang secara periodik (bulanan) seiring dengan dikeluarkannya biaya-biaya untuk pembangunan tersebut. Setiap kali ada pengeluaran biaya yang menjadi komponen DPP PPN KMS dalam suatu Masa Pajak (bulan), maka pada Masa Pajak tersebut terutang PPN KMS atas biaya yang dikeluarkan. Kewajiban ini berlanjut setiap bulannya selama proses pembangunan berlangsung hingga bangunan dinyatakan selesai.

Penentuan Tempat PPN KMS Terutang

Tempat PPN KMS terutang juga mengalami perubahan signifikan dengan berlakunya PMK 81/2024. Sesuai Pasal 325 ayat (2) PMK 81/2024, tempat PPN atas kegiatan membangun sendiri terutang adalah di tempat tinggal atau tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak yang melakukan kegiatan membangun sendiri.  

Ketentuan ini berbeda dengan peraturan sebelumnya, misalnya PMK 163/PMK.03/2012, yang menyatakan bahwa tempat PPN KMS terutang adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. Perubahan ini merupakan konsekuensi logis dari modernisasi administrasi perpajakan dan implementasi Coretax System. Dengan sistem yang lebih terpusat dan penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang terintegrasi (berbasis NIK untuk orang pribadi atau format 16 digit untuk badan), penentuan tempat terutang berdasarkan domisili atau tempat kedudukan Wajib Pajak akan lebih memudahkan proses administrasi, pengawasan, dan pelayanan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar. Sebelumnya, jika seorang Wajib Pajak membangun beberapa bangunan di lokasi yang berbeda-beda yang berada di bawah wilayah kerja KPP yang berbeda pula, maka Wajib Pajak tersebut harus berurusan dengan beberapa KPP lokasi. Dengan ketentuan baru ini, administrasi menjadi lebih sederhana karena Wajib Pajak cukup melaporkan dan menyetorkan PPN KMS ke KPP tempat mereka terdaftar, terlepas dari lokasi fisik bangunan yang dibangun. Hal ini juga dikonfirmasi oleh pemberitaan yang menyatakan bahwa pembuatan Kode Billing PPN KMS tidak lagi mengacu pada KPP tempat bangunan didirikan, melainkan pada data Wajib Pajak yang melakukan KMS.  

5. Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan PPN KMS

Kewajiban Penyetoran PPN KMS

Sesuai dengan Pasal 326 PMK 81/2024, PPN KMS yang terutang wajib dihitung, dipungut, dan disetor sendiri oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. Ini menegaskan sifat self-assessment dalam pemenuhan kewajiban PPN KMS.  

Proses penyetoran PPN KMS dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Pembuatan Kode Billing: Wajib Pajak harus membuat Kode Billing secara mandiri. Dengan berlakunya Coretax System, pembuatan Kode Billing ini dilakukan melalui aplikasi Coretax yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).  
  2. Pengisian Data Kode Billing: Dalam pembuatan Kode Billing, Wajib Pajak perlu memilih Kode Akun Pajak (KAP) 411211 untuk PPN Dalam Negeri dan Kode Jenis Setoran (KJS) 103 untuk PPN Kegiatan Membangun Sendiri. Kemudian, Wajib Pajak mengisi nilai PPN KMS yang terutang untuk Masa Pajak yang bersangkutan.  
  3. Batas Waktu Penyetoran: PPN KMS yang terutang untuk suatu Masa Pajak harus disetor ke kas negara paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak terjadinya pengeluaran biaya dan/atau pembayaran biaya untuk membangun bangunan tersebut berakhir, sampai dengan bangunan selesai. Ketentuan batas waktu penyetoran ini sejalan dengan penyeragaman batas waktu penyetoran pajak masa yang diatur dalam Pasal 94 ayat (2) PMK 81/2024. Sebagai contoh, PPN KMS atas biaya yang dikeluarkan pada bulan Maret 2025 harus disetor paling lambat tanggal 15 April 2025.  

Kewajiban Pelaporan PPN KMS

Kewajiban pelaporan PPN KMS dibedakan berdasarkan status Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau bukan PKP (non-PKP), sebagaimana diatur dalam Pasal 328 PMK 81/2024:

  1. Bagi Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak (PKP): Wajib Pajak yang berstatus PKP diwajibkan untuk melaporkan PPN KMS yang telah disetor dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN. Pelaporan ini dilakukan secara elektronik melalui aplikasi Coretax. PPN KMS yang disetor akan menjadi bagian dari perhitungan PPN dalam SPT Masa PPN PKP yang bersangkutan.  
  2. Bagi Wajib Pajak Non-PKP: Wajib Pajak orang pribadi atau badan yang bukan merupakan PKP dianggap telah melaporkan PPN KMS sepanjang telah melakukan penyetoran PPN KMS terutang sesuai dengan ketentuan. Ini merupakan bentuk penyederhanaan administrasi bagi Wajib Pajak non-PKP, yang pada dasarnya tidak memiliki kewajiban rutin untuk menyampaikan SPT Masa PPN.  

Batas waktu pelaporan PPN KMS bagi Wajib Pajak PKP mengikuti batas waktu pelaporan SPT Masa PPN, yaitu paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.  

Implementasi PMK 81/2024 secara tegas mengarahkan seluruh proses administrasi PPN KMS, mulai dari pembuatan kode billing, penyetoran, hingga pelaporan (bagi PKP), untuk dilakukan melalui Coretax System. Ini merupakan bagian dari agenda besar digitalisasi DJP yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, akurasi data, dan pada akhirnya kepatuhan Wajib Pajak. Dengan demikian, Wajib Pajak yang melakukan KMS diharapkan untuk segera familiar dengan penggunaan Coretax, karena proses manual secara bertahap akan semakin ditinggalkan. Digitalisasi ini juga memberikan kemudahan bagi DJP dalam melakukan pengawasan, analisis data, dan rekonsiliasi kewajiban PPN KMS.  

Perbedaan perlakuan dalam hal pelaporan antara PKP dan non-PKP juga merupakan aspek penting. Kemudahan yang diberikan kepada non-PKP, di mana penyetoran PPN KMS dianggap telah sekaligus memenuhi kewajiban pelaporan, adalah logis mengingat non-PKP tidak memiliki kewajiban rutin untuk menyampaikan SPT Masa PPN. Bagi PKP, PPN KMS yang disetor harus dilaporkan dengan benar sebagai salah satu komponen dalam SPT Masa PPN mereka.

Surat Setoran Pajak (SSP) sebagai Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak

Pasal 327 ayat (1) PMK 81/2024 menyatakan bahwa Surat Setoran Pajak (SSP) atas penyetoran PPN KMS merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Hal ini memberikan dasar hukum bahwa bukti penyetoran PPN KMS memiliki validitas formal sebagai bukti pemungutan PPN.  

Pengecualian Kewajiban Penyetoran dan Pelaporan

Terdapat pengecualian dari kewajiban penyetoran dan pelaporan PPN KMS. Sesuai Pasal 326 ayat (3) dan Pasal 328 ayat (3) PMK 81/2024, Wajib Pajak dikecualikan dari kewajiban penyetoran dan pelaporan PPN KMS jika jumlah PPN KMS yang terutang dalam Masa Pajak yang bersangkutan adalah nihil. Kondisi nihil ini bisa terjadi jika dalam suatu Masa Pajak tidak ada pengeluaran biaya sama sekali untuk kegiatan membangun sendiri tersebut.  

6. Ketentuan Pajak Masukan terkait KMS

Aturan Tidak Dapat Dikreditkannya Pajak Masukan

Salah satu ketentuan fundamental dan konsisten dalam pengaturan PPN KMS adalah perlakuan terhadap Pajak Masukan. Pasal 327 ayat (2) PMK 81/2024 secara tegas menyatakan bahwa Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.  

Ini berarti PPN yang tercantum dalam faktur-faktur pembelian material bangunan (misalnya semen, besi, keramik), PPN atas pembayaran jasa konsultan perencana atau pengawas (jika ada dan bukan merupakan kontraktor utama yang membangun), serta PPN atas perolehan BKP/JKP lainnya yang digunakan untuk kegiatan membangun sendiri tersebut, sepenuhnya menjadi beban biaya bagi Wajib Pajak yang melakukan KMS. PPN Masukan tersebut tidak dapat digunakan untuk mengurangi PPN Keluaran (jika Wajib Pajak tersebut PKP dan memiliki PPN Keluaran dari kegiatan usaha lainnya) dan juga tidak dapat dimintakan restitusi.

Ketentuan mengenai tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan ini telah berlaku secara konsisten sejak peraturan-peraturan PPN KMS sebelumnya, seperti PMK 163/PMK.03/2012 dan PMK 61/PMK.03/2022 , dan kini ditegaskan kembali dalam PMK 81/2024. Ini merupakan salah satu karakteristik utama yang membedakan PPN KMS dengan mekanisme PPN pada umumnya. Alasan mendasar di balik ketentuan ini adalah karena PPN KMS itu sendiri sudah dikenakan dengan tarif efektif tertentu (2,2%) yang relatif lebih rendah dibandingkan tarif PPN umum (12%) yang dikenakan atas seluruh nilai penyerahan jika pembangunan dilakukan melalui kontraktor PKP. Jika Pajak Masukan atas biaya-biaya pembangunan diizinkan untuk dikreditkan, maka beban PPN efektif atas KMS akan menjadi sangat kecil, atau bahkan berpotensi nihil atau lebih bayar, yang tentunya akan mencederai prinsip keadilan dan kesetaraan perlakuan PPN antara membangun sendiri dengan membeli dari pengembang atau menggunakan jasa kontraktor PKP.  

Implikasi bagi Wajib Pajak

Meskipun SSP atas penyetoran PPN KMS kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, hal ini hanya relevan untuk membuktikan bahwa PPN KMS itu sendiri telah disetor sesuai ketentuan. Ini tidak berarti bahwa PPN Masukan yang terkandung dalam biaya-biaya pembangunan dapat diperlakukan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Konsekuensinya, Wajib Pajak harus memperhitungkan seluruh PPN Masukan yang terkait dengan kegiatan membangun sendiri sebagai bagian dari total biaya investasi atau perolehan bangunan tersebut. PPN Masukan ini akan menjadi komponen harga perolehan aset tetap (bangunan) dan akan diperhitungkan dalam penyusutan (jika bangunan digunakan untuk kegiatan usaha). Perlakuan ini berbeda jika pembangunan dilakukan melalui kontraktor PKP, di mana PPN yang dipungut oleh kontraktor (yang merupakan Pajak Keluaran bagi kontraktor) dapat menjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak pembeli, dengan syarat Wajib Pajak pembeli tersebut adalah PKP dan bangunan yang diperoleh digunakan untuk kegiatan usaha yang penyerahannya terutang PPN.

7. Ketentuan Lain-Lain dan Peralihan

Penerbitan NPWP secara Jabatan

Untuk memastikan kepatuhan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak yang melakukan KMS, Pasal 330 PMK 81/2024 memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak (DJP) untuk menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan bagi orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri namun belum memiliki NPWP. Penerbitan NPWP secara jabatan ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku.  

Ketentuan ini menunjukkan keseriusan DJP dalam menjaring potensi pajak dari kegiatan membangun sendiri. DJP tidak hanya bersifat pasif menunggu Wajib Pajak mendaftarkan diri, tetapi dapat bertindak proaktif apabila memiliki data atau informasi mengenai adanya kegiatan pembangunan yang memenuhi kriteria PPN KMS yang dilakukan oleh pihak yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak. Implikasinya, bagi orang pribadi yang melakukan KMS dan belum memiliki NPWP, sangat disarankan untuk secara sukarela mendaftarkan diri guna memperoleh NPWP. Langkah proaktif ini akan menghindarkan dari potensi penerbitan NPWP secara jabatan yang mungkin akan diikuti dengan tindakan pemeriksaan atau penerbitan surat tagihan pajak oleh DJP.

Status Peraturan Sebelumnya

Dengan berlakunya peraturan-peraturan baru, peraturan lama yang mengatur PPN KMS secara otomatis dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Berikut adalah kronologisnya:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.03/2022 pada tanggal 1 April 2022.  
  • Selanjutnya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri juga telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024. PMK 81/2024 ini mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2025.  

Sanksi atas Ketidakpatuhan

Ketidakpatuhan terhadap ketentuan PPN KMS, seperti tidak menyetor PPN terutang atau terlambat menyetor, serta tidak melaporkan PPN KMS bagi PKP sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, akan dikenakan sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat berupa bunga dan/atau denda sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah.  

Sebagai contoh, atas keterlambatan penyetoran PPN KMS, Wajib Pajak dapat dikenai sanksi administrasi berupa bunga per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo penyetoran hingga tanggal dilakukannya pembayaran pajak. Besaran tarif bunga sanksi administrasi ini mengacu pada suku bunga acuan Bank Indonesia ditambah dengan uplift factor tertentu sebagaimana diatur dalam UU HPP dan peraturan pelaksanaannya.  

8. Kesimpulan dan Rekomendasi

Ringkasan Poin-Poin Utama Kewajiban PPN KMS

Berdasarkan analisis terhadap Undang-Undang PPN dan peraturan pelaksanaan terbarunya, khususnya PMK 81/2024 dan PMK 11/2025, berikut adalah poin-poin utama terkait kewajiban PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) di Indonesia:

  1. Objek dan Subjek: PPN KMS dikenakan kepada orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri bangunan (baru atau perluasan) yang tidak dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan, dengan konstruksi utama tertentu, peruntukan untuk tempat tinggal atau kegiatan usaha, dan luas keseluruhan bangunan minimal 200 m2.
  2. Tarif dan DPP: Tarif efektif PPN KMS yang berlaku mulai 1 Januari 2025 adalah 2,2%. Tarif ini dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa total biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk biaya perolehan tanah.
  3. Dasar Hukum Utama: Landasan pengenaan PPN KMS adalah Pasal 16C UU PPN, dengan peraturan pelaksanaan teknis terbaru yang diatur dalam PMK 81/2024 jo. PMK 11/2025.
  4. Saat dan Tempat Terutang: PPN KMS terutang sejak dimulainya pembangunan hingga selesai, dan disetor berdasarkan biaya yang dikeluarkan setiap Masa Pajak. Tempat PPN terutang adalah di tempat tinggal/kedudukan/tempat usaha Wajib Pajak yang melakukan KMS.
  5. Penyetoran: PPN KMS disetor sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, melalui pembuatan Kode Billing di aplikasi Coretax.
  6. Pelaporan:
    • Bagi Wajib Pajak PKP, PPN KMS dilaporkan dalam SPT Masa PPN.
    • Bagi Wajib Pajak non-PKP, penyetoran PPN KMS dianggap telah sekaligus memenuhi kewajiban pelaporan.
  7. Pajak Masukan: Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan/atau JKP sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.
  8. Administrasi Digital: Seluruh proses administrasi PPN KMS, mulai dari pembuatan kode billing, penyetoran, hingga pelaporan (bagi PKP), diarahkan melalui Coretax System.

Rekomendasi bagi Wajib Pajak yang Melakukan KMS

Untuk memastikan kepatuhan dan menghindari potensi sanksi di kemudian hari, Wajib Pajak yang berencana atau sedang melakukan kegiatan membangun sendiri disarankan untuk memperhatikan hal-hal berikut:

  1. Pahami Kriteria dengan Seksama: Sebelum memulai pembangunan, pastikan apakah kegiatan tersebut memenuhi seluruh kriteria sebagai objek PPN KMS, terutama terkait batasan luas minimal 200 m2, jenis konstruksi, dan tujuan penggunaan bangunan. Perhatikan juga ketentuan pembangunan bertahap jika relevan.
  2. Lakukan Administrasi Biaya yang Rapi: Lakukan pencatatan yang detail, akurat, dan teratur atas seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan. Sangat penting untuk memisahkan dengan jelas antara biaya perolehan tanah (yang tidak termasuk DPP) dengan biaya-biaya pembangunan fisik. Simpan seluruh bukti transaksi dan dokumen pendukung (faktur, kuitansi, kontrak, dll.) secara tertib.
  3. Hitung PPN KMS dengan Benar: Gunakan tarif efektif PPN KMS yang berlaku (2,2%) dan Dasar Pengenaan Pajak yang tepat (total biaya pembangunan tidak termasuk harga tanah) sesuai dengan ketentuan dalam PMK 81/2024 jo. PMK 11/2025.
  4. Setor PPN KMS Tepat Waktu: Lakukan penyetoran PPN KMS yang terutang setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Gunakan aplikasi Coretax untuk membuat Kode Billing dan melakukan pembayaran.
  5. Laporkan Sesuai Status Kepatuhan Pajak:
    • Jika berstatus PKP, pastikan PPN KMS yang telah disetor dilaporkan dengan benar dalam SPT Masa PPN.
    • Jika berstatus non-PKP, simpan bukti penyetoran PPN KMS (SSP yang telah tervalidasi) dengan baik sebagai bukti pelaporan.
  6. Selalu Perbarui Informasi Regulasi: Peraturan perpajakan bersifat dinamis. Wajib Pajak disarankan untuk terus memantau perkembangan terbaru terkait PPN KMS dan peraturan perpajakan lainnya melalui sumber-sumber resmi dari DJP atau konsultan pajak.
  7. Pertimbangkan Konsultasi Profesional: Apabila terdapat keraguan, kompleksitas dalam penentuan objek atau DPP, atau pertanyaan lebih lanjut mengenai aspek PPN KMS, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak yang kompeten atau menghubungi Account Representative (AR) di KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.

Dengan semakin canggihnya sistem administrasi perpajakan melalui Coretax dan meningkatnya kemampuan DJP dalam melakukan analisis data serta pertukaran informasi dengan pihak ketiga (misalnya, data perizinan bangunan dari pemerintah daerah), kepatuhan proaktif dari Wajib Pajak menjadi kunci utama. Mengabaikan kewajiban PPN KMS dengan asumsi bahwa kegiatan tersebut tidak akan terdeteksi oleh otoritas pajak merupakan strategi yang sangat berisiko di era digitalisasi perpajakan saat ini. Pemenuhan kewajiban PPN KMS secara benar dan tepat waktu tidak hanya akan menghindarkan Wajib Pajak dari risiko pengenaan sanksi dan pemeriksaan di kemudian hari, tetapi juga menunjukkan kontribusi nyata dalam pembangunan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Tax Ratio Indonesia Rendah

Pendahuluan: Memahami Rasio Pajak Bagian ini memperkenalkan ko...