Jumat, 16 Mei 2025

Konsep Hubungan Istimewa dalam Perpajakan dan Pihak Berelasi dalam Akuntansi di Indonesia

 1. Pendahuluan

Dalam lanskap bisnis dan kepatuhan di Indonesia, pemahaman yang akurat mengenai perbedaan antara konsep "hubungan istimewa" untuk tujuan perpajakan dan "pihak berelasi" untuk tujuan akuntansi memegang peranan krusial. Meskipun kedua istilah ini seringkali bersinggungan dan merujuk pada entitas atau individu yang memiliki keterkaitan tertentu, keduanya berakar pada dasar hukum, tujuan, dan memiliki implikasi yang berbeda secara fundamental. Ketidakpahaman atau ketidakselarasan dalam mengaplikasikan kedua konsep ini dapat berujung pada berbagai risiko, mulai dari potensi koreksi dan sanksi pajak hingga kemungkinan kesalahan penyajian material dalam laporan keuangan yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan para pemangku kepentingan.

Sebagai contoh, jika suatu entitas hanya memfokuskan perhatiannya pada definisi hubungan istimewa menurut ketentuan perpajakan, ada kemungkinan entitas tersebut mengabaikan kewajiban pengungkapan transaksi dengan pihak berelasi yang material menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK), khususnya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 7. Kelalaian ini dapat menyesatkan investor atau kreditur dalam menilai kinerja dan risiko entitas. Sebaliknya, jika entitas hanya berpedoman pada PSAK 7 tanpa memperhatikan ketentuan perpajakan, entitas tersebut mungkin tidak menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) secara tepat atas transaksi yang dianggap istimewa oleh otoritas pajak, yang pada akhirnya dapat memicu sengketa perpajakan.

Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan analisis komparatif yang mendalam mengenai konsep "hubungan istimewa" sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) beserta peraturan pelaksananya, dan konsep "pihak berelasi" sebagaimana diatur dalam PSAK 7. Analisis ini akan menyoroti perbedaan-perbedaan fundamental dalam definisi, kriteria identifikasi, tujuan yang mendasari, implikasi praktis bagi entitas bisnis, serta mencermati perkembangan regulasi terkini yang memengaruhi kedua konsep tersebut di Indonesia.

2. Konsep Hubungan Istimewa dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh)

2.1. Landasan Yuridis dan Tujuan Utama

Konsep hubungan istimewa dalam konteks perpajakan di Indonesia diatur secara primer dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPh). Ketentuan ini kemudian diperjelas dan diperinci lebih lanjut melalui berbagai peraturan pelaksanaan, termasuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yang paling relevan saat ini adalah PMK Nomor 172/PMK.03/2023 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa , yang menggantikan dan menyempurnakan PMK Nomor 22/PMK.03/2020.  

Tujuan utama dari penetapan konsep hubungan istimewa dalam UU PPh adalah untuk mencegah praktik penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggeseran laba (profit shifting) yang dapat timbul dari transaksi yang dilakukan secara tidak wajar antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Dengan adanya hubungan istimewa, terdapat potensi bahwa harga, syarat, atau kondisi transaksi dapat diatur sedemikian rupa sehingga menguntungkan salah satu pihak atau grup secara keseluruhan dengan cara mengurangi beban pajak yang seharusnya terutang. Oleh karena itu, peraturan perpajakan memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak (DJP) untuk memastikan bahwa setiap transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa telah dilakukan sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) atau Arm's Length Principle (ALP). Prinsip ini menghendaki agar transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dilakukan seolah-olah transaksi tersebut terjadi antara pihak-pihak yang independen, yang tidak saling mengendalikan dan tidak memiliki keterikatan khusus.  

Fokus utama otoritas pajak adalah untuk mengamankan basis pemajakan negara dan memastikan keadilan dalam pemungutan pajak. Konsep hubungan istimewa dalam perpajakan bersifat substantif ekonomis dari perspektif fiskal. Tanpa adanya aturan yang tegas mengenai hubungan istimewa, perusahaan-perusahaan, khususnya yang berskala multinasional, dapat dengan mudah memanipulasi harga transfer atas barang, jasa, atau aset tidak berwujud untuk meminimalkan total beban pajak mereka secara global atau domestik. Praktik semacam ini akan secara langsung merugikan penerimaan negara dari sektor pajak. Oleh karena itu, UU PPh memberikan landasan hukum bagi DJP untuk menguji kewajaran transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa dan melakukan koreksi jika ditemukan adanya ketidakwajaran yang berpotensi mengurangi Penghasilan Kena Pajak (PKP) Wajib Pajak di Indonesia.  

2.2. Kriteria Identifikasi Hubungan Istimewa

UU PPh dan peraturan pelaksananya, khususnya PMK 172/2023, menetapkan tiga kriteria utama yang dapat menyebabkan timbulnya hubungan istimewa antara Wajib Pajak :  

2.2.1. Kepemilikan atau Penyertaan Modal

Hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal dianggap ada apabila :  

  • Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain.
  • Terdapat hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan modal paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih.
  • Terdapat hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang modalnya paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh pihak yang sama.

Contoh perhitungan penyertaan modal tidak langsung dapat diilustrasikan sebagai berikut: Jika PT A memiliki 50% saham PT B, dan PT B memiliki 50% saham PT C, maka PT A secara tidak langsung memiliki penyertaan modal pada PT C sebesar 25% (hasil dari 50% x 50%). Dalam kasus ini, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa.  

Ambang batas 25% ini merupakan sebuah bright-line test yang dirancang untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan otoritas pajak. Penetapan angka 25% ini merupakan upaya legislatif untuk menyeimbangkan antara kebutuhan akan aturan yang jelas dan realitas bahwa kepemilikan dalam persentase tersebut umumnya dianggap cukup signifikan untuk dapat memengaruhi pengambilan keputusan dan persyaratan transaksi dalam suatu entitas. Kepemilikan di bawah ambang batas ini, berdasarkan kriteria kepemilikan semata, dianggap kurang signifikan untuk secara otomatis memicu kewenangan intervensi pajak yang lebih dalam terkait transfer pricing, kecuali jika kriteria hubungan istimewa lainnya terpenuhi.

2.2.2. Penguasaan (Manajemen, Teknologi, Grup Usaha)

Hubungan istimewa karena penguasaan dianggap ada dalam beberapa kondisi berikut :  

  • Satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung.
  • Dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung.
  • Terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak atau lebih.
  • Para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu grup usaha yang sama.
  • Satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain.

Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 18 ayat (4) UU PPh dan ditegaskan kembali dalam PMK 172/2023, penguasaan juga dapat terjadi melalui manajemen atau penggunaan teknologi, meskipun tidak terdapat hubungan kepemilikan formal. Contoh penguasaan melalui manajemen adalah jika seorang individu menjabat sebagai direktur di dua atau lebih perusahaan yang berbeda, maka antara perusahaan-perusahaan tersebut dapat dianggap memiliki hubungan istimewa. Sementara itu, contoh penguasaan melalui teknologi adalah jika suatu perusahaan sangat bergantung pada formula, paten, atau teknologi yang dimiliki oleh perusahaan lain untuk menjalankan operasional utamanya.  

Kriteria penguasaan ini, khususnya yang berkaitan dengan penguasaan melalui manajemen atau teknologi, mencerminkan upaya regulator untuk menangkap konsep de facto control atau ketergantungan ekonomi yang substansial, bahkan ketika tidak ada hubungan kepemilikan saham yang mencapai ambang batas 25%. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran atau penekanan pada analisis substansi ekonomi dari suatu hubungan, bukan hanya melihat bentuk formal kepemilikan. Perusahaan bisa saja secara formal tidak memiliki hubungan kepemilikan yang signifikan, namun jika satu pihak sangat bergantung pada teknologi pihak lain, atau jika individu-individu kunci dalam manajemen mengendalikan beberapa entitas secara bersamaan, potensi untuk melakukan transaksi yang tidak wajar tetap ada. Oleh karena itu, kriteria "penguasaan" menjadi sangat penting untuk menutup celah yang mungkin dieksploitasi. Meskipun demikian, interpretasi mengenai apa yang dimaksud dengan "penguasaan," terutama penguasaan melalui manajemen atau teknologi, seringkali menjadi subjek perbedaan pendapat dan dapat menimbulkan sengketa antara Wajib Pajak dan otoritas pajak.  

2.2.3. Hubungan Keluarga

Hubungan istimewa karena hubungan keluarga dianggap ada jika terdapat hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda, dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.  

  • Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat meliputi ayah, ibu, dan anak.  
  • Keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah saudara (kandung, seayah, atau seibu).  
  • Keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat meliputi mertua dan anak tiri.  
  • Keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar.  

Definisi hubungan keluarga ini sangat spesifik dan terbatas pada satu derajat keturunan. Implikasinya, hubungan keluarga yang lebih jauh, seperti antara kakek dan cucu (dua derajat lurus) atau antara paman/bibi dan keponakan (dua derajat ke samping), secara otomatis tidak termasuk dalam kriteria hubungan istimewa berdasarkan hubungan keluarga untuk tujuan perpajakan, meskipun dalam praktiknya mungkin saja terdapat pengaruh ekonomi yang signifikan. Pembatasan pada satu derajat ini bertujuan untuk memberikan batasan yang jelas dan dapat diterapkan secara konsisten oleh otoritas pajak, serta menghindari cakupan yang terlalu luas yang mungkin sulit untuk dibuktikan dan dikelola. Fokusnya adalah pada hubungan keluarga terdekat yang dianggap memiliki probabilitas tertinggi untuk memengaruhi transaksi bisnis secara tidak wajar.

2.3. Implikasi Perpajakan dan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU)

Apabila teridentifikasi adanya hubungan istimewa antara Wajib Pajak yang melakukan transaksi, implikasi perpajakan yang paling signifikan adalah kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menguji apakah transaksi tersebut telah sesuai dengan PKKU. Jika ditemukan bahwa harga, laba, atau syarat-syarat transaksi tidak sesuai dengan PKKU, DJP berwenang untuk melakukan koreksi dengan menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan, serta menentukan utang sebagai modal untuk keperluan penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP).  

Untuk mendukung penerapan PKKU dan sebagai bagian dari upaya transparansi, Wajib Pajak yang melakukan transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa dan memenuhi batasan tertentu diwajibkan untuk menyelenggarakan dan menyimpan dokumen penentuan harga transfer (umumnya dikenal sebagai Transfer Pricing Documentation atau TP Doc). Dokumen ini, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam PMK 172/2023, umumnya terdiri dari Dokumen Induk (Master File), Dokumen Lokal (Local File), dan dalam kondisi tertentu, Laporan per Negara (Country-by-Country Report / CbCR).  

Kewajiban penyusunan TP Doc ini menambah beban kepatuhan yang cukup signifikan bagi Wajib Pajak. Proses penyusunannya memerlukan analisis fungsional yang mendalam (mengidentifikasi fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung oleh masing-masing pihak dalam transaksi), analisis risiko, serta analisis kesebandingan yang komprehensif untuk menemukan data pembanding yang andal dari transaksi independen. PKKU adalah inti dari penanganan transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. Tujuannya adalah untuk menempatkan Wajib Pajak dalam posisi perpajakan yang sama seolah-olah mereka bertransaksi dengan pihak-pihak yang sepenuhnya independen dan tidak memiliki hubungan istimewa. TP Doc berfungsi sebagai alat bagi Wajib Pajak untuk membuktikan bahwa mereka telah mematuhi PKKU dan bagi otoritas pajak sebagai dasar untuk melakukan pengujian atas kepatuhan Wajib Pajak tersebut.

2.4. Perkembangan Regulasi Terkini (Fokus pada PMK 172/2023)

PMK Nomor 172/PMK.03/2023, yang berlaku efektif sejak tanggal diundangkan, membawa beberapa perubahan dan penegasan penting terkait penerapan PKKU dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. Beberapa poin krusial meliputi:  

  • Perluasan Definisi Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa: Salah satu perubahan paling signifikan adalah yang tercantum dalam Pasal 1 angka 7 PMK 172/2023. Pasal ini menyatakan bahwa "Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa" tidak hanya mencakup transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan Pihak Afiliasi (transaksi afiliasi langsung), tetapi juga meliputi "transaksi yang dilakukan antarpihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa tetapi Pihak Afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi tersebut menentukan lawan transaksi dan harga transaksi". Klausul ini secara substansial memperluas jangkauan pengawasan otoritas pajak. Ini berarti bahwa transaksi antara dua entitas yang secara formal tampak independen (tidak memenuhi kriteria kepemilikan, penguasaan langsung, atau hubungan keluarga) dapat ditarik ke dalam rezim transfer pricing jika terdapat bukti bahwa pihak afiliasi (yang memiliki hubungan istimewa dengan salah satu atau kedua entitas yang bertransaksi) secara efektif mendikte atau menentukan siapa lawan transaksi dan berapa harga atau syarat-syarat transaksi tersebut. Ini merupakan upaya untuk menangkap skema penghindaran pajak yang lebih canggih yang mungkin melibatkan penggunaan perantara atau struktur transaksi yang kompleks untuk menyamarkan pengaruh dari hubungan istimewa. Pembuktian adanya pengaruh pihak afiliasi dalam menentukan lawan transaksi dan harga pada transaksi antar pihak yang formalnya independen ini akan menjadi tantangan tersendiri, baik bagi otoritas pajak dalam melakukan pemeriksaan maupun bagi Wajib Pajak dalam mempersiapkan pembelaan. Perluasan ini menunjukkan bahwa regulator pajak semakin menyadari bahwa struktur kepemilikan formal tidak selalu mencerminkan realitas ekonomi dan kontrol yang sebenarnya. Dengan menargetkan pengaruh afiliasi dalam transaksi yang seolah-olah "independen", DJP bertujuan untuk menutup celah yang berpotensi dieksploitasi untuk menggeser laba. Hal ini secara langsung meningkatkan kompleksitas analisis transfer pricing dan menuntut pemahaman yang lebih mendalam mengenai seluruh jaringan bisnis dan hubungan komersial Wajib Pajak.  
  • Harmonisasi Kriteria Penguasaan: PMK 172/2023 secara eksplisit mengintegrasikan dan mengharmonisasikan kriteria hubungan istimewa karena penguasaan, khususnya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, dengan ketentuan yang sebelumnya telah diatur dalam bagian Penjelasan Pasal 18 ayat (4) UU PPh. Hal ini memberikan kepastian hukum yang lebih baik dan struktur yang lebih jelas mengenai kriteria penguasaan.  
  • Penambahan Jenis Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa: Regulasi ini juga menambahkan kategori baru, yaitu "transaksi keuangan lainnya," ke dalam daftar jenis transaksi yang secara eksplisit dianggap dapat dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Ini menunjukkan pengakuan yang lebih luas terhadap berbagai bentuk transaksi keuangan yang berpotensi digunakan dalam skema transfer pricing.  

3. Konsep Pihak Berelasi dalam Standar Akuntansi Keuangan (PSAK 7)

3.1. Landasan Standar dan Tujuan Pengungkapan

Konsep pihak berelasi dalam konteks akuntansi di Indonesia diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 7 tentang Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi. PSAK 7 ini merupakan adopsi dari standar akuntansi internasional, yaitu IAS 24 Related Party Disclosures, yang bertujuan untuk menyelaraskan praktik akuntansi di Indonesia dengan standar global.  

Tujuan utama dari PSAK 7 adalah untuk memastikan bahwa laporan keuangan suatu entitas berisi pengungkapan yang memadai dan diperlukan agar para pengguna laporan keuangan dapat memahami potensi dampak dari keberadaan pihak-pihak berelasi, serta dampak dari transaksi dan saldo (termasuk komitmen) dengan pihak-pihak berelasi tersebut, terhadap posisi keuangan dan kinerja laba rugi entitas pelapor. Fokus utama PSAK 7 adalah pada transparansi informasi untuk mendukung pengambilan keputusan ekonomi yang rasional oleh berbagai pengguna laporan keuangan, seperti investor, kreditur, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Berbeda dengan perspektif perpajakan yang berorientasi pada perlindungan penerimaan negara, PSAK 7 lebih menekankan pada penyediaan informasi yang relevan dan andal kepada pasar.  

Hubungan dengan pihak-pihak berelasi merupakan suatu karakteristik normal dari perdagangan dan bisnis. Namun, keberadaan hubungan berelasi dapat memengaruhi transaksi secara signifikan. Sebagai contoh, entitas dapat melakukan transaksi dengan pihak berelasinya dengan persyaratan yang berbeda dari yang mungkin disepakati dengan pihak yang tidak berelasi, seperti menjual barang kepada entitas induknya pada harga perolehan. Tanpa pengungkapan yang memadai mengenai sifat hubungan, jenis transaksi, volume, dan saldo dengan pihak berelasi, laporan keuangan mungkin tidak menyajikan gambaran yang utuh dan sebenarnya mengenai kinerja keuangan dan posisi keuangan entitas. Hal ini dapat menyesatkan pengguna dalam membuat keputusan investasi, kredit, atau keputusan ekonomi lainnya.  

3.2. Kriteria Identifikasi Pihak Berelasi

PSAK 7 mendefinisikan "pihak-pihak berelasi" sebagai orang atau entitas yang terkait dengan entitas yang menyusun laporan keuangannya (disebut sebagai "entitas pelapor"). Kriteria identifikasi pihak berelasi menurut PSAK 7 dapat dikelompokkan sebagai berikut:  

3.2.1. Pengendalian, Pengendalian Bersama, dan Pengaruh Signifikan

Seseorang atau anggota keluarga dekatnya, atau suatu entitas, dianggap berelasi dengan entitas pelapor jika pihak tersebut memiliki :  

  • Pengendalian (control) atas entitas pelapor. Pengendalian didefinisikan sebagai kekuasaan untuk mengatur kebijakan keuangan dan operasional suatu entitas sehingga memperoleh manfaat dari aktivitas tersebut.  
  • Pengendalian bersama (joint control) atas entitas pelapor. Pengendalian bersama adalah persetujuan kontraktual untuk berbagi pengendalian atas suatu aktivitas ekonomi.  
  • Pengaruh signifikan (significant influence) atas entitas pelapor. Pengaruh signifikan adalah kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kebijakan keuangan dan operasional suatu entitas, tetapi bukan merupakan pengendalian atau pengendalian bersama atas kebijakan tersebut. PSAK 15 (revisi terkait) menyatakan bahwa jika investor memiliki, secara langsung atau tidak langsung (misalnya melalui entitas anak), 20% atau lebih hak suara pada investee, maka diasumsikan investor memiliki pengaruh signifikan, kecuali dapat dibuktikan dengan jelas bahwa investor tidak memiliki pengaruh signifikan. Sebaliknya, jika investor memiliki kurang dari 20% hak suara pada investee, maka diasumsikan investor tidak memiliki pengaruh signifikan, kecuali pengaruh signifikan tersebut dapat dibuktikan dengan jelas.  

Meskipun persentase kepemilikan (seperti ambang batas 20% sebagai salah satu indikator pengaruh signifikan) dipertimbangkan, penekanan dalam PSAK 7 lebih pada kemampuan aktual untuk mengendalikan atau memengaruhi kebijakan keuangan dan operasional entitas pelapor, yang seringkali bersifat kualitatif dan memerlukan penilaian (judgement). PSAK 7 mengakui bahwa pengaruh dapat timbul bahkan dengan kepemilikan minoritas jika terdapat faktor-faktor lain, seperti perwakilan dalam dewan direksi atau partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan. Fokusnya adalah pada dampak potensial dari hubungan tersebut terhadap entitas pelapor, bukan semata-mata pada ambang batas kepemilikan yang kaku. Namun, penentuan apakah "pengaruh signifikan" benar-benar ada dapat menjadi tantangan praktis dalam beberapa situasi.  

3.2.2. Personil Manajemen Kunci dan Anggota Keluarga Dekatnya

Pihak berelasi juga mencakup:

  • Personil manajemen kunci (KMP) entitas pelapor atau entitas induk dari entitas pelapor. Personil manajemen kunci adalah orang-orang yang mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, dan mengendalikan aktivitas entitas, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini termasuk direktur (eksekutif maupun non-eksekutif) dan komisaris dari entitas tersebut.  
  • Anggota keluarga dekat dari individu yang memiliki pengendalian, pengendalian bersama, pengaruh signifikan atas entitas pelapor, atau yang merupakan personil manajemen kunci entitas pelapor atau entitas induknya. Anggota keluarga dekat didefinisikan sebagai anggota keluarga yang mungkin memengaruhi, atau dipengaruhi oleh, orang tersebut dalam transaksi mereka dengan entitas. Mereka dapat termasuk: (a) anak dari individu dan pasangan hidupnya; (b) anak dari pasangan hidup individu; dan (c) tanggungan dari individu atau pasangan hidup individu.  

Definisi "anggota keluarga dekat" dalam PSAK 7 bersifat lebih luas dan didasarkan pada potensi adanya pengaruh timbal balik dalam hubungan dengan entitas, yang berbeda dengan batasan derajat keturunan yang spesifik sebagaimana diatur dalam ketentuan perpajakan. Personil manajemen kunci dan anggota keluarga dekat mereka dianggap sebagai pihak berelasi karena posisi atau hubungan mereka memungkinkan mereka untuk memengaruhi transaksi yang dilakukan oleh entitas, atau sebaliknya, memperoleh manfaat dari transaksi dengan entitas tersebut dengan cara-cara yang mungkin tidak tersedia bagi pihak-pihak yang independen.

3.2.3. Entitas dalam Satu Grup Usaha, Entitas Asosiasi, dan Ventura Bersama

Suatu entitas dianggap berelasi dengan entitas pelapor jika salah satu kondisi berikut terpenuhi:

  • Entitas dan entitas pelapor adalah anggota dari kelompok usaha yang sama. Ini berarti entitas induk, entitas anak, dan sesama entitas anak (entitas yang dikendalikan oleh induk yang sama) saling berelasi satu sama lain.  
  • Satu entitas adalah entitas asosiasi atau ventura bersama bagi entitas lain (atau entitas asosiasi atau ventura bersama yang merupakan anggota suatu kelompok usaha, di mana entitas lain tersebut adalah anggotanya).  
  • Kedua entitas tersebut adalah ventura bersama dari pihak ketiga yang sama.  
  • Satu entitas adalah ventura bersama dari entitas ketiga dan entitas yang lain adalah entitas asosiasi dari entitas ketiga.  
  • Entitas tersebut adalah suatu program imbalan pascakerja untuk imbalan kerja dari salah satu entitas pelapor atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor.  
  • Entitas yang dikendalikan atau dikendalikan bersama oleh orang yang diidentifikasi sebagai pihak berelasi berdasarkan kriteria individu (seperti yang dijelaskan pada poin 3.2.1 dan 3.2.2, misalnya oleh KMP atau pemilik dengan pengaruh signifikan).  
  • Orang yang diidentifikasi memiliki pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor juga memiliki pengaruh signifikan atas entitas lain tersebut atau merupakan personil manajemen kunci dari entitas lain tersebut (atau dari entitas induk entitas lain tersebut).  

PSAK 7 dengan demikian mempertimbangkan jaringan relasi yang lebih kompleks dan luas yang dapat timbul dalam struktur grup usaha, investasi pada entitas asosiasi, dan partisipasi dalam ventura bersama. Transaksi yang terjadi dalam lingkup grup usaha atau dengan entitas asosiasi dan ventura bersama secara inheren memiliki potensi untuk tidak dilakukan pada kondisi pasar yang sepenuhnya wajar karena adanya kepentingan bersama, pengendalian, atau pengaruh yang signifikan. Oleh karena itu, pengungkapan mengenai sifat dan tingkat transaksi ini menjadi esensial untuk memahami gambaran keuangan entitas secara menyeluruh.

3.3. Prinsip Substansi Mengungguli Bentuk (Substance Over Form)

Salah satu prinsip fundamental yang mendasari PSAK 7 adalah bahwa dalam mempertimbangkan setiap kemungkinan adanya hubungan pihak berelasi, perhatian harus diarahkan pada substansi dari hubungan tersebut dan bukan hanya pada bentuk hukumnya.  

Prinsip ini memberikan fleksibilitas dalam penerapan standar namun sekaligus menuntut tingkat penilaian (judgement) yang lebih besar dari pihak manajemen dan auditor dalam mengidentifikasi apakah suatu pihak merupakan pihak berelasi. Bentuk hukum dari suatu perjanjian, struktur kepemilikan, atau pengaturan lainnya mungkin tidak selalu mencerminkan realitas ekonomi dari suatu hubungan. Sebagai contoh, dua entitas mungkin secara hukum tampak independen dan tidak memiliki hubungan kepemilikan silang, tetapi secara substansial salah satu entitas dikendalikan oleh entitas lainnya melalui perjanjian kontraktual yang ketat, ketergantungan ekonomi yang signifikan, atau melalui pengaruh dominan dari individu tertentu yang sama. PSAK 7, melalui prinsip ini, berupaya untuk menangkap realitas ekonomi dari hubungan tersebut, sehingga pengungkapan yang relevan dapat disajikan kepada pengguna laporan keuangan. Sebagai contoh, dua entitas yang hanya memiliki direktur atau personil manajemen kunci yang sama tidak secara otomatis dianggap berelasi hanya karena kesamaan tersebut secara formal, namun jika substansi hubungannya menunjukkan adanya potensi pengaruh atau pengendalian yang signifikan, maka mereka dapat dianggap sebagai pihak berelasi.  

3.4. Persyaratan Pengungkapan dalam Laporan Keuangan

Jika terdapat transaksi antara entitas pelapor dengan pihak-pihak berelasinya selama periode yang dicakup oleh laporan keuangan, PSAK 7 mensyaratkan entitas untuk mengungkapkan sifat dari hubungan pihak berelasi tersebut, serta informasi mengenai transaksi dan saldo (termasuk komitmen) yang diperlukan agar pengguna laporan keuangan dapat memahami potensi dampak dari hubungan tersebut terhadap laporan keuangan. Pengungkapan ini minimal mencakup:  

  • Sifat hubungan pihak berelasi.
  • Informasi mengenai transaksi, seperti:
    • Nilai transaksi (misalnya, jumlah pembelian atau penjualan barang dan jasa, pendapatan atau beban sewa, bunga pinjaman, imbalan jasa manajemen).  
    • Kebijakan penetapan harga.
  • Informasi mengenai saldo dengan pihak berelasi, seperti:
    • Jumlah piutang usaha atau utang usaha kepada pihak berelasi.
    • Pinjaman yang diberikan kepada atau diterima dari pihak berelasi beserta syarat dan ketentuannya.
    • Penyisihan piutang ragu-ragu terkait dengan jumlah saldo dari pihak berelasi.  
  • Komitmen yang dibuat dengan pihak berelasi.
  • Kompensasi personil manajemen kunci secara total dan untuk masing-masing kategori berikut: (a) imbalan kerja jangka pendek; (b) imbalan pascakerja; (c) imbalan kerja jangka panjang lainnya; (d) pesangon; dan (e) pembayaran berbasis saham.  
  • Secara khusus, hubungan antara entitas induk dan entitas anaknya harus diungkapkan terlepas dari apakah telah terjadi transaksi di antara mereka selama periode pelaporan. Jika entitas induk maupun pihak pengendali paling akhir tidak menyajikan laporan keuangan konsolidasian yang tersedia untuk penggunaan umum, maka nama entitas induk berikutnya yang paling pertama yang menyajikannya juga harus diungkapkan.  

Tujuan dari persyaratan pengungkapan yang detail ini adalah untuk memberikan transparansi maksimal kepada para pengguna laporan keuangan. Dengan informasi ini, pengguna dapat menilai sendiri sejauh mana entitas terlibat dalam transaksi dengan pihak-pihak berelasinya, bagaimana transaksi tersebut berpotensi memengaruhi kinerja dan posisi keuangan entitas, serta tingkat ketergantungan entitas pada pihak-pihak berelasinya. Sebagai contoh, jika sebagian besar pendapatan penjualan suatu entitas berasal dari transaksi dengan satu pihak berelasi utama, ini merupakan informasi risiko yang sangat penting bagi investor atau kreditur.

4. Analisis Komparatif: Hubungan Istimewa (PPh) vs. Pihak Berelasi (PSAK 7)

Meskipun konsep "hubungan istimewa" dalam perpajakan dan "pihak berelasi" dalam akuntansi sama-sama berkaitan dengan identifikasi pihak-pihak yang memiliki keterkaitan khusus dengan entitas, terdapat perbedaan fundamental dalam tujuan, fokus, pendekatan umum, dan kriteria spesifik yang digunakan.

4.1. Perbedaan Fundamental: Tujuan, Fokus, dan Pendekatan Umum

Perbedaan paling mendasar terletak pada tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing konsep. Konsep hubungan istimewa dalam UU PPh primernya bertujuan untuk melindungi basis pajak negara dan memastikan keadilan dalam pemungutan pajak dengan mencegah praktik penghindaran pajak melalui transaksi yang tidak wajar. Hal ini dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU). Sebaliknya, konsep pihak berelasi dalam PSAK 7 bertujuan untuk meningkatkan transparansi pelaporan keuangan demi kepentingan pengambilan keputusan yang tepat oleh pengguna eksternal laporan keuangan, seperti investor dan kreditur.  

Perbedaan tujuan ini kemudian memengaruhi fokus masing-masing konsep. UU PPh lebih fokus pada kewajaran harga atau laba dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. Jika harga atau laba dianggap tidak wajar, otoritas pajak berwenang melakukan koreksi. Sementara itu, PSAK 7 lebih fokus pada pengungkapan hubungan dan transaksi itu sendiri, terlepas dari apakah harga dibebankan atau apakah transaksi tersebut dianggap wajar atau tidak. Tujuannya adalah untuk menyoroti potensi pengaruh yang dimiliki pihak berelasi terhadap entitas pelapor.

Dari sisi pendekatan umum, UU PPh cenderung menggunakan kriteria yang lebih definitif dan seringkali bersifat kuantitatif untuk memicu adanya hubungan istimewa, misalnya ambang batas kepemilikan saham sebesar 25%. Ini memberikan dasar yang lebih konkret bagi otoritas pajak untuk melakukan intervensi. Di sisi lain, PSAK 7 lebih menekankan pada substansi ekonomi dari suatu hubungan dan pengaruh kualitatif, seperti konsep pengendalian atau pengaruh signifikan, yang memerlukan penilaian (judgement) yang lebih mendalam. Standar akuntansi membutuhkan fleksibilitas untuk dapat mencerminkan realitas ekonomi yang kompleks demi penyajian informasi yang relevan bagi pengguna.

4.2. Perbandingan Detail Kriteria

Perbedaan fundamental di atas termanifestasi dalam detail kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi hubungan istimewa dan pihak berelasi.

4.2.1. Ambang Batas Kepemilikan vs. Konsep Pengaruh

Untuk tujuan PPh, hubungan istimewa karena kepemilikan modal timbul jika terdapat penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%. Ini adalah ambang batas yang jelas. Sebaliknya, PSAK 7 menggunakan konsep "pengendalian" atau "pengaruh signifikan" untuk menentukan adanya relasi. Meskipun kepemilikan 20% atau lebih dapat menjadi indikator adanya pengaruh signifikan, ini bukanlah satu-satunya faktor dan bukan merupakan ambang batas yang kaku. Pengaruh signifikan dapat timbul bahkan dengan kepemilikan saham di bawah 20% jika terdapat bukti lain yang mendukung, seperti perwakilan dalam dewan direksi atau partisipasi dalam pengambilan keputusan kebijakan.  

Implikasinya, suatu entitas bisa saja dianggap memiliki hubungan istimewa untuk tujuan PPh karena kepemilikan sahamnya mencapai 25%, namun jika kepemilikan tersebut tidak disertai dengan kemampuan untuk mengendalikan atau memberikan pengaruh signifikan menurut kriteria PSAK 7, maka perlakuan pengungkapannya mungkin berbeda (meskipun dalam banyak kasus, kepemilikan 25% kemungkinan besar akan memenuhi definisi pihak berelasi juga). Sebaliknya, kepemilikan saham sebesar, katakanlah, 15% yang disertai dengan representasi signifikan dalam dewan direksi dan partisipasi aktif dalam keputusan strategis dapat mengindikasikan adanya pihak berelasi menurut PSAK 7 (karena adanya pengaruh signifikan), tetapi tidak secara otomatis memicu status hubungan istimewa menurut UU PPh berdasarkan kriteria kepemilikan semata. UU PPh membutuhkan pemicu (trigger) yang lebih jelas dan terukur untuk memulai investigasi transfer pricing, sedangkan PSAK 7 lebih memperhatikan apakah suatu pihak memiliki kapasitas aktual untuk memengaruhi entitas pelapor, terlepas dari persentase kepemilikan yang pasti.

4.2.2. Definisi Penguasaan (PPh) vs. Pengendalian/Pengaruh Signifikan (PSAK 7)

UU PPh dan PMK 172/2023 memiliki kriteria "penguasaan" yang mencakup penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi secara eksplisit. PSAK 7, di sisi lain, mendefinisikan "pengendalian" sebagai kekuasaan untuk mengatur kebijakan keuangan dan operasional entitas, dan "pengaruh signifikan" sebagai kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kebijakan keuangan dan operasional, tetapi bukan pengendalian.  

Interpretasi "penguasaan melalui teknologi" dalam konteks PPh dapat dilihat sebagai salah satu bentuk spesifik dari de facto control. Sementara itu, konsep "pengendalian" dalam PSAK 7 bersifat lebih luas dan berlandaskan prinsip. Meskipun terdapat potensi tumpang tindih (misalnya, penguasaan melalui teknologi yang dominan bisa jadi merupakan salah satu cara untuk mencapai pengendalian menurut PSAK 7), UU PPh lebih merinci beberapa bentuk penguasaan yang tidak didasarkan pada kepemilikan. Otoritas pajak berkepentingan untuk mengidentifikasi situasi-situasi spesifik di mana pengaruh yang tidak berasal dari kepemilikan dapat menyebabkan distorsi harga atau penggeseran laba. PSAK 7, dengan penekanannya pada prinsip "substansi mengungguli bentuk," memiliki kapasitas untuk mencakup berbagai skenario pengendalian atau pengaruh, namun penerapannya mungkin memerlukan lebih banyak penilaian profesional.  

4.2.3. Cakupan Hubungan Keluarga

Dalam hal hubungan keluarga, UU PPh menetapkan batasan yang sangat spesifik: hubungan sedarah atau semenda, dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping, hanya satu derajat. Ini mencakup hubungan seperti ayah/ibu dengan anak, saudara kandung, mertua dengan anak tiri, dan ipar. Sebaliknya, PSAK 7 mendefinisikan "anggota keluarga dekat" dari individu yang memiliki pengendalian, pengaruh signifikan, atau merupakan personil manajemen kunci, sebagai anggota keluarga yang "mungkin memengaruhi, atau dipengaruhi oleh, orang tersebut dalam transaksi mereka dengan entitas". Ini dapat mencakup pasangan hidup, anak, dan tanggungan.  

Cakupan "anggota keluarga dekat" menurut PSAK 7 bisa jadi lebih luas atau lebih sempit dibandingkan definisi PPh, tergantung pada interpretasi frasa "mungkin memengaruhi atau dipengaruhi." Sebagai contoh, seorang sepupu yang memiliki pengaruh bisnis yang sangat kuat terhadap individu kunci di entitas pelapor bisa saja dianggap sebagai pihak berelasi menurut PSAK 7 berdasarkan substansi hubungannya, tetapi tidak akan masuk dalam definisi hubungan istimewa menurut PPh karena derajat kekerabatannya. Sebaliknya, hubungan ipar (semenda ke samping satu derajat) secara definitif merupakan hubungan istimewa menurut PPh dan kemungkinan besar juga akan dianggap sebagai pihak berelasi menurut PSAK 7 karena potensi pengaruhnya. UU PPh memerlukan definisi yang lebih ketat dan terbatas untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pemeriksaan pajak. Sementara itu, PSAK 7 lebih berfokus pada potensi aktual suatu hubungan keluarga untuk memengaruhi keputusan keuangan dan operasional entitas pelapor, yang bisa saja berasal dari anggota keluarga yang tidak termasuk dalam definisi PPh yang lebih sempit tersebut.

4.3. Klausul Spesifik dalam PMK 172/2023 (Pasal 1 angka 7) dan Perbandingannya dengan Pendekatan PSAK 7

Pasal 1 angka 7 PMK 172/2023 secara signifikan memperluas definisi transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. Klausul ini menyatakan bahwa hubungan istimewa juga mencakup "transaksi yang dilakukan antarpihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa tetapi Pihak Afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi tersebut menentukan lawan transaksi dan harga transaksi".  

Jika dibandingkan dengan pendekatan PSAK 7, ini merupakan area divergensi yang cukup signifikan. PSAK 7 primernya berfokus pada identifikasi hubungan antara entitas pelapor dengan pihak lain. Jika "Pihak Afiliasi yang menentukan" tersebut merupakan pihak yang berelasi dengan entitas pelapor (misalnya, entitas induk atau personil manajemen kunci dari entitas pelapor), maka transaksi yang dipengaruhinya kemungkinan besar akan memerlukan pengungkapan menurut PSAK 7. Namun, jika Pihak Afiliasi yang menentukan tersebut tidak secara langsung berelasi dengan entitas pelapor menurut kriteria PSAK 7, maka transaksi antara entitas pelapor dengan pihak ketiga yang (sebenarnya) independen mungkin tidak secara otomatis dianggap sebagai transaksi pihak berelasi hanya karena adanya pengaruh tidak langsung dari Pihak Afiliasi tersebut terhadap pihak ketiga, kecuali jika pengaruh tersebut sedemikian rupa sehingga mengakibatkan de facto control oleh Pihak Afiliasi tersebut atas entitas pelapor, atau jika Pihak Afiliasi tersebut juga berelasi dengan entitas pelapor.

Pendekatan PSAK 7 lebih menjawab pertanyaan "siapa saja yang berelasi dengan entitas pelapor?". Sementara itu, pendekatan baru dalam PMK 172/2023 lebih menjawab pertanyaan "apakah suatu transaksi, meskipun dilakukan antara pihak-pihak yang tampak independen, secara substansial dipengaruhi oleh hubungan istimewa yang ada di 'belakang layar' melalui Pihak Afiliasi?". Dengan demikian, UU PPh kini dapat menjangkau transaksi-transaksi yang mungkin lolos dari jaring definisi pihak berelasi menurut PSAK 7 jika pengaruh dari Pihak Afiliasi tersebut bersifat tersembunyi dan tidak secara formal menciptakan hubungan berelasi antara entitas pelapor dan Pihak Afiliasi yang memengaruhi tersebut. PMK 172/2023, melalui klausul ini, tampaknya mencoba menerapkan prinsip "substansi mengungguli bentuk" dari perspektif perpajakan untuk menangani transaksi yang mungkin secara artifisial distrukturkan melalui pihak-pihak yang tampak independen guna menghindari deteksi transfer pricing. Meskipun PSAK 7 juga menganut prinsip "substansi mengungguli bentuk", penerapannya mungkin menghasilkan kesimpulan yang berbeda dalam skenario spesifik yang diatur oleh Pasal 1 angka 7 PMK 172/2023 ini. Otoritas pajak akan berfokus pada pembuktian adanya kontrol efektif atau penentuan yang signifikan atas persyaratan utama transaksi oleh Pihak Afiliasi.  

4.4. Potensi Tumpang Tindih dan Divergensi dalam Aplikasi Praktis

Dalam banyak situasi praktis, akan terjadi tumpang tindih antara kedua konsep ini. Sebagai contoh, transaksi antara perusahaan induk dan perusahaan anak hampir pasti akan dianggap sebagai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa menurut UU PPh dan sekaligus merupakan transaksi dengan pihak berelasi yang memerlukan pengungkapan menurut PSAK 7.

Namun, divergensi dapat muncul karena beberapa faktor, antara lain:

  • Perbedaan ambang batas kepemilikan yang digunakan.
  • Perbedaan dalam interpretasi dan penerapan konsep "penguasaan" (PPh) versus "pengendalian" atau "pengaruh signifikan" (PSAK 7).
  • Perbedaan dalam cakupan definisi hubungan keluarga.
  • Implementasi klausul baru dalam Pasal 1 angka 7 PMK 172/2023.

Sebagai ilustrasi divergensi hipotetis:

  1. Perusahaan A memiliki 15% saham di Perusahaan B dan berhasil menempatkan seorang direktur yang sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan di dewan direksi Perusahaan B. Menurut PSAK 7, Perusahaan B kemungkinan besar adalah pihak berelasi dari Perusahaan A karena adanya pengaruh signifikan. Namun, menurut UU PPh, hubungan ini belum tentu secara otomatis dianggap sebagai hubungan istimewa hanya berdasarkan persentase kepemilikan saham (kurang dari 25%), meskipun bisa jadi masuk dalam kriteria hubungan istimewa karena adanya penguasaan melalui manajemen.
  2. Perusahaan X (yang dianggap independen) melakukan transaksi penjualan kepada Perusahaan Y (yang juga dianggap independen). Namun, ternyata Perusahaan Z, yang merupakan entitas induk dari Perusahaan X, adalah pihak yang secara aktif menentukan bahwa Perusahaan X harus bertransaksi dengan Perusahaan Y dan juga menetapkan harga jual dalam transaksi tersebut. Menurut Pasal 1 angka 7 PMK 172/2023, transaksi antara Perusahaan X dan Perusahaan Y ini akan dianggap sebagai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. Sementara itu, menurut PSAK 7, jika Perusahaan Y bukan merupakan pihak berelasi dari Perusahaan X (sesuai kriteria PSAK 7), dan Perusahaan Z juga bukan merupakan pihak berelasi dari Perusahaan Y, maka transaksi antara X dan Y tersebut mungkin tidak akan diungkapkan secara spesifik sebagai transaksi pihak berelasi dalam laporan keuangan Perusahaan X, meskipun hubungan antara X dan Z (induk-anak) tentu saja akan diungkapkan.

Dari contoh-contoh tersebut, terlihat bahwa perusahaan harus melakukan analisis terhadap setiap hubungan dan transaksi berdasarkan kedua set aturan (perpajakan dan akuntansi) secara terpisah. Kepatuhan terhadap satu set aturan tidak secara otomatis menjamin kepatuhan terhadap aturan lainnya.

5. Implikasi Praktis bagi Entitas Bisnis di Indonesia

Perbedaan antara konsep hubungan istimewa dalam perpajakan dan pihak berelasi dalam akuntansi membawa sejumlah implikasi praktis yang signifikan bagi entitas bisnis yang beroperasi di Indonesia. Entitas harus mampu menavigasi kedua rezim peraturan ini secara simultan untuk memastikan kepatuhan dan mengelola risiko terkait.

5.1. Tantangan dalam Kepatuhan Pajak dan Pelaporan Keuangan secara Simultan

Entitas bisnis dihadapkan pada tantangan untuk memiliki sistem dan prosedur internal yang mampu mengidentifikasi hubungan dan transaksi berdasarkan kedua set definisi yang berbeda, yaitu definisi hubungan istimewa menurut UU PPh dan definisi pihak berelasi menurut PSAK 7. Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam dan terkini atas kedua kerangka peraturan tersebut.  

Risiko ketidakpatuhan dapat timbul jika entitas hanya mempertimbangkan salah satu set aturan dan mengabaikan yang lainnya. Sebagai contoh, suatu transaksi mungkin telah dianggap wajar dan sesuai dengan PKKU untuk tujuan perpajakan, namun tetap memerlukan pengungkapan yang sangat detail dan spesifik dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) menurut PSAK 7 karena melibatkan pihak berelasi. Sebaliknya, suatu hubungan mungkin tidak memicu status "hubungan istimewa" menurut kriteria PPh yang ketat, tetapi jelas merupakan hubungan dengan "pihak berelasi" menurut PSAK 7 yang menuntut pengungkapan. Lebih jauh lagi, dengan adanya perluasan definisi dalam PMK 172/2023, suatu transaksi yang sebelumnya dianggap aman dari perspektif transfer pricing karena melibatkan pihak yang tampak independen, kini bisa jadi masuk dalam lingkup pengawasan jika terbukti dipengaruhi oleh Pihak Afiliasi.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan koordinasi yang erat antara departemen akuntansi dan departemen pajak dalam suatu entitas. Data transaksi yang sama mungkin perlu dianalisis melalui dua "kacamata" yang berbeda, yang dapat meningkatkan beban kerja administratif dan analitis serta memerlukan keahlian khusus di kedua bidang tersebut.

5.2. Pentingnya Dokumentasi dan Analisis Mendalam

Baik UU PPh maupun PSAK 7 menekankan pentingnya dokumentasi yang kuat. Dari sisi perpajakan, kewajiban untuk menyelenggarakan dan menyimpan TP Doc bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa (dan memenuhi syarat tertentu) adalah mandatory. TP Doc ini harus mampu menunjukkan bahwa transaksi telah dilakukan sesuai dengan PKKU. Dari sisi akuntansi, PSAK 7 mensyaratkan pengungkapan yang detail dan transparan mengenai sifat hubungan, jenis transaksi, volume transaksi, saldo, dan komitmen dengan pihak-pihak berelasi.  

Khususnya terkait dengan klausul baru dalam Pasal 1 angka 7 PMK 172/2023, perusahaan kini perlu lebih cermat dalam mendokumentasikan bagaimana lawan transaksi dipilih dan bagaimana harga transaksi ditentukan, terutama jika ada potensi keterlibatan atau pengaruh dari Pihak Afiliasi. Dokumentasi ini menjadi krusial untuk membuktikan independensi pengambilan keputusan atau, jika tidak, untuk mendukung kewajaran transaksi tersebut berdasarkan PKKU.  

Lebih lanjut, penerapan prinsip "substansi mengungguli bentuk" dalam PSAK 7 dan pembuktian adanya "penguasaan" (termasuk melalui manajemen atau teknologi) atau "pengaruh tidak langsung" dalam konteks PPh memerlukan analisis kualitatif yang mendalam, yang melampaui sekadar pemeriksaan formal atas struktur kepemilikan atau perjanjian hukum. Dokumentasi yang baik bukan hanya sekadar pemenuhan kewajiban, tetapi juga merupakan alat manajemen risiko yang penting. Dokumentasi yang komprehensif dan analisis yang cermat akan membantu perusahaan dalam mempertahankan posisinya jika terjadi pemeriksaan pajak oleh DJP atau audit laporan keuangan oleh auditor independen. Kurangnya dokumentasi yang memadai dapat menyebabkan timbulnya asumsi yang merugikan dari pihak otoritas atau auditor, yang berpotensi menimbulkan koreksi, sanksi, atau kualifikasi opini audit.

5.3. Strategi Manajemen Risiko terkait Transaksi dengan Pihak Istimewa/Berelasi

Untuk mengelola risiko yang terkait dengan transaksi dengan pihak istimewa (PPh) dan pihak berelasi (PSAK 7), entitas bisnis di Indonesia sebaiknya mempertimbangkan penerapan strategi manajemen risiko yang proaktif. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:

  • Mengembangkan Kebijakan Internal yang Jelas: Menyusun dan mengimplementasikan kebijakan internal yang komprehensif mengenai identifikasi, evaluasi, persetujuan, pelaksanaan, dan pemantauan transaksi dengan pihak-pihak yang berpotensi memiliki hubungan istimewa atau merupakan pihak berelasi. Kebijakan ini harus mencakup kedua set definisi dan persyaratan.
  • Melakukan Tinjauan Berkala: Secara periodik, melakukan tinjauan terhadap struktur kepemilikan perusahaan, perjanjian-perjanjian kontraktual yang signifikan, dan komposisi serta hubungan antar personil manajemen kunci. Tinjauan ini bertujuan untuk mengidentifikasi secara dini potensi timbulnya hubungan istimewa atau hubungan dengan pihak berelasi yang baru atau yang berubah.
  • Analisis Kewajaran Harga (Benchmarking): Untuk transaksi yang signifikan dengan pihak yang teridentifikasi memiliki hubungan istimewa atau berelasi, disarankan untuk melakukan analisis kewajaran harga (benchmarking) dengan menggunakan data pembanding yang andal. Praktik ini sebaiknya dilakukan bahkan jika entitas tidak secara eksplisit diwajibkan untuk menyusun TP Doc secara lengkap, sebagai bagian dari tata kelola perusahaan yang baik dan untuk mempersiapkan diri menghadapi potensi pertanyaan dari otoritas pajak atau auditor.
  • Pertimbangan dalam Perencanaan Transaksi: Ketika merencanakan transaksi baru yang signifikan atau melakukan restrukturisasi usaha yang melibatkan pihak-pihak yang mungkin terkait, implikasi dari kedua rezim peraturan (PPh dan PSAK 7) harus dipertimbangkan sejak awal.
  • Pelatihan Berkelanjutan: Memberikan pelatihan yang berkelanjutan bagi staf di departemen terkait (misalnya, akuntansi, keuangan, pajak, hukum) mengenai perkembangan terbaru dalam peraturan perpajakan terkait hubungan istimewa dan standar akuntansi keuangan terkait pengungkapan pihak berelasi.
  • Pemanfaatan Teknologi: Mempertimbangkan penggunaan solusi teknologi untuk membantu dalam mengidentifikasi, melacak, dan mendokumentasikan transaksi dengan pihak istimewa/berelasi, terutama bagi perusahaan dengan volume transaksi yang besar dan struktur grup yang kompleks.

Manajemen risiko yang proaktif tidak hanya membantu dalam memastikan kepatuhan, tetapi juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya sengketa pajak yang mahal dan memakan waktu, temuan audit yang merugikan, serta potensi kerusakan reputasi perusahaan. Ini melibatkan komitmen untuk memahami dan beradaptasi dengan lanskap peraturan yang terus berkembang.

6. Kesimpulan dan Rekomendasi

6.1. Rangkuman Perbedaan Esensial

Analisis komparatif antara konsep hubungan istimewa dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) dan konsep pihak berelasi dalam Standar Akuntansi Keuangan (PSAK 7) di Indonesia mengungkapkan adanya perbedaan-perbedaan esensial meskipun kedua konsep tersebut seringkali merujuk pada entitas atau individu yang memiliki keterkaitan. Perbedaan utama terletak pada tujuan yang mendasarinya: PPh berfokus pada perlindungan basis pajak negara dan penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) untuk mencegah penghindaran pajak, sementara PSAK 7 bertujuan untuk memastikan transparansi dalam pelaporan keuangan demi kepentingan pengambilan keputusan oleh pengguna eksternal.

Perbedaan tujuan ini melahirkan perbedaan dalam pendekatan dan cakupan. PPh cenderung menggunakan kriteria yang lebih definitif dan seringkali kuantitatif (misalnya, ambang batas kepemilikan 25%) sebagai pemicu, sedangkan PSAK 7 lebih menekankan pada substansi ekonomi hubungan dan pengaruh kualitatif (seperti pengendalian atau pengaruh signifikan) yang memerlukan penilaian (judgement). Definisi hubungan keluarga dalam PPh juga lebih spesifik dan terbatas dibandingkan konsep "anggota keluarga dekat" dalam PSAK 7 yang lebih luas.

Perkembangan regulasi terkini, khususnya melalui PMK Nomor 172/PMK.03/2023, telah memperluas cakupan transaksi yang dianggap dipengaruhi hubungan istimewa untuk tujuan PPh. Klausul dalam Pasal 1 angka 7 PMK 172/2023, yang mencakup transaksi antara pihak yang formalnya tidak berelasi namun lawan transaksi dan harganya ditentukan oleh Pihak Afiliasi, berpotensi meningkatkan area divergensi antara kedua konsep ini, sekaligus menunjukkan upaya otoritas pajak untuk menangkap substansi ekonomi dari skema transaksi yang kompleks.

6.2. Rekomendasi bagi Praktisi

Mengingat kompleksitas dan perbedaan antara kedua konsep ini, serta implikasi signifikan dari ketidakpatuhan, berikut adalah beberapa rekomendasi bagi praktisi (baik di dalam perusahaan maupun konsultan) di Indonesia:

  1. Adopsi Pendekatan Terintegrasi Namun Terpisah: Perusahaan sebaiknya mengembangkan sistem internal yang mampu mengumpulkan informasi relevan untuk identifikasi hubungan istimewa (PPh) dan pihak berelasi (PSAK 7) secara terintegrasi. Namun, analisis dan penerapan aturan harus dilakukan secara terpisah sesuai dengan ketentuan masing-masing rezim (perpajakan dan akuntansi).
  2. Investasi dalam Keahlian dan Pengetahuan: Penting bagi perusahaan untuk memiliki atau memiliki akses kepada sumber daya manusia dengan keahlian dan pengetahuan yang memadai dan terkini di bidang perpajakan (khususnya mengenai transfer pricing dan peraturan hubungan istimewa) dan akuntansi (khususnya mengenai PSAK 7 dan interpretasinya).
  3. Dokumentasi Proaktif dan Komprehensif: Mendorong praktik dokumentasi yang proaktif, detail, dan komprehensif untuk semua transaksi yang berpotensi jatuh dalam salah satu atau kedua definisi (hubungan istimewa atau pihak berelasi). Dokumentasi ini krusial untuk mendukung argumen mengenai kewajaran harga, independensi transaksi (jika relevan), dan pemenuhan persyaratan pengungkapan.
  4. Mengikuti Perkembangan Regulasi secara Berkelanjutan: Mengingat sifat dinamis dari peraturan perpajakan dan standar akuntansi keuangan, praktisi harus secara aktif terus memperbarui pengetahuan mereka melalui partisipasi dalam seminar, pelatihan, dan pemantauan publikasi resmi dari otoritas terkait (seperti DJP dan Ikatan Akuntan Indonesia/IAI).
  5. Konsultasi Dini dengan Ahli Profesional: Untuk transaksi yang bersifat kompleks, material, atau melibatkan interpretasi yang sulit mengenai status hubungan istimewa atau pihak berelasi, sangat disarankan untuk melakukan konsultasi dini dengan konsultan pajak atau akuntan profesional yang berpengalaman.
  6. Penguatan Fungsi Kepatuhan Internal: Memperkuat fungsi kepatuhan internal untuk memastikan bahwa semua persyaratan terkait hubungan istimewa dan pihak berelasi dipahami, diimplementasikan, dan dipantau secara efektif di seluruh organisasi.

Dengan pemahaman yang mendalam dan penerapan strategi yang tepat, entitas bisnis di Indonesia dapat menavigasi kompleksitas kedua konsep ini, meminimalkan risiko ketidakpatuhan, dan memastikan pelaporan keuangan yang transparan dan akuntabel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa Tax Ratio Indonesia Rendah

Pendahuluan: Memahami Rasio Pajak Bagian ini memperkenalkan ko...