1. Pendahuluan
Dalam lanskap bisnis dan
kepatuhan di Indonesia, pemahaman yang akurat mengenai perbedaan antara konsep
"hubungan istimewa" untuk tujuan perpajakan dan "pihak
berelasi" untuk tujuan akuntansi memegang peranan krusial. Meskipun kedua
istilah ini seringkali bersinggungan dan merujuk pada entitas atau individu
yang memiliki keterkaitan tertentu, keduanya berakar pada dasar hukum, tujuan,
dan memiliki implikasi yang berbeda secara fundamental. Ketidakpahaman atau
ketidakselarasan dalam mengaplikasikan kedua konsep ini dapat berujung pada
berbagai risiko, mulai dari potensi koreksi dan sanksi pajak hingga kemungkinan
kesalahan penyajian material dalam laporan keuangan yang dapat memengaruhi
pengambilan keputusan para pemangku kepentingan.
Sebagai contoh, jika suatu
entitas hanya memfokuskan perhatiannya pada definisi hubungan istimewa menurut
ketentuan perpajakan, ada kemungkinan entitas tersebut mengabaikan kewajiban
pengungkapan transaksi dengan pihak berelasi yang material menurut Standar
Akuntansi Keuangan (SAK), khususnya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) 7. Kelalaian ini dapat menyesatkan investor atau kreditur dalam menilai
kinerja dan risiko entitas. Sebaliknya, jika entitas hanya berpedoman pada PSAK
7 tanpa memperhatikan ketentuan perpajakan, entitas tersebut mungkin tidak
menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) secara tepat atas
transaksi yang dianggap istimewa oleh otoritas pajak, yang pada akhirnya dapat
memicu sengketa perpajakan.
Tulisan ini bertujuan untuk
menyajikan analisis komparatif yang mendalam mengenai konsep "hubungan
istimewa" sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU
PPh) beserta peraturan pelaksananya, dan konsep "pihak berelasi"
sebagaimana diatur dalam PSAK 7. Analisis ini akan menyoroti
perbedaan-perbedaan fundamental dalam definisi, kriteria identifikasi, tujuan
yang mendasari, implikasi praktis bagi entitas bisnis, serta mencermati
perkembangan regulasi terkini yang memengaruhi kedua konsep tersebut di Indonesia.
2. Konsep Hubungan Istimewa
dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh)
2.1. Landasan Yuridis dan
Tujuan Utama
Konsep hubungan istimewa dalam
konteks perpajakan di Indonesia diatur secara primer dalam Pasal 18
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan (UU PPh). Ketentuan ini kemudian diperjelas dan diperinci
lebih lanjut melalui berbagai peraturan pelaksanaan, termasuk Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang
Pajak Penghasilan, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yang paling relevan
saat ini adalah PMK Nomor 172/PMK.03/2023 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa , yang
menggantikan dan menyempurnakan PMK Nomor 22/PMK.03/2020.
Tujuan utama dari penetapan
konsep hubungan istimewa dalam UU PPh adalah untuk mencegah praktik
penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggeseran laba (profit
shifting) yang dapat timbul dari transaksi yang dilakukan secara tidak
wajar antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Dengan adanya
hubungan istimewa, terdapat potensi bahwa harga, syarat, atau kondisi transaksi
dapat diatur sedemikian rupa sehingga menguntungkan salah satu pihak atau grup
secara keseluruhan dengan cara mengurangi beban pajak yang seharusnya terutang.
Oleh karena itu, peraturan perpajakan memberikan kewenangan kepada Direktur
Jenderal Pajak (DJP) untuk memastikan bahwa setiap transaksi yang dipengaruhi
oleh hubungan istimewa telah dilakukan sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha (PKKU) atau Arm's Length Principle (ALP). Prinsip ini
menghendaki agar transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa
dilakukan seolah-olah transaksi tersebut terjadi antara pihak-pihak yang
independen, yang tidak saling mengendalikan dan tidak memiliki keterikatan
khusus.
Fokus utama otoritas pajak
adalah untuk mengamankan basis pemajakan negara dan memastikan keadilan dalam
pemungutan pajak. Konsep hubungan istimewa dalam perpajakan bersifat substantif
ekonomis dari perspektif fiskal. Tanpa adanya aturan yang tegas mengenai
hubungan istimewa, perusahaan-perusahaan, khususnya yang berskala
multinasional, dapat dengan mudah memanipulasi harga transfer atas barang,
jasa, atau aset tidak berwujud untuk meminimalkan total beban pajak mereka
secara global atau domestik. Praktik semacam ini akan secara langsung merugikan
penerimaan negara dari sektor pajak. Oleh karena itu, UU PPh memberikan
landasan hukum bagi DJP untuk menguji kewajaran transaksi yang dipengaruhi
hubungan istimewa dan melakukan koreksi jika ditemukan adanya ketidakwajaran
yang berpotensi mengurangi Penghasilan Kena Pajak (PKP) Wajib Pajak di
Indonesia.
2.2. Kriteria Identifikasi
Hubungan Istimewa
UU PPh dan peraturan
pelaksananya, khususnya PMK 172/2023, menetapkan tiga kriteria utama yang dapat
menyebabkan timbulnya hubungan istimewa antara Wajib Pajak :
2.2.1. Kepemilikan atau
Penyertaan Modal
Hubungan istimewa karena
kepemilikan atau penyertaan modal dianggap ada apabila :
- Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal
langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
pada Wajib Pajak lain.
- Terdapat hubungan antara Wajib Pajak
dengan penyertaan modal paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua
Wajib Pajak atau lebih.
- Terdapat hubungan di antara dua Wajib
Pajak atau lebih yang modalnya paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh pihak yang sama.
Contoh perhitungan penyertaan
modal tidak langsung dapat diilustrasikan sebagai berikut: Jika PT A memiliki
50% saham PT B, dan PT B memiliki 50% saham PT C, maka PT A secara tidak
langsung memiliki penyertaan modal pada PT C sebesar 25% (hasil dari 50% x
50%). Dalam kasus ini, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan
istimewa.
Ambang batas 25% ini merupakan
sebuah bright-line test yang dirancang untuk memberikan kepastian hukum
bagi Wajib Pajak dan otoritas pajak. Penetapan angka 25% ini merupakan upaya
legislatif untuk menyeimbangkan antara kebutuhan akan aturan yang jelas dan
realitas bahwa kepemilikan dalam persentase tersebut umumnya dianggap cukup
signifikan untuk dapat memengaruhi pengambilan keputusan dan persyaratan
transaksi dalam suatu entitas. Kepemilikan di bawah ambang batas ini,
berdasarkan kriteria kepemilikan semata, dianggap kurang signifikan untuk
secara otomatis memicu kewenangan intervensi pajak yang lebih dalam terkait
transfer pricing, kecuali jika kriteria hubungan istimewa lainnya terpenuhi.
2.2.2. Penguasaan (Manajemen,
Teknologi, Grup Usaha)
Hubungan istimewa karena
penguasaan dianggap ada dalam beberapa kondisi berikut :
- Satu pihak menguasai pihak lain atau satu
pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung.
- Dua pihak atau lebih berada di bawah
penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung.
- Terdapat orang yang sama secara langsung
dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan
keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak atau lebih.
- Para pihak yang secara komersial atau
finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu grup usaha yang
sama.
- Satu pihak menyatakan diri memiliki
hubungan istimewa dengan pihak lain.
Lebih lanjut, Penjelasan Pasal
18 ayat (4) UU PPh dan ditegaskan kembali dalam PMK 172/2023, penguasaan juga
dapat terjadi melalui manajemen atau penggunaan teknologi, meskipun tidak
terdapat hubungan kepemilikan formal. Contoh penguasaan melalui manajemen
adalah jika seorang individu menjabat sebagai direktur di dua atau lebih
perusahaan yang berbeda, maka antara perusahaan-perusahaan tersebut dapat
dianggap memiliki hubungan istimewa. Sementara itu, contoh penguasaan melalui
teknologi adalah jika suatu perusahaan sangat bergantung pada formula, paten,
atau teknologi yang dimiliki oleh perusahaan lain untuk menjalankan operasional
utamanya.
Kriteria penguasaan ini,
khususnya yang berkaitan dengan penguasaan melalui manajemen atau teknologi,
mencerminkan upaya regulator untuk menangkap konsep de facto control
atau ketergantungan ekonomi yang substansial, bahkan ketika tidak ada hubungan
kepemilikan saham yang mencapai ambang batas 25%. Hal ini menunjukkan adanya
pergeseran atau penekanan pada analisis substansi ekonomi dari suatu hubungan,
bukan hanya melihat bentuk formal kepemilikan. Perusahaan bisa saja secara
formal tidak memiliki hubungan kepemilikan yang signifikan, namun jika satu
pihak sangat bergantung pada teknologi pihak lain, atau jika individu-individu
kunci dalam manajemen mengendalikan beberapa entitas secara bersamaan, potensi
untuk melakukan transaksi yang tidak wajar tetap ada. Oleh karena itu, kriteria
"penguasaan" menjadi sangat penting untuk menutup celah yang mungkin
dieksploitasi. Meskipun demikian, interpretasi mengenai apa yang dimaksud
dengan "penguasaan," terutama penguasaan melalui manajemen atau
teknologi, seringkali menjadi subjek perbedaan pendapat dan dapat menimbulkan
sengketa antara Wajib Pajak dan otoritas pajak.
2.2.3. Hubungan Keluarga
Hubungan istimewa karena
hubungan keluarga dianggap ada jika terdapat hubungan keluarga, baik sedarah
maupun semenda, dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
- Keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat meliputi ayah, ibu, dan anak.
- Keluarga sedarah dalam garis keturunan ke
samping satu derajat adalah saudara (kandung, seayah,
atau seibu).
- Keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus satu derajat meliputi mertua dan anak tiri.
- Keluarga semenda dalam garis keturunan ke
samping satu derajat adalah ipar.
Definisi hubungan keluarga ini
sangat spesifik dan terbatas pada satu derajat keturunan. Implikasinya,
hubungan keluarga yang lebih jauh, seperti antara kakek dan cucu (dua derajat
lurus) atau antara paman/bibi dan keponakan (dua derajat ke samping), secara
otomatis tidak termasuk dalam kriteria hubungan istimewa berdasarkan hubungan
keluarga untuk tujuan perpajakan, meskipun dalam praktiknya mungkin saja
terdapat pengaruh ekonomi yang signifikan. Pembatasan pada satu derajat ini
bertujuan untuk memberikan batasan yang jelas dan dapat diterapkan secara
konsisten oleh otoritas pajak, serta menghindari cakupan yang terlalu luas yang
mungkin sulit untuk dibuktikan dan dikelola. Fokusnya adalah pada hubungan
keluarga terdekat yang dianggap memiliki probabilitas tertinggi untuk
memengaruhi transaksi bisnis secara tidak wajar.
2.3. Implikasi Perpajakan dan
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU)
Apabila teridentifikasi adanya
hubungan istimewa antara Wajib Pajak yang melakukan transaksi, implikasi
perpajakan yang paling signifikan adalah kewenangan Direktur Jenderal Pajak
untuk menguji apakah transaksi tersebut telah sesuai dengan PKKU. Jika ditemukan
bahwa harga, laba, atau syarat-syarat transaksi tidak sesuai dengan PKKU, DJP
berwenang untuk melakukan koreksi dengan menentukan kembali besarnya
penghasilan dan/atau pengurangan, serta menentukan utang sebagai modal untuk
keperluan penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP).
Untuk mendukung penerapan PKKU
dan sebagai bagian dari upaya transparansi, Wajib Pajak yang melakukan
transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa dan memenuhi batasan tertentu
diwajibkan untuk menyelenggarakan dan menyimpan dokumen penentuan harga transfer
(umumnya dikenal sebagai Transfer Pricing Documentation atau TP Doc).
Dokumen ini, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam PMK 172/2023, umumnya
terdiri dari Dokumen Induk (Master File), Dokumen Lokal (Local File),
dan dalam kondisi tertentu, Laporan per Negara (Country-by-Country Report
/ CbCR).
Kewajiban penyusunan TP Doc
ini menambah beban kepatuhan yang cukup signifikan bagi Wajib Pajak. Proses
penyusunannya memerlukan analisis fungsional yang mendalam (mengidentifikasi
fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung oleh
masing-masing pihak dalam transaksi), analisis risiko, serta analisis
kesebandingan yang komprehensif untuk menemukan data pembanding yang andal dari
transaksi independen. PKKU adalah inti dari penanganan transaksi yang
dipengaruhi hubungan istimewa. Tujuannya adalah untuk menempatkan Wajib Pajak
dalam posisi perpajakan yang sama seolah-olah mereka bertransaksi dengan
pihak-pihak yang sepenuhnya independen dan tidak memiliki hubungan istimewa. TP
Doc berfungsi sebagai alat bagi Wajib Pajak untuk membuktikan bahwa mereka
telah mematuhi PKKU dan bagi otoritas pajak sebagai dasar untuk melakukan
pengujian atas kepatuhan Wajib Pajak tersebut.
2.4. Perkembangan Regulasi
Terkini (Fokus pada PMK 172/2023)
PMK Nomor 172/PMK.03/2023,
yang berlaku efektif sejak tanggal diundangkan, membawa beberapa perubahan dan
penegasan penting terkait penerapan PKKU dalam transaksi yang dipengaruhi
hubungan istimewa. Beberapa poin krusial meliputi:
- Perluasan Definisi Transaksi yang
Dipengaruhi Hubungan Istimewa: Salah satu perubahan
paling signifikan adalah yang tercantum dalam Pasal 1 angka 7 PMK
172/2023. Pasal ini menyatakan bahwa "Transaksi yang Dipengaruhi
Hubungan Istimewa" tidak hanya mencakup transaksi yang dilakukan
antara Wajib Pajak dengan Pihak Afiliasi (transaksi afiliasi langsung),
tetapi juga meliputi "transaksi yang dilakukan antarpihak yang tidak
memiliki Hubungan Istimewa tetapi Pihak Afiliasi dari salah satu atau
kedua pihak yang bertransaksi tersebut menentukan lawan transaksi dan
harga transaksi". Klausul ini secara substansial memperluas jangkauan
pengawasan otoritas pajak. Ini berarti bahwa transaksi antara dua entitas
yang secara formal tampak independen (tidak memenuhi kriteria kepemilikan,
penguasaan langsung, atau hubungan keluarga) dapat ditarik ke dalam rezim
transfer pricing jika terdapat bukti bahwa pihak afiliasi (yang memiliki
hubungan istimewa dengan salah satu atau kedua entitas yang bertransaksi)
secara efektif mendikte atau menentukan siapa lawan transaksi dan berapa
harga atau syarat-syarat transaksi tersebut. Ini merupakan upaya untuk
menangkap skema penghindaran pajak yang lebih canggih yang mungkin
melibatkan penggunaan perantara atau struktur transaksi yang kompleks
untuk menyamarkan pengaruh dari hubungan istimewa. Pembuktian adanya
pengaruh pihak afiliasi dalam menentukan lawan transaksi dan harga pada
transaksi antar pihak yang formalnya independen ini akan menjadi tantangan
tersendiri, baik bagi otoritas pajak dalam melakukan pemeriksaan maupun
bagi Wajib Pajak dalam mempersiapkan pembelaan. Perluasan ini menunjukkan
bahwa regulator pajak semakin menyadari bahwa struktur kepemilikan formal
tidak selalu mencerminkan realitas ekonomi dan kontrol yang sebenarnya.
Dengan menargetkan pengaruh afiliasi dalam transaksi yang seolah-olah
"independen", DJP bertujuan untuk menutup celah yang berpotensi
dieksploitasi untuk menggeser laba. Hal ini secara langsung meningkatkan
kompleksitas analisis transfer pricing dan menuntut pemahaman yang lebih
mendalam mengenai seluruh jaringan bisnis dan hubungan komersial Wajib
Pajak.
- Harmonisasi Kriteria Penguasaan:
PMK 172/2023 secara eksplisit mengintegrasikan dan mengharmonisasikan
kriteria hubungan istimewa karena penguasaan, khususnya penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi, dengan ketentuan yang sebelumnya
telah diatur dalam bagian Penjelasan Pasal 18 ayat (4) UU PPh. Hal ini
memberikan kepastian hukum yang lebih baik dan struktur yang lebih jelas
mengenai kriteria penguasaan.
- Penambahan Jenis Transaksi yang
Dipengaruhi Hubungan Istimewa: Regulasi ini juga
menambahkan kategori baru, yaitu "transaksi keuangan lainnya,"
ke dalam daftar jenis transaksi yang secara eksplisit dianggap dapat
dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Ini menunjukkan pengakuan yang lebih
luas terhadap berbagai bentuk transaksi keuangan yang berpotensi digunakan
dalam skema transfer pricing.
3. Konsep Pihak Berelasi dalam
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK 7)
3.1. Landasan Standar dan
Tujuan Pengungkapan
Konsep pihak berelasi dalam
konteks akuntansi di Indonesia diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) 7 tentang Pengungkapan Pihak-Pihak Berelasi. PSAK 7 ini
merupakan adopsi dari standar akuntansi internasional, yaitu IAS 24 Related
Party Disclosures, yang bertujuan untuk menyelaraskan praktik akuntansi di
Indonesia dengan standar global.
Tujuan utama dari PSAK 7
adalah untuk memastikan bahwa laporan keuangan suatu entitas berisi
pengungkapan yang memadai dan diperlukan agar para pengguna laporan keuangan
dapat memahami potensi dampak dari keberadaan pihak-pihak berelasi, serta
dampak dari transaksi dan saldo (termasuk komitmen) dengan pihak-pihak berelasi
tersebut, terhadap posisi keuangan dan kinerja laba rugi entitas pelapor. Fokus
utama PSAK 7 adalah pada transparansi informasi untuk mendukung pengambilan
keputusan ekonomi yang rasional oleh berbagai pengguna laporan keuangan,
seperti investor, kreditur, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Berbeda
dengan perspektif perpajakan yang berorientasi pada perlindungan penerimaan
negara, PSAK 7 lebih menekankan pada penyediaan informasi yang relevan dan
andal kepada pasar.
Hubungan dengan pihak-pihak
berelasi merupakan suatu karakteristik normal dari perdagangan dan bisnis.
Namun, keberadaan hubungan berelasi dapat memengaruhi transaksi secara
signifikan. Sebagai contoh, entitas dapat melakukan transaksi dengan pihak
berelasinya dengan persyaratan yang berbeda dari yang mungkin disepakati dengan
pihak yang tidak berelasi, seperti menjual barang kepada entitas induknya pada
harga perolehan. Tanpa pengungkapan yang memadai mengenai sifat hubungan, jenis
transaksi, volume, dan saldo dengan pihak berelasi, laporan keuangan mungkin
tidak menyajikan gambaran yang utuh dan sebenarnya mengenai kinerja keuangan
dan posisi keuangan entitas. Hal ini dapat menyesatkan pengguna dalam membuat
keputusan investasi, kredit, atau keputusan ekonomi lainnya.
3.2. Kriteria Identifikasi
Pihak Berelasi
PSAK 7 mendefinisikan
"pihak-pihak berelasi" sebagai orang atau entitas yang terkait dengan
entitas yang menyusun laporan keuangannya (disebut sebagai "entitas
pelapor"). Kriteria identifikasi pihak berelasi menurut PSAK 7 dapat dikelompokkan
sebagai berikut:
3.2.1. Pengendalian,
Pengendalian Bersama, dan Pengaruh Signifikan
Seseorang atau anggota
keluarga dekatnya, atau suatu entitas, dianggap berelasi dengan entitas pelapor
jika pihak tersebut memiliki :
- Pengendalian (control)
atas entitas pelapor. Pengendalian didefinisikan sebagai kekuasaan untuk
mengatur kebijakan keuangan dan operasional suatu entitas sehingga
memperoleh manfaat dari aktivitas tersebut.
- Pengendalian bersama (joint control)
atas entitas pelapor. Pengendalian bersama adalah persetujuan kontraktual
untuk berbagi pengendalian atas suatu aktivitas ekonomi.
- Pengaruh signifikan (significant
influence) atas entitas pelapor. Pengaruh signifikan
adalah kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
kebijakan keuangan dan operasional suatu entitas, tetapi bukan merupakan
pengendalian atau pengendalian bersama atas kebijakan tersebut. PSAK 15 (revisi
terkait) menyatakan bahwa jika investor memiliki, secara langsung atau
tidak langsung (misalnya melalui entitas anak), 20% atau lebih hak suara
pada investee, maka diasumsikan investor memiliki pengaruh signifikan,
kecuali dapat dibuktikan dengan jelas bahwa investor tidak memiliki
pengaruh signifikan. Sebaliknya, jika investor memiliki kurang dari 20%
hak suara pada investee, maka diasumsikan investor tidak memiliki pengaruh
signifikan, kecuali pengaruh signifikan tersebut dapat dibuktikan dengan jelas.
Meskipun persentase
kepemilikan (seperti ambang batas 20% sebagai salah satu indikator pengaruh
signifikan) dipertimbangkan, penekanan dalam PSAK 7 lebih pada kemampuan aktual
untuk mengendalikan atau memengaruhi kebijakan keuangan dan operasional entitas
pelapor, yang seringkali bersifat kualitatif dan memerlukan penilaian (judgement).
PSAK 7 mengakui bahwa pengaruh dapat timbul bahkan dengan kepemilikan minoritas
jika terdapat faktor-faktor lain, seperti perwakilan dalam dewan direksi atau
partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan. Fokusnya adalah pada dampak
potensial dari hubungan tersebut terhadap entitas pelapor, bukan semata-mata
pada ambang batas kepemilikan yang kaku. Namun, penentuan apakah "pengaruh
signifikan" benar-benar ada dapat menjadi tantangan praktis dalam beberapa
situasi.
3.2.2. Personil Manajemen
Kunci dan Anggota Keluarga Dekatnya
Pihak berelasi juga mencakup:
- Personil manajemen kunci (KMP)
entitas pelapor atau entitas induk dari entitas pelapor. Personil
manajemen kunci adalah orang-orang yang mempunyai kewenangan dan tanggung
jawab untuk merencanakan, memimpin, dan mengendalikan aktivitas entitas,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini termasuk direktur
(eksekutif maupun non-eksekutif) dan komisaris dari entitas tersebut.
- Anggota keluarga dekat
dari individu yang memiliki pengendalian, pengendalian bersama, pengaruh
signifikan atas entitas pelapor, atau yang merupakan personil manajemen
kunci entitas pelapor atau entitas induknya. Anggota keluarga dekat
didefinisikan sebagai anggota keluarga yang mungkin memengaruhi, atau
dipengaruhi oleh, orang tersebut dalam transaksi mereka dengan entitas.
Mereka dapat termasuk: (a) anak dari individu dan pasangan hidupnya; (b)
anak dari pasangan hidup individu; dan (c) tanggungan dari individu atau
pasangan hidup individu.
Definisi "anggota
keluarga dekat" dalam PSAK 7 bersifat lebih luas dan didasarkan pada
potensi adanya pengaruh timbal balik dalam hubungan dengan entitas, yang
berbeda dengan batasan derajat keturunan yang spesifik sebagaimana diatur dalam
ketentuan perpajakan. Personil manajemen kunci dan anggota keluarga dekat
mereka dianggap sebagai pihak berelasi karena posisi atau hubungan mereka
memungkinkan mereka untuk memengaruhi transaksi yang dilakukan oleh entitas,
atau sebaliknya, memperoleh manfaat dari transaksi dengan entitas tersebut
dengan cara-cara yang mungkin tidak tersedia bagi pihak-pihak yang independen.
3.2.3. Entitas dalam Satu Grup
Usaha, Entitas Asosiasi, dan Ventura Bersama
Suatu entitas dianggap
berelasi dengan entitas pelapor jika salah satu kondisi berikut terpenuhi:
- Entitas dan entitas pelapor adalah anggota
dari kelompok usaha yang sama. Ini berarti entitas induk, entitas
anak, dan sesama entitas anak (entitas yang dikendalikan oleh induk yang
sama) saling berelasi satu sama lain.
- Satu entitas adalah entitas asosiasi
atau ventura bersama bagi entitas lain (atau entitas asosiasi atau
ventura bersama yang merupakan anggota suatu kelompok usaha, di mana
entitas lain tersebut adalah anggotanya).
- Kedua entitas tersebut adalah ventura
bersama dari pihak ketiga yang sama.
- Satu entitas adalah ventura bersama
dari entitas ketiga dan entitas yang lain adalah entitas asosiasi dari
entitas ketiga.
- Entitas tersebut adalah suatu program
imbalan pascakerja untuk imbalan kerja dari salah satu entitas pelapor
atau entitas yang terkait dengan entitas pelapor.
- Entitas yang dikendalikan atau
dikendalikan bersama oleh orang yang diidentifikasi sebagai pihak
berelasi berdasarkan kriteria individu (seperti yang dijelaskan pada poin
3.2.1 dan 3.2.2, misalnya oleh KMP atau pemilik dengan pengaruh
signifikan).
- Orang yang diidentifikasi memiliki
pengendalian atau pengendalian bersama atas entitas pelapor juga memiliki pengaruh
signifikan atas entitas lain tersebut atau merupakan personil manajemen
kunci dari entitas lain tersebut (atau dari entitas induk entitas lain
tersebut).
PSAK 7 dengan demikian
mempertimbangkan jaringan relasi yang lebih kompleks dan luas yang dapat timbul
dalam struktur grup usaha, investasi pada entitas asosiasi, dan partisipasi
dalam ventura bersama. Transaksi yang terjadi dalam lingkup grup usaha atau
dengan entitas asosiasi dan ventura bersama secara inheren memiliki potensi
untuk tidak dilakukan pada kondisi pasar yang sepenuhnya wajar karena adanya
kepentingan bersama, pengendalian, atau pengaruh yang signifikan. Oleh karena
itu, pengungkapan mengenai sifat dan tingkat transaksi ini menjadi esensial
untuk memahami gambaran keuangan entitas secara menyeluruh.
3.3. Prinsip Substansi
Mengungguli Bentuk (Substance Over Form)
Salah satu prinsip fundamental
yang mendasari PSAK 7 adalah bahwa dalam mempertimbangkan setiap kemungkinan
adanya hubungan pihak berelasi, perhatian harus diarahkan pada substansi
dari hubungan tersebut dan bukan hanya pada bentuk hukumnya.
Prinsip ini memberikan
fleksibilitas dalam penerapan standar namun sekaligus menuntut tingkat
penilaian (judgement) yang lebih besar dari pihak manajemen dan auditor
dalam mengidentifikasi apakah suatu pihak merupakan pihak berelasi. Bentuk
hukum dari suatu perjanjian, struktur kepemilikan, atau pengaturan lainnya
mungkin tidak selalu mencerminkan realitas ekonomi dari suatu hubungan. Sebagai
contoh, dua entitas mungkin secara hukum tampak independen dan tidak memiliki
hubungan kepemilikan silang, tetapi secara substansial salah satu entitas
dikendalikan oleh entitas lainnya melalui perjanjian kontraktual yang ketat, ketergantungan
ekonomi yang signifikan, atau melalui pengaruh dominan dari individu tertentu
yang sama. PSAK 7, melalui prinsip ini, berupaya untuk menangkap realitas
ekonomi dari hubungan tersebut, sehingga pengungkapan yang relevan dapat
disajikan kepada pengguna laporan keuangan. Sebagai contoh, dua entitas yang
hanya memiliki direktur atau personil manajemen kunci yang sama tidak secara
otomatis dianggap berelasi hanya karena kesamaan tersebut secara formal, namun
jika substansi hubungannya menunjukkan adanya potensi pengaruh atau
pengendalian yang signifikan, maka mereka dapat dianggap sebagai pihak
berelasi.
3.4. Persyaratan Pengungkapan
dalam Laporan Keuangan
Jika terdapat transaksi antara
entitas pelapor dengan pihak-pihak berelasinya selama periode yang dicakup oleh
laporan keuangan, PSAK 7 mensyaratkan entitas untuk mengungkapkan sifat dari
hubungan pihak berelasi tersebut, serta informasi mengenai transaksi dan saldo
(termasuk komitmen) yang diperlukan agar pengguna laporan keuangan dapat
memahami potensi dampak dari hubungan tersebut terhadap laporan keuangan.
Pengungkapan ini minimal mencakup:
- Sifat hubungan pihak berelasi.
- Informasi mengenai transaksi,
seperti:
- Nilai transaksi (misalnya, jumlah
pembelian atau penjualan barang dan jasa, pendapatan atau beban sewa,
bunga pinjaman, imbalan jasa manajemen).
- Kebijakan penetapan harga.
- Informasi mengenai saldo dengan pihak
berelasi, seperti:
- Jumlah piutang usaha atau utang usaha
kepada pihak berelasi.
- Pinjaman yang diberikan kepada atau
diterima dari pihak berelasi beserta syarat dan ketentuannya.
- Penyisihan piutang ragu-ragu terkait
dengan jumlah saldo dari pihak berelasi.
- Komitmen yang dibuat
dengan pihak berelasi.
- Kompensasi personil manajemen kunci
secara total dan untuk masing-masing kategori berikut: (a) imbalan kerja
jangka pendek; (b) imbalan pascakerja; (c) imbalan kerja jangka panjang
lainnya; (d) pesangon; dan (e) pembayaran berbasis saham.
- Secara khusus, hubungan antara entitas
induk dan entitas anaknya harus diungkapkan terlepas dari apakah telah
terjadi transaksi di antara mereka selama periode pelaporan. Jika
entitas induk maupun pihak pengendali paling akhir tidak menyajikan
laporan keuangan konsolidasian yang tersedia untuk penggunaan umum, maka
nama entitas induk berikutnya yang paling pertama yang menyajikannya juga
harus diungkapkan.
Tujuan dari persyaratan
pengungkapan yang detail ini adalah untuk memberikan transparansi maksimal
kepada para pengguna laporan keuangan. Dengan informasi ini, pengguna dapat
menilai sendiri sejauh mana entitas terlibat dalam transaksi dengan pihak-pihak
berelasinya, bagaimana transaksi tersebut berpotensi memengaruhi kinerja dan
posisi keuangan entitas, serta tingkat ketergantungan entitas pada pihak-pihak
berelasinya. Sebagai contoh, jika sebagian besar pendapatan penjualan suatu
entitas berasal dari transaksi dengan satu pihak berelasi utama, ini merupakan
informasi risiko yang sangat penting bagi investor atau kreditur.
4. Analisis Komparatif:
Hubungan Istimewa (PPh) vs. Pihak Berelasi (PSAK 7)
Meskipun konsep "hubungan
istimewa" dalam perpajakan dan "pihak berelasi" dalam akuntansi
sama-sama berkaitan dengan identifikasi pihak-pihak yang memiliki keterkaitan
khusus dengan entitas, terdapat perbedaan fundamental dalam tujuan, fokus,
pendekatan umum, dan kriteria spesifik yang digunakan.
4.1. Perbedaan Fundamental:
Tujuan, Fokus, dan Pendekatan Umum
Perbedaan paling mendasar
terletak pada tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing konsep.
Konsep hubungan istimewa dalam UU PPh primernya bertujuan untuk melindungi
basis pajak negara dan memastikan keadilan dalam pemungutan pajak dengan
mencegah praktik penghindaran pajak melalui transaksi yang tidak wajar. Hal ini
dilakukan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU).
Sebaliknya, konsep pihak berelasi dalam PSAK 7 bertujuan untuk meningkatkan
transparansi pelaporan keuangan demi kepentingan pengambilan keputusan yang
tepat oleh pengguna eksternal laporan keuangan, seperti investor dan kreditur.
Perbedaan tujuan ini kemudian
memengaruhi fokus masing-masing konsep. UU PPh lebih fokus pada kewajaran
harga atau laba dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa. Jika
harga atau laba dianggap tidak wajar, otoritas pajak berwenang melakukan
koreksi. Sementara itu, PSAK 7 lebih fokus pada pengungkapan hubungan dan
transaksi itu sendiri, terlepas dari apakah harga dibebankan atau apakah
transaksi tersebut dianggap wajar atau tidak. Tujuannya adalah untuk menyoroti
potensi pengaruh yang dimiliki pihak berelasi terhadap entitas pelapor.
Dari sisi pendekatan umum,
UU PPh cenderung menggunakan kriteria yang lebih definitif dan seringkali
bersifat kuantitatif untuk memicu adanya hubungan istimewa, misalnya ambang
batas kepemilikan saham sebesar 25%. Ini memberikan dasar yang lebih konkret
bagi otoritas pajak untuk melakukan intervensi. Di sisi lain, PSAK 7 lebih
menekankan pada substansi ekonomi dari suatu hubungan dan pengaruh kualitatif,
seperti konsep pengendalian atau pengaruh signifikan, yang memerlukan penilaian
(judgement) yang lebih mendalam. Standar akuntansi membutuhkan
fleksibilitas untuk dapat mencerminkan realitas ekonomi yang kompleks demi
penyajian informasi yang relevan bagi pengguna.
4.2. Perbandingan Detail
Kriteria
Perbedaan fundamental di atas
termanifestasi dalam detail kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi
hubungan istimewa dan pihak berelasi.
4.2.1. Ambang Batas
Kepemilikan vs. Konsep Pengaruh
Untuk tujuan PPh, hubungan
istimewa karena kepemilikan modal timbul jika terdapat penyertaan modal
langsung atau tidak langsung paling rendah 25%. Ini adalah ambang batas yang
jelas. Sebaliknya, PSAK 7 menggunakan konsep "pengendalian" atau "pengaruh
signifikan" untuk menentukan adanya relasi. Meskipun kepemilikan 20% atau
lebih dapat menjadi indikator adanya pengaruh signifikan, ini bukanlah
satu-satunya faktor dan bukan merupakan ambang batas yang kaku. Pengaruh
signifikan dapat timbul bahkan dengan kepemilikan saham di bawah 20% jika
terdapat bukti lain yang mendukung, seperti perwakilan dalam dewan direksi atau
partisipasi dalam pengambilan keputusan kebijakan.
Implikasinya, suatu entitas
bisa saja dianggap memiliki hubungan istimewa untuk tujuan PPh karena
kepemilikan sahamnya mencapai 25%, namun jika kepemilikan tersebut tidak
disertai dengan kemampuan untuk mengendalikan atau memberikan pengaruh
signifikan menurut kriteria PSAK 7, maka perlakuan pengungkapannya mungkin
berbeda (meskipun dalam banyak kasus, kepemilikan 25% kemungkinan besar akan
memenuhi definisi pihak berelasi juga). Sebaliknya, kepemilikan saham sebesar,
katakanlah, 15% yang disertai dengan representasi signifikan dalam dewan
direksi dan partisipasi aktif dalam keputusan strategis dapat mengindikasikan
adanya pihak berelasi menurut PSAK 7 (karena adanya pengaruh signifikan),
tetapi tidak secara otomatis memicu status hubungan istimewa menurut UU PPh
berdasarkan kriteria kepemilikan semata. UU PPh membutuhkan pemicu (trigger)
yang lebih jelas dan terukur untuk memulai investigasi transfer pricing,
sedangkan PSAK 7 lebih memperhatikan apakah suatu pihak memiliki kapasitas
aktual untuk memengaruhi entitas pelapor, terlepas dari persentase kepemilikan
yang pasti.
4.2.2. Definisi Penguasaan
(PPh) vs. Pengendalian/Pengaruh Signifikan (PSAK 7)
UU PPh dan PMK 172/2023
memiliki kriteria "penguasaan" yang mencakup penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi secara eksplisit. PSAK 7, di sisi lain,
mendefinisikan "pengendalian" sebagai kekuasaan untuk mengatur
kebijakan keuangan dan operasional entitas, dan "pengaruh signifikan"
sebagai kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kebijakan
keuangan dan operasional, tetapi bukan pengendalian.
Interpretasi "penguasaan
melalui teknologi" dalam konteks PPh dapat dilihat sebagai salah satu
bentuk spesifik dari de facto control. Sementara itu, konsep
"pengendalian" dalam PSAK 7 bersifat lebih luas dan berlandaskan
prinsip. Meskipun terdapat potensi tumpang tindih (misalnya, penguasaan melalui
teknologi yang dominan bisa jadi merupakan salah satu cara untuk mencapai pengendalian
menurut PSAK 7), UU PPh lebih merinci beberapa bentuk penguasaan yang tidak
didasarkan pada kepemilikan. Otoritas pajak berkepentingan untuk
mengidentifikasi situasi-situasi spesifik di mana pengaruh yang tidak berasal
dari kepemilikan dapat menyebabkan distorsi harga atau penggeseran laba. PSAK
7, dengan penekanannya pada prinsip "substansi mengungguli bentuk,"
memiliki kapasitas untuk mencakup berbagai skenario pengendalian atau pengaruh,
namun penerapannya mungkin memerlukan lebih banyak penilaian profesional.
4.2.3. Cakupan Hubungan
Keluarga
Dalam hal hubungan keluarga,
UU PPh menetapkan batasan yang sangat spesifik: hubungan sedarah atau semenda,
dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping, hanya satu derajat. Ini
mencakup hubungan seperti ayah/ibu dengan anak, saudara kandung, mertua dengan
anak tiri, dan ipar. Sebaliknya, PSAK 7 mendefinisikan "anggota keluarga
dekat" dari individu yang memiliki pengendalian, pengaruh signifikan, atau
merupakan personil manajemen kunci, sebagai anggota keluarga yang "mungkin
memengaruhi, atau dipengaruhi oleh, orang tersebut dalam transaksi mereka
dengan entitas". Ini dapat mencakup pasangan hidup, anak, dan tanggungan.
Cakupan "anggota keluarga
dekat" menurut PSAK 7 bisa jadi lebih luas atau lebih sempit dibandingkan
definisi PPh, tergantung pada interpretasi frasa "mungkin memengaruhi atau
dipengaruhi." Sebagai contoh, seorang sepupu yang memiliki pengaruh bisnis
yang sangat kuat terhadap individu kunci di entitas pelapor bisa saja dianggap
sebagai pihak berelasi menurut PSAK 7 berdasarkan substansi hubungannya, tetapi
tidak akan masuk dalam definisi hubungan istimewa menurut PPh karena derajat kekerabatannya.
Sebaliknya, hubungan ipar (semenda ke samping satu derajat) secara definitif
merupakan hubungan istimewa menurut PPh dan kemungkinan besar juga akan
dianggap sebagai pihak berelasi menurut PSAK 7 karena potensi pengaruhnya. UU
PPh memerlukan definisi yang lebih ketat dan terbatas untuk memberikan
kepastian hukum dalam proses pemeriksaan pajak. Sementara itu, PSAK 7 lebih
berfokus pada potensi aktual suatu hubungan keluarga untuk memengaruhi
keputusan keuangan dan operasional entitas pelapor, yang bisa saja berasal dari
anggota keluarga yang tidak termasuk dalam definisi PPh yang lebih sempit
tersebut.
4.3. Klausul Spesifik dalam
PMK 172/2023 (Pasal 1 angka 7) dan Perbandingannya dengan Pendekatan PSAK 7
Pasal 1 angka 7 PMK 172/2023
secara signifikan memperluas definisi transaksi yang dipengaruhi hubungan
istimewa. Klausul ini menyatakan bahwa hubungan istimewa juga mencakup
"transaksi yang dilakukan antarpihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa
tetapi Pihak Afiliasi dari salah satu atau kedua pihak yang bertransaksi
tersebut menentukan lawan transaksi dan harga transaksi".
Jika dibandingkan dengan
pendekatan PSAK 7, ini merupakan area divergensi yang cukup signifikan. PSAK 7
primernya berfokus pada identifikasi hubungan antara entitas pelapor dengan
pihak lain. Jika "Pihak Afiliasi yang menentukan" tersebut merupakan
pihak yang berelasi dengan entitas pelapor (misalnya, entitas induk atau
personil manajemen kunci dari entitas pelapor), maka transaksi yang
dipengaruhinya kemungkinan besar akan memerlukan pengungkapan menurut PSAK 7.
Namun, jika Pihak Afiliasi yang menentukan tersebut tidak secara langsung
berelasi dengan entitas pelapor menurut kriteria PSAK 7, maka transaksi antara
entitas pelapor dengan pihak ketiga yang (sebenarnya) independen mungkin tidak
secara otomatis dianggap sebagai transaksi pihak berelasi hanya karena adanya
pengaruh tidak langsung dari Pihak Afiliasi tersebut terhadap pihak ketiga,
kecuali jika pengaruh tersebut sedemikian rupa sehingga mengakibatkan de
facto control oleh Pihak Afiliasi tersebut atas entitas pelapor, atau jika
Pihak Afiliasi tersebut juga berelasi dengan entitas pelapor.
Pendekatan PSAK 7 lebih
menjawab pertanyaan "siapa saja yang berelasi dengan entitas
pelapor?". Sementara itu, pendekatan baru dalam PMK 172/2023 lebih
menjawab pertanyaan "apakah suatu transaksi, meskipun dilakukan antara
pihak-pihak yang tampak independen, secara substansial dipengaruhi oleh
hubungan istimewa yang ada di 'belakang layar' melalui Pihak Afiliasi?".
Dengan demikian, UU PPh kini dapat menjangkau transaksi-transaksi yang mungkin
lolos dari jaring definisi pihak berelasi menurut PSAK 7 jika pengaruh dari
Pihak Afiliasi tersebut bersifat tersembunyi dan tidak secara formal
menciptakan hubungan berelasi antara entitas pelapor dan Pihak Afiliasi yang
memengaruhi tersebut. PMK 172/2023, melalui klausul ini, tampaknya mencoba
menerapkan prinsip "substansi mengungguli bentuk" dari perspektif
perpajakan untuk menangani transaksi yang mungkin secara artifisial
distrukturkan melalui pihak-pihak yang tampak independen guna menghindari
deteksi transfer pricing. Meskipun PSAK 7 juga menganut prinsip "substansi
mengungguli bentuk", penerapannya mungkin menghasilkan kesimpulan yang
berbeda dalam skenario spesifik yang diatur oleh Pasal 1 angka 7 PMK 172/2023
ini. Otoritas pajak akan berfokus pada pembuktian adanya kontrol efektif
atau penentuan yang signifikan atas persyaratan utama transaksi oleh Pihak
Afiliasi.
4.4. Potensi Tumpang Tindih
dan Divergensi dalam Aplikasi Praktis
Dalam banyak situasi praktis,
akan terjadi tumpang tindih antara kedua konsep ini. Sebagai contoh, transaksi
antara perusahaan induk dan perusahaan anak hampir pasti akan dianggap sebagai
transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa menurut UU PPh dan sekaligus
merupakan transaksi dengan pihak berelasi yang memerlukan pengungkapan menurut
PSAK 7.
Namun, divergensi dapat muncul
karena beberapa faktor, antara lain:
- Perbedaan ambang batas kepemilikan yang
digunakan.
- Perbedaan dalam interpretasi dan penerapan
konsep "penguasaan" (PPh) versus "pengendalian" atau
"pengaruh signifikan" (PSAK 7).
- Perbedaan dalam cakupan definisi hubungan
keluarga.
- Implementasi klausul baru dalam Pasal 1
angka 7 PMK 172/2023.
Sebagai ilustrasi divergensi
hipotetis:
- Perusahaan A memiliki 15% saham di
Perusahaan B dan berhasil menempatkan seorang direktur yang sangat
berpengaruh dalam pengambilan keputusan di dewan direksi Perusahaan B.
Menurut PSAK 7, Perusahaan B kemungkinan besar adalah pihak berelasi dari
Perusahaan A karena adanya pengaruh signifikan. Namun, menurut UU PPh,
hubungan ini belum tentu secara otomatis dianggap sebagai hubungan
istimewa hanya berdasarkan persentase kepemilikan saham (kurang dari 25%),
meskipun bisa jadi masuk dalam kriteria hubungan istimewa karena adanya
penguasaan melalui manajemen.
- Perusahaan X (yang dianggap independen)
melakukan transaksi penjualan kepada Perusahaan Y (yang juga dianggap
independen). Namun, ternyata Perusahaan Z, yang merupakan entitas induk
dari Perusahaan X, adalah pihak yang secara aktif menentukan bahwa Perusahaan
X harus bertransaksi dengan Perusahaan Y dan juga menetapkan harga jual
dalam transaksi tersebut. Menurut Pasal 1 angka 7 PMK 172/2023, transaksi
antara Perusahaan X dan Perusahaan Y ini akan dianggap sebagai transaksi
yang dipengaruhi hubungan istimewa. Sementara itu, menurut PSAK 7, jika
Perusahaan Y bukan merupakan pihak berelasi dari Perusahaan X (sesuai
kriteria PSAK 7), dan Perusahaan Z juga bukan merupakan pihak berelasi
dari Perusahaan Y, maka transaksi antara X dan Y tersebut mungkin tidak akan
diungkapkan secara spesifik sebagai transaksi pihak berelasi dalam laporan
keuangan Perusahaan X, meskipun hubungan antara X dan Z (induk-anak) tentu
saja akan diungkapkan.
Dari contoh-contoh tersebut,
terlihat bahwa perusahaan harus melakukan analisis terhadap setiap hubungan dan
transaksi berdasarkan kedua set aturan (perpajakan dan akuntansi) secara
terpisah. Kepatuhan terhadap satu set aturan tidak secara otomatis menjamin
kepatuhan terhadap aturan lainnya.
5. Implikasi Praktis bagi
Entitas Bisnis di Indonesia
Perbedaan antara konsep
hubungan istimewa dalam perpajakan dan pihak berelasi dalam akuntansi membawa
sejumlah implikasi praktis yang signifikan bagi entitas bisnis yang beroperasi
di Indonesia. Entitas harus mampu menavigasi kedua rezim peraturan ini secara
simultan untuk memastikan kepatuhan dan mengelola risiko terkait.
5.1. Tantangan dalam Kepatuhan
Pajak dan Pelaporan Keuangan secara Simultan
Entitas bisnis dihadapkan pada
tantangan untuk memiliki sistem dan prosedur internal yang mampu
mengidentifikasi hubungan dan transaksi berdasarkan kedua set definisi yang
berbeda, yaitu definisi hubungan istimewa menurut UU PPh dan definisi pihak
berelasi menurut PSAK 7. Hal ini memerlukan pemahaman yang mendalam dan terkini
atas kedua kerangka peraturan tersebut.
Risiko ketidakpatuhan dapat
timbul jika entitas hanya mempertimbangkan salah satu set aturan dan
mengabaikan yang lainnya. Sebagai contoh, suatu transaksi mungkin telah
dianggap wajar dan sesuai dengan PKKU untuk tujuan perpajakan, namun tetap
memerlukan pengungkapan yang sangat detail dan spesifik dalam Catatan atas
Laporan Keuangan (CaLK) menurut PSAK 7 karena melibatkan pihak berelasi.
Sebaliknya, suatu hubungan mungkin tidak memicu status "hubungan
istimewa" menurut kriteria PPh yang ketat, tetapi jelas merupakan hubungan
dengan "pihak berelasi" menurut PSAK 7 yang menuntut pengungkapan.
Lebih jauh lagi, dengan adanya perluasan definisi dalam PMK 172/2023, suatu
transaksi yang sebelumnya dianggap aman dari perspektif transfer pricing karena
melibatkan pihak yang tampak independen, kini bisa jadi masuk dalam lingkup
pengawasan jika terbukti dipengaruhi oleh Pihak Afiliasi.
Untuk mengatasi tantangan ini,
diperlukan koordinasi yang erat antara departemen akuntansi dan departemen
pajak dalam suatu entitas. Data transaksi yang sama mungkin perlu dianalisis
melalui dua "kacamata" yang berbeda, yang dapat meningkatkan beban
kerja administratif dan analitis serta memerlukan keahlian khusus di kedua
bidang tersebut.
5.2. Pentingnya Dokumentasi
dan Analisis Mendalam
Baik UU PPh maupun PSAK 7
menekankan pentingnya dokumentasi yang kuat. Dari sisi perpajakan, kewajiban
untuk menyelenggarakan dan menyimpan TP Doc bagi Wajib Pajak yang melakukan
transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa (dan memenuhi syarat tertentu)
adalah mandatory. TP Doc ini harus mampu menunjukkan bahwa transaksi telah
dilakukan sesuai dengan PKKU. Dari sisi akuntansi, PSAK 7 mensyaratkan
pengungkapan yang detail dan transparan mengenai sifat hubungan, jenis
transaksi, volume transaksi, saldo, dan komitmen dengan pihak-pihak berelasi.
Khususnya terkait dengan
klausul baru dalam Pasal 1 angka 7 PMK 172/2023, perusahaan kini perlu lebih
cermat dalam mendokumentasikan bagaimana lawan transaksi dipilih dan bagaimana
harga transaksi ditentukan, terutama jika ada potensi keterlibatan atau pengaruh
dari Pihak Afiliasi. Dokumentasi ini menjadi krusial untuk membuktikan
independensi pengambilan keputusan atau, jika tidak, untuk mendukung kewajaran
transaksi tersebut berdasarkan PKKU.
Lebih lanjut, penerapan
prinsip "substansi mengungguli bentuk" dalam PSAK 7 dan pembuktian
adanya "penguasaan" (termasuk melalui manajemen atau teknologi) atau
"pengaruh tidak langsung" dalam konteks PPh memerlukan analisis kualitatif
yang mendalam, yang melampaui sekadar pemeriksaan formal atas struktur
kepemilikan atau perjanjian hukum. Dokumentasi yang baik bukan hanya sekadar
pemenuhan kewajiban, tetapi juga merupakan alat manajemen risiko yang penting.
Dokumentasi yang komprehensif dan analisis yang cermat akan membantu perusahaan
dalam mempertahankan posisinya jika terjadi pemeriksaan pajak oleh DJP atau
audit laporan keuangan oleh auditor independen. Kurangnya dokumentasi yang
memadai dapat menyebabkan timbulnya asumsi yang merugikan dari pihak otoritas
atau auditor, yang berpotensi menimbulkan koreksi, sanksi, atau kualifikasi
opini audit.
5.3. Strategi Manajemen Risiko
terkait Transaksi dengan Pihak Istimewa/Berelasi
Untuk mengelola risiko yang
terkait dengan transaksi dengan pihak istimewa (PPh) dan pihak berelasi (PSAK
7), entitas bisnis di Indonesia sebaiknya mempertimbangkan penerapan strategi
manajemen risiko yang proaktif. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:
- Mengembangkan Kebijakan Internal yang
Jelas: Menyusun dan mengimplementasikan
kebijakan internal yang komprehensif mengenai identifikasi, evaluasi,
persetujuan, pelaksanaan, dan pemantauan transaksi dengan pihak-pihak yang
berpotensi memiliki hubungan istimewa atau merupakan pihak berelasi.
Kebijakan ini harus mencakup kedua set definisi dan persyaratan.
- Melakukan Tinjauan Berkala:
Secara periodik, melakukan tinjauan terhadap struktur kepemilikan
perusahaan, perjanjian-perjanjian kontraktual yang signifikan, dan
komposisi serta hubungan antar personil manajemen kunci. Tinjauan ini
bertujuan untuk mengidentifikasi secara dini potensi timbulnya hubungan
istimewa atau hubungan dengan pihak berelasi yang baru atau yang berubah.
- Analisis Kewajaran Harga (Benchmarking): Untuk
transaksi yang signifikan dengan pihak yang teridentifikasi memiliki
hubungan istimewa atau berelasi, disarankan untuk melakukan analisis
kewajaran harga (benchmarking) dengan menggunakan data pembanding yang
andal. Praktik ini sebaiknya dilakukan bahkan jika entitas tidak secara
eksplisit diwajibkan untuk menyusun TP Doc secara lengkap, sebagai bagian
dari tata kelola perusahaan yang baik dan untuk mempersiapkan diri
menghadapi potensi pertanyaan dari otoritas pajak atau auditor.
- Pertimbangan dalam Perencanaan Transaksi:
Ketika merencanakan transaksi baru yang signifikan atau melakukan
restrukturisasi usaha yang melibatkan pihak-pihak yang mungkin terkait,
implikasi dari kedua rezim peraturan (PPh dan PSAK 7) harus
dipertimbangkan sejak awal.
- Pelatihan Berkelanjutan:
Memberikan pelatihan yang berkelanjutan bagi staf di departemen terkait
(misalnya, akuntansi, keuangan, pajak, hukum) mengenai perkembangan
terbaru dalam peraturan perpajakan terkait hubungan istimewa dan standar
akuntansi keuangan terkait pengungkapan pihak berelasi.
- Pemanfaatan Teknologi:
Mempertimbangkan penggunaan solusi teknologi untuk membantu dalam
mengidentifikasi, melacak, dan mendokumentasikan transaksi dengan pihak
istimewa/berelasi, terutama bagi perusahaan dengan volume transaksi yang
besar dan struktur grup yang kompleks.
Manajemen risiko yang proaktif
tidak hanya membantu dalam memastikan kepatuhan, tetapi juga dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya sengketa pajak yang mahal dan memakan waktu, temuan
audit yang merugikan, serta potensi kerusakan reputasi perusahaan. Ini
melibatkan komitmen untuk memahami dan beradaptasi dengan lanskap peraturan
yang terus berkembang.
6. Kesimpulan dan Rekomendasi
6.1. Rangkuman Perbedaan
Esensial
Analisis komparatif antara
konsep hubungan istimewa dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) dan konsep
pihak berelasi dalam Standar Akuntansi Keuangan (PSAK 7) di Indonesia
mengungkapkan adanya perbedaan-perbedaan esensial meskipun kedua konsep
tersebut seringkali merujuk pada entitas atau individu yang memiliki
keterkaitan. Perbedaan utama terletak pada tujuan yang
mendasarinya: PPh berfokus pada perlindungan basis pajak negara dan
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) untuk mencegah
penghindaran pajak, sementara PSAK 7 bertujuan untuk memastikan transparansi
dalam pelaporan keuangan demi kepentingan pengambilan keputusan oleh pengguna
eksternal.
Perbedaan tujuan ini
melahirkan perbedaan dalam pendekatan dan cakupan. PPh
cenderung menggunakan kriteria yang lebih definitif dan seringkali kuantitatif
(misalnya, ambang batas kepemilikan 25%) sebagai pemicu, sedangkan PSAK 7 lebih
menekankan pada substansi ekonomi hubungan dan pengaruh kualitatif (seperti
pengendalian atau pengaruh signifikan) yang memerlukan penilaian (judgement).
Definisi hubungan keluarga dalam PPh juga lebih spesifik dan terbatas
dibandingkan konsep "anggota keluarga dekat" dalam PSAK 7 yang lebih
luas.
Perkembangan regulasi terkini,
khususnya melalui PMK Nomor 172/PMK.03/2023, telah memperluas cakupan transaksi
yang dianggap dipengaruhi hubungan istimewa untuk tujuan PPh. Klausul dalam
Pasal 1 angka 7 PMK 172/2023, yang mencakup transaksi antara pihak yang
formalnya tidak berelasi namun lawan transaksi dan harganya ditentukan oleh
Pihak Afiliasi, berpotensi meningkatkan area divergensi antara kedua konsep
ini, sekaligus menunjukkan upaya otoritas pajak untuk menangkap substansi
ekonomi dari skema transaksi yang kompleks.
6.2. Rekomendasi bagi Praktisi
Mengingat kompleksitas dan
perbedaan antara kedua konsep ini, serta implikasi signifikan dari
ketidakpatuhan, berikut adalah beberapa rekomendasi bagi praktisi (baik di
dalam perusahaan maupun konsultan) di Indonesia:
- Adopsi Pendekatan Terintegrasi Namun
Terpisah: Perusahaan sebaiknya mengembangkan sistem
internal yang mampu mengumpulkan informasi relevan untuk identifikasi
hubungan istimewa (PPh) dan pihak berelasi (PSAK 7) secara terintegrasi.
Namun, analisis dan penerapan aturan harus dilakukan secara terpisah
sesuai dengan ketentuan masing-masing rezim (perpajakan dan akuntansi).
- Investasi dalam Keahlian dan Pengetahuan:
Penting bagi perusahaan untuk memiliki atau memiliki akses kepada sumber
daya manusia dengan keahlian dan pengetahuan yang memadai dan terkini di
bidang perpajakan (khususnya mengenai transfer pricing dan peraturan
hubungan istimewa) dan akuntansi (khususnya mengenai PSAK 7 dan
interpretasinya).
- Dokumentasi Proaktif dan Komprehensif:
Mendorong praktik dokumentasi yang proaktif, detail, dan komprehensif
untuk semua transaksi yang berpotensi jatuh dalam salah satu atau kedua
definisi (hubungan istimewa atau pihak berelasi). Dokumentasi ini krusial
untuk mendukung argumen mengenai kewajaran harga, independensi transaksi
(jika relevan), dan pemenuhan persyaratan pengungkapan.
- Mengikuti Perkembangan Regulasi secara
Berkelanjutan: Mengingat sifat dinamis dari peraturan
perpajakan dan standar akuntansi keuangan, praktisi harus secara aktif
terus memperbarui pengetahuan mereka melalui partisipasi dalam seminar,
pelatihan, dan pemantauan publikasi resmi dari otoritas terkait (seperti
DJP dan Ikatan Akuntan Indonesia/IAI).
- Konsultasi Dini dengan Ahli Profesional:
Untuk transaksi yang bersifat kompleks, material, atau melibatkan
interpretasi yang sulit mengenai status hubungan istimewa atau pihak
berelasi, sangat disarankan untuk melakukan konsultasi dini dengan
konsultan pajak atau akuntan profesional yang berpengalaman.
- Penguatan Fungsi Kepatuhan Internal:
Memperkuat fungsi kepatuhan internal untuk memastikan bahwa semua
persyaratan terkait hubungan istimewa dan pihak berelasi dipahami,
diimplementasikan, dan dipantau secara efektif di seluruh organisasi.
Dengan pemahaman yang mendalam
dan penerapan strategi yang tepat, entitas bisnis di Indonesia dapat menavigasi
kompleksitas kedua konsep ini, meminimalkan risiko ketidakpatuhan, dan
memastikan pelaporan keuangan yang transparan dan akuntabel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar