Selasa, 27 Mei 2025

Mengapa Tax Ratio Indonesia Rendah

Pendahuluan: Memahami Rasio Pajak

Bagian ini memperkenalkan konsep rasio pajak sebagai indikator fiskal fundamental dan menyoroti permasalahan persisten rendahnya rasio pajak di Indonesia. Anda akan memahami mengapa rasio pajak yang memadai penting bagi pembangunan negara dan bagaimana laporan ini akan mengurai faktor-faktor penyebabnya berdasarkan kajian ilmiah.

Rasio pajak, atau tax-to-GDP ratio, mengukur perbandingan antara total penerimaan pajak suatu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut. Indikator ini mencerminkan kapasitas pemerintah dalam memobilisasi sumber daya untuk belanja publik dan pembangunan, serta kontribusi sektor perpajakan terhadap ekonomi.

Rendahnya rasio pajak Indonesia dibandingkan negara tetangga dan standar OECD menjadi perhatian utama. Laporan ini bertujuan menganalisis faktor-faktor determinan berdasarkan jurnal internasional dan nasional terakreditasi, memberikan landasan analisis yang kuat dan berbasis bukti.

Lebih dari sekadar teknis, rasio pajak merefleksikan kualitas kontrak sosial antara negara dan warga. Di negara maju, rasio pajak tinggi sejalan dengan permintaan layanan publik berkualitas. Rendahnya rasio pajak Indonesia bisa jadi sinyal ekspektasi timbal balik yang belum terpenuhi, dipengaruhi persepsi efektivitas belanja pemerintah, korupsi, dan tata kelola.

Gambaran Umum Rasio Pajak Indonesia

Di bagian ini, Anda dapat melihat perbandingan rasio pajak Indonesia dengan negara-negara lain serta tren historisnya melalui visualisasi data. Ini akan memberikan konteks mengenai skala permasalahan dan posisi Indonesia secara global dan regional.

Rasio pajak Indonesia pada tahun 2022 tercatat sebesar 12,1%, sedikit meningkat dari 10,9% pada 2021. Namun, angka ini masih di bawah capaian 2007 (12,2%) dan puncak 2008 (13,0%). Pada 2021, rasio pajak Indonesia terendah di G20 dan ASEAN.

Perbandingan Rasio Pajak (2022)

Sumber: Diolah dari OECD (2024), Investopedia, Kemenkeu, Scholarhub UI.

Tren Historis Rasio Pajak Indonesia (2007-2022)

Sumber: Diolah dari OECD (2024).

Bank Dunia merekomendasikan rasio pajak di atas 15% PDB untuk pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Studi Kemenkeu mengidentifikasi rasio optimal Indonesia pada 15,29%. Fakta bahwa rasio aktual Indonesia konsisten di bawah angka ideal menunjukkan tantangan struktural.

Tren jangka panjang menunjukkan stagnasi, bahkan penurunan. Dalam 15 tahun (2007-2022), kemampuan negara meningkatkan porsi penerimaan pajak dari output ekonomi tidak menunjukkan kemajuan berarti, mengindikasikan "perangkap rasio pajak" meskipun PDB tumbuh. Ini adalah "paradoks pertumbuhan" Indonesia.

Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Rasio Pajak

Bagian ini adalah inti dari analisis, menguraikan berbagai faktor kompleks yang berkontribusi terhadap rendahnya rasio pajak di Indonesia. Setiap sub-bagian akan membahas satu faktor utama, didukung oleh temuan dari literatur ilmiah.

Rendahnya rasio pajak Indonesia merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor. Analisis mendalam terhadap literatur ilmiah mengidentifikasi beberapa determinan utama.

1. Kepatuhan Pajak (Tax Compliance)

Kepatuhan Wajib Pajak (WP), baik Orang Pribadi maupun Badan, adalah faktor krusial. Tingkat kepatuhan yang rendah di Indonesia, mulai dari tidak mendaftar, tidak melaporkan penghasilan dengan benar, hingga tidak membayar pajak, secara langsung menggerus potensi penerimaan negara.

Kepatuhan UMKM menjadi sorotan. Meskipun berkontribusi besar pada PDB dan tenaga kerja, kepatuhan pajaknya rendah, dipengaruhi oleh pengetahuan pajak, moral pajak, pemahaman e-Filling, dan persepsi tarif.

Kesenjangan Kepatuhan Pajak Utama:

43,9%

Kesenjangan Kepatuhan PPN (setara 2,6% PDB)

~33%

Kesenjangan Kepatuhan PPh Badan (setara 1,1% PDB)

Penyebab kesenjangan: ketidakpatuhan WP, administrasi belum efektif, dominasi sektor informal. Sistem self-assessment sejak 1983 menghadapi kendala rendahnya kesadaran, partisipasi, dukungan, dan transparansi.

Kepatuhan rendah menciptakan lingkaran setan jika tidak diimbangi penegakan hukum yang kuat. Jika risiko ketidakpatuhan rendah, insentif patuh menurun. Dilema kebijakan UMKM: ambang batas PKP tinggi (Rp 4,8 M/tahun) dan PPh Final rendah (0,5%) menciptakan "lubang" basis pajak.

2. Administrasi Perpajakan (Tax Administration)

Efektivitas dan efisiensi administrasi perpajakan adalah pilar fundamental. Kompleksitas sistem dan prosedur di Indonesia menjadi penghambat. Indonesia pernah peringkat ke-26 negara dengan sistem administrasi pajak paling kompleks.

Kinerja DJP, meski realisasi penerimaan 2021-2023 melampaui target, tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan rasio pajak struktural. Penilaian TADAT menunjukkan kinerja DJP di beberapa aspek masih di bawah standar internasional.

Upaya Modernisasi:

  • Core Tax Administration System (CTAS): Investasi Rp 2,9 triliun untuk integrasi layanan perpajakan. Peluncuran hadapi "kekhawatiran serius".
  • Single Identity Number (SIN): Integrasi NIK sebagai NPWP. Per November 2023, baru 59,3 juta NIK (82,4%) dari 72 juta NIK terpadankan.

Kompleksitas administrasi meningkatkan biaya kepatuhan WP. Perusahaan yang anggap administrasi pajak sebagai kendala cenderung lebih tinggi tingkat penghindaran pajaknya (32-38% vs 20-24%).

Wacana Badan Penerimaan Negara (BPN) atau SRA mengindikasikan kesadaran keterbatasan struktur DJP saat ini. Isu tata kelola internal seperti korupsi (gratifikasi pegawai DJP Rp 691,8 juta pada 2023) juga tantangan serius.

3. Ekonomi Bayangan (Shadow Economy) dan Sektor Informal

Keberadaan shadow economy atau ekonomi informal berskala besar menjadi penghalang struktural. Aktivitas ekonomi di luar pencatatan resmi dan tidak terpajaki menggerus basis pajak potensial.

~47%

Estimasi aktivitas ekonomi di Indonesia pada 2024 berlangsung di luar basis pajak formal.

Estimasi besaran shadow economy bervariasi: rata-rata 22,59% PDB (2008-2015) hingga 33%-35,7% PDB. Studi 34 provinsi perkirakan rata-rata nilai shadow economy per provinsi Rp 292,152 triliun, dengan potensi kerugian pajak Rp 35,306 triliun/tahun (2016-2022).

Sektor informal, sumber utama lapangan kerja, sulit dijangkau sistem pajak formal. Kebijakan perlu mencari keseimbangan antara formalisasi dan pertumbuhan sektor ini. Kegagalan capai target penerimaan sering diatribusikan pada shadow economy. Kualitas tata kelola (korupsi, efektivitas regulasi) juga memengaruhi besarnya shadow economy.

4. Penghindaran dan Pengelakan Pajak (Tax Evasion and Avoidance)

Tax avoidance (upaya legal mengurangi beban pajak) dan tax evasion (tindakan ilegal tidak membayar pajak) berkontribusi pada rendahnya penerimaan.

Penghindaran pajak korporasi, terutama melalui transfer pricing oleh perusahaan multinasional, menjadi perhatian. Perusahaan juga bisa memaksimalkan utang terafiliasi untuk mengurangi pajak.

Tata kelola perusahaan (komisaris independen, komite audit) diharapkan menekan penghindaran pajak, namun temuan penelitian bervariasi. Faktor keuangan (leverage, profitabilitas) juga dikaitkan, dengan hasil beragam.

~25%

Perusahaan formal di Indonesia (menurut studi Bank Dunia) secara tidak langsung mengakui melakukan pengelakan pajak.

Pengelakan pajak lebih tinggi pada perusahaan non-ekspor, yang bersaing dengan sektor informal, dan yang anggap administrasi pajak memberatkan. Kompleksitas sistem pajak dapat memicu keduanya: menciptakan celah untuk avoidance dan kendala kepatuhan yang berujung evasion.

5. Kebijakan dan Struktur Perpajakan (Tax Policy and Structure)

Desain kebijakan (jenis pajak, tarif, basis, ambang batas, insentif) berdampak fundamental. Beberapa aspek di Indonesia berkontribusi pada rendahnya rasio pajak.

Ambang batas PKP (omzet Rp 4,8 M/tahun) dianggap tinggi, mempersempit basis PPN. Fasilitas PPh Final 0,5% untuk UMKM juga membatasi kontribusi segmen ini.

Pemberian insentif pajak yang luas (tax allowance, tax holiday) mengurangi potensi penerimaan. Belanja perpajakan 2024: Rp 374,5 triliun. Efektivitas insentif sering dipertanyakan.

Komposisi Penerimaan Pajak Indonesia (2022)

Sumber: OECD (2024).

Kontributor terbesar: PPh Badan (28,8%) dan PPN (28,2%). Kontribusi PPh Orang Pribadi (PPh OP) relatif rendah. Kontribusi iuran jaminan sosial (SSC) hampir tidak ada, padahal dominan di OECD. Tarif PPN standar (11%) dinilai relatif rendah. Penurunan tarif PPh Badan (25% ke 22% pada 2020) juga berimplikasi.

6. Tata Kelola dan Korupsi (Governance and Corruption)

Kualitas tata kelola dan tingkat korupsi berdampak signifikan. Tata kelola lemah dan korupsi merajalela merusak pengumpulan pajak: menurunkan moral pajak, menciptakan kolusi, mengalihkan penerimaan.

Korupsi memperkuat dampak negatif shadow economy terhadap rasio pajak. Kualitas tata kelola rendah (lemahnya kontrol korupsi, regulasi tidak efektif) menurunkan rasio pajak. Isu korupsi di otoritas pajak (gratifikasi pegawai DJP Rp 691,8 juta pada 2023) menggerus kepercayaan publik.

Korupsi menciptakan "rasionalisasi" untuk tidak patuh. Persepsi uang pajak dikorupsi menurunkan moral pajak. Pemberantasan korupsi adalah prasyarat. Kualitas regulasi, konsistensi penegakan hukum, efisiensi birokrasi juga penting. Koneksi politik juga disebut dapat memengaruhi perilaku pajak perusahaan.

7. Struktur Ekonomi (Economic Structure)

Komposisi sektoral PDB, dominasi jenis usaha, dan karakteristik pasar tenaga kerja berimplikasi pada mobilisasi pajak.

Dominasi sektor sulit dipajaki (hard-to-tax sectors): pertanian skala kecil, sektor informal luas (pedagang kaki lima, pekerja lepas, dll.). Kontribusi UMKM besar, tapi pemajakannya sulit (jumlah banyak, skala kecil, kurang pencatatan formal).

Tingginya proporsi hard-to-tax sector (UMKM, e-commerce rintisan) jadi faktor kunci. Jika pertumbuhan ekonomi terjadi di sektor sulit dipajaki, rasio pajak tidak naik proporsional. Ekonomi digital dan gig economy hadirkan tantangan baru.

Kebijakan pajak mungkin belum selaras dengan struktur ekonomi. Jika mayoritas angkatan kerja informal/UMKM, sementara PPh OP lebih untuk pekerja formal, potensi PPh OP sulit optimal. Ambang batas PPN tinggi mengecualikan banyak aktivitas ekonomi.

Dampak Rasio Pajak Rendah terhadap Pembangunan Nasional

Bagian ini menjelaskan konsekuensi luas dari rasio pajak yang persisten rendah terhadap kemampuan negara dalam menjalankan fungsi dan mencapai tujuan pembangunan. Anda akan melihat bagaimana keterbatasan fiskal memengaruhi berbagai aspek penting.

Dampak paling langsung adalah penyempitan ruang fiskal pemerintah. Kemampuan membiayai program pembangunan strategis menjadi terbatas.

Implikasi Utama:

  • Terhambatnya pendanaan belanja publik esensial: infrastruktur (jalan, energi), layanan pendidikan, layanan kesehatan. Investasi di sektor ini kunci pertumbuhan jangka panjang dan kesejahteraan.
  • Ketergantungan pada utang: Akumulasi utang berlebih memperburuk beban keuangan negara, mengurangi alokasi dana produktif.
  • Siklus umpan balik negatif dengan kualitas layanan publik: Penerimaan rendah -> layanan publik buruk -> kepercayaan rendah -> kepatuhan pajak rendah -> penerimaan tetap rendah.
  • Dampak tidak merata antar kelompok masyarakat: Kelompok miskin dan rentan, yang paling bergantung pada layanan publik, paling dirugikan. Ini menghambat upaya mengurangi ketimpangan dan meningkatkan mobilitas sosial.

Bank Dunia menyatakan penerimaan pajak di atas 15% PDB adalah "bahan utama" pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan. Ketika rasio pajak jauh di bawahnya, target pembangunan sulit tercapai.

Upaya Peningkatan Rasio Pajak dan Prospek ke Depan

Di sini, Anda akan menemukan informasi mengenai berbagai upaya reformasi perpajakan yang telah dan sedang dilakukan Pemerintah Indonesia, serta tantangan dan prospek ke depan dalam meningkatkan rasio pajak secara signifikan dan berkelanjutan.

Upaya Reformasi:

  • Administrasi: Implementasi CTAS dan SIN (NIK sebagai NPWP). Simplifikasi PPh Pasal 21 dengan skema tarif efektif rata-rata (TER) sejak Januari 2024.
  • Kebijakan: Program tax amnesty (2016-2017). Penyesuaian tarif (PPh Badan turun ke 22%, rencana kenaikan PPN bertahap). Upaya membuat insentif pajak lebih terarah.
  • Pengawasan: Implementasi sistem Manajemen Risiko Kepatuhan (CRM) oleh DJP.

Tantangan tetap besar. Prospek bergantung pada konsistensi reformasi. Reformasi sporadis tidak cukup. Keberhasilan bergantung pada dukungan politik, visi jangka panjang, perencanaan matang, dan eksekusi cermat.

Rekomendasi Kebijakan Strategis (berdasarkan temuan akademis):

  1. Memperkuat audit dan penegakan hukum berbasis risiko.
  2. Melanjutkan penyederhanaan sistem pajak (regulasi & administrasi).
  3. Evaluasi menyeluruh dan rasionalisasi insentif pajak.
  4. Memperluas basis PPh Orang Pribadi secara hati-hati.
  5. Meningkatkan jangkauan ke sektor informal/shadow economy.
  6. Memperkuat integritas & tata kelola otoritas pajak, berantas korupsi.
  7. Meningkatkan transparansi & akuntabilitas penggunaan dana pajak.

Meskipun ada optimisme pertumbuhan penerimaan 2024, upaya struktural fundamental adalah kunci peningkatan rasio pajak jangka panjang.

Kesimpulan: Mengurai Kompleksitas Rasio Pajak Rendah

Bagian akhir ini merangkum poin-poin kunci dari analisis, menegaskan sifat multifaset dari permasalahan rendahnya rasio pajak di Indonesia, dan menekankan pentingnya pendekatan komprehensif untuk mengatasinya.

Rendahnya rasio pajak Indonesia adalah persoalan multifaset akibat interaksi kompleks berbagai faktor, bukan faktor tunggal. Analisis komprehensif berbasis jurnal ilmiah menunjukkan tantangan meliputi:

  1. Kepatuhan Wajib Pajak belum optimal.
  2. Kelemahan sistem dan administrasi perpajakan.
  3. Besarnya skala ekonomi informal (shadow economy).
  4. Praktik penghindaran dan pengelakan pajak.
  5. Desain kebijakan dan struktur perpajakan belum optimal.
  6. Isu tata kelola dan korupsi.
  7. Struktur ekonomi dengan dominasi sektor sulit dipajaki.

Dampaknya signifikan terhadap kemampuan negara membiayai pembangunan, layanan publik, dan kesejahteraan. Tidak ada solusi tunggal. Peningkatan rasio pajak memerlukan pendekatan komprehensif, terkoordinasi, dan berkelanjutan, menyentuh semua aspek, didukung komitmen politik kuat dan partisipasi semua pihak.

Peningkatan rasio pajak bukan hanya target angka, tapi prasyarat esensial bagi kemandirian fiskal, pembangunan inklusif, dan kualitas hidup masyarakat.

Jumat, 23 Mei 2025

Mengenal dan Memahami OECD Model Tax Convention

Pendahuluan

OECD Model Tax Convention on Income and on Capital adalah sebuah draf konvensi pajak komprehensif yang bertujuan utama untuk mengatasi masalah pemajakan berganda internasional (international juridical double taxation) atas penghasilan dan modal. Pemajakan berganda terjadi ketika dua (atau lebih) Negara mengenakan pajak yang sebanding terhadap wajib pajak yang sama atas objek pajak yang sama. Konvensi Model ini berfungsi sebagai cetak biru (blueprint) atau templat bagi negara-negara anggota OECD dan negara-negara lain dalam menegosiasikan dan menyimpulkan perjanjian pajak bilateral mereka.

Meskipun bukan merupakan instrumen hukum yang secara otomatis mengikat Negara-negara, Konvensi Model ini memiliki pengaruh yang luas dalam praktik perjanjian pajak internasional. Konvensi ini bersifat ambulatory, yang berarti secara berkala diperbarui dan diamandemen oleh Komite Urusan Fiskal OECD untuk mencerminkan perkembangan baru dalam ekonomi global dan praktik perpajakan. Seiring waktu, judul Konvensi Model juga berubah untuk secara eksplisit mengakui perannya dalam pencegahan penghindaran pajak (tax evasion and avoidance), di samping penghapusan pemajakan berganda.

Struktur Konvensi Model

Konvensi Model distrukturkan ke dalam beberapa bab yang membahas berbagai aspek perpajakan internasional:

  • Bab I: Lingkup Konvensi (Scope of the Convention): Menentukan siapa saja yang dicakup (Orang yang Dicakup - Pasal 1) dan jenis pajak yang dicakup (Pajak yang Dicakup - Pasal 2). Pasal 1 menetapkan bahwa Konvensi ini berlaku untuk orang (person) yang merupakan penduduk (resident) dari satu atau kedua Negara Kontrak. Pasal 2 mencakup pajak atas penghasilan dan atas modal yang dikenakan atas nama Negara Kontrak atau subdivisi politik atau otoritas lokalnya. Komentar pada Pasal 2 menyebutkan bahwa otoritas yang berwenang dari Negara Kontrak harus memberitahu satu sama lain tentang perubahan signifikan dalam undang-undang perpajakan mereka.
  • Bab II: Definisi (Definitions): Mendefinisikan istilah-istilah kunci yang digunakan dalam Konvensi (Definisi Umum - Pasal 3, Penduduk - Pasal 4, Bentuk Usaha Tetap - Pasal 5). Definisi ini sangat penting untuk penerapan Konvensi yang tepat. Pasal 4 mendefinisikan "penduduk" untuk tujuan Konvensi, yang krusial dalam menyelesaikan kasus pemajakan berganda akibat domisili ganda. Pasal 5 mendefinisikan "bentuk usaha tetap" (Permanent Establishment - PE), konsep fundamental yang menentukan kapan keuntungan bisnis suatu perusahaan dari satu Negara dapat dikenakan pajak di Negara lain. Penghapusan Pasal 14 pada tahun 2000 menyebabkan penghasilan dari jasa pribadi independen sekarang dicakup di bawah Pasal 7 melalui konsep Bentuk Usaha Tetap. Beberapa Negara Non-OECD memiliki posisi yang tidak sepenuhnya setuju dengan interpretasi tertentu mengenai Bentuk Usaha Tetap dalam Komentar.
  • Bab III: Perpajakan Penghasilan (Taxation of Income): Bagian utama Konvensi yang mengalokasikan hak pemajakan atas berbagai jenis penghasilan antara Negara domisili (residence state) dan Negara sumber (source state). Pembagian hak pemajakan ini sering kali mengikuti pola: hak eksklusif di Negara domisili, hak non-eksklusif di Negara sumber (dengan atau tanpa batasan tarif), atau hak eksklusif di Negara sumber (jarang, tetapi ada).
  • Bab V: Metode Penghapusan Pemajakan Berganda (Methods for Eliminating Double Taxation): Mengatur bagaimana Negara domisili harus memberikan keringanan atas pajak yang dibayar di Negara sumber sesuai dengan Konvensi. Bab ini berfokus pada Pasal 23, 23A, dan 23B.

Pembagian Hak Pemajakan Berdasarkan Jenis Penghasilan

Bab III adalah inti dari Konvensi Model, menetapkan aturan untuk berbagai jenis penghasilan. Berikut adalah ringkasan beberapa Pasal penting dalam Bab ini:

  • Pasal 6 (Penghasilan dari Harta Tak Gerak): Negara tempat harta tak gerak berada (Negara situs) memiliki hak untuk mengenakan pajak atas penghasilan dari harta tersebut. Prinsip ini serupa dengan perpajakan atas keuntungan modal dari penjualan harta tak gerak di Pasal 13.
  • Pasal 7 (Keuntungan Bisnis): Umumnya, keuntungan dari suatu perusahaan dari satu Negara Kontrak hanya dikenakan pajak di Negara domisilinya, kecuali jika perusahaan tersebut menjalankan bisnis di Negara Kontrak lainnya melalui bentuk usaha tetap (PE) yang berlokasi di sana. Jika ada PE, keuntungan perusahaan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut, tetapi hanya sebesar yang diatribusikan kepada Bentuk Usaha Tetap tersebut. Setelah penghapusan Pasal 14, penghasilan dari jasa profesional atau aktivitas independen lainnya juga dicakup di bawah Pasal 7 sebagai keuntungan bisnis. Atribusi keuntungan ke PE harus dilakukan seolah-olah PE adalah entitas yang terpisah dan independen (mengikuti prinsip arm's length).
  • Pasal 8 (Pelayaran, Transportasi Perairan Darat, dan Transportasi Udara): Keuntungan dari pengoperasian kapal, perahu, atau pesawat dalam lalu lintas internasional umumnya hanya dikenakan pajak di Negara tempat manajemen efektif perusahaan berada.
  • Pasal 9 (Perusahaan-perusahaan yang Berhubungan Istimewa): Jika perusahaan-perusahaan yang berhubungan istimewa (associated enterprises) bertransaksi dengan kondisi yang berbeda dari yang akan disepakati oleh perusahaan independen (arm's length), Negara dapat menyesuaikan keuntungan perusahaan tersebut untuk mencerminkan kondisi arm's length. Prinsip ini terkait erat dengan pedoman transfer pricing OECD.
  • Pasal 10 (Dividen): Dividen yang dibayarkan oleh perusahaan yang merupakan penduduk suatu Negara kepada penduduk Negara lain dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut (Negara domisili penerima). Namun, dividen tersebut juga dapat dikenakan pajak di Negara tempat perusahaan pembayar berdomisili (Negara sumber), meskipun tarif pajak di Negara sumber biasanya dibatasi oleh Konvensi (seringkali dengan tarif yang lebih rendah untuk pemegang saham perusahaan yang signifikan). Konsep "beneficial owner" penting untuk penerapan Pasal ini, memastikan bahwa manfaat Konvensi diberikan kepada penerima manfaat sesungguhnya. Konvensi Model juga membahas bagaimana menangani distribusi dari Real Estate Investment Trusts (REITs).
  • Pasal 11 (Bunga): Bunga yang timbul di suatu Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara lain dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut (Negara domisili penerima). Namun, bunga tersebut juga dapat dikenakan pajak di Negara tempat timbulnya bunga (Negara sumber), meskipun tarif pajak di Negara sumber biasanya dibatasi oleh Konvensi. "Beneficial owner" juga relevan untuk Bunga.
  • Pasal 12 (Royalti): Dalam Konvensi Model (versi 2008, 2014, 2017), royalti yang timbul di satu Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara lain hanya dikenakan pajak di Negara lain tersebut (Negara domisili penerima). Ini berarti Negara sumber tidak memiliki hak pemajakan atas royalti berdasarkan Konvensi Model ini. (Catatan: Dalam praktik perjanjian bilateral, banyak negara membuat reservasi untuk tetap mengenakan pajak sumber atas royalti).
  • Pasal 13 (Keuntungan Modal): Perpajakan atas keuntungan dari penjualan (alienasi) aset modal diatur dalam Pasal ini. Aturannya bervariasi tergantung jenis aset: keuntungan dari penjualan harta tak gerak dapat dikenakan pajak di Negara tempat harta tersebut berada (Negara situs). Keuntungan dari penjualan harta bergerak yang merupakan bagian dari aset Bentuk Usaha Tetap dapat dikenakan pajak di Negara tempat PE berada. Aturan untuk jenis aset lain, seperti saham, dapat bervariasi. Keuntungan dari pengoperasian kapal atau pesawat dalam lalu lintas internasional umumnya hanya dikenakan pajak di Negara tempat manajemen efektif perusahaan berada, serupa dengan Pasal 8.
  • Pasal 14 [Dihapus] (Jasa Pribadi Independen): Pasal ini dihapus pada tahun 2000 karena tidak ada perbedaan yang dimaksudkan antara konsep Bentuk Usaha Tetap (Pasal 7) dan basis tetap (fixed base), serta bagaimana keuntungan dihitung di bawah kedua Pasal tersebut. Penghasilan dari jasa pribadi independen kini diatur di bawah Pasal 7 sebagai keuntungan bisnis.
  • Pasal 15 (Penghasilan dari Pekerjaan): Gaji, upah, dan imbalan serupa yang diperoleh penduduk suatu Negara dari pekerjaan pada umumnya hanya dikenakan pajak di Negara domisili penerima. Namun, jika pekerjaan tersebut dilakukan di Negara Kontrak lainnya, penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut. Terdapat pengecualian (sering disebut aturan 183 hari) di mana penghasilan tetap hanya dikenakan pajak di Negara domisili jika penerima hadir di Negara lain kurang dari 183 hari, majikan bukan penduduk Negara lain tersebut, dan imbalan tidak ditanggung oleh PE majikan di Negara lain. Pasal 15 tunduk pada ketentuan Pasal 16.
  • Pasal 16 (Imbalan Direktur): Imbalan yang diterima oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai anggota dewan direksi perusahaan yang merupakan penduduk Negara lain dapat dikenakan pajak di Negara tempat perusahaan berdomisili (Negara sumber).
  • Pasal 17 (Seniman dan Olahragawan): Penghasilan yang diperoleh oleh para penghibur (entertainers) dan olahragawan dari kegiatan pribadi mereka yang dilakukan di suatu Negara Kontrak dapat dikenakan pajak di Negara tempat kegiatan itu dilakukan. Ini berlaku meskipun penghasilan tersebut diterima oleh orang lain, bukan langsung oleh seniman/olahragawan.
  • Pasal 18 (Pensiun): Pensiun (terkait dengan pekerjaan swasta) yang dibayarkan kepada penduduk suatu Negara umumnya hanya dikenakan pajak di Negara tempat penerima pensiun tersebut berdomisili.
  • Pasal 19 (Jasa Pemerintah): Gaji, upah, dan imbalan serupa, serta pensiun yang dibayarkan sehubungan dengan jasa yang diberikan kepada Negara Kontrak atau subdivisi politik/otoritas lokalnya pada umumnya hanya dikenakan pajak di Negara yang melakukan pembayaran jasa (Negara pemberi kerja). Pengecualian berlaku jika jasa dilakukan di Negara lain oleh penduduk Negara lain tersebut yang juga merupakan warganegaranya.
  • Pasal 20 (Pelajar): Pembayaran tertentu yang diterima oleh mahasiswa atau peserta magang bisnis dari sumber di luar Negara tempat mereka tinggal, untuk pemeliharaan, pendidikan, atau pelatihan mereka, dikecualikan dari pajak di Negara tempat tinggal tersebut. Pengecualian ini tidak berlaku untuk pembayaran yang berasal dari Negara tempat tinggal atau ditanggung oleh PE di Negara tersebut. Beberapa Negara mereservasi hak untuk membatasi pengecualian ini berdasarkan periode atau jumlah penghasilan.
  • Pasal 21 (Penghasilan Lain): Mencakup item-item penghasilan yang tidak secara khusus diatur dalam Pasal-pasal sebelumnya. Prinsip dasarnya adalah bahwa penghasilan semacam itu, di mana pun asalnya, hanya dapat dikenakan pajak di Negara domisili penerima, kecuali jika penghasilan tersebut terkait efektif dengan Bentuk Usaha Tetap di Negara lain. Banyak Negara mereservasi hak untuk tetap mengenakan pajak atas penghasilan lain tersebut jika berasal dari sumber di dalam negeri mereka.

Penghapusan Pemajakan Berganda

Pasal 23, 23A, dan 23B secara kolektif bertujuan untuk menghilangkan pemajakan berganda. Konvensi Model menawarkan dua metode utama yang dapat dipilih oleh Negara-negara Kontrak dalam perjanjian bilateral mereka:

  • Metode Pengecualian (Exemption Method) (diatur dalam Pasal 23A): Negara domisili mengecualikan penghasilan yang, sesuai Konvensi, telah dikenakan pajak di Negara sumber.
  • Metode Kredit (Credit Method) (diatur dalam Pasal 23B): Negara domisili mengizinkan pengurangan pajak (kredit) sebesar jumlah pajak yang dibayarkan di Negara sumber atas penghasilan yang, sesuai Konvensi, boleh dikenakan pajak di Negara sumber. Kredit ini biasanya terbatas pada jumlah pajak domestik yang diatribusikan pada penghasilan tersebut.

Negara domisili wajib memberikan keringanan (baik melalui pengecualian atau kredit) atas penghasilan penduduknya yang boleh dikenakan pajak di Negara Kontrak lainnya sesuai ketentuan Konvensi [Previous Turn]. Komentar pada Pasal 23A dan 23B juga membahas isu-isu seperti tax sparing, yang merupakan bentuk keringanan yang kontroversial.

Ketentuan Khusus

Di luar alokasi hak pemajakan dan metode penghapusan pemajakan berganda, Konvensi Model mencakup beberapa pasal penting lainnya:

  • Pasal 24 (Non-Diskriminasi): Pasal ini bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi pajak. Ini memastikan bahwa warga negara suatu Negara Kontrak tidak diperlakukan lebih memberatkan di Negara Kontrak lainnya dibandingkan warga negara Negara tersebut dalam situasi yang sebanding. Pasal ini juga mengatur perlakuan setara untuk Bentuk Usaha Tetap perusahaan asing dan perusahaan yang modalnya dimiliki oleh penduduk Negara lain. Penting untuk dicatat bahwa perbandingan perlakuan pajak biasanya mempertimbangkan status domisili (residence). Penerapan prinsip arm's length pada transaksi antara PE dan kantor pusatnya tidak dianggap diskriminatif. Beberapa negara memiliki reservasi untuk membatasi penerapan pasal ini hanya pada pajak yang dicakup oleh Konvensi.
  • Pasal 25 (Prosedur Kesepakatan Bersama - Mutual Agreement Procedure/MAP): Pasal ini menyediakan mekanisme bagi penduduk suatu Negara Kontrak untuk meminta bantuan otoritas yang berwenang (competent authority) Negara domisilinya jika mereka percaya bahwa tindakan satu atau kedua Negara Kontrak menghasilkan pemajakan yang tidak sesuai dengan Konvensi. Otoritas yang berwenang dari kedua Negara berkewajiban untuk berusaha menyelesaikan kasus tersebut melalui kesepakatan bersama, terutama untuk menghindari pemajakan berganda. Pasal ini juga memfasilitasi konsultasi antar otoritas yang berwenang mengenai masalah penerapan Konvensi dan dapat mencakup arbitrase untuk isu-isu yang tidak terselesaikan.
  • Pasal 26 (Pertukaran Informasi - Exchange of Information): Pasal ini menetapkan kewajiban bagi otoritas yang berwenang dari Negara Kontrak untuk bertukar informasi yang relevan untuk melaksanakan ketentuan Konvensi atau hukum domestik mereka terkait pajak yang dicakup. Pertukaran informasi dapat dilakukan atas permintaan (on request), secara otomatis (automatic), atau spontan (spontaneous). Meskipun ada kewajiban ini, terdapat batasan-batasan tertentu, seperti tidak diwajibkan untuk memberikan informasi yang melanggar kerahasiaan dagang atau bertentangan dengan kebijakan publik. Kerahasiaan bank atau lembaga keuangan lainnya tidak dapat menjadi alasan untuk menolak memberikan informasi. Informasi yang diterima hanya boleh digunakan untuk tujuan perpajakan oleh pihak yang berwenang.
  • Pasal 27 (Bantuan Penagihan Pajak - Assistance in Collection of Taxes): Pasal ini memungkinkan Negara Kontrak untuk sepakat untuk memberikan bantuan satu sama lain dalam penagihan pajak mereka.
  • Pasal 28 (Agen Diplomatik dan Pejabat Konsuler): Konvensi ini tidak mempengaruhi keistimewaan fiskal agen diplomatik atau pejabat konsuler berdasarkan hukum internasional. (Dicantumkan dalam Daftar Isi dan Pendahuluan).
  • Pasal 29 (Hak atas Manfaat - Entitlement to Benefits): Perlu dicatat bahwa judul dan isi Pasal 29 dalam Konvensi Model telah berubah. Dalam versi 2008 dan 2014, Pasal 29 berjudul "Territorial Extension" (Perluasan Wilayah) dan membahas kemungkinan perluasan penerapan Konvensi ke wilayah lain. Namun, dalam versi 2017, Pasal 29 berjudul "Entitlement to Benefits" dan Komentarnya membahas mekanisme anti-penghindaran pajak. Berdasarkan deskripsi sebelumnya, Anda merujuk pada Pasal 29 versi 2017. Pasal 29 (Entitlement to Benefits) ini bertujuan untuk memastikan bahwa manfaat yang diberikan oleh Konvensi hanya dinikmati oleh penduduk Negara Kontrak yang benar-benar berhak, guna mencegah penghindaran pajak atau pemajakan berganda yang tidak semestinya, seperti melalui skema treaty shopping. Untuk mencapai tujuan ini, Pasal ini menyediakan serangkaian pengujian atau kondisi yang harus dipenuhi oleh penduduk, seperti menjadi "Qualified Person" atau melakukan "Active Conduct of a Business". Otoritas yang berwenang juga dapat memberikan manfaat secara diskresioner dalam kasus tertentu.
  • Pasal 30 & 31 (Ketentuan Penutup - Final Provisions): Pasal-pasal ini mengatur mekanisme formal seperti Berlakunya Konvensi (Entry into Force) dan Pengakhiran (Termination) Konvensi. (Ada juga Pasal 32 dalam versi 2017, yang komentarnya digabung dengan Pasal 31).

Komentar dan Posisi Non-OECD

Komentar pada Pasal-pasal Konvensi Model memberikan panduan berharga untuk interpretasi dan penerapan Konvensi Model. Komentar ini diperbarui secara berkala bersamaan dengan Pasal-pasal Konvensi Model. Meskipun sangat berpengaruh, beberapa negara berpandangan bahwa hanya Komentar yang berlaku pada saat perjanjian bilateral disimpulkan yang relevan untuk interpretasi perjanjian tersebut, kecuali jika Komentar yang lebih baru hanya mengklarifikasi makna yang sudah ada.

Selain Komentar, Konvensi Model juga menyertakan bagian yang merinci posisi Negara-negara Non-OECD (atau Non-OECD Economies). Kehadiran bagian ini menunjukkan pengaruh global Konvensi Model dan mengakui masukan dari negara-negara di luar keanggotaan inti OECD dalam proses pembaruan. Posisi-posisi ini menyoroti area di mana pandangan Negara-negara Non-OECD mungkin berbeda dari teks Model atau interpretasi yang diberikan dalam Komentar. Contoh negara yang dicantumkan posisinya termasuk Argentina, Brasil, India, Indonesia, Malaysia, Republik Rakyat Tiongkok, Singapura, dan Thailand.

Kesimpulan

OECD Model Tax Convention adalah dokumen referensi krusial dalam perpajakan internasional. Model ini menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk perjanjian pajak bilateral, mengalokasikan hak pemajakan atas berbagai jenis penghasilan dan modal antara Negara domisili dan Negara sumber, serta menyediakan metode untuk menghilangkan pemajakan berganda. Melalui pasal-pasal penting seperti yang mengatur Bentuk Usaha Tetap (Pasal 5), Keuntungan Bisnis (Pasal 7), berbagai jenis penghasilan pasif (Pasal 10, 11, 12), dan metode penghapusan pemajakan berganda (Pasal 23A/B), Konvensi ini berusaha menciptakan kepastian hukum bagi wajib pajak dan otoritas pajak. Fitur-fitur seperti non-diskriminasi (Pasal 24), prosedur kesepakatan bersama (Pasal 25), pertukaran informasi (Pasal 26), dan ketentuan anti-penghindaran pajak (seperti Pasal 29 versi 2017) menunjukkan evolusi Model untuk menangani isu-isu perpajakan internasional yang semakin kompleks. Komentar dan posisi negara-negara, termasuk Non-OECD Economies, lebih lanjut memperkaya pemahaman dan relevansi Model ini dalam praktik pajak internasional kontemporer.

Senin, 19 Mei 2025

Tested Party Dalam Pedoman Transfer Pricing

1. Pendahuluan: Memahami Konsep Tested Party dalam Transfer Pricing

Dalam ranah transfer pricing yang kompleks, identifikasi dan pemilihan tested party atau pihak yang diuji merupakan salah satu pilar fundamental. Konsep ini menjadi krusial, terutama ketika Wajib Pajak menerapkan metode penentuan harga transfer berbasis laba untuk mengevaluasi kewajaran transaksi afiliasi.

  • Definisi Tested Party

Tested party merujuk pada entitas yang terlibat dalam suatu transaksi terkontrol (transaksi afiliasi) yang dipilih untuk dilakukan pengujian atas kewajaran harga transfer atau tingkat laba yang diperolehnya. Entitas inilah yang indikator tingkat labanya (Profit Level Indicator atau PLI), seperti marjin laba operasi atau imbal hasil atas aset, akan dibandingkan dengan data pembanding dari transaksi independen atau perusahaan independen yang sebanding. Meskipun definisi ini tampak sederhana, proses identifikasi tested party dan penentuan pembanding yang tepat merupakan latihan yang sangat rumit. Pemilihan yang tepat memastikan bahwa analisis transfer pricing menjadi kokoh, transparan, dan andal ketika diuji.  

Penting untuk dipahami bahwa konsep tested party menjadi relevan ketika Wajib Pajak menggunakan metode berbasis laba (profit-based methods), seperti Resale Price Method (RPM), Cost Plus Method (CPM), dan Transactional Net Margin Method (TNMM). Konsep ini umumnya tidak diaplikasikan pada metode berbasis harga seperti Comparable Uncontrolled Price (CUP) atau metode pembagian laba (Profit Split Method atau PSM), meskipun analisis fungsional tetap penting untuk PSM. Pemilihan tested party menjadi dasar bagi analisis komparabilitas, yang bertujuan untuk menentukan apakah harga atau laba dalam transaksi afiliasi telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arm's Length Principle).  

  • Peran Sentral Tested Party dalam Analisis Arm's Length Principle

Pemilihan tested party memainkan peran sentral dalam penerapan Arm's Length Principle. Tujuan utama dari identifikasi tested party adalah untuk menetapkan entitas yang tingkat laba atau marjinnya akan menjadi fokus perbandingan dengan transaksi atau entitas independen. Dengan kata lain, tested party menjadi jangkar dalam analisis komparabilitas. Indikator tingkat laba (PLI) dari tested party, yang dapat berupa marjin laba kotor, marjin laba bersih operasi, imbal hasil atas aset (Return on Assets), atau metrik relevan lainnya, akan diuji terhadap rentang kewajaran yang diperoleh dari data pembanding.  

Dengan demikian, tested party bukanlah sekadar label dalam jargon transfer pricing, melainkan sebuah konsep kritis yang membentuk hasil akhir dari analisis transfer pricing suatu perusahaan. Kesalahan dalam pemilihan tested party dapat berakibat pada kesimpulan yang keliru mengenai kewajaran harga transfer, yang pada gilirannya dapat memicu koreksi dari otoritas pajak dan potensi sengketa.  

Secara inheren, pemilihan tested party menyederhanakan kompleksitas analisis transfer pricing dengan memfokuskan pada satu sisi transaksi. Ini adalah pengakuan praktis bahwa menganalisis kedua sisi transaksi afiliasi secara mendalam dengan data eksternal yang sebanding seringkali tidak mungkin dilakukan. Jika kedua pihak dalam transaksi afiliasi memiliki fungsi, aset, dan risiko (FAR) yang kompleks dan unik, mencari transaksi independen yang sebanding untuk kedua pihak tersebut secara simultan menjadi sangat sulit, bahkan mustahil. Dengan memilih satu pihak (biasanya yang lebih sederhana) sebagai tested party, fokus analisis adalah menemukan pembanding untuk pihak tersebut. Asumsinya adalah jika pihak yang diuji memperoleh imbal hasil yang wajar sesuai dengan kontribusinya (fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung), maka transaksi secara keseluruhan dapat dianggap telah memenuhi Arm's Length Principle.

Lebih jauh, konsep tested party mencerminkan suatu kompromi antara ketepatan teoretis dan kelayakan praktis dalam penerapan Arm's Length Principle. Secara teoretis, idealnya seluruh rantai nilai dan kontribusi semua pihak yang terlibat dalam transaksi afiliasi dianalisis secara komprehensif. Namun, keterbatasan ketersediaan data pembanding yang andal dan sumber daya yang dimiliki Wajib Pajak maupun otoritas pajak memaksa adanya fokus pada pihak yang paling dapat diuji secara reliabel. Pendekatan ini, meskipun praktis, juga membuka ruang bagi otoritas pajak untuk menantang pilihan tested party jika dianggap tidak mencerminkan realitas ekonomi transaksi atau jika ada indikasi penyederhanaan yang berlebihan yang mengarah pada hasil yang tidak wajar. Fenomena "flipping the tested party" oleh otoritas pajak di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, menunjukkan bahwa kelayakan praktis tidak boleh mengorbankan akurasi ekonomis secara substansial.  

2. Signifikansi Pemilihan Tested Party yang Akurat

Pemilihan tested party yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan memiliki signifikansi yang sangat besar dalam analisis transfer pricing. Keputusan ini membawa implikasi luas, mulai dari kepatuhan terhadap regulasi hingga efisiensi dalam manajemen risiko pajak.

  • Implikasi terhadap Kepatuhan Pajak (Arm's Length Compliance)

Pemilihan tested party yang tepat merupakan langkah awal yang krusial untuk memastikan kepatuhan terhadap Arm's Length Principle. Dengan memilih entitas yang paling sesuai untuk diuji, analisis komparabilitas dapat dilakukan berdasarkan profil ekonomi entitas tersebut secara akurat. Hal ini memungkinkan perbandingan yang lebih andal antara transaksi afiliasi dengan transaksi independen. Sebaliknya, kesalahan dalam pemilihan tested party, misalnya memilih entitas yang lebih kompleks ketika terdapat entitas lain yang lebih sederhana dalam transaksi yang sama, dapat menyebabkan seluruh metodologi analisis transfer pricing dipertanyakan oleh otoritas pajak. Jika otoritas pajak menganggap pilihan tested party tidak tepat, mereka dapat menolak analisis yang telah dilakukan Wajib Pajak dan melakukan analisis ulang dengan tested party yang berbeda, yang berpotensi menghasilkan koreksi pajak yang signifikan.  

  • Minimalisasi Risiko Sengketa Transfer Pricing

Salah satu tujuan utama dari dokumentasi transfer pricing yang baik adalah untuk meminimalkan risiko sengketa dengan otoritas pajak. Pemilihan tested party yang cermat, didukung oleh analisis fungsional yang komprehensif dan dokumentasi yang kuat, dapat secara signifikan mengurangi kemungkinan terjadinya koreksi transfer pricing, pengenaan sanksi atau denda, hingga proses litigasi yang panjang dan memakan biaya. Di Indonesia, studi menunjukkan bahwa sengketa transfer pricing memiliki frekuensi yang cukup tinggi, dan salah satu isu utama yang seringkali menjadi sumber perselisihan adalah terkait analisis kesebandingan dan pemilihan data pembanding. Mengingat pemilihan tested party secara langsung memengaruhi kriteria pencarian data pembanding, akurasi pada tahap ini menjadi sangat vital untuk membangun argumen yang defensif di hadapan otoritas pajak.  

  • Efisiensi dalam Penyusunan Dokumentasi Transfer Pricing (TP Doc)

Pemilihan tested party yang tepat juga berkontribusi pada efisiensi dalam penyusunan dokumentasi transfer pricing. Ketika entitas yang lebih sederhana dipilih sebagai tested party, proses pencarian data pembanding (benchmarking) seringkali menjadi lebih mudah dan hasilnya lebih reliabel. Hal ini karena umumnya lebih banyak tersedia data publik mengenai perusahaan-perusahaan yang menjalankan fungsi rutin dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki fungsi, aset, dan risiko yang sangat kompleks atau unik. Dokumentasi transfer pricing yang solid harus secara jelas menguraikan dasar pemikiran (rasional) di balik pemilihan tested party tertentu dan menunjukkan mengapa pilihan tersebut dianggap menghasilkan kesimpulan yang paling andal mengenai kewajaran harga transfer. Dengan demikian, Wajib Pajak dapat menyusun TP Doc yang lebih meyakinkan dengan sumber daya yang lebih efisien.  

Akurasi dalam pemilihan tested party secara langsung memengaruhi kualitas dan kemampuan untuk mempertahankan studi pembanding (benchmarking study). Proses benchmarking dimulai dengan pemahaman mendalam atas karakteristik tested party, termasuk fungsi yang dijalankan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung (analisis FAR). Jika tested party salah diidentifikasi—misalnya, sebuah entitas dianggap sebagai distributor dengan fungsi rutin padahal kenyataannya entitas tersebut menanggung risiko pasar yang signifikan atau memiliki aset tidak berwujud lokal yang bernilai—maka kriteria pencarian data pembanding akan menjadi keliru. Hal ini akan mengarahkan pada penggunaan filter pencarian yang salah dalam database komersial, menghasilkan set perusahaan pembanding yang tidak relevan, dan pada akhirnya, menghasilkan rentang arm's length yang tidak valid atau tidak dapat dipertahankan. Kesalahan fundamental ini akan merambat ke seluruh analisis ekonomi dan melemahkan posisi Wajib Pajak.  

Lebih lanjut, pemilihan tested party yang tampak "salah" atau tidak konsisten dengan analisis fungsional dapat menjadi semacam "bendera merah" (red flag) bagi otoritas pajak. Hal ini dapat mengindikasikan adanya potensi kelemahan yang lebih dalam pada keseluruhan analisis transfer pricing yang dilakukan oleh Wajib Pajak, atau bahkan, dalam kasus ekstrem, dapat dicurigai sebagai upaya untuk mengarahkan hasil analisis demi keuntungan pajak semata. Otoritas pajak, yang terlatih untuk mengidentifikasi inkonsistensi dan anomali, mungkin melihat pemilihan tested party yang tidak tepat sebagai sinyal bahwa Wajib Pajak tidak melakukan analisis FAR secara cermat atau mencoba menyembunyikan kontribusi nilai yang sebenarnya dari pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi. Sebagai contoh, jika sebuah entitas di yurisdiksi dengan tarif pajak rendah dipilih sebagai tested party dan menunjukkan laba yang tinggi, namun analisis fungsionalnya menunjukkan bahwa entitas tersebut hanya menjalankan fungsi rutin dengan risiko minimal, otoritas pajak di yurisdiksi lain (misalnya, tempat counterparty berada) kemungkinan besar akan mempertanyakan alokasi laba tersebut. Praktik "flipping the tested party" oleh Internal Revenue Service (IRS) di Amerika Serikat, di mana IRS menolak tested party pilihan Wajib Pajak dan menguji pihak lain dalam transaksi, adalah contoh nyata bagaimana otoritas pajak secara aktif mencari dan menantang kelemahan dalam pemilihan tested party.  

3. Pedoman Internasional: Perspektif OECD dalam Pemilihan Tested Party

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) melalui "OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations" (OECD TPG) menyediakan panduan yang diakui secara luas dan menjadi rujukan utama bagi banyak negara, termasuk Indonesia, dalam menyusun regulasi transfer pricing domestik. Pemilihan tested party merupakan salah satu aspek penting yang dibahas dalam OECD TPG.

  • Prinsip Dasar: Entitas dengan Fungsi Paling Sederhana (Least Complex Entity)

Prinsip fundamental yang dianjurkan oleh OECD TPG (dan juga United Nations Practical Manual on Transfer Pricing for Developing Countries atau UN TP Manual) dalam pemilihan tested party adalah memilih pihak yang memiliki analisis fungsional paling tidak kompleks (least complex functional analysis) di antara para pihak yang terlibat dalam transaksi afiliasi. Alasan utama di balik prinsip ini adalah pertimbangan praktis dan keandalan. Umumnya, lebih mudah untuk menemukan data pembanding yang andal dan melakukan analisis yang akurat untuk entitas yang menjalankan fungsi-fungsi rutin, memiliki aset yang tidak signifikan (terutama aset tidak berwujud), dan menanggung risiko yang terbatas. Sebaliknya, entitas yang memiliki aset tidak berwujud yang unik dan bernilai tinggi (misalnya, paten, merek dagang utama, teknologi inti) atau yang menanggung dan mengelola risiko-risiko signifikan (seperti risiko pasar, risiko kredit, atau risiko pengembangan produk) cenderung memiliki profil laba yang lebih volatil dan sulit untuk dibandingkan dengan perusahaan independen. Oleh karena itu, entitas-entitas semacam ini, yang sering disebut sebagai entrepreneur atau pemilik risiko utama, umumnya tidak dipilih sebagai tested party.  

  • Kriteria Kunci Pemilihan menurut OECD (Fungsi, Aset, Risiko/FAR, Ketersediaan Data)

Untuk menerapkan prinsip "entitas paling sederhana", OECD TPG menggarisbawahi beberapa kriteria kunci yang perlu dipertimbangkan, yang berpusat pada analisis Fungsi, Aset, dan Risiko (FAR), serta ketersediaan data pembanding:

    1. Analisis Fungsional (FAR): Ini adalah landasan dari seluruh proses pemilihan. Tested party yang ideal adalah entitas yang melakukan fungsi-fungsi yang relatif rutin dan dapat dengan mudah diidentifikasi serta dibandingkan. Contohnya termasuk penyedia jasa rutin (misalnya, layanan administratif, dukungan IT dasar), manufaktur kontrak (contract manufacturer) yang beroperasi berdasarkan spesifikasi dari prinsipal, atau distributor berisiko terbatas (limited-risk distributor) yang tidak terlibat dalam pengembangan strategi pasar yang kompleks atau kepemilikan merek.  
    2. Profil Risiko Terbatas: Entitas yang dipilih sebagai tested party sebaiknya tidak menanggung atau mengelola risiko-risiko yang substansial dan kompleks, seperti risiko pasar, risiko pengembangan produk baru, risiko fluktuasi mata uang yang signifikan, atau risiko kredit dalam skala besar. Biasanya, entitas semacam ini dilindungi dari aspek-aspek bisnis grup yang lebih volatil melalui perjanjian antar perusahaan yang mengalihkan risiko-risiko tersebut kepada pihak afiliasi lain yang lebih kompleks.  
    3. Kepemilikan Aset Minimal (terutama Aset Tak Berwujud): Kepemilikan aset, khususnya aset tak berwujud (intangible assets) yang unik dan bernilai tinggi, merupakan faktor penting. Entitas yang hanya menjalankan tugas-tugas rutin dengan menggunakan teknologi, merek, atau proses bisnis yang dimiliki oleh pihak afiliasi lain lebih cocok untuk dipilih sebagai tested party. Jika suatu entitas memiliki dan mengembangkan aset tak berwujud yang signifikan, maka imbal hasil yang diatribusikan kepadanya akan sulit diukur hanya dengan membandingkan marjin laba operasi dengan perusahaan lain yang mungkin tidak memiliki aset tak berwujud serupa.  
    4. Ketersediaan Data Pembanding yang Andal: Ini adalah faktor penentu yang bersifat sangat praktis. Sekalipun suatu entitas tampak paling sederhana secara fungsional, jika tidak tersedia data pasar atau data perusahaan pembanding eksternal yang andal untuk aktivitas yang dijalankannya, maka entitas tersebut mungkin tidak layak untuk ditetapkan sebagai tested party. Keandalan data mencakup ketersediaan informasi keuangan yang cukup detail dan akurat, serta tingkat kesebandingan yang tinggi antara aktivitas tested party dengan calon pembanding.  
  • Proses Analisis Fungsional (FAR) sebagai Landasan

Analisis Fungsi, Aset, dan Risiko (FAR) merupakan fondasi yang tak terhindarkan dalam setiap pendekatan transfer pricing, termasuk dalam proses pemilihan tested party. Analisis FAR melibatkan pembedahan yang mendalam atas aktivitas-aktivitas yang dilakukan, fungsi-fungsi kunci yang dijalankan, aset-aset material yang digunakan atau dimiliki, dan risiko-risiko signifikan yang ditanggung oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam transaksi afiliasi. Tujuan dari analisis FAR dalam konteks ini adalah untuk secara jelas mengidentifikasi dan mengkarakterisasi peran masing-masing entitas, membedakan antara entitas yang melakukan tugas-tugas rutin dan entitas yang mengambil peran yang lebih kompleks dan menanggung risiko yang lebih besar. Hasil dari analisis FAR ini akan memberikan dasar yang kuat untuk menentukan entitas mana yang paling memenuhi kriteria sebagai tested party, yaitu entitas dengan fungsi yang lebih sederhana dan profil risiko yang lebih rendah, serta untuk siapa data pembanding yang andal kemungkinan besar dapat ditemukan.  

Meskipun OECD menekankan pemilihan "entitas paling sederhana," penting untuk dipahami bahwa konsep "kesederhanaan" bersifat relatif dan sangat kontekstual. Apa yang dianggap sederhana dalam satu industri atau jenis transaksi mungkin tidak demikian dalam konteks lain. Sebagai contoh, suatu entitas yang melakukan banyak fungsi tidak secara otomatis dianggap lebih kompleks jika setiap fungsi tersebut bersifat standar, dapat dipasok secara kompetitif, dan mudah untuk di-benchmark. Sebaliknya, entitas yang hanya melakukan satu fungsi tetapi fungsi tersebut sangat unik, melibatkan keahlian khusus, atau aset tak berwujud yang bernilai tinggi, dapat dianggap lebih kompleks. Oleh karena itu, analisis FAR yang mendalam dan bernuansa menjadi jauh lebih penting daripada sekadar memberikan label "sederhana" atau "kompleks" secara superfisial.  

Pedoman OECD, meskipun dirancang untuk komprehensif, pada dasarnya tetap memberikan tingkat fleksibilitas tertentu dalam penerapannya. Fleksibilitas ini, meskipun diperlukan untuk mengakomodasi beragamnya situasi bisnis, juga dapat menyebabkan munculnya interpretasi yang berbeda antar yurisdiksi pajak. Walaupun prinsip umum seperti pemilihan least complex entity diterima secara luas, praktiknya dapat bervariasi tergantung pada penekanan atau preferensi otoritas pajak lokal. Sebagai contoh, beberapa otoritas pajak mungkin memiliki kecenderungan kuat untuk menguji entitas yang berlokasi di yurisdiksinya, terlepas dari apakah entitas tersebut merupakan yang paling sederhana dalam transaksi afiliasi global. Fenomena ini menciptakan tantangan tersendiri bagi perusahaan multinasional (MNE) dalam upaya mereka untuk mencapai konsistensi global dalam kebijakan transfer pricing dan dokumentasinya. Perusahaan harus menyadari bahwa meskipun ada panduan internasional, nuansa lokal dan praktik pemeriksaan di setiap negara dapat memengaruhi bagaimana pemilihan tested party dievaluasi.  

4. Pedoman Pemilihan Tested Party di Indonesia: Tinjauan Regulasi Terkini

Regulasi transfer pricing di Indonesia telah mengalami perkembangan signifikan, dengan tujuan untuk menyelaraskan praktik domestik dengan standar internasional, terutama OECD TPG, sekaligus mengakomodasi kebutuhan dan konteks ekonomi nasional. Pemilihan tested party merupakan salah satu aspek yang mendapatkan perhatian dalam kerangka regulasi ini.

  • Evolusi Regulasi: Dari PMK 22/PMK.03/2020 ke PMK 172/2023

Sebelumnya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 (PMK-22) mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement atau APA). Dalam konteks pengajuan APA, Wajib Pajak diwajibkan untuk mengidentifikasi dan menyebutkan pihak yang diuji (tested party) dalam formulir permohonan, beserta metode penentuan harga transfer yang diusulkan. PMK-22 memberikan kerangka kerja bagi Wajib Pajak untuk mendapatkan kepastian dari otoritas pajak mengenai penetapan harga transfer untuk transaksi afiliasi di masa mendatang.  

Kemudian, pada tanggal 29 Desember 2023, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/PMK.03/2023 (PMK-172) tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa. PMK-172 ini mencabut beberapa ketentuan sebelumnya dan membawa perubahan serta panduan baru yang lebih komprehensif mengenai penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) atau Arm's Length Principle (ALP), termasuk aspek-aspek yang relevan dengan pemilihan tested party dan analisis kesebandingan. Perubahan dalam langkah-langkah penerapan ALP berdasarkan PMK-172 perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak dalam penyusunan dokumentasi transfer pricing tahun pajak 2023, sementara perubahan terkait konten TP Doc Lokal akan berlaku mulai tahun pajak 2024.  

  • Poin-Poin Krusial dalam PMK 172/2023 terkait Pemilihan Tested Party

PMK-172 memperkenalkan beberapa penekanan dan klarifikasi penting yang berdampak pada proses pemilihan tested party dan analisis kesebandingan di Indonesia:

    1. Prioritas Komparabilitas Geografis: Salah satu perubahan signifikan adalah penekanan pada prioritas penggunaan data pembanding dari yurisdiksi yang sama dengan tested party. PMK-172 secara eksplisit menyatakan bahwa dalam hal tersedia lebih dari satu pembanding eksternal dengan tingkat kesebandingan dan keandalan yang sama, maka pembanding eksternal yang berasal dari negara atau yurisdiksi yang sama dengan pihak yang diuji harus dipilih dan digunakan. Prinsip ini berlaku terlepas dari di mana lokasi tested party berada, apakah di Indonesia atau di luar negeri.  
    2. Penyesuaian Kesebandingan (Comparability Adjustments): Regulasi ini menegaskan kembali pentingnya melakukan penyesuaian yang akurat dan layak atas data calon pembanding untuk menghilangkan dampak material dari perbedaan kondisi antara transaksi afiliasi yang diuji dengan transaksi independen pembanding. Jika perbedaan tersebut dapat diidentifikasi dan dikuantifikasi secara andal, penyesuaian harus dilakukan pada data pembanding.  
    3. Analisis Tahun Tunggal sebagai Default: PMK-172 menetapkan bahwa analisis kesebandingan yang menggunakan indikator tingkat laba (PLI) harus, sebagai standar, diterapkan menggunakan data pembanding tahun tunggal (single year data). Penggunaan data multi-tahun hanya diperbolehkan jika Wajib Pajak dapat membuktikan bahwa penggunaan data multi-tahun tersebut akan meningkatkan tingkat kesebandingan dibandingkan dengan penggunaan data tahun tunggal. Beban pembuktian dalam hal ini berada pada Wajib Pajak.  
    4. Klarifikasi Penggunaan Rentang Kewajaran: PMK-172 memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai penggunaan rentang kewajaran dalam menganalisis data pembanding. Secara spesifik, disebutkan bahwa rentang kewajaran dapat berupa nilai minimum sampai dengan nilai maksimum (full range) jika terbentuk dari dua data pembanding, atau nilai kuartil satu sampai dengan nilai kuartil tiga (interquartile range) jika terbentuk dari tiga atau lebih data pembanding. Ini merupakan pertama kalinya penggunaan full range secara eksplisit diterima di Indonesia dalam kondisi tertentu.  
  • Penekanan pada Analisis Fungsi, Aset, dan Risiko (FAR) dalam Konteks Indonesia

Meskipun PMK-172 tidak secara eksplisit merinci proses pemilihan tested party sedetail yang mungkin ditemukan dalam OECD TPG, semangat dan prinsip dasar analisis FAR tetap menjadi inti. Regulasi Indonesia, baik secara tersirat dalam PMK-172 maupun dalam praktik pemeriksaan pajak, senantiasa menekankan pentingnya analisis fungsi, aset, dan risiko. Lima faktor kesebandingan yang harus diperhatikan dalam analisis transfer pricing – yaitu karakteristik barang atau jasa, analisis fungsi, aset, dan risiko (FAR), ketentuan kontraktual, kondisi ekonomi, dan strategi bisnis – sangat relevan dan mencerminkan pendekatan yang sejalan dengan panduan internasional.  

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga secara konsisten merujuk pada OECD TPG, termasuk dalam hal pemilihan tested party. Panduan DJP seringkali mengutip pernyataan OECD bahwa pemilihan tested party harus konsisten dengan analisis fungsional transaksi dan, sebagai aturan umum, tested party adalah pihak yang analisis fungsionalnya paling tidak kompleks. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada penekanan lokal tertentu, dasar-dasar analisis FAR yang komprehensif tetap menjadi prasyarat fundamental dalam penentuan harga transfer di Indonesia. PMK-172, dalam tahapan penerapan PKKU, juga menyebutkan langkah untuk menentukan pihak yang indikator harga transfernya diuji sesuai dengan metode yang digunakan.  

  • Implikasi Praktis bagi Wajib Pajak di Indonesia

Ketentuan-ketentuan baru dalam PMK-172 membawa sejumlah implikasi praktis yang signifikan bagi Wajib Pajak di Indonesia dalam melakukan analisis transfer pricing dan memilih tested party:

    • Pencarian Pembanding Lokal: Wajib Pajak harus memberikan perhatian ekstra dan upaya yang lebih besar dalam mencari dan menjustifikasi penggunaan data pembanding lokal (dari Indonesia jika tested party adalah entitas Indonesia, atau dari yurisdiksi tested party jika tested party adalah entitas asing). Jika data pembanding lokal yang memadai dan andal tidak tersedia, Wajib Pajak perlu menyiapkan dokumentasi dan argumen yang sangat kuat untuk mendukung penggunaan pembanding non-lokal (misalnya, dari negara lain dalam satu kawasan atau pembanding global).
    • Beban Penyesuaian Kesebandingan: Penekanan pada perlunya melakukan penyesuaian kesebandingan yang akurat meningkatkan beban bagi Wajib Pajak untuk mengidentifikasi perbedaan material dan melakukan kuantifikasi yang andal atas dampak perbedaan tersebut.
    • Perubahan Metodologi Benchmarking: Pergeseran ke analisis data tahun tunggal sebagai default mengharuskan Wajib Pajak untuk menyesuaikan metodologi benchmarking mereka. Jika ingin menggunakan data multi-tahun, justifikasi yang kuat mengenai peningkatan kesebandingan harus disiapkan.
    • Penyesuaian Dokumentasi Transfer Pricing: TP Doc Lokal harus secara cermat merefleksikan dan mematuhi ketentuan-ketentuan baru dalam PMK-172. Ini termasuk justifikasi pemilihan tested party yang mempertimbangkan prioritas geografis pembanding, penjelasan mengenai analisis data (tahun tunggal atau multi-tahun), dan penerapan rentang kewajaran yang sesuai.

Penekanan kuat PMK-172 pada komparabilitas geografis dapat, dalam beberapa situasi, mempersempit pilihan tested party bagi Wajib Pajak atau bahkan menciptakan dilema. Misalnya, jika sebuah perusahaan manufaktur di Indonesia (PT A) yang relatif kompleks bertransaksi dengan distributor afiliasinya di luar negeri (B Ltd) yang secara fungsional lebih sederhana, berdasarkan prinsip OECD, B Ltd akan menjadi kandidat utama tested party. Namun, jika tidak tersedia data pembanding lokal yang baik untuk B Ltd di negaranya, dan otoritas pajak Indonesia sangat menekankan penggunaan pembanding lokal jika PT A yang diuji, Wajib Pajak mungkin menghadapi kesulitan. Mereka bisa "terpaksa" menguji PT A yang lebih kompleks (yang mungkin memiliki pembanding lokal yang lebih baik di Indonesia) atau berjuang keras untuk membenarkan pengujian B Ltd dengan pembanding non-lokal. Situasi ini mengingatkan pada praktik di beberapa yurisdiksi lain di mana otoritas pajak cenderung lebih memilih entitas lokal sebagai tested party.  

Lebih jauh, ketentuan-ketentuan baru dalam PMK-172, khususnya terkait prioritas geografis dan analisis tahun tunggal, berpotensi meningkatkan biaya kepatuhan (compliance cost) bagi Wajib Pajak di Indonesia. Pencarian data pembanding lokal yang berkualitas mungkin lebih sulit dan memerlukan akses ke database spesifik yang bisa jadi lebih mahal. Melakukan penyesuaian kesebandingan yang "andal" membutuhkan data dan analisis tambahan yang lebih mendalam. Demikian pula, upaya untuk membuktikan bahwa penggunaan data multi-tahun "meningkatkan kesebandingan" juga memerlukan analisis dan dokumentasi ekstra. Semua ini menambah beban administratif dan biaya bagi Wajib Pajak. Perubahan ini perlu ditangani secara serius dalam penyusunan dokumentasi transfer pricing tahun pajak 2023 (untuk aspek penerapan ALP) dan tahun pajak 2024 (untuk aspek konten detail TP Doc Lokal).  

5. Proses Praktis dan Metodologi Pemilihan Tested Party

Pemilihan tested party bukanlah keputusan arbitrer, melainkan hasil dari serangkaian analisis dan pertimbangan yang sistematis. Proses ini melibatkan pemahaman mendalam atas transaksi, analisis fungsional, evaluasi ketersediaan data, dan keterkaitannya dengan pemilihan metode transfer pricing.

  • Langkah-langkah dalam Mengidentifikasi dan Memilih Tested Party

Proses identifikasi dan pemilihan tested party yang komprehensif umumnya melibatkan langkah-langkah berikut:

    1. Pemahaman Mendalam atas Transaksi Afiliasi: Langkah awal adalah memahami secara detail sifat dan substansi dari transaksi antar perusahaan dalam grup yang sedang dianalisis. Ini mencakup pemahaman mengenai alur transaksi, produk atau jasa yang ditransaksikan, dan peran masing-masing pihak.
    2. Pelaksanaan Analisis Fungsional (FAR) Komprehensif: Seperti telah dibahas sebelumnya, analisis FAR adalah inti dari proses ini. Untuk setiap entitas yang terlibat dalam transaksi, perlu diidentifikasi secara rinci:  
      • Fungsi yang Dilakukan: Misalnya, fungsi desain, manufaktur, perakitan, riset dan pengembangan (R&D), pemasaran, penjualan, distribusi, layanan purna jual, manajemen, administrasi, pendanaan, dll.
      • Aset yang Digunakan/Dimiliki: Termasuk aset berwujud (pabrik, peralatan, inventaris) dan aset tak berwujud (paten, merek dagang, know-how, hubungan pelanggan).
      • Risiko yang Ditanggung: Seperti risiko pasar, risiko inventaris, risiko kredit, risiko produk, risiko kapasitas, risiko mata uang, risiko R&D, dll.
    3. Penilaian Profil Risiko: Setelah fungsi dan aset diidentifikasi, langkah berikutnya adalah menilai bagaimana risiko-risiko tersebut dialokasikan dan dikelola oleh masing-masing pihak. Entitas yang menanggung risiko lebih sedikit umumnya menjadi kandidat yang lebih baik untuk tested party.  
    4. Tinjauan Kepemilikan Aset (Khususnya Aset Tak Berwujud): Identifikasi pihak mana yang memiliki dan mengembangkan aset tak berwujud yang signifikan dan bernilai. Pihak yang tidak memiliki aset tak berwujud bernilai tinggi atau hanya menggunakan aset tak berwujud milik pihak lain lebih sering dipilih sebagai tested party.  
    5. Penilaian Ketersediaan Data Pembanding yang Andal: Untuk setiap kandidat tested party, perlu dilakukan evaluasi awal mengenai ketersediaan data pembanding (transaksi independen atau perusahaan independen) yang andal dan sebanding. Jika untuk suatu entitas diperkirakan akan sangat sulit atau tidak mungkin menemukan data pembanding yang memadai, maka kelayakannya sebagai tested party berkurang.  
    6. Pemilihan Metode Transfer Pricing yang Paling Sesuai: Pemilihan tested party seringkali terkait erat dan dilakukan bersamaan dengan pemilihan metode transfer pricing yang paling sesuai (Most Appropriate Method) untuk transaksi tersebut. Metode tertentu lebih cocok untuk menguji jenis entitas tertentu.  
    7. Dokumentasi Justifikasi Pemilihan: Setelah tested party dipilih, seluruh proses analisis dan dasar pemikiran di balik pemilihan tersebut harus didokumentasikan secara rinci dalam dokumentasi transfer pricing. Ini termasuk bagaimana analisis FAR mendukung pilihan tersebut dan mengapa pilihan ini dianggap akan menghasilkan ukuran kewajaran yang paling andal.
  • Analisis Ketersediaan Data Pembanding yang Andal

Ketersediaan data pembanding yang andal adalah faktor krusial yang seringkali menjadi penentu praktis dalam pemilihan tested party. Data yang digunakan harus akurat, dapat diverifikasi, dan berasal dari sumber yang kredibel. Idealnya, data tersebut dapat digunakan dengan penyesuaian minimal untuk mencerminkan kondisi tested party. Jika setelah upaya pencarian yang wajar tidak ditemukan data pembanding yang andal untuk suatu entitas, maka entitas tersebut mungkin tidak dapat dipilih sebagai tested party, meskipun secara fungsional tampak sederhana.  

Di Indonesia, dengan adanya PMK-172, prioritas diberikan pada penggunaan data pembanding yang berasal dari yurisdiksi yang sama dengan tested party. Hal ini menambah lapisan pertimbangan dalam analisis ketersediaan data. Proses pencarian data pembanding (benchmarking study) biasanya melibatkan beberapa tahapan praktis :  

    • Pemilihan database komersial yang sesuai (misalnya, tergantung lokasi tested party, industri, dan sifat transaksi).
    • Melakukan pencarian awal dengan kriteria yang luas namun relevan, seperti lokasi geografis, status independensi perusahaan, ketersediaan data keuangan untuk periode yang relevan, dan klasifikasi industri (misalnya, menggunakan kode NACE di Eropa atau kode KBLI di Indonesia).
    • Melakukan penolakan massal (bulk rejection) berdasarkan kriteria kuantitatif tertentu, seperti ukuran perusahaan (omzet, aset) atau rasio keuangan tertentu yang mengindikasikan ketidaksebandingan.
    • Melakukan tinjauan manual yang lebih mendalam terhadap perusahaan-perusahaan yang lolos seleksi awal. Ini melibatkan pemeriksaan situs web perusahaan, laporan tahunan, dan informasi publik lainnya untuk memastikan kesebandingan fungsi, produk, dan pasar.
  • Hubungan antara Pemilihan Tested Party dan Pemilihan Metode Transfer Pricing

Pemilihan tested party dan pemilihan metode transfer pricing adalah dua keputusan yang saling terkait erat dan seringkali tidak dapat dipisahkan, terutama ketika menggunakan metode sepihak (one-sided methods). Metode sepihak adalah metode yang menguji kewajaran harga atau laba dari salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi afiliasi. Metode-metode ini meliputi Resale Price Method (RPM), Cost Plus Method (CPM), dan Transactional Net Margin Method (TNMM).  

    • Untuk RPM, tested party umumnya adalah entitas pembeli-penjual kembali (misalnya, distributor) yang membeli produk dari pihak afiliasi dan menjualnya kembali kepada pihak independen. Metode ini menguji marjin kotor yang diperoleh tested party.  
    • Untuk CPM, tested party biasanya adalah entitas yang menyediakan barang atau jasa kepada pihak afiliasi (misalnya, manufaktur kontrak atau penyedia jasa rutin). Metode ini menguji mark-up atas biaya yang relevan yang dikeluarkan oleh tested party.  
    • Untuk TNMM, tested party adalah entitas yang fungsi, aset, dan risikonya memungkinkan perbandingan marjin laba bersih (misalnya, laba operasi terhadap penjualan, biaya, atau aset) dengan perusahaan independen yang menjalankan fungsi serupa dan menanggung risiko sebanding. TNMM sering dianggap sebagai metode pilihan terakhir ketika metode tradisional (CUP, RPM, CPM) tidak dapat diterapkan secara andal.  

Sebaliknya, konsep tested party tunggal kurang dominan atau tidak relevan untuk metode seperti Comparable Uncontrolled Price (CUP) yang secara langsung membandingkan harga transaksi, atau Profit Split Method (PSM) yang membagi laba (atau kerugian) gabungan dari transaksi afiliasi antara pihak-pihak yang terlibat berdasarkan kontribusi relatif mereka. Meskipun demikian, analisis FAR yang komprehensif tetap sangat penting untuk penerapan PSM yang andal, karena pembagian laba harus didasarkan pada kontribusi nilai masing-masing pihak.  

Proses pemilihan tested party seringkali bersifat iteratif dan bukan merupakan proses linear yang kaku. Analisis FAR awal mungkin menunjuk pada satu entitas sebagai kandidat tested party yang ideal. Namun, kendala dalam ketersediaan data pembanding yang andal untuk entitas tersebut, atau pertimbangan bahwa metode transfer pricing yang paling tepat untuk transaksi tersebut ternyata tidak cocok untuk menguji kandidat awal, dapat memaksa Wajib Pajak untuk kembali ke tahap analisis FAR atau mempertimbangkan kandidat tested party lain. Sebagai contoh, Wajib Pajak mungkin memulai dengan asumsi bahwa distributor lokal adalah tested party yang paling sederhana. Akan tetapi, jika setelah pencarian intensif tidak ditemukan data pembanding lokal yang berkualitas (sebagaimana mungkin dituntut oleh PMK-172), mereka mungkin harus mengevaluasi ulang apakah entitas manufaktur afiliasi (yang mungkin berlokasi di luar negeri) bisa menjadi tested party jika entitas tersebut secara fungsional lebih sederhana dan memiliki ketersediaan data pembanding yang lebih baik. Alternatif lain adalah mempertimbangkan apakah metode transfer pricing yang berbeda, seperti PSM, mungkin lebih sesuai, yang mana metode tersebut tidak terlalu bergantung pada pengujian satu tested party tunggal.  

Dalam praktiknya, faktor "ketersediaan data pembanding yang andal" seringkali menjadi pertimbangan yang sangat dominan, kadang-kadang bahkan dapat mengesampingkan pertimbangan teoritis murni mengenai siapa entitas yang secara fungsional "paling sederhana". Hal ini dapat menciptakan risiko jika entitas yang akhirnya dipilih sebagai tested party karena pertimbangan ketersediaan data ternyata bukanlah pihak yang paling tepat dari perspektif analisis fungsional murni. Dalam situasi seperti ini, dokumentasi yang sangat kuat dan transparan menjadi krusial untuk menjelaskan trade-off yang dilakukan dan mengapa, meskipun ada kompromi, pilihan tested party tersebut tetap dianggap menghasilkan ukuran kewajaran yang paling andal dalam kondisi yang ada.  

6. Studi Kasus Hipotetis: Ilustrasi Penerapan Pemilihan Tested Party

Untuk memberikan pemahaman yang lebih konkret mengenai penerapan prinsip dan pedoman pemilihan tested party, berikut disajikan beberapa skenario hipotetis sederhana:

  • Contoh Sederhana Aplikasi Prinsip dan Pedoman
    • Skenario 1: Distributor Berisiko Terbatas
      • Latar Belakang: ParentCo, sebuah perusahaan yang berkedudukan di Negara A, memproduksi berbagai macam barang elektronik konsumen. PT SubCo Indonesia (PT SubCo) adalah anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh ParentCo dan beroperasi di Indonesia. PT SubCo bertindak sebagai distributor untuk produk-produk ParentCo di pasar Indonesia. Berdasarkan perjanjian distribusi antar perusahaan, PT SubCo hanya melakukan fungsi penjualan dan pemasaran lokal, tidak memegang inventaris dalam jumlah signifikan (ParentCo mengirimkan barang berdasarkan pesanan atau dengan sistem konsinyasi), dan tidak menanggung risiko kredit pelanggan yang besar (ParentCo memberikan panduan ketat atau menanggung sebagian besar risiko piutang). ParentCo bertanggung jawab atas strategi pemasaran global, pengembangan produk, risiko produk (garansi), risiko pasar utama, dan merupakan pemilik semua Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) terkait produk.
      • Analisis FAR Singkat PT SubCo:
        • Fungsi: Distribusi lokal, aktivitas penjualan dan pemasaran sesuai arahan ParentCo, layanan pelanggan dasar.
        • Aset: Kantor penjualan, peralatan kantor standar, mungkin sejumlah kecil inventaris untuk display atau pengiriman cepat. Tidak memiliki HKI signifikan.
        • Risiko: Risiko operasional terkait aktivitas penjualan lokal, risiko inventaris minimal, risiko kredit terbatas. Sebagian besar risiko signifikan (pasar, produk, HKI) ditanggung oleh ParentCo.
      • Pemilihan Tested Party: Dalam skenario ini, PT SubCo kemungkinan besar akan dipilih sebagai tested party. Alasannya adalah PT SubCo merupakan entitas yang secara fungsional lebih sederhana dibandingkan ParentCo, memiliki aset yang lebih sedikit (terutama aset tak berwujud), dan menanggung risiko yang lebih terbatas.  
      • Metode Transfer Pricing yang Mungkin Dipilih: Resale Price Method (RPM) atau Transactional Net Margin Method (TNMM) akan menjadi kandidat metode yang paling sesuai, dengan PT SubCo sebagai tested party. RPM akan fokus pada marjin kotor PT SubCo, sementara TNMM akan fokus pada marjin laba bersih operasinya.  
      • Pencarian Data Pembanding: Proses benchmarking akan difokuskan pada pencarian perusahaan distributor independen di Indonesia yang mendistribusikan produk sejenis (misalnya, barang elektronik konsumen) dan memiliki profil fungsi, aset, dan risiko (FAR) yang sebanding dengan PT SubCo. Sesuai PMK-172, prioritas akan diberikan pada pembanding dari Indonesia.
    • Skenario 2: Manufaktur Kontrak
      • Latar Belakang: ForeignCo, sebuah perusahaan yang berkedudukan di Negara B, adalah perusahaan otomotif yang merancang dan memiliki HKI untuk berbagai komponen kendaraan. PT IndoMan adalah perusahaan manufaktur di Indonesia yang memiliki perjanjian manufaktur kontrak dengan ForeignCo. Berdasarkan perjanjian tersebut, PT IndoMan melakukan aktivitas manufaktur komponen otomotif sesuai dengan spesifikasi teknis, desain, dan standar kualitas yang ditentukan oleh ForeignCo. ForeignCo memasok sebagian bahan baku utama atau menentukan pemasoknya, membeli seluruh output produksi dari PT IndoMan, dan menanggung risiko pasar atas produk jadi serta risiko inventaris bahan baku dan barang jadi. PT IndoMan hanya fokus pada efisiensi proses produksi dan kualitas output.
      • Analisis FAR Singkat PT IndoMan:
        • Fungsi: Manufaktur sesuai pesanan (toll manufacturing atau contract manufacturing), manajemen kualitas produksi. Tidak terlibat dalam R&D, desain produk, atau pemasaran.
        • Aset: Pabrik, mesin dan peralatan produksi. Tidak memiliki HKI terkait produk.
        • Risiko: Risiko operasional terkait proses produksi (misalnya, efisiensi, kerusakan mesin), risiko kualitas. Risiko pasar, risiko inventaris bahan baku/barang jadi, dan risiko HKI ditanggung oleh ForeignCo.
      • Pemilihan Tested Party: PT IndoMan kemungkinan besar akan dipilih sebagai tested party karena perannya sebagai manufaktur kontrak dengan fungsi, aset, dan risiko yang relatif terbatas dan terdefinisi dengan baik, dibandingkan dengan ForeignCo yang merupakan pemilik HKI dan penanggung risiko utama.  
      • Metode Transfer Pricing yang Mungkin Dipilih: Cost Plus Method (CPM) atau Transactional Net Margin Method (TNMM) akan menjadi kandidat metode yang paling sesuai, dengan PT IndoMan sebagai tested party. CPM akan fokus pada mark-up atas biaya produksi PT IndoMan, sementara TNMM akan fokus pada marjin laba bersih operasinya (misalnya, return on total cost atau return on operating assets).  
      • Pencarian Data Pembanding: Proses benchmarking akan difokuskan pada pencarian perusahaan manufaktur kontrak independen di Indonesia yang bergerak di industri sejenis (misalnya, komponen otomotif atau manufaktur presisi lainnya) dan memiliki profil FAR yang sebanding dengan PT IndoMan.

Dalam kedua skenario di atas, penentuan apakah suatu entitas benar-benar "berisiko terbatas" atau menjalankan "fungsi rutin" sangat bergantung pada substansi ketentuan kontraktual antar perusahaan dan, yang lebih penting, bagaimana ketentuan tersebut dilaksanakan dalam praktik sehari-hari. Jika terdapat inkonsistensi antara apa yang tertulis dalam kontrak dengan realitas operasional—misalnya, jika dalam Skenario 1, PT SubCo secara konsisten menanggung kerugian akibat piutang tak tertagih atau inventaris yang usang tanpa adanya kompensasi atau mekanisme penyesuaian dari ParentCo—maka klaim bahwa PT SubCo adalah distributor berisiko terbatas dapat menjadi lemah dan dipertanyakan oleh otoritas pajak. Regulasi dan praktik terbaik menekankan bahwa analisis risiko harus konsisten dengan perjanjian antar perusahaan dan realitas ekonomi.  

Lebih jauh, pemilihan tested party dalam konteks transaksi afiliasi tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari tujuan strategis grup perusahaan multinasional secara keseluruhan. Sebagai contoh, jika sebuah grup perusahaan bertujuan untuk memusatkan laba di entitas induk yang merupakan pemilik utama HKI dan penanggung risiko strategis (seperti ParentCo dalam Skenario 1 atau ForeignCo dalam Skenario 2), maka mereka akan berusaha untuk memastikan bahwa anak perusahaan afiliasi (seperti PT SubCo atau PT IndoMan) dikarakterisasi sebagai entitas dengan fungsi rutin yang berhak atas imbal hasil yang juga bersifat rutin (misalnya, marjin laba operasi yang stabil namun relatif kecil). Analisis transfer pricing dan pemilihan tested party kemudian akan diarahkan untuk "membuktikan" dan mendukung kewajaran dari imbal hasil rutin tersebut. Hal ini menyoroti bagaimana analisis FAR dan pemilihan tested party, meskipun harus tetap berada dalam koridor Arm's Length Principle, dapat juga digunakan untuk mendukung struktur penetapan harga yang telah dirancang sebelumnya oleh grup, selama struktur tersebut memiliki substansi ekonomi yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan. Perbedaan tarif pajak antar yurisdiksi seringkali menjadi salah satu faktor pendorong di balik strukturisasi semacam ini, meskipun regulasi transfer pricing bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan yang mengarah pada erosi basis pajak.  

7. Tantangan Umum dan Pertimbangan Khusus dalam Pemilihan Tested Party

Meskipun terdapat pedoman yang relatif jelas, proses pemilihan tested party dalam praktiknya seringkali dihadapkan pada berbagai tantangan dan memerlukan pertimbangan khusus. Tantangan ini dapat berasal dari keterbatasan data, kompleksitas transaksi, hingga perkembangan regulasi dan praktik pemeriksaan oleh otoritas pajak.

  • Keterbatasan Data Pembanding

Salah satu tantangan paling umum dan signifikan adalah keterbatasan data pembanding yang benar-benar andal dan sebanding. Kesulitan ini seringkali lebih terasa di pasar negara berkembang, di mana jumlah perusahaan publik yang independen mungkin lebih sedikit, atau ketersediaan data keuangan yang detail dan terstandarisasi terbatas. Bahkan di pasar yang sudah maju, menemukan perusahaan pembanding yang identik atau sangat mirip untuk industri atau fungsi yang sangat spesifik bisa menjadi pekerjaan yang sulit.  

Di Indonesia, penekanan PMK-172 pada prioritas penggunaan pembanding lokal dapat memperburuk tantangan ini jika data pembanding lokal yang berkualitas memang terbatas atau tidak tersedia untuk industri atau fungsi tertentu dari tested party. Wajib Pajak mungkin harus melakukan upaya ekstra untuk mencari dan memvalidasi pembanding lokal, atau menyiapkan justifikasi yang sangat kuat jika terpaksa menggunakan pembanding dari yurisdiksi lain.  

Isu lain yang terkait adalah bagaimana menyikapi data pembanding yang menunjukkan kerugian (loss-making comparables). Apakah perusahaan yang merugi secara otomatis harus dikeluarkan dari set pembanding, atau apakah kerugian tersebut mencerminkan kondisi pasar yang wajar yang juga dialami oleh tested party? Regulasi dan panduan, baik di Indonesia (merujuk pada PER-32/2011 yang kini mungkin perlu dilihat dalam konteks PMK-172) maupun OECD TPG, umumnya menyarankan agar perusahaan yang merugi tidak secara otomatis dikecualikan, tetapi perlu dianalisis lebih lanjut penyebab kerugian tersebut dan apakah kondisi tersebut sebanding dengan tested party.  

  • Kompleksitas Transaksi dan Struktur Grup Usaha

Tidak semua transaksi afiliasi bersifat sederhana. Transaksi yang melibatkan kontribusi signifikan dari beberapa pihak, penggunaan aset tak berwujud yang unik dan bernilai tinggi yang dimiliki bersama atau dikembangkan bersama, atau fungsi-fungsi yang sangat terintegrasi dan saling bergantung antar pihak afiliasi, seringkali menyulitkan pemilihan satu tested party tunggal yang dapat dianggap "paling sederhana". Dalam kasus-kasus seperti ini, di mana nilai diciptakan secara bersama-sama dan sulit untuk diatribusikan secara terpisah kepada masing-masing pihak, penerapan metode sepihak dengan satu tested party mungkin tidak menghasilkan gambaran yang akurat mengenai kewajaran transaksi.  

Untuk transaksi yang sangat kompleks dan terintegrasi, metode pembagian laba (Profit Split Method atau PSM) mungkin lebih sesuai. Dalam PSM, konsep tested party tunggal menjadi kurang dominan karena fokusnya adalah pada pembagian laba (atau kerugian) gabungan berdasarkan kontribusi nilai relatif dari masing-masing pihak yang terlibat. Namun, penerapan PSM juga memiliki tantangannya sendiri, terutama dalam mengidentifikasi dan mengukur kontribusi masing-masing pihak secara andal.  

  • Perkembangan Terbaru (misalnya, OECD Amount B untuk Aktivitas Distribusi)

Lanskap transfer pricing internasional terus berkembang. Salah satu perkembangan signifikan adalah inisiatif OECD terkait Proyek BEPS (Base Erosion and Profit Shifting), khususnya Pilar Satu yang mencakup Amount B. Amount B memperkenalkan pendekatan yang disederhanakan dan terstandardisasi untuk menentukan remunerasi yang wajar bagi aktivitas pemasaran dan distribusi dasar (baseline marketing and distribution activities). Pendekatan ini, yang berlaku untuk tahun fiskal mulai 1 Januari 2025, menggunakan matriks harga yang diterbitkan oleh OECD, yang didasarkan pada beberapa faktor seperti intensitas aset operasi, intensitas biaya operasi, dan kelompok industri, untuk menentukan rentang imbal hasil (biasanya return on sales) bagi distributor yang memenuhi syarat.  

Pengenalan Amount B dapat memengaruhi cara tested party (dalam hal ini, distributor yang memenuhi kualifikasi sebagai baseline distributor) dianalisis untuk transaksi yang masuk dalam cakupan. Ini berpotensi menyederhanakan analisis untuk jenis transaksi tertentu, terutama bagi negara-negara dengan kapasitas administrasi pajak yang terbatas. Namun, penting untuk dicatat bahwa penerapan Amount B bersifat opsional bagi yurisdiksi dan akan bervariasi antar negara. Wajib Pajak perlu memantau bagaimana masing-masing yurisdiksi mengadopsi dan mengimplementasikan Amount B.  

  • "Flipping the Tested Party" oleh Otoritas Pajak

Wajib Pajak juga perlu mewaspadai praktik yang dikenal sebagai "flipping the tested party" atau "switching the tested party" yang kadang-kadang dilakukan oleh otoritas pajak di beberapa negara, seperti Internal Revenue Service (IRS) di Amerika Serikat. Dalam praktik ini, otoritas pajak menolak pilihan tested party yang telah ditentukan oleh Wajib Pajak dalam analisis transfer pricing mereka dan memilih pihak lain dalam transaksi afiliasi sebagai tested party baru untuk diuji. Tujuan dari tindakan ini biasanya adalah untuk mengatribusikan porsi laba yang lebih besar dari aktivitas bisnis yang relevan ke yurisdiksi otoritas pajak tersebut.  

"Flipping the tested party" seringkali timbul dari perbedaan pandangan antara Wajib Pajak dan otoritas pajak mengenai analisis FAR, karakterisasi pihak-pihak yang terlibat, atau pemilihan metode transfer pricing yang paling sesuai. Untuk menghadapi potensi risiko ini, Wajib Pajak harus memiliki dokumentasi transfer pricing yang sangat kuat, transparan, dan komprehensif, yang secara jelas membenarkan pilihan tested party mereka berdasarkan analisis FAR yang mendalam dan data pendukung yang relevan.  

Tantangan keterbatasan data pembanding yang andal seringkali menjadi pemicu masalah lebih lanjut. Di beberapa yurisdiksi, otoritas pajak mungkin menggunakan data pembanding internal yang tidak tersedia untuk publik ("secret comparables") untuk melakukan koreksi transfer pricing. Praktik ini menciptakan masalah transparansi yang signifikan dan mempersulit Wajib Pajak untuk memahami dasar koreksi atau untuk menyiapkan pembelaan yang efektif. Meskipun tidak secara eksplisit dibahas dalam konteks pemilihan tested party dalam materi yang tersedia, ini adalah konsekuensi logis dari kesulitan data yang dapat memengaruhi bagaimana otoritas pajak mengevaluasi analisis Wajib Pajak, termasuk pilihan tested party. Hal ini semakin menekankan pentingnya bagi Wajib Pajak untuk melakukan proses pencarian data pembanding seluas dan sedokumentatif mungkin.

Perkembangan seperti OECD Amount B, meskipun dirancang dengan tujuan penyederhanaan, juga dapat menciptakan kompleksitas baru, setidaknya dalam jangka pendek selama masa transisi dan adaptasi. Wajib Pajak harus melakukan evaluasi yang cermat untuk menentukan apakah transaksi distribusi mereka masuk dalam cakupan Amount B, apakah yurisdiksi-yurisdiksi yang relevan dengan transaksi tersebut telah mengadopsi dan mengimplementasikan Amount B, dan bagaimana pendekatan baru ini berinteraksi dengan analisis transfer pricing mereka yang sudah ada atau dengan regulasi domestik yang mungkin belum sepenuhnya selaras. Lebih lanjut, penentuan apakah suatu entitas distributor benar-benar memenuhi kriteria sebagai "baseline distributor" (misalnya, tidak memiliki aset tak berwujud yang unik dan bernilai, tidak menanggung risiko ekonomi yang signifikan) atau apakah entitas tersebut memiliki fungsi atau risiko tambahan yang mengeluarkannya dari cakupan Amount B, dapat menjadi subjek perdebatan baru antara Wajib Pajak dan otoritas pajak. Ini mirip dengan perdebatan yang sudah ada mengenai siapa yang merupakan "entitas paling sederhana" dalam pendekatan transfer pricing tradisional.  

8. Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Pemilihan tested party merupakan elemen fundamental dalam arsitektur analisis transfer pricing global. Keputusan ini, meskipun tampak sebagai salah satu langkah dalam proses yang lebih besar, memiliki dampak yang signifikan terhadap hasil akhir analisis kewajaran, risiko sengketa, dan beban kepatuhan bagi perusahaan multinasional.

  • Rangkuman Poin-Poin Utama

Analisis komprehensif ini menegaskan kembali bahwa tested party adalah entitas dalam transaksi afiliasi yang dipilih untuk pengujian kewajaran harga atau laba, terutama ketika metode sepihak (one-sided methods) diterapkan. Pemilihan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, yang didasarkan pada analisis Fungsi, Aset, dan Risiko (FAR) yang kuat serta ketersediaan data pembanding yang andal, adalah krusial untuk memastikan kepatuhan terhadap Arm's Length Principle dan untuk meminimalkan potensi sengketa transfer pricing.

Pedoman internasional, khususnya dari OECD, secara konsisten menganjurkan pemilihan entitas dengan fungsi paling sederhana (least complex entity) sebagai tested party. Prinsip ini diadopsi secara luas oleh banyak yurisdiksi. Namun, implementasi di tingkat lokal, seperti yang terlihat di Indonesia melalui PMK 172/2023 dengan penekanan khusus pada prioritas komparabilitas geografis untuk data pembanding dan analisis data tahun tunggal sebagai default, memerlukan perhatian dan penyesuaian khusus dari Wajib Pajak. Tantangan seperti keterbatasan data pembanding, kompleksitas transaksi, dan potensi perbedaan interpretasi dengan otoritas pajak menambah lapisan kerumitan dalam praktik.

  • Rekomendasi untuk Praktik Terbaik dalam Pemilihan Tested Party

Untuk menavigasi kompleksitas pemilihan tested party dan memperkuat posisi kepatuhan transfer pricing, perusahaan disarankan untuk mengadopsi praktik-praktik terbaik berikut:

    1. Lakukan Analisis FAR yang Mendalam dan Komprehensif: Ini adalah fondasi yang tidak dapat ditawar. Dokumentasikan secara detail fungsi yang dilakukan, aset yang digunakan atau dimiliki, dan risiko yang ditanggung oleh semua pihak yang terlibat dalam transaksi afiliasi. Analisis FAR yang kuat akan memberikan dasar yang solid untuk mengkarakterisasi entitas dan mendukung pilihan tested party.
    2. Prioritaskan Kualitas dan Keandalan Data Pembanding: Lakukan proses pencarian data pembanding yang ekstensif dan terdokumentasi dengan baik. Di Indonesia, berikan prioritas pada pencarian pembanding lokal sesuai dengan amanat PMK 172/2023. Namun, jika pembanding lokal yang berkualitas tidak tersedia, siapkan justifikasi yang kuat dan transparan untuk penggunaan pembanding non-lokal (misalnya, regional atau global), termasuk penjelasan mengenai upaya yang telah dilakukan untuk mencari pembanding lokal.
    3. Pastikan Konsistensi antara Kontrak dan Praktik: Perjanjian antar perusahaan (kontrak legal) harus secara akurat mencerminkan pembagian fungsi, aset, dan risiko yang sebenarnya terjadi dalam praktik operasional sehari-hari. Inkonsistensi antara kontrak dan substansi dapat melemahkan argumen transfer pricing.
    4. Siapkan Dokumentasi yang Kuat, Rinci, dan Proaktif: Jelaskan secara eksplisit dan rinci dalam Dokumentasi Transfer Pricing (TP Doc) mengenai alasan pemilihan tested party tertentu. Uraikan bagaimana analisis FAR mendukung pilihan tersebut, mengapa metode transfer pricing yang dipilih sesuai untuk tested party tersebut, dan mengapa kombinasi ini dianggap menghasilkan ukuran arm's length yang paling andal dalam konteks transaksi yang diuji.  
    5. Pahami Preferensi dan Penekanan Otoritas Pajak Lokal: Selain mengikuti pedoman internasional, penting untuk memahami adanya preferensi, penekanan khusus, atau area fokus dari otoritas pajak di yurisdiksi tempat tested party atau counterparty beroperasi. Misalnya, kesadaran akan preferensi IRS untuk menguji entitas AS atau penekanan DJP pada pembanding lokal dan analisis tahun tunggal dapat membantu dalam menyusun strategi kepatuhan yang lebih efektif.  
    6. Lakukan "Sanity Check" atau Uji Kewajaran Ekonomi: Setelah memilih tested party dan menentukan rentang imbal hasil yang wajar untuknya, lakukan evaluasi atau "sanity check" untuk mempertimbangkan apakah laba (atau kerugian) yang tersisa atau diatribusikan kepada pihak(-pihak) lain dalam transaksi tersebut masuk akal secara ekonomi, mengingat kontribusi dan risiko mereka. Ini membantu memastikan bahwa fokus pada satu tested party tidak menghasilkan kesimpulan yang secara keseluruhan tidak logis secara ekonomi.  
    7. Lakukan Tinjauan Secara Berkala: Model bisnis, struktur operasional, alokasi fungsi, dan kondisi pasar dapat berubah seiring waktu. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kembali pilihan tested party dan analisis transfer pricing secara berkala (misalnya, setiap tahun atau ketika ada perubahan signifikan) untuk memastikan bahwa pilihan tersebut masih merupakan yang paling tepat dan relevan.  

Kepatuhan transfer pricing yang efektif, khususnya dalam konteks pemilihan tested party, memerlukan pendekatan yang proaktif dan terintegrasi dalam perencanaan bisnis, bukan sekadar latihan kepatuhan retrospektif yang dilakukan hanya pada akhir tahun pajak. Ini berarti bahwa implikasi transfer pricing sebaiknya sudah dipertimbangkan sejak tahap perancangan transaksi antar perusahaan dan penyusunan perjanjian legal. Jika dari awal struktur transaksi dan kontrak telah dirancang untuk secara jelas mendefinisikan peran, tanggung jawab, dan risiko masing-masing pihak, dengan salah satu pihak secara jelas dikonfigurasi sebagai entitas dengan fungsi yang lebih sederhana dan risiko yang terbatas, maka proses pemilihan tested party dan pembelaan atas pilihan tersebut di kemudian hari akan menjadi jauh lebih mudah dan kuat. Sebagaimana diindikasikan, entitas yang sering dipilih sebagai tested party biasanya "dilindungi, melalui perjanjian antar perusahaan, dari aspek-aspek yang lebih volatil dari aktivitas grup yang lebih luas" , yang menyiratkan adanya desain dan perencanaan proaktif.  

Lanskap transfer pricing global terus menunjukkan dinamika dan evolusi, dengan meningkatnya fokus pada substansi ekonomi, transparansi, dan pencegahan penggerusan basis pajak (seperti melalui inisiatif OECD/G20 BEPS, termasuk Pilar Satu dan Pilar Dua). Dalam konteks ini, pemilihan tested party yang hanya didasarkan pada pertimbangan "kemudahan" atau ketersediaan data semata, tanpa dukungan substansi ekonomi yang kuat mengenai peran dan kontribusi masing-masing pihak, akan menjadi semakin rentan terhadap tantangan dari otoritas pajak. Ke depannya, kemampuan perusahaan multinasional untuk secara jelas menunjukkan nilai nyata yang diciptakan oleh masing-masing entitas dalam rantai nilai global akan menjadi semakin penting, bahkan ketika menerapkan pendekatan transfer pricing yang menggunakan konsep tested party yang lebih sederhana. Analisis tidak boleh berhenti pada pengujian mekanis tested party, tetapi juga harus mampu menjawab pertanyaan yang lebih luas mengenai kewajaran alokasi laba keseluruhan dalam grup, didukung oleh bukti substansi yang memadai.

Mengapa Tax Ratio Indonesia Rendah

Pendahuluan: Memahami Rasio Pajak Bagian ini memperkenalkan ko...